Jaja menjadi bulan-bulanan di pabrik, bahkan sudah tiga bulan berlalu dari kejadian paling memalukan dalam hidupnya. Kejadian yang tidak akan pernah ia lupakan. Sudahlah nyungsep di depan orang banyak, celana sobek. Pada saat mau pulang, sepatu sebelah kiri, raib entah kemana. Ditambah badan masih pada bentol digigit semut.
Jadilah Jaja menggowes sepedanya hanya menggunakan sepatu sebelah kanan. Yuni dan Dian bahkan tidak bersimpati sama sekali, mereka malah terbahak hingga meneteskan air mata.
"Kalau gue jadi lu, sih. Mending gue bunuh diri saat itu juga," ledek Janu sambil terkekeh. Diikuti ledak tawa yang lainnya.
Saat ini mereka sedang berkumpul di kantin pabrik. Sedang istirahat dengan jam bergantian.
"Udah sih, jangan dibahas!" Jaja bersungut, wajahnya berubah jadi bete. Jangan ditanya lagi bagaimana malunya dia, nyungsep di depan orang yang sedang berduka. Hingga semua yang hadir disana ikut tertawa. Bahkan Reza anak almarhum bos Arman, terbahak sampai terbatuk-batuk.
"Jaja...Jaja...celananya udah lu jahit lagi belum?jahit double, Ja. Biar ga gampang robek."
"Udah gue lemparin, Nu. Trauma gue!" Janu dan yang lainnya kembali tertawa.
Nanang menghampiri meja teman-temannya, sambil membawa kotak bekal. Ia merengganggkan jarak antara Janu dan Jaja. Ia duduk diantaranya.
"Gue punya gosip terkini."
"Apaan?apaan?" lima orang yang duduk di sana memasang telinga mereka baik-baik. Termasuk diantaranya Jaja.
"Gue denger, Pak Malik bakal ngelamar Bu Yasmin."
Huk! Huk!
Jaja tersedak krupuk yang tengah ia kunyah. Yah, berhubung tanggal tua, emaknya hanya membawakan bekal nasi putih, telur ceplok dan kerupuk bubur ayam.
"Pelan, Ja. Lu mah, makan kaga pernah bener dah. Kalau ga keselek tulang, keselek krupuk," ujar Nanang sambil tertawa, tetapi tangannya menyodorkan gelas air putih kepada Jaja. Jaja meminumnya perlahan.
"Jangan sembarangan, Nang. Masih berkabung kali Bu Yasmin."
"Janda anyar, Ja. Wajar jadi inceran. Bu Yasmin cantik, umur baru dua puluh sembilan, kaya, berpendidikan. Yah, pasti udah jadi inceran para lelaki."
"Bener juga ya, ck. Semoga Bu Yasmin menolak Pak Malik," gumam Jaja tanpa ia sadari.
"Aciieee...ada ga rela nih kayaknya," ledek Juna kini, yang lain semakin menimpali yang tidak-tidak. Jaja bersungut, memilih meninggalkan teman-temannya.
Kesedihan masih menyelimutinya, bahkan setiap hari ia menyesali keteledorannya lupa menelepon suaminya siang itu. Biasanya, setiap satu jam sekali, ia menelepon suaminya, untuk menanyakan keadaannya. Hal itu selalu ia lakukan, saat ia sudah mulai aktif kembali memimpin pabrik tas kepunyaan mereka.
Namun, siang itu ia terlupa, karena sedang meeting dengan salah satu pemegang saham salah satu mall di Jakarta. Terlalu asyik hingga satu jam kemudian, bik Narsih menelepon dan mengatakan bahwa suaminya sudah tidak sadarkan diri.
Air matanya masih terus berlinang bila mengingatnya. Dalam sholat ia berdoa agar diberi keikhlasan, namun sangat susah. Rasa penyesalan, rasa sayang, cinta dan sedih itu menumpuk jadi satu.
Yasmin bahkan tidak bisa tidur kembali di kamarnya, Kenangan akan suaminya begitu lekat. Arman adalah seniornya di kampus, mereka bertemu di kampus. Yasmin memang sudah sedari awal menyukai Arman saat ada kegiatan ospek kampus. Hingga suatu hari mereka dipertemukan sampai akhirnya menikah dan memiliki Reza.
