Pagi yang cerah, matahari sudah tampil sangat cantik pada pukul tujuh pagi. Disebuah gang kecil, seorang ibu sedang menjemur bayinya penuh suka cita. Tidak jauh dari sana, seorang wanita paruh baya, menjemur ibunya yang sudah sepuh, duduk di kursi roda, sambil berbincang dan memijat lembut tangan wanita sepuh itu. Mata mereka melihat ke arah ujung gang buntu itu, dimana ada tumpukan warga yang cukup ramai.
Warung nasi uduk dan lontong sayur yang ramai didatangi warga, apalagi masih baru. Dan rasanya lumayan enak. Ialah bu Ambar, ibu dari Jaja yang berjualan nasi uduk, lontong sayur dan aneka gorengan. Lelaki muda yang sebenarnya memiliki wajah tampan tapi tidak terurus itu, ikut melayani tetangga yang membeli sarapan di warung nasi uduk ibunya. Walaupun hanya beralaskan meja yang sedikit lagi rubuh, namun bu Ambar dan Jaja tetap semangat melayani pembeli.
"Jaja ga kerja?" Tanya seorang wanita muda yang usianya tidak jauh dari Jaja.
"Kerja, May. Nanti jam delapan berangkat." Sahutnya sambil memasukkan bumbu kacang ke dalam plastik kecil. Karena Maya, teman sekaligus tetangganya membeli aneka gorengan dan minta dibungkusin bumbu kacang.
"Sepuluh ribu, May!" Jaja memberikan bungkusan gorengan itu pada Maya, wanita itu tersenyum lalu memberikan uang sepuluh ribu kepada Jaja.
"Hari minggu besok kerja ga, Ja?" Tanya Maya malu-malu.
"Gak tahu juga, May. Kenapa emang?"
"Temenin ke toko buku yuk!"
Jaja nampak berfikir. Sudah lama sekali ia tidak ke toko buku, karena tidak sempat dan terlalu lelah bekerja di pabrik.
"Boleh, deh! Kalau aku libur, aku kabari ya!" Jaja tersenyum, begitu juga dengan Maya. Hati gadis itu berbunga-bunga, tatkala Jaja mau menemaninya ke toko buku. Jujur sudah lama ia menaruh hati pada Jaja, namun ia ragu dan tidak percaya diri. Hari minggu nanti, ia berharap awal kedekatannya dengan Jaja dimulai. Ia akan membuat Jaja nyaman dan suka pada dirinya.
"Kesambet apa ya?anak perawan dari tadi cengengesan sendiri." Celetuk bu Ambar yang baru saja keluar dari kontrakannya.
"Eh, ibu. Ngga papa kok, Bu. Saya pamit ya, Jaja makasih ya!"
"Iya, sama-sama. Hati-hati di jalan!" Seru Jaja sambil melambaikan tangan.
"Jangan terlalu dekat sama Maya, bapaknya ga bener!" Oceh bu Ambar sambil menghitung uang yang ada di dalam dompet jualan.
"Lha kembar, Mak! Sama kayak yang onoh, noh!" Mata Jaja menyipit kepalanya menoleh ke dalam kontrakannya. Pak Jamal masih tertidur pulas, dengan mulut terbuka. Bapak sambung Jaja itu baru saja pulang menjelang shubuh dalam keadaan mabuk berat. Bahkan lelaki tua itu muntah di atas kasurnya sendiri. Sehingga ia pindah tidur di depan.
"Iya sih ya. Mereka sepaket, temen mabok temen judi. Cari pacar yang bener, Ja. Baik, bibit bobot dan bebetnya."
"Siapa yang mau jadi pacar Jaja sih, Mak? Lagian, Jaja mau cari istri, ga pake pacaran."
"Mamah, Ja. Bibir lu gue slepet juga nih. Emak lagi, emak lagi!" Bu Ambar memoyongkan bibirnya, hampir saja centong nasi uduk melayang mengenai kepala Jaja. Lelaki itu terkekeh, karena merasa berhasil menggoda ibunya.
"Udah, Ah. Jaja mau siap-siap dulu."
"Lu sip dua ya?"
"Iya, Mak." Sahut Jaja sambil menggaruk rambutnya. Ia belum berani bilang kepada ibunya, kalau ia dipecat dari pabrik.
*****
Yasmin memasuki ruang produksi, seperti biasa, ia menyapa ramah semua karyawan yang tengah sibuk pada tugasnya masing-masing. Di belakangnya sudah ada Malik dengan tampilan memukaunya, berharap Yasmin mau naksir dirinya.Entah apa yang membuat Yasmin menoleh pada bagian jahit. Lelaki itu benar-benar sudah tidak ada, syukurlah. Ada Yuni dan salah seorang karyawan lain yang bertugas mengendalikan mesin besar tersebut, menggantikan Jaja.
