Yasmin dan Jaja kini duduk di ruangan Maria. Suasana pagi yang awalnya ceria, mendadak panas saat Yasmin menarik Jaja naik ke ruangan Maria. Bahkan Maria dan chef Rahman yang sedang asik berdiskusi, ikut terusir dari ruangan."Ada apa sih?" Tanya Maria pada Faisal. Wajahnya masih kebingungan, saat turun dari lantai dua ruangannya.Faisal hanya mengangkat bahunya tidak paham."Emang Yasmin kenal dengan Jaja? Jaja kan baru berapa hari kerja." Tanya Maria lagi pada Faisal, lagi-lagi Faisal mengangkat kedua bahunya sambil mencebik."Sakit bahu lu ya, Sal. Dari tadi ditanya cuma angkat bahu. Udah sana ke dapur!" Titah Maria dengan wajah sewot.Sementara itu, di ruangan Maria. Yasmin tengah duduk dengan wajah tegang. Ia menatap Jaja dengan tajam, lelaki di depannya ini masih berdiri dengan menundukan wajah."Kamu tahu kesalahan kamu apa?" Lantang suara Yasmin bertanya pada Jaja."Tahu, Bu. Soal nyamuk tua"."Siapa nyamuk yang kamu maksud?""Hewan serangga, Bu." sahut Jaja dengan polosnya,
Sejak kejadian memalukan dua hari yang lalu, Yasmin tidak pernah datang lagi ke resto. Rasa malu dan kesal yang sudah sampai ke ubun-ubun. Dimana dirinya telah tanpa sengaja jatuh di atas tubuh Jaja, karyawannya. Yang lebih memalukan lagi, lelaki brondong itu malah pingsan karena tertindih oleh tubuhnya yang montok.Yasmin menepuk-nepuk jidatnya, kenapa ingatan kejadian memalukan itu selalu saja datang di kepalanya?. Apa dia segendut itu? sehingga mampu membuat lelaki itu pingsan. Yasmin menoleh ke arah cermin yang tepat berada di depan ranjangnya. Mutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri.Sepertinya tidak gemuk apalagi gendut, dengan memiliki tinggi 170cm dan berat 65kilogram. Ia rasa ia hanya montok saja. Aah...pusing-pusing."Amih kenapa?pusing?" Tanya Reza saat melihat ibunya menepuk-nepuk kening di atas ranjang."Iya, Bang. Sedikit kok!" Sahut Yasmin, sambil menarik tangan Reza agar duduk di dekatnya."Ada apa sayang?""Abang mau beli buku, Amih. Buku dinosaurus.""Oh, gitu. Oke! Seka
Hening, tidak ada yang mengeluarkan suara dari kedua orang dewasa yang berdiri di dekat Reza ini. Bahkan seketika kepala Yasmin seakan berputar. Sedangkan Jaja dengan refleks memegang tengah celananya."Segini, nih!" Reza mengangkat sebelah lengannya ditekuk. Mata Yasmin melotot, ia hanya mampu menelan salivanya."Eh, kurang ... kurang ... segini." Reza mengangkat sebelah lagi lenganya, membawanya berdempetan. Kanan dan kiri.Yasmin dan Jaja semakin melotot. Yasmin yang air wajahnya berubah merah, berusaha menahan tubuhnya agar tidak limbung."Ehm ... kami permisi ya, Ja." Yasmin langsung menarik lengan Reza yang masih saja terangkat menirukan besarnya titit abang Jaja. Jaja hanya melongo tanpa mampu berkata-kata. Wajahnya sudah seperti atap gosong. Ya Allah malunya. Jaja memijat pelipisnya, berarti saat di toilet tadi, Reza melihat miliknya yang memang lebih gede dari ukuran asli indonesia."Dah, Abang Jaja." Reza melambaikan tangannya sambil tersenyum riang, langkahnya mengikuti Yas
Nasi goreng lengkap dengan telur dadar dan sosis bakar, sebagai menu sarapan Yasmin dan juga Reza, sudah tersedia di atas meja. Seteko teh manis hangat tertata di samping kerangjang buah di atas meja makan. Anak lelaki yang berusia lima tahun menjelang enam tahun itu, masih asik dengan legonya. Sambil menunggu amihnya keluar dari kamar."Makan duluan aja, Bang. Nanti abang telat," ajak Bik Narsih sambil mengambilkan nasi dan juga teman-temannya ke dalam piring Reza."Gak ah, Bik. Abang tunggu Amih aja," sahut Reza sambil memainkan legonya.Yasmin keluar dari kamar dengan rambut basah yang sepertinya baru saja dikeringkan dengan menggunakan hairdryer. Dengan menggunakan kemeja bewarna biru tua dan celana bahan bewarna putih tulang, penampilan Yasmin tampak memesona dan terlihat segar."Cuci dulu tangannya, Bang! Setelah itu mainannya dirapikan," titah Yasmin sambil menarik kursi tepat di depan Reza duduk. Anak kecil itu mencuci tangan di wastafel dapur, setelah menaruh kembali mainanny