Setelah kepergian suaminya, Yasmin memilih tidur bersama Reza. Ia tidak akan sanggup melewati malam tanda sosok Arman di sampingnya.
"Amih, nangis lagi?" Reza masuk ke dalam kamarnya. Masih dengan seragam sekolah, melihat amihnya bersedih. Yasmin menoleh pada anak semata wayangnya, memeluk anak lelaki itu yang sedikit bau keringat.
"Mandi dulu, Bang. Bau acem!" Yasmin berseloroh, ia menutup hidungnya, seakan tidak tahan dengan aroma tubuh Reza.
"Amih, tadi pagi tebak abang ketemu siapa?"
"Tidak tahu, emangnya abang tadi ketemu siapa?" tanya Yasmin ingin tahu, jemari lentiknya, membuka satu persatu kancing baju sekolah Reza.
"Ketemu abang yang jatuh di rumah waktu itu!" pekik Reza sambil terkekeh.
"Siapa? Amih lupa deh."
"Itulah Amih, yang nyungsep di depan Amih dan Abang, waktu papa meninggal."
"Ohh...iya, Amih ingat. Abang ketemu di mana?"
"Dekat sekolah Abang, Mih."
"Oh...gitu, trus?"
"Abang Jaja cuma senyum, trus tos. Trus pergi. Lucu, Mih. Sepatunya lain sebelah. Hahahahaha. " Reza tertawa diakhir ceritanya.
Anak lelaki itu berjalan telanjang, ke arah kamar mandi yang berada di dalam kamarnya.
Meskipun terlahir sebagai cucu dan anak orang kaya, sikap Reza sangatlah sederhana dan lucu. Tidak sombong dan sering berbagi pada teman-temannya.
Yasmin merapikan kemejanya dan riasannya, ia bersiap berangkat ke pabrik sore ini. Sudah selesai masa iddahnya sebagai janda yang ditinggal meninggal suaminya. Saatnya melanjutkan hidup dan dia harus kuat dan semangat, karena ada Reza yang kini sepenuhnya menjadi tanggung jawabnga. Walaupun tiada yang tahu, seberapa hancur dan sedihnya hati Yasmin saat ini.
Reza keluar dari kamar mandi. "Amih, tolong handuk. Abang lupa!" ujar Reza sambil menyeringai, anak lelaki kecil itu, sudah berdiri di depan kamar mandi dengan tubuh basah kuyup.
Yasmin menghampiri anaknya sambil membawa handuk, kemudian dengan sabar dan sambil berceloteh ringan, ia memakaikan baju rumah untuk Reza.
"Amih siang ini ke pabrik ya, Za. Abang sama Bik Narsih ya mainnya."
"Oke, tapi Amih janji ga boleh lembur!" Reza mengangkat jari kelingkingnya. Menanti kaitan jari kelingking cantik milik ibunya.
"Janji."
Hiruk-pikuk pabrik terdengar riuh, saat mengetahui Bu Yasmin kembali ke kantor siang ini. Ada yang terlihat sangat senang, ada juga yang masih merasa iba.
Pak Malik keluar dari lift, lelaki tampan yang berusia matang itu, tengah berjalan dengan penuh semangat, menyambut kedatangan bu Yasmin.
Langkah anggun Yasmin memasuki area pabrik, hentakan sepatu vantofelnya terdengar ringan, semakin mendekat ke ruang produksi. Tersenyum ramah kepada semua karyawan yang menyapanya dengan hormat.
Jaja yang baru saja kembali dari kamar mandi, tidak menyadari kedatangan Yasmin. Ia berjalan santai ke lorong biasa, tempat ia bertugas yaitu menjalankan mesin untuk menjahit tas-tas tersebut.
Jaja melirik sekilas wajah Pak Malik, yang sumringah berjalan keluar dari lift.
Huk! Huk!
Entah apa yang membuat tenggorokan Jaja tiba-tiba gatal? ia terus saja terbatuk-batuk hingga membuat langkah pak Malik berhenti. Lalu menoleh ke samping.
"Kamu kenapa?sakit?"
"Bukan, Pak. Nangis!"
Jaja kembali terbatuk, ia menepuk-nepuk dadanya agar rasa gatal di tenggorokannya berhenti, namun masih terus saja terbatuk-batuk.