"Kamu sudah sarapan?" Tanya Malik saat mereka berjalan memasuki lift.
"Sudah." Sahut Yasmin singkat, tanpa menoleh pada Malik.
"Makan siang nanti, kita ke cafe sebrang ya!" Ujar Malik, terus saja berusaha meminta perhatian pada Yasmin. Kali ini janda muda itu menoleh. Mereka masih berada di dalam lift.
"Sudah ya mas Malik. Hentikan semua omong kosong ini. Hubungan kita hanya sebatas rekan kerja, bukan yang lain, dan jangan pernah berharap lebih dari ini."
Tiiing...
Pintu lift terbuka, Yasmin terlebih dahulu berjalan meninggalkan Malik yang masih menatapnya dengan tatapan kecewa.
"Pagi, Bu!" Sapa Renita, sambil berdiri dari duduknya. Menyapa ramah bos cantiknya, yang pagi ini berwajah masam.
"Pagi, Nita!" Yasmin menyahut, garis bibirnya tipis, tertarik sedikit ke atas.
"Bawakan berkas yang kemarin saya minta!" Pinta Yasmin pada Renita, sebelum ia menutup pintu ruangannya.
Kasak-kusuk di lantai produksi mencuri perhatian Yasmin. Ia menoleh ke lantai bawah, lewat kaca transparan dari ruangannya. Ada keramaian apa sih?"
Tok..tok...
"Permisi, Bu!" Renita datang dengan tumpukan berkas laporan keuangan.
"Ada apa di bawah, Ta?"
"Oh, itu, Bu. Mesin macet lagi, sudah enam kali dengan hari ini." Renita meletakkan tumpukan kertas itu di atas meja bosnya.
"Kenapa saya tidak tahu?cepat hubungi teknisi kita, minta segera diperbaiki."
"Teknisinya sudah ibu pecat!"
Yasmin yang tadinya masih melihat ke lantai bawah, kita berbalik badan menatap Renita.
"Maksud kamu?"
"Iya, Bu. Karyawan yang kemarin ibu pecat, selain dia megang mesin, dia juga teknisinya, Bu. Dia terus yang benerin kalau ada alat rusak, Si Javier, atau sering dipanggil Jaja." Renita memberi penekanan pada nama Jaja.
Yasmin menutup mulutnya tidak percaya.
"Kamu serius?" Yasmin masih bertanya lagi.
Renita mengangguk pasti.
"Ya ampun, saya ternyata banyak tidah tahu kondisi pabrik yang sebenarnya. Cepat ke ruangan pak Malik, minta dia datangkan tehnisi."
"Baik, Bu. Ada lagi?"
"Bawakan data Jaja!"
Renita meninggalkan ruangan Yasmin sambil tersenyum.
"Harusnya sebelum mecat anak buah, baca dulu data track recordnya, jangan asal pecat aja." Gumam Renita dalam hati, kakinya melangkah ke ruangan pak Malik.
****
Jaja mulai bekerja di restoran hari ini, setelah briefing sebentar. Jaja akhirnya tahu tugasnya, selain sebagai pelayan, ia juga bertugas mencuci piring. Tidak apalah, pikir Jaja. Asal pekerjaan halal dan gaji yang ia peroleh cukup. Teman-teman restoran cukup ramah, semoga Jaja cocok bekerja disini. Bos restauran seorang wanita cantik bernama Maria, cukup ramah pada Jaja dan juga karyawan yang lainnya."Meja nomor tiga, Ja!" Ujar chef dari balik bar.
Jaja membawa nampan berisi gurame asam manis dan dua nasi putih ke meja yang disebutkan tadi.
"Ini pesanannya, selamat menikmati!" Jaja tersenyum pada sepasang kekasih yang duduknya berdekatan.
"Terimakasih!" Sahut keduanya. Jaja kembali ke bar, menanti menu lain yang harus ia antar.
Pukul sepuluh malam, Jaja akhirnya selesai mecuci piring. Tersisa tiga orang temannya yang masih menyapu dan merapikan meja.
"Lu pulang naik apa, Ja?" Tanya Ahmad teman barunya.
"Naik bis, trus jalan sedikit. Ga terlalu jauh kok!"
"Mau nebeng gue?kebetulan gue searah nih. Lu di kebayoran baru, kan?"
Jaja mengangguk. "Ga usah, Mad. Gue biasa naik bis kok."
