Dian dan Yuni lebih dahulu sampai di kediaman keluarga almarhum bos mereka. Suasana duka masih terlihat sangat kental, para sanak famili juga masih silih berganti keluar masuk dalam kediaman keluarga almarhum Arman. Ada kurang lebih karangan bunga ungkapan duka cita yang dikirimkan oleh para relasi, sahabat dan keluarganya.
Dian memarkirkan motornya di samping sebuah pohon besar. Ada juga beberapa motor sudah terparkir disana. Siapa sih yang tidak kenal dengan kawasan Pondok Indah. Semua orang begitu familar dengan nama tersebut. Tidak ada rumah tipe tujuh puluh disana. Semua rumah terhiung ratusan meter.
"Jaja ke mana sih?lama bener!" Gerutu Dian sambil membetulkan posisi kerudungnya.
"Mampir dulu kali beli air, kasian haus karena gowes," Sahut Yuni ikut duduk di atas motor Dian.
"Eh, panjang umur lu, Ja. Baru disebutin udah nongol."
"Aamiin ya Allah. Semoga gue panjang umur." Jaja menyandarkan sepedanya di pohon besar. Matanya menatap jejeran karangan bunga yang memenuhi sepanjang jalan masuk menuju rumah bosnya.
"Orang kaya banget ya, almarhum. Kasian usianya pendek," ujar Jaja sambil melihat ke arah dua teman wanitanya.
"Iya, Ja. Kasian. Apalagi anak lelakinya tadi."
"Iya, benar. Gue rasanya pengen ikutan nangis," celetuk Yuni dengan mata berkaca-kaca.
"Oh, gue kirain. Lu pengen ikut dikubur juga, Yun."
Pletak!
"Sembarangan! Sepeda butut!" Yuni dengan kesal menepuk keras pundak Jaja.
"Biarin weeekk, dari pada kamu, rante kapal!"
"Ehh, malah berantem, sih! Ayo kita ke dalam!" Dian melerai Jaja dan Yuni, ketiganya masuk ke dalam pekarangan rumah. Dian dan Yuni yang masih malu-malu, ikut duduk di kursi bawah tenda yang sudah disediakan. Sedangkan Jaja masih dalam posisi berdiri, celingak-celinguk.
"Hei kamu, sini!" Teriak lelaki paruh baya, berwajah timur tengah, memanggil Jaja.
"Saya, Pak!" Jaja menunjuk dirinya. Lelaki paruh baya itu mengangguk. Dengan cepat, Jaja menghampirinya.
"Ada apa, Pak?"
"Kamu teman menantu saya?"
"Eh...bukan, Pak. Saya karyawannya almarhum, di pabrik tas," jawab Jaja sambil tersenyum.
"Oh begitu, ini saya mau minta-""
"Opa, tolong ambilkan layangan!" Teriak Reza pada lelaki paruh baya yang sedang bicara dengan Jaja. Anak kecil itu menunjuk layangan yang tersangkut di pohon besar, tempat sepeda Jaja bersandar.
"Opa ga bisa ambilnya, Bang. Minta tolong Om Heru, ya!"
Anak lelaki itu mengeleng, bahkan wajahnya seperti ingin menangis.
"Eh, jangan nangis, Dek, biar abang ambilin ya!"
"Emang kamu bisa?" tanya opa Reza yang menelisik Jaja dari ujung kaki sampai ujung rambut.
"Bisa, Pak, sebentar ya." Jaja pamit, ia berjalan ke arah pohon besar yang diikuti oleh Reza dan Opanya. Anak lelaki itu tersenyum, ia bahkan menyeringai kepada Jaja.
Jaja melepas sepatunya, terlihatlah kaos kaki bolong pada bagian jempolnya.
"Abang, kaos kakinya sobek ya?" Tanya Reza dengan suara lucu.
"Iya, Dek." Jaja menyeringai sambil melihat miris jempol kakinya yang munjul keluar. Bukan hanya sebelah, tapi keduanya.
Dengan mahir, Jaja memanjat pohon besar mengambilkan layangan untuk anak bosnya. Karena memang orang kampung, urusan manjat-memanjat serta berenang. Jaja jagonya, biasa manjat tembok, ngintipin anak tetangga mandi. Dan berenang di kali.
"Ini ya, Dek!" Teriak Jaja dari atas pohon, menunjukkan layangan pada Reza. Anak kecil itu bertepuk tangan kagirangan, bahkan ia melompat-lompat. Sang kakek, hanya mengulum senyum. Sambil mengusap sayang kepala cucunya.
"Aduh!" Jaja menggaruk tangannya gatal. Ia meraih, batang besar demi batang besar untuk kembali turun. Namun sayang, Jaja tidak hati-hati. Sehingga menginjak sarang semut rang rang.
"Aduh!" Pekiknya lagi, kini menggaruk tengkuknya. Cepat ia melompat karena sudah tidak tahan rasa gatal.
"Ini Dek." Ia memberikan layangan pada Reza. Kemudia memukul mukul pakaiannya, tangannya dan kepalanya. Jaja blingsatan karena gatal dan perih.
"Kamu kenapa?"
"Sepertinya digigit semut, Pak."
Anak lelaki itu memandang Jaja dengan kasian.
"Ayo, Bang. Ikut Eja." Reza menarik paksa tangan Jaja. Berjalan masuk ke dalam rumah.