Dengan peluh masih bercucuran, Jaja terus saja mengemudi mobil Yasmin dengan kecepatan sedang. AC mobil seharusnya membuat Jaja menggigil, namun tidak kali ini. Hawa dingin berubah menjadi panas, apalagi tangan telapak tangan Yasmin masih berada di atas milik Jaja. Sedangkan tubuh Yasmin miring ke kanan menghadap Jaja dengan mata tertutup. Benar-benar pulas, bahkan tidak ada gerakan refleks sama sekali.Jaja mengambil beberapa lembar tisu yang ada di dashboard. Mengelap keringatnya yang semakin bercucuran. Tanpa sadar, jemari Yasmin bahkan menggaruk milik Jaja. Membuat Jaja melotot dan menahan nafas. Ada rasa geli sekaligus tegang, ia yakin sepuluh detik lagi si untung akan terbangun, jika Yasmin terus saja menggaruk bagian risleting celananya.Untung saja sudah sampai di gerbang rumah Yasmin."Bu, maaf, sudah sampai!" Jaja berusaha membangunkan Yasmin dengan suaranya, namun Yasmin tetap terlelap, begitu nyenyak. Jaja tidak berani menyentuh lengan atau tangan Yasmin, ia tidak ingin di
Bu Ambar tidak bisa tidur, karena Jaja belum juga pulang. Padahal sudah pukul sebelas lebih tiga puluh menit. Biasanya paling malam Jaja pulang jam sebelas, itu pun pasti memberitahu bu Ambar terlebih dahulu.Berkali-kali ia keluar di teras, menatap ujung gang sepi yang belum ada tanda-tanda anak lelakinya pulang. Malah suaminya yang terlihat berjalan sempoyongan menuju rumah. Cepat bu Ambar masuk, lalu naik ke kasur dan berpura-pura tidur . Yang pulang, malah yang tidak diharapkan.Krreeekk...Terdengar suara pintu rumah dibuka. Bu Ambar masih memejamkan mata berpura-pura tidur."Bangun lu!" Teriak pak Jamal pada istrinya.Bu Ambar pura-pura terlelap."Kebo nih perempuan! Hei...bangun!" Teriak pak Jamal tepat di telinga bu Ambar, bau alkohol begitu menyengat. Membuat bu Ambar enneg ingin muntah.Uuueekk..."Bagi sini duit, gue pinjem dulu.""Ga ada, Pak!""Jangan boong lu, mana kunci lemari?" Sempoyongan pak Jamal mencari-cari kunci lemari yang biasa diletakkan istrinya di atas lemar
Sekejap Yasmin dapat melupakan masalah dan kegelisahan hatinya. Berkumpul bersama-sama teman adalah salah satu terapi hati dan emosional, agar dapat lebih rileks dan optimis dalam menjalani hidup. Tidak mudah memang, melupakan lelaki yang menurutnya hampir sempurna. Pendidikan, harta, jabatan, silsilah keluarga, sholeh, baik, romantis serta tampan.Takkan mudah untuk mendapatkan lelaki seperti almarhum suaminya. Lelaki yang mampu menyenangkan hatinya dan tidak pernah sekalipun bernada tinggi saat bicara dengan dirinya."Tuh,kan. Melamun lagi," tegur Disti pada Yasmin yang terlihat bengong."Eh, nggak kok. Lagi inget Reza aja di rumah," sahut Yasmin sambil tersenyum.Lelaki tampan yang bernama Alex, sedari tadi memerhatikan dirinya, Yasmin tahu itu. Sehingga membuatnya sedikit kikuk. Untuk saat ini ia tidak ingin dan belum siap membuka hati untuk siapapun. Sebisa mungkin Yasmin menjaga ucapan dan sikapnya, agar Alex tidak salah paham. Berbeda dengan Disti, Maria, dan Amel. Mereka ber
Jaja masih asik membetulkan laptop Maya, ditemani semangkuk kecil cilok bumbu kacang dan segelas teh manis. Hujan rintik-rintik sehabis magrib, membuat suasana semakin syahdu. Malam ini rencananya, Jaja akan menyelesaikan laptop Maya. Hanya koslet di beberapa bagian saja, untuk keseluruhan masih aman. "Belum beres juga laptop, Maya?" Tanya bu Ambar sambil mengiris tempe, untuk teman nasi uduk, yaitu tempe orek. Bukannya di dapur, namun ia menyiapkan semua masakan di ruang depan sambil menemani Jaja."Dikit lagi, Mak.""Mamah.""Lidah Jaja susah nyebut mamah, Mak. Efek makan telur tiap hari ini." Jaja terkekeh sambil melirik ibunya."Kalau gue masak ikan, ntar yang paling banyak makan bapak lu, Ja. Jadi gue masak telur aja. Biar dia ga nambah mulu kalau makan. Sayang beras.""Hahahahahha... emak Jaja kadang pinter juga." Jaja terbahak begitu juga dengan Bu Ambar."Yaelah, mamak lagi. Serah lu dah!" Bu Ambar manyun, berjalan ke dapur membawa baskom berisi tempe orek dan irisan bumbu.J