"Ya udah kalau gitu, gue duluan!" Ahmad menepuk pundak Jaja.
Hari yang cukup berat buat Jaja. Menyesuaikan pekerjaan yang bukan bidangnya itu, cukup sulit juga. Namun ia harus tetap belajar. Agar bos Maria, puas dengan kinerja dirinya.
Sambil berjalan menyusuri trotoar, ia menuju rumahnya. Bis malam hari memang bikin horor, walaupun penumpangnya banyak. Jaja memutuskan berhenti jauh dari jarak yang seharusnya. Ia ingin membeli kue putu kesukaan ibunya. Yang berada tidak jauh dari tempat ia berhenti.
"Amih, itu kayak bang Jaja, deh!" suara kecil milik Reza, membuyarkan lamunan Yasmin akan suaminya. Yasmin baru saja menjemput Reza dari rumah orangtuanya, anak kecil itu tadiannya hendak menginap di rumah Opanya, Namun entah kenapa ia menelepon Yasmin dan minta segera dijemput. Reza masih melihat keluar dari kaca mobil.
"Jaja siapa, Nak? Namanya seperti amih kenal." Sahut Yasmin sambil menoleh pada antrian orang di sebuah kedai kue. Mobil yang ia kendarai melambat.
"Amih, berhenti! Abang mau kue itu!" Tunjuk Reza pada kedai yang dimaksud. Yasmin pun menghentikan mobilnya. Memarkirkannya tidak jauh dari kedai tersebut.
"Abang disini aja, biar amih yang turun."
"Ga mau, abang takut. Lagian abang mau ketemu bang Jaja, Amih!"
Duh, kenapa gue harus berurusan dengan yang namanya Jaja sih. Gak mungkin orang yang samakan. Yasmin menuntun tangan mungil Reza, menuju kedai kue putu. Jaja duduk menatap penjual kue putu yang sedang membungkus pesanannya.
"Dooorrr!!" Reza menepuk punggung Jaja.
"Sempak janda...ehh alah..!" Jaja mengusap dadanya, ia kaget setengah mati, sehingga latahnya pun tidak terkontrol. Namun begitu menoleh ke belakang. Yasmin memutar bola mata malasnya. Ya ampun anak muda jaman sekarang, latahnya pasti mesum.
"Halo abang Jaja!" Sapa Reza sambil memperlihatkan dua gigi depannya yang ompong.
"Hhaa...haaalo...Reza!" Sahut Jaja gugup, ia tidak berani menatap wajah wanita yang tangannya sedang menggandeng Reza.
"Kamu...!" Yasmin mendekatkan wajahnya pada Jaja, agar bisa melihat wajah lelaki ini dengan jelas. Ini bukannya karyawan yang kemarin ia pecat.
Bbuuggh...
Reza mendorong tubuh Yasmin ke depan, daaan...
Cuuup...
Yasmin dan Jaja melotot. Bibir Yasmin baru saja mendarat di kening Jaja.
****
Dengan sempoyongan Jaja berjalan ke rumahnya, tubuhnya mendadak menggigil."Ya Allah, lu kenapa, Ja?" Tanya bu Ambar khawatir. Saat Jaja masuk ke dalam rumah dengan wajah pucat dan tubuh kedinginan.
"Dinggiiiinnn, Mak!"
"Mamah, Javier. MAMAH!"
"Eh, iya. Lupa. Dingin, Mah."
Jaja duduk di kursi sambil memeluk kedua kakinya. Bu Ambar dengan sigap membawakan air putih hangat dan tolak angin. Lalu ia berikan kepada Jaja.
"Lu bukan habis dicium kuntilanak,kan?"
