"Apa Mbak memerlukan sesuatu."
Mata Sekar yang awalnya terpejam, seketika terbuka saat suara berat milik Wira ada di hadapannya dan sedang duduk bersimpuh. Dia menatap Sekar lebih dekat. Mata indah Sekar terlihat jelas dari tempat Wira karena begitu dekat. Setelah mendapatkan penanganan, Sekar menunggu obat bersama Wira dan Panji yang memang menjadi pengawal pribadinya. Setelah menemani Adi, dia menyusul mereka berdua di rumah sakit. Mereka sibuk bicara, di sisi lain Sekar berharap bisa cepat berbaring dengan nyenyak di tempat tidurnya. "Tidak, Mas. Aku hanya ingin segera pulang. Apa masih lama?" tanya Sekar. "Apa terasa sakit, biar saya minta Mbak di rawat saja," jawab Wira dan langsung mendapat gelengan dari Sekar. Keteledorannya membuat kakinya harus dipasang gips, mungkin saja kalau sejak kemarin ditangani dengan benar tidak akan terasa sakit seperti sekarang. "Bawa pulang dulu, biar aku yang menunggu obatnya. Nanti sesampainya di rumah, lekas pergi untuk menemui Bapak," jelas Panji. "Kita pulang sekarang, Mbak?" Pertanyaan Wira diiyakan saja oleh Sekar yang sudah sangat ingin berbaring. Dengan kursi roda, Wira membawa Sekar ke mobil dan pulang. Tidak ada obrolan di antara mereka karena Sekar memilih memejamkan mata. Dari kemudi, Wira sesekali melirik melalui spion kecil di depannya. Dia merasa kasihan saja pada Sekar, yang terlihat kesakitan hanya saja banyak diam. Karena tertidur, Wira kembali menggendong Sekar masuk ke kamar. Membaringkan pelan dan meninggalkan istirahat. Sebelum pergi menyusul Adi di kantor, dia memastikan dulu jika Sekar memang istirahat dengan nyaman. Dia tidak lupa memberitahu Nanik agar menemaninya. * Di sini Sekar sekarang, mendengarkan omelan sayang dari sang ibu yang khawatir dengan kondisi putrinya. Dia memang ceroboh sekali karena tidak mengatakan apa yang dirasakan. "Sekarang Ibu tidak mau tau, kamu harus diantar oleh pengawal. Ibu kecolongan lagi karena kamu hanya diam, Nak, sebenarnya kenapa kamu tidak mengeluhkan rasa sakitmu." Sekar hanya diam sambil menikmati makan malamnya. Dia tidak menjawab sama sekali. "Apa kamu mendengarkan ibu bicara sayang?" Pertanyaan Sophia tidak membuat puterinya bergeming karena dia fokus ada pada pria tampan yang sedang bicara dengan ayahnya. Seperti tersihir dengan ketampananya, Sekar tidak berkedip melihat pemuda itu. Apalagi sejak tadi yang diingat saat Wira membantu dirinya menggendong beberapa kali. Begitu dekat, sampai Sekar merasakan tubuh pria tampan itu walau terhalang dengan pakaian yang dikenakan. Belum lagi, aroma tubuh Wira seperti terus memelukku. "Sayang, apa kamu tidak mendengarkan Ibu?" "Ah iya, dia itu memang tampan," celetuk putri semata wayang Sophia, dia tidak fokus pada apa yang ibunya katakan. "Siapa?" tanya Sophia sambil menatap ke arah di mana putrinya fokus menatap. "Mas Wira." Sekar memang tidak mendengarkan omelan ibunya karena fokus dengan pemuda tampan yang bersama ayahnya. "Ibu pikir, kamu sejak kemarin terus memandang Ajudan baru ayahmu itu. Apa kamu menyukainya?" "Siapa yang tidak suka dengan pria tampan seperti Mas Wira. Aku—" "Sayang—" Sophia memegang bahu puterinya agar fokus padanya. "Iya, Bu, aku sudah kenyang." Padahal ibunya saja tidak menanyakan atas apa yang dia jawab. Dia sungguh tidak bisa fokus ketika melihat Wira. Sophia hanya menggeleng kepala pelan dengan sikap putrinya. "Sebaiknya aku ke kamar." Sekar yang tau Wira akan pergi segera beranjak dan saat berdiri, dia hampir terjadi karena tidak memijak dengan benar. "Apa sakit?" tanya Sophia khawatir. Wajahnya berubah pucat saat merasakan kakinya terasa sakit. Dia sungguh ceroboh, tidak bisa berhati-hati