Yasmin merasa begitu senang mendapatkan hadiah dari Jaja. Senang dan sedih bersamaan. Dipandanginya gelang mutiara lombok yang kini sudah melingkar di pergelangan tangan. Sangat cantik dan bagus. Ia tersenyum penuh haru. Jaja benar-benar mencintainya, seperti almarhum suaminya dulu mencintainya. Lalu apa yang harus ia lakukan sekarang, saat ia tidak tahu di mana Jaja berada? Haruskah ia mencarinya, tapi ke mana? "Amih, kenapa belum tidur?" tanya Reza yang terbangun dari tidurnya. Ini sudah jam satu dini hari, jamnya Reza ke kamar mandi untuk buang air kecil. Yasmin buru-buru mengusap air matanya agar tidak dilihat Reza, tetapi sayang sekali, putranya yang tampan dan pintar itu sudah melihat air mata amihnya yang kembali jatuh. Reza yang tidur di kasur single bagian atas, langsung duduk sambil menggosok matanya yang berat. Ia menoleh pada amihnya yang matanya masih saja sembab. "Eza mau pipis," kata anak lelaki itu turun dengan tergesa-gesa untuk ke kamar mandi. Selesai buang air, R
"Jo, gue lagi pengen makan baso di mana sih?" tanya Bu Ambar pada ayah biologis putranya. Jonathan yang sedang memusatkan perhatian pada ponsel pintarnya, langsung menoleh ke asal suara. Pria itu tersenyum. "Di sini tidak ada baso. Adanya baso saya, mau?""Gak lucu, Jo, dan aku gak minat juga. Palingan udah kisut. " Bu Ambar melirik sinis, sedangkan Jaja hanya bisa terkikik geli menyaksikan mama dan babenya seperti ABG tua yang saling cari perhatian. Lebih tepatnya, babehnya yang cari perhatian. "Ja, lu masuk gih, ini obrolan dua satu plus. Anak kecil gak boleh dengar. Otak lu nanti ternodai kalau denger babe lu ngomong." Jaja menggelengkan kepala. "Ma, rumah sebesar ini, gak ada tetangga, gak ada teman, masa saya harus di kamar terus. Bosen, Ma. Tadi saya ngintip di depan, apa ada pos yang bisa dipakai buat main gaplek, tapi gak ada." Bu Ambar dan Jonathan terbahak mendengar cerita berapa menderitanya Jaja karena tidak ada teman di lingkungan rumah super elit. "Di sini mana ada p
"Eza, nanti tunggu Amih jemput ya. Amih mau ke kantor teman Amih dulu. Jika Amih terlambat, pasti Amih kasih tahu Eza. Ponsel Eza ada sama Bu Nur ya." Reza mengangguk paham pesan Yasmin. Putranya mencium punggung tangan sebelum masuk ke dalam kelas. Ini adalah sekolah baru Reza. Masih sekolah swasta juga, tetapi jauh berbeda dari yang pertama. Bu Nur; selalu wali kelas Reza, begitu juga dengan kepala sekolah dan guru lain, menyambut putranya dengan sangat baik. "Bu Nur, saya titip Reza ya. InsyaAllah saya gak akan lama kalaupun terlambat.""Baik, Bu Yasmin. Ponselnya Reza saya simpan ya. Saat pulang nanti baru saya berikan." Yasmin mengangguk setuju. Lalu, ia pun berpamitan untuk segera meluncur ke kantor Rahmi. Teman kuliah yang saat ini bekerja sebagai manajer pengadaan di sebuah perusahaan konstruksi. Ia berharap usahanya kali ini berhasil. Lokasinya sangat jauh dari sekolah Reza, maupun rumah kontrakannya. Naik ojek online, ia dikenakan ongkos enam puluh lima ribu rupiah. Kuran
Empat tahun kemudian.Sore ini, hujan turun sangat deras. Pohon dan tanah sama-sama basah, seakan tak bosan menampung air kehidupan yang turun dengan sangat banyak. Petir dan kilat ikut bersahutan, saling sapa, membuat alunan irama yang dapat mendebarkan dada.Udara semakin syahdu menemani sore yang dingin, membuat orang lebih memilih diam di dalam rumah, dari pada harus terjebak di jalanan yang padat kendaraan dalam keadaan hujan deras."Mbak, beli kopi satu renceng," ujar seorang ibu berdiri dengan berteduhkan payung, tepat di depan warung klontongan sederhana milik Yasmin."Eh, iya. Adanya yang ini, gak papa?" tanya Yasmin saat menunjukkan gantungan kopi sachet yang ia tata di sebuah tali panjang."Iya ga papa. Yang penting ngopi, Mbak. Hujan euy, adem," sahut si ibu sambil menyeringai. Ia menyeka wajahnya yanh sedikit basah karena tetesan air hujan.Yasmin ikut tersenyum, lalu memberikan satu renceng kopi sachet pada wanita tersebut."Berapa, Mbak?""Kalau rencengan delapan ribu l