****
Reza masih saja menunduk. Ia tidak berani menatap wajah ibunya yang saat ini sepertinya sedang tidak suka dengan yang tadi dia lakukan. Berkali-kali Yasmin menarik nafas panjang, ia harus menyusun kalimat yang tepat dan mudah dipahami oleh anak seusia Reza."Kenapa Abang tadi dorong amih?""Maaf amih," sahut bibir mungil Reza, masih sambil menunduk."Tidak boleh seperti itu lagi ya, Bang!"Reza mengangguk. Kali ini ia mencoba melihat wajah ibunya yang sudah terlihat lelah."Abang kesepian, abang mau punya teman, abang mau punya adik," ucap Reza dengan wajah sedih. Yasmin terperangah dengan ucapan anak lelakinya."Abang bosan main sama oma, opa, kakek, nenek, Mba Narsih. Abang bosan!"Kali ini wajah Reza cemberut. Yasmin mendekati Reza lalu memeluknya."Kan ada adik Sarah, adik Naomi.""Abang mau adik dari perut Amih." Reza menunjuk perut Yasmin.Mata Yasmin berkaca-kaca, sebelum suaminya sakit. Ia sudah membuka alat kontrasepsi IUD agar ia segera diberi keturunan lagi. Namun, baru dua
Yasmin dan Jaja kini duduk di ruangan Maria. Suasana pagi yang awalnya ceria, mendadak panas saat Yasmin menarik Jaja naik ke ruangan Maria. Bahkan Maria dan chef Rahman yang sedang asik berdiskusi, ikut terusir dari ruangan."Ada apa sih?" Tanya Maria pada Faisal. Wajahnya masih kebingungan, saat turun dari lantai dua ruangannya.Faisal hanya mengangkat bahunya tidak paham."Emang Yasmin kenal dengan Jaja? Jaja kan baru berapa hari kerja." Tanya Maria lagi pada Faisal, lagi-lagi Faisal mengangkat kedua bahunya sambil mencebik."Sakit bahu lu ya, Sal. Dari tadi ditanya cuma angkat bahu. Udah sana ke dapur!" Titah Maria dengan wajah sewot.Sementara itu, di ruangan Maria. Yasmin tengah duduk dengan wajah tegang. Ia menatap Jaja dengan tajam, lelaki di depannya ini masih berdiri dengan menundukan wajah."Kamu tahu kesalahan kamu apa?" Lantang suara Yasmin bertanya pada Jaja."Tahu, Bu. Soal nyamuk tua"."Siapa nyamuk yang kamu maksud?""Hewan serangga, Bu." sahut Jaja dengan polosnya,
Sejak kejadian memalukan dua hari yang lalu, Yasmin tidak pernah datang lagi ke resto. Rasa malu dan kesal yang sudah sampai ke ubun-ubun. Dimana dirinya telah tanpa sengaja jatuh di atas tubuh Jaja, karyawannya. Yang lebih memalukan lagi, lelaki brondong itu malah pingsan karena tertindih oleh tubuhnya yang montok.Yasmin menepuk-nepuk jidatnya, kenapa ingatan kejadian memalukan itu selalu saja datang di kepalanya?. Apa dia segendut itu? sehingga mampu membuat lelaki itu pingsan. Yasmin menoleh ke arah cermin yang tepat berada di depan ranjangnya. Mutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri.Sepertinya tidak gemuk apalagi gendut, dengan memiliki tinggi 170cm dan berat 65kilogram. Ia rasa ia hanya montok saja. Aah...pusing-pusing."Amih kenapa?pusing?" Tanya Reza saat melihat ibunya menepuk-nepuk kening di atas ranjang."Iya, Bang. Sedikit kok!" Sahut Yasmin, sambil menarik tangan Reza agar duduk di dekatnya."Ada apa sayang?""Abang mau beli buku, Amih. Buku dinosaurus.""Oh, gitu. Oke! Seka
Hening, tidak ada yang mengeluarkan suara dari kedua orang dewasa yang berdiri di dekat Reza ini. Bahkan seketika kepala Yasmin seakan berputar. Sedangkan Jaja dengan refleks memegang tengah celananya."Segini, nih!" Reza mengangkat sebelah lengannya ditekuk. Mata Yasmin melotot, ia hanya mampu menelan salivanya."Eh, kurang ... kurang ... segini." Reza mengangkat sebelah lagi lenganya, membawanya berdempetan. Kanan dan kiri.Yasmin dan Jaja semakin melotot. Yasmin yang air wajahnya berubah merah, berusaha menahan tubuhnya agar tidak limbung."Ehm ... kami permisi ya, Ja." Yasmin langsung menarik lengan Reza yang masih saja terangkat menirukan besarnya titit abang Jaja. Jaja hanya melongo tanpa mampu berkata-kata. Wajahnya sudah seperti atap gosong. Ya Allah malunya. Jaja memijat pelipisnya, berarti saat di toilet tadi, Reza melihat miliknya yang memang lebih gede dari ukuran asli indonesia."Dah, Abang Jaja." Reza melambaikan tangannya sambil tersenyum riang, langkahnya mengikuti Yas