Malik hanya menggelengkan kepalanya, ada-ada saja pikirnya.
"Ada apa ini?" tanya suara yang sangat tidak ingin di dengar oleh Jaja. Yasmin menghampiri Malik dan juga Jaja yang masih terus terbatuk.
Uek!
Jaja muntah tiba-tiba.
Yasmin menutup matanya, saat Jaja memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Jijik sekali dan tidak sopan.
"Pak Malik, kalau karyawan sakit suruh ke klinik depan saja. Jangan menyebar virus di sini. Jorok banget lagi, pakai muntah segala. Bersihkan!" Ujar Yasmi tegas sekaligus ketus pada Jaja. Sebelum kakinya melangkah pergi dari sana. Yang diikuti oleh pak Malik.
Seandainya saat ini ada pintu doraemon, tentu dia sudah pindah ke bulan saja. Tidak sanggup rasanya, berkali-kali membuat perbuatan memalukan di depan bos wanitanya ini.
"Makasih, Nang," ujar Jaja saat menerima air mineral hangat yang dibawakan Nanang. Mata Jaja melotot kaget melihat muntahan di lantai.
"Lo muntah?"
"Iya, dan itu di depan Bu Yasmin, Nanang. Ya Allah, gue pengen berhenti kerja aja kalau begini, Nang," ucap Jaja sedih, lalu ia meminum air yang diberikan Nanang.
Yasmin masuk ke dalam ruangannya. Diikuti oleh Malik. Meskipun masih dalam suasana berkabung, namun Yasmin mencoba profesional, apalagi selama tiga bulan ia tidak ke pabrik, laporan keuangan banyak yang tidak sinkron. Ia tidak ingin menuduh siapapun, dia hanya ingin segera mengetahui kesalahannya ada dimana.
"Laporan keuangan tiga bulan belakangan, email ke saya ya, Pak," ujar Yasmin sambil menyalakan laptopnya, blazer yang ia kenakan. Ia sampirkan di punggung kursi kebesarannya.
"Baru juga masuk, Yas. Santai dululah!"
"Bagaimana mau santai?jika laporan yang saya terima, tidak sesuai dengan data yang saya pegang."
"Mmm...oke, oke. Saya akan minta Kamal untuk email ke kamu."
"Mmm...saya mau bicara sesuatu," ujar Malik pelan, suaranya terdengar sedikit ragu. Yasmin yang baru saja fokus pada laptopnya, akhirnya menoleh pada Malik. Wajah Malik terlihat tegang.
"Iya silahkan! ada apa?"
"Mmm...tapi kamu jangan tersinggung ya?"
"Iya, ada apa sih?" kening Yasmin sampai bertaut, menanti apa yang akan Malik utarakan.
"Bagaimana kalau saya menggantikan posisi almarhum Arman di hati kamu?"
****
"Mmm...saya mau bicara sesuatu." ujar Malik pelan, suaranya terdengar sedikit ragu. Yasmin yang baru saja fokus pada laptopnya, akhirnya menoleh pada Malik. Wajah Malik terlihat tegang."Iya silahkan!ada apa?""Mmm...tapi kamu jangan tersinggung ya?""Iya, ada apa sih?" kening Yasmin sampai bertaut, menanti apa yang akan Malik utarakan."Bagaimana kalau saya menggantikan posisi almarhum Arman di hati kamu?"****Suasana ruangan Yasmin mendadak hening. Yasmin nampak cukup syok dengan apa yang baru saja ia dengar. Malik adalah teman dekat suaminya, lelaki yang juga menyukai Yasmin sejak bangku kuliah. Meskipun Malik dua tahun lebih senior dari Arman, namun mereka dekat karena sama-sama aktifis pendaki gunung.Ternyata hingga saat ini, Malik belum juga move on dari Yasmin. Terbukti, sampai saat ini ia masih single. Dan lelaki di depan Yasmin ini, sedang menatapnya dengan penuh takjub."Maaf, Mas. Jika tidak ada hal penting lainnya untuk dibicarakan, lebih baik mas Malik kembali ke ruanga