dengan langkahnya karena ingin menghampiri Wira yang berjalan pergi. "Gunakan penyangga kakimu, jangan ceroboh," ucap Adi yang menghampiri putrinya bersama Wira mengikuti. "Mbak mau ke mana? Biar saya membantu." Tawaran Wira seperti angin segar untuk Sekar yang merasa kesakitan. Dia langsung menganggukkan kepala, tanpa menjawab dengan mulutnya. Sophia hanya tersenyum melihat ekspresi putrinya yang bahagia karena Wira menawarkan membantu. "Akh ... akh!" Rintih Sekar lirih saat langkahnya kembali terasa sakit. Dia mempererat pegangannya pada Wira, tanpa disengaja. "Mohon maafkan saya." Setelah mengatakan itu, Wira kembali membawa tubuh ringkih wanita cantik itu dalam gendongannya. Entah sudah berapa kali dia digendong Wira, dan itu menjadi candu untuk Sekar. "Gunakan penyangga kaki Anda, agar tidak terasa sakit saat berjalan," tutur Wira dengan sopan. "Tidak bisakah Mas bicara informal saja seperti Mas Panji. Aku merasa canggung saat Mas bicara seperti ini," ucap Sekar dalam gendongan pemuda tampan seperti Wira. "Maafkan saya," jawabnya. "Harusnya yang minta maaf juga aku, karena sudah membuat Mas repot." Dengan langkah kaki menaiki tangga, tenaga Wira terlihat kuat. Tidak tampak dia mengeluh keberatan atau bagaimana ketika menggendong Sekar. "Tidak masalah. Ini juga tugas saya." Wira berhasil masuk ke kamar dan mendudukkan tubuh ringkih itu di ujung tempat tidurnya. "Anda memerluka sesuatu?" Wira belum terbiasa untuk bicara informal dengan putri Presiden yang dia jaga. "Aku–" Rasa canggung di hadapan Wira membuatnya tidak bisa banyak bicara. Seperti otaknya langsung bleng seketika. Wira tanpa diminta membenarkan posisi Sekar agar bisa berbaring di tempat tidurnya dan menyelimuti sebagian tubuh agar tidak kesulitan dengan kakinya yang sakit. "Te–rima kasih, Mas," tutur Sekar canggung. Senyuman manis Wira mengembang, dan berhasil membuat Jantung Sekar berdegub kencang. "Ini benar-benar tidak baik saat detak jantungku seperti ini," ucapnya lirih. "Mbak mengatakan sesuatu?" Sekar menggeleng pelan, dia tidak bisa bernafas dengan baik karena tegang. Benar kata Lastri, dia seperti orang yang alergi saat dekat dengan Wira. "Panggil Sekar saja, Mas. Jangan Mbak. Aku rasa umur Mas jauh lebih tua dariku," ucapnya mengalihkan pertanyaan Wira. "Sebaiknya Mbak Sekar istirahat saja. Saya tinggal jika tidak ada yang dibutuhkan lagi," sahut Wira. Sekar tidak bisa mencegah pemuda tampan itu tetap tinggal di kamarnya, kembali punggung kekar milik Wira menjadi pemandangan indah. Senyumnya mengembang hanya karena menatap punggung Wira, dari sisi belakang saja terlihat tampan, apalagi dari depan. Senyum Sekar luntur, dia juga mengalihkan pendangannya ketika orang yang sejak tadi dilihat menatapnya untuk menutup pintu. Dia menjadi tegang, ingin mulutnya bilang dirinya jatuh hati pada Wira, akan tetapi dia malah tidak bisa mengatakan itu. "Kau bodoh, Sekarwangi." Dia merasa kesal dengan dirinya, tidak bisa banyak bicara di hadapan Wira padahal ingin sekali dia menanyakan hal saat mereka bertemu di Mall. Dia menutupi wajahnya dengan bantal dan berteriak di sana. "Ada apa, Mbak Sekar? Apa sakit, apa harus saya panggilkan Ibu?" Dibalik bantal Sekar terdiam, dia menyingkirkan perlahan bantal itu dan menatap Wira yang ada di ambang pintu melihat dirinya berteriak di balik bantal. "Ti–dak, Mas. Ak—" Pipinya memerah karena malu, dia menghempaskan bantal itu ke sisi kirinya dan langsung merapikan poni tipis. Jantung nya kembali berdetak lebih cepat, dan itu membuat Sekar merasa aneh."Lihat saja dulu. Nanti Mas bisa menyimpulkan sendiri, kenapa aku bersikap seperti tadi. Jika aku tidak sungguh-sungguh