Jaja dan Bu Ambar baru saja turun dari penerbangan Barcelona. Yah, setelah empat tahun berlalu, Jaja memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Ia rindu suasana Jakarta, ia rindu makan pecel lele, dan juga jengkol balado. Ia juga ingin makan ketoprak malam, martabak telur, nasi goreng pete dan masih banyak yang lainnya.Hal kedua yang membuat ia harus pulang adalah, rasa rindu yang membuncah untuk seorang wanita bernama Yasmin. Biarlah tak apa hanya bisa memandangnya dari kejauhan, tetapi paling tidak, hatinya tidak tersiksa seperti ini, layaknya ada utang yang ia tinggalkan begitu saja.Sebenarnya, Jonathan tidak mengizinkan Jaja dan ibunya kembali ke Indonesia, ia ingin setelah Jaja selesai kuliah, bisa membantu usaha casino dan perdagangan senjata milik Jonathan.Yah, Babenya Jaja ternyata adalah seorang pengusaha casino dan juga senjata di Spanyol. Usahanya resmi karena memiliki izin usaha dari pemerintah setempat, namun tetap saja, Jaja dan Bu Ambar merasa sedikit tidak nyama
["Halo, ya, Jo."]["Apa kalian sudah sampai?"]["Tentu saja. Aku dan Jaja sudah di apartemen. Terima kasih untuk hadiahnya. Kamu baik sekali, Jo. Rasanya aku gak bisa balas semua ini."]["Kamu sudah mengandung anakku, membiarkan ia lahir dengan selamat dan merawatnya dengan baik. Aku yang berterima kasih, Ambar. Apa yang aku berikan tidak ada apa-apanya. Titip Jaja ya, kalau kalian ada masalah, langsung kabari saya. Ingat, Jaja masih ada kerjaan di club Bali dan Surabaya."]["Iya, Jo, nanti aku ingatkan Jaja. Sekarang anaknya lagi ke rumah Nanang."]["Oke, jaga diri ya."]Bu Ambar menatap sekeliling kamar yang kini ia tempati. Sungguh tidak pernah ada dalam mimpinya bisa tinggal, tidur dengan nyaman, memiliki banyak uang di rekening seperti sekarang ini. Apakah ini ada kaitannya bentuk balasan dari Tuhan, karena ia tidak menggugurkan kandungannya begitu tahu ia hamil. Ia juga melahirkan Jaja dengan selamat dan mencintai anak lelakinya itu walau begitu banyak ujian hidup yang datang me
Keduanya masih saling berpelukan erat, meluapkan kerinduan yang bagaikan lahar panas, siap meluluhlantakkan rasa sesak yang selama empat tahun ini sangat menyiksa. Tak peduli ada begitu banyak mata yang memperhatikan keduanya, isakan dan pelukan keduanya adalah bukti, bahwa cinta mampu membuatmu menjadi orang yang lupa diri. Jaja membiarkan Yasmin menumpahkan tangis harunya di dadanya, baju kaus yang basah pun tidak ia hiraukan. Tangan kirinya yang kekar, masih setia memeluk pinggang kekasihnya, sedangkan tangan kanan naik mengusap sayang kepala, kemudian turun membelai surai hitam pelipur lara. “Sudah, Bu. Jangan menangis lagi. Saya sudah di sini, saya tidak akan ke mana-mana,” ujar Jaja penuh kesungguhan. Yasmin merenggangkan pelukannya perlahan, masih menunduk tak sanggup menatap mata coklat indah milik Jaja yang bisa saya membuatnya terhipnotis. Dengan jari telunjuk kanannya, Jaja mengangkat dagu Yasmin yang basah oleh air mata. Namun, Yasmin masih menahannya, sungguh ia malu s
Jaja sudah duduk di lantai beralaskan karpet cukup tebal, di depannya sudah duduk dengan tegap Pak Miharja, ayah dari Yasmin. Lelaki paruh baya itu tengah memperhatikan Jaja dengan seksama, bahkan tanpa berkedip. Yasmin keluar dari dapur, membawakan tiga cangkir teh manis, serta kue bolu gulung yang baru saja semalam ia buat untuk cemilan papanya. Beda dengan Jaja terdahulu, Jaja yang sekarang tanpa sungkan memandang Pak Miharja penuh hormat. Senyumnya selalu ia berikan pada Reza yang kini sudaha duduk di sampingnya. Pakaian yang ia kenakan juga bagus dan mahal, Pak Miharja tahu itu, karena ia pernah memilikinya dahulu saat masih jaya.“Apa kabar, Ja?”“Sehat, Pak. Alhamdulillah.”“Kamu dari mana saja?”“Spanyol, Pak.”“Hah? Apa?!” pekik tiga orang yang duduk mengelilingi Jaja.Lelaki itu tertawa kecil, kemudian dengan perlahan menceritakan asal muasal mengapa ia bisa ada di Spanyol. Bahkan sampai empat tahun lamanya. Pak Miharja yang mendengarkan hampir tak percaya, begitupun Yasmin