Jaja mandi terburu-buru setelah mendengar ucapan bapaknya, yang akan menjual sepeda butut miliknya. Suara bu Ambar, ibunya Jaja tidak terdengar, padahal sedari tadi Jaja memanggil-manggil ibunya.Masih menggunakan handuk saja, Jaja berlari ke depan rumah kontrakannya. Benar saja, sepeda butut miliknya sudah tidak ada di teras. Wajahnya berubah kesal dan marah, dengan serampangan ia memakai sendal dan pergi menyusul tempat biasa bapaknya berjudi dan mabuk-mabukan.Tak dipedulikannya kekehan tetangga melihatnya bertelanjang dada. Malah mereka seakan mendapat tontonan gratis dari lelaki kampung yang lumayan tampan. Perut rata dan aroma sabun serta sampo sehabis mandi, membuat ibu-ibu yang sedang berada di depan rumahnya, melongo melihat Jaja berjalan terburu-buru."Seksi amat, Ja. Ga dingin itu!" celetuk salah satu tetangga Jaja."Coba laki gue, perutnya kayak Jaja." Celetuk yang lainnya."Duh, gue gerah mak, liat perut Jaja."Dan entah apa lagi godaan dari para tetangga yang rata-rata i
Suara yang keluar dari arah belakang Jaja berdiri, tentu saja membuat karyawan yang berada tidak jauh dari tempat Jaja menoleh, bahkan mereka ikut melotot kaget seperti bu Yasmin dan Jaja. Jaja sendiri, sudah menutup pantatnya dengan tangan kiri, namun bau semerbak itu telanjur melayang di udara dan ditangkap oleh indera penciuman setiap orang yang ada disana.Kepala Yasmin saja sampai sempoyongan dan perutnya bergejolak, ia berusaha mati-matian menahan mual karena bau busuk yang keluar dari pantat salah satu keryawannya.Teman-teman Jaja tidak berani tertawa, karena masih ada bos mereka yang menatap tajam pelaku penyebaran bau busuk.Rahang bu Yasmin mengeras marah, karyawan yang sangat kurang aja, pikirnya. Tangannya yang putih, sedang menutup hidung sekaligus mulutnya.Jaja sudah menunduk malu, bahkan sangat malu. Ya Allah, Jaja rasanya ingin mati saja saat ini. Air matanya sudah menggenang, tanda ia benar-benar dalam keadaan tidak ada harga dirinya lagi."Kamu ke ruangan saya seka
Pagi yang cerah, matahari sudah tampil sangat cantik pada pukul tujuh pagi. Disebuah gang kecil, seorang ibu sedang menjemur bayinya penuh suka cita. Tidak jauh dari sana, seorang wanita paruh baya, menjemur ibunya yang sudah sepuh, duduk di kursi roda, sambil berbincang dan memijat lembut tangan wanita sepuh itu. Mata mereka melihat ke arah ujung gang buntu itu, dimana ada tumpukan warga yang cukup ramai.Warung nasi uduk dan lontong sayur yang ramai didatangi warga, apalagi masih baru. Dan rasanya lumayan enak. Ialah bu Ambar, ibu dari Jaja yang berjualan nasi uduk, lontong sayur dan aneka gorengan. Lelaki muda yang sebenarnya memiliki wajah tampan tapi tidak terurus itu, ikut melayani tetangga yang membeli sarapan di warung nasi uduk ibunya. Walaupun hanya beralaskan meja yang sedikit lagi rubuh, namun bu Ambar dan Jaja tetap semangat melayani pembeli."Jaja ga kerja?" Tanya seorang wanita muda yang usianya tidak jauh dari Jaja."Kerja, May. Nanti jam delapan berangkat." Sahutnya s
Reza masih saja menunduk. Ia tidak berani menatap wajah ibunya yang saat ini sepertinya sedang tidak suka dengan yang tadi dia lakukan. Berkali-kali Yasmin menarik nafas panjang, ia harus menyusun kalimat yang tepat dan mudah dipahami oleh anak seusia Reza."Kenapa Abang tadi dorong amih?""Maaf amih," sahut bibir mungil Reza, masih sambil menunduk."Tidak boleh seperti itu lagi ya, Bang!"Reza mengangguk. Kali ini ia mencoba melihat wajah ibunya yang sudah terlihat lelah."Abang kesepian, abang mau punya teman, abang mau punya adik," ucap Reza dengan wajah sedih. Yasmin terperangah dengan ucapan anak lelakinya."Abang bosan main sama oma, opa, kakek, nenek, Mba Narsih. Abang bosan!"Kali ini wajah Reza cemberut. Yasmin mendekati Reza lalu memeluknya."Kan ada adik Sarah, adik Naomi.""Abang mau adik dari perut Amih." Reza menunjuk perut Yasmin.Mata Yasmin berkaca-kaca, sebelum suaminya sakit. Ia sudah membuka alat kontrasepsi IUD agar ia segera diberi keturunan lagi. Namun, baru dua