"Eh, di sini saja, Dek. Abang ga papa, kok!" Jaja sungkan, ia menoleh pada kedua teman wanitanya yang sedang mengumpulkan sisa air mineral. Wajah dan badan Jaja sudah bental-bentol digigit semut. Kedua temannya menahan tawa. Merasa lucu dengan Jaja.
"Ada apa ini?" Suara renyah wanita yang baru saja menyandang status janda membuat jantung Jaja hampir saja melompat. Ia bahkan tidak berani menatap janda bosnya.
"Amih, abang ini digigit semut, karena sudah bantu Abang ambil layangan di atas pohon," terang Reza dengan pintarnya.
"Oh, gitu. Ke belakang aja dicuci setelah itu dikasih minyak oles," jawab Yasmin sambil melihat pria muda yang wajah dan tangannya pada bentol.
"Abang, masuk ya!" Pinta Yasmin pada putra semata wayangnya. Suaranya terdengar masih bergetar. Reza menerima tangan ibunya, lalu menoleh sebentar pada Jaja yang masih saja menggaruk.
Lelaki kecil itu tertawa, sambil memegang perutnya. "Abang lucu, aduh. Mukanya lihat itu!" Tunjuk Reza yang tidak tahan dengan wajah dekil Jaja berikut bentol yang menghiasinya.
"Makasih ya Abang, udah ambilkan abang Eja layangan. Namanya siapa?" tanya anak kecil itu dengan gemasnya.
"Abang Jaja"
"Wah nama kita sama, Bang." Reza memekik senang, ia meraih tangan Jaja lalu mencium punggung tangan Jaja.
"Terimakasih ya, Bang," ujar Reza, sebelum benar-benar masuk ke dalam rumahnya. Jaja hanya tersenyum sambil melambaikan tangan. Oleh salah seorang wanita muda, ia diarahkan untuk ke belakang. Mencuci wajah dan tangannya.
Berjalan melewati samping, tanpa sengaja, Jaja melewati jendela yang sedikit terbuka, dengan hati-hati Jaja melirik. Sepertinya ini kamar bosnya. Karena ada foto pernikahan cukup besar terpajang di dinding. Lagi-lagi Jaja mengagumi pasangan bosnya, lelaki yang tampan dan wanita yang sangat cantik. MasyaAllah ciptaan Allah. Gumamnya sambil terus berjalan ke arah belakang.
Setelah mencuci wajahnya dan tangannya. Ia mengelapnya dengan kain bersih yang diberikan oleh wanita tadi.
"Ini minyaknya, Mas. Borehin aja, nanti juga hilang!" Titah Bik Narsih sambil mengulurkan minyak obat kepada Jaja.
"Terimakasih, Teh."
"Setelah itu, tolong angkatin air mineral yang di sana ke dalam ya, Mas. Bolehkan?" Pinta bik Narsih sambil tersenyum.
"Eh, iya. Boleh, Teh," sahut Jaja bersemangat. Ia mulai menggosokkan minyak ke wajah, tangan dan lehernya. Setelah dirasa cukup, Jaja masuk ke dapur rumah keluara bosnya. MasyaAllah, dapur sama rumah gue, gedean dapurnya kali ya. Jaja bermonolog, ia mengangkat tiga kardus air mineral dibawanya satu persatu ke teras, lalu balik lagi ke dapur. Ia mengangkat lagi, lalu membawanya ke ruang tamu.
Ia melirik sekilas, Reza dan ibunya serta sanak saudaranya sedang berada di ruang tengah. Janda bosnya masih saja terlihat terisak. Ada Reza anaknya yag tiduran di pangkuan ibunya.
Kasian juga, cantik-cantik sudah jadi janda. Batin Jaja.
"Taruh di sini saja!" Seru Bik Narsih sedikit berteriak kepada Jaja, menunjukan meja yang terletak tidak jauh dari tempat berkumpul keluarga.
Lelaki itu mengangguk paham, lalu dengan penuh percaya diri dan semangat mengangkat kardus air mineral terakhir. Sedikit membungkuk, tanda permisi ia mulai melewati barisan ibu-ibu dan bapak-bapak yang sedang berbicara cukup serius.
Reza menoleh, ia memanggil Jaja dengan suara lucunya. "Bang Jaja." Jaja menoleh sambil menyeringai.
Bbukkk
"Allahu Akbar!" Pekik Yasmin kaget.
Jaja nyungsep tepat di depan Yasmin dan Reza. Wajah pucat dicampur rasa sakit, membuat ia tidak berani menatap orang di sekelilingnya. Ya Allah, malunya. Ia hanya menunduk. "Maaf, Bu." Ia hendak berdiri dengan susah payah.
Krrek
Ya salam, jahitan tengah celananya robek.
**
Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan di ballroom sebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman sekolah Amira, dan tentu saja belum lagi tamu dari pihak keluarga R
Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya. Bagaimana bisa?"Bang Reza, Om, Tante, jangan bin
Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan senyuman tersungging di bibirnya. Diraihnya tangan sang istri untuk duduk mendekat
Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertemu Amira. Sepertinya Amira yang masih malu-malu," ujar Reza deng
Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi. Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis."Papa baik-baik aja. Cuma agak lebay!" belu
Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira. Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Bohong dosa loh, Mira," balas Andini."Ish, gak percaya