Nasi goreng lengkap dengan telur dadar dan sosis bakar, sebagai menu sarapan Yasmin dan juga Reza, sudah tersedia di atas meja. Seteko teh manis hangat tertata di samping kerangjang buah di atas meja makan. Anak lelaki yang berusia lima tahun menjelang enam tahun itu, masih asik dengan legonya. Sambil menunggu amihnya keluar dari kamar."Makan duluan aja, Bang. Nanti abang telat," ajak Bik Narsih sambil mengambilkan nasi dan juga teman-temannya ke dalam piring Reza."Gak ah, Bik. Abang tunggu Amih aja," sahut Reza sambil memainkan legonya.Yasmin keluar dari kamar dengan rambut basah yang sepertinya baru saja dikeringkan dengan menggunakan hairdryer. Dengan menggunakan kemeja bewarna biru tua dan celana bahan bewarna putih tulang, penampilan Yasmin tampak memesona dan terlihat segar."Cuci dulu tangannya, Bang! Setelah itu mainannya dirapikan," titah Yasmin sambil menarik kursi tepat di depan Reza duduk. Anak kecil itu mencuci tangan di wastafel dapur, setelah menaruh kembali mainanny
Dengan peluh masih bercucuran, Jaja terus saja mengemudi mobil Yasmin dengan kecepatan sedang. AC mobil seharusnya membuat Jaja menggigil, namun tidak kali ini. Hawa dingin berubah menjadi panas, apalagi tangan telapak tangan Yasmin masih berada di atas milik Jaja. Sedangkan tubuh Yasmin miring ke kanan menghadap Jaja dengan mata tertutup. Benar-benar pulas, bahkan tidak ada gerakan refleks sama sekali.Jaja mengambil beberapa lembar tisu yang ada di dashboard. Mengelap keringatnya yang semakin bercucuran. Tanpa sadar, jemari Yasmin bahkan menggaruk milik Jaja. Membuat Jaja melotot dan menahan nafas. Ada rasa geli sekaligus tegang, ia yakin sepuluh detik lagi si untung akan terbangun, jika Yasmin terus saja menggaruk bagian risleting celananya.Untung saja sudah sampai di gerbang rumah Yasmin."Bu, maaf, sudah sampai!" Jaja berusaha membangunkan Yasmin dengan suaranya, namun Yasmin tetap terlelap, begitu nyenyak. Jaja tidak berani menyentuh lengan atau tangan Yasmin, ia tidak ingin di
Bu Ambar tidak bisa tidur, karena Jaja belum juga pulang. Padahal sudah pukul sebelas lebih tiga puluh menit. Biasanya paling malam Jaja pulang jam sebelas, itu pun pasti memberitahu bu Ambar terlebih dahulu.Berkali-kali ia keluar di teras, menatap ujung gang sepi yang belum ada tanda-tanda anak lelakinya pulang. Malah suaminya yang terlihat berjalan sempoyongan menuju rumah. Cepat bu Ambar masuk, lalu naik ke kasur dan berpura-pura tidur . Yang pulang, malah yang tidak diharapkan.Krreeekk...Terdengar suara pintu rumah dibuka. Bu Ambar masih memejamkan mata berpura-pura tidur."Bangun lu!" Teriak pak Jamal pada istrinya.Bu Ambar pura-pura terlelap."Kebo nih perempuan! Hei...bangun!" Teriak pak Jamal tepat di telinga bu Ambar, bau alkohol begitu menyengat. Membuat bu Ambar enneg ingin muntah.Uuueekk..."Bagi sini duit, gue pinjem dulu.""Ga ada, Pak!""Jangan boong lu, mana kunci lemari?" Sempoyongan pak Jamal mencari-cari kunci lemari yang biasa diletakkan istrinya di atas lemar
Sekejap Yasmin dapat melupakan masalah dan kegelisahan hatinya. Berkumpul bersama-sama teman adalah salah satu terapi hati dan emosional, agar dapat lebih rileks dan optimis dalam menjalani hidup. Tidak mudah memang, melupakan lelaki yang menurutnya hampir sempurna. Pendidikan, harta, jabatan, silsilah keluarga, sholeh, baik, romantis serta tampan.Takkan mudah untuk mendapatkan lelaki seperti almarhum suaminya. Lelaki yang mampu menyenangkan hatinya dan tidak pernah sekalipun bernada tinggi saat bicara dengan dirinya."Tuh,kan. Melamun lagi," tegur Disti pada Yasmin yang terlihat bengong."Eh, nggak kok. Lagi inget Reza aja di rumah," sahut Yasmin sambil tersenyum.Lelaki tampan yang bernama Alex, sedari tadi memerhatikan dirinya, Yasmin tahu itu. Sehingga membuatnya sedikit kikuk. Untuk saat ini ia tidak ingin dan belum siap membuka hati untuk siapapun. Sebisa mungkin Yasmin menjaga ucapan dan sikapnya, agar Alex tidak salah paham. Berbeda dengan Disti, Maria, dan Amel. Mereka ber