Yasmin dan Jaja kini duduk di ruangan Maria. Suasana pagi yang awalnya ceria, mendadak panas saat Yasmin menarik Jaja naik ke ruangan Maria. Bahkan Maria dan chef Rahman yang sedang asik berdiskusi, ikut terusir dari ruangan."Ada apa sih?" Tanya Maria pada Faisal. Wajahnya masih kebingungan, saat turun dari lantai dua ruangannya.Faisal hanya mengangkat bahunya tidak paham."Emang Yasmin kenal dengan Jaja? Jaja kan baru berapa hari kerja." Tanya Maria lagi pada Faisal, lagi-lagi Faisal mengangkat kedua bahunya sambil mencebik."Sakit bahu lu ya, Sal. Dari tadi ditanya cuma angkat bahu. Udah sana ke dapur!" Titah Maria dengan wajah sewot.Sementara itu, di ruangan Maria. Yasmin tengah duduk dengan wajah tegang. Ia menatap Jaja dengan tajam, lelaki di depannya ini masih berdiri dengan menundukan wajah."Kamu tahu kesalahan kamu apa?" Lantang suara Yasmin bertanya pada Jaja."Tahu, Bu. Soal nyamuk tua"."Siapa nyamuk yang kamu maksud?""Hewan serangga, Bu." sahut Jaja dengan polosnya,
Sejak kejadian memalukan dua hari yang lalu, Yasmin tidak pernah datang lagi ke resto. Rasa malu dan kesal yang sudah sampai ke ubun-ubun. Dimana dirinya telah tanpa sengaja jatuh di atas tubuh Jaja, karyawannya. Yang lebih memalukan lagi, lelaki brondong itu malah pingsan karena tertindih oleh tubuhnya yang montok.Yasmin menepuk-nepuk jidatnya, kenapa ingatan kejadian memalukan itu selalu saja datang di kepalanya?. Apa dia segendut itu? sehingga mampu membuat lelaki itu pingsan. Yasmin menoleh ke arah cermin yang tepat berada di depan ranjangnya. Mutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri.Sepertinya tidak gemuk apalagi gendut, dengan memiliki tinggi 170cm dan berat 65kilogram. Ia rasa ia hanya montok saja. Aah...pusing-pusing."Amih kenapa?pusing?" Tanya Reza saat melihat ibunya menepuk-nepuk kening di atas ranjang."Iya, Bang. Sedikit kok!" Sahut Yasmin, sambil menarik tangan Reza agar duduk di dekatnya."Ada apa sayang?""Abang mau beli buku, Amih. Buku dinosaurus.""Oh, gitu. Oke! Seka
Hening, tidak ada yang mengeluarkan suara dari kedua orang dewasa yang berdiri di dekat Reza ini. Bahkan seketika kepala Yasmin seakan berputar. Sedangkan Jaja dengan refleks memegang tengah celananya."Segini, nih!" Reza mengangkat sebelah lengannya ditekuk. Mata Yasmin melotot, ia hanya mampu menelan salivanya."Eh, kurang ... kurang ... segini." Reza mengangkat sebelah lagi lenganya, membawanya berdempetan. Kanan dan kiri.Yasmin dan Jaja semakin melotot. Yasmin yang air wajahnya berubah merah, berusaha menahan tubuhnya agar tidak limbung."Ehm ... kami permisi ya, Ja." Yasmin langsung menarik lengan Reza yang masih saja terangkat menirukan besarnya titit abang Jaja. Jaja hanya melongo tanpa mampu berkata-kata. Wajahnya sudah seperti atap gosong. Ya Allah malunya. Jaja memijat pelipisnya, berarti saat di toilet tadi, Reza melihat miliknya yang memang lebih gede dari ukuran asli indonesia."Dah, Abang Jaja." Reza melambaikan tangannya sambil tersenyum riang, langkahnya mengikuti Yas