padamu, untuk apa aku membuang waktu untuk memikirkan Mas yang tidak membalas perasaanku."Sekar memberikan ponsel miliknya pada Wira. Dia tidak mungkin mengatakan saat ada Panji ataupun Rini. Bukan tidak percaya pada mereka, hanya saja pasti dia semakin tidak bisa bergerak karena penjagaan ketat dari ayahnya.Wira ingin ikut ke rumah dinas daripada memilih untuk pulang. Sesampainya di rumah, Sekar segera ke kamar. Mood nya buruk karena ucapan Wira, memang tidak salah, tapi terdengar memaksakan saja.Dalam ruang kerja yang juga banyak berbagai buku di ruangan itu, Wira duduk di sofa panjang dan coba mengecek ponsel Sekar. Dia coba melihat dari panggilan masuk. Begitu banyak panggilan tidak dijawab di sana, padahal Sekar sudah mengaktifkan mode blokir untuk penelepon spam, tapi tetap saja ada yang menghubunginya. B
"Mbak yakin dengan jawaban itu?" Sekar menatap serius atas pernyataan Rini."Kita berangkat sekarang?" Wira yang sudah terlihat rapi dan tampan menghampiri mereka dan langsung mendapatkan tatapan tajam."Apa yang kalian lihat? Kenapa menatap sampai seperti itu?" tanya Wira bingung."Tunggu, Mbak. Aku ulangi, siapa target laki-laki yang Mbak sukai?" Sekar mengulangi pertanyaan di hadapan Wira yang tidak mengerti topik pembahasan mereka."Dia. Sejak pertama kali bertemu, dia sudah membuatku jatuh hati." Sekar menatap seseorang yang Rini maksudkan."Kenapa Mas tidak mengelak. Apa kalian sudah menjalin hubungan?""Belum. Dia belum membalas perasaanku, tapi jahatnya dia selalu memberiku perhatian." Rini kembali yang menjawab rasa penasaran Sekar, akan hubungan yang sedang mereka jalani."Sebenarnya apa yang sedang kalian bahas? Tidak bisakah kita berangkat dulu.""Mas Panji ...
"Lantas jika bukan, lalu siapa dia?" Sekar balas bertanya atas pertanyaan yang Wira lontarkan."Dia ini hanya teman lama, dia memiliki suami yang semalam menyeretku dalam perkelahian bodoh itu. Apa kamu pikir dia kekasihku? Kenapa sikapmu seperti menghindariku sejak kemarin. Di Mall kemarin itu kamu kan? Dia memang bersamaku, tapi dia juga bersama suaminya. Kita teman akrab, tidak ada hubungan lebih.""Lalu kenapa Mas menjelaskan ini semua. Memangnya siapa aku? Mau dia pacar Mas atau bukan, itu terserah Mas."Mereka berdua bicara di dalam mobil, membiarkan yang lain menunggu setelah wanita yang bersama Wira pergi. Sekar tidak mau di ajak masuk, itu sebabnya mereka bicara di mobil."Aku hanya ingin menjelaskan saja. Apa salahnya? Aku pikir kamu menghindariku beberapa hari ini. Maaf jika aku bersikap salah padamu."Sekar diam, dia salah paham pada Wira karena gosip bohong itu. "Tanyakan apa yang ingin kamu tau dariku, jangan hanya diam ketika kamu ingin mengenalku lebih jauh. Bagaimana
"Aku tidak ingin membahasnya lagi. Aku juga tidak berbohong. Besok, aku tidak bisa datang. Bisakah aku cek laporan itu dari rumah?" Sekar tetaplah sama, tidak terbuka dengan perasaanya.Melihat Wira keluar rumah dinas, Sekar menghentikan pembahasan mereka. Dia pikir Wira sudah pulang, nyatanya dia masih di rumah."Masuklah, Ibu sudah siapkan makan malam. Di sini juga dingin," tutur Wira pada mereka berdua."Aku tidak lapar, tadi sudah makan sebelum ke sini," jawab Lastri."Temani dia makan, sejak semalam dia tidak makan. Ibu juga sudah siapkan," sahut Wira.Sekar diam, memainkan kakinya tanpa ingin menatap pria yang ada di hadapannya. Dia masih meyakini jika wanita itu memang kekasih Wira. "Dia sungguh tampan dari jarak dekat, daripada di foto." Lastri berbisik ketika Wira meninggalkan mereka dan berharap masuk."Sebaiknya kita masuk sebelum terkena omelan lagi." Mereka berdua masuk dan segera duduk di meja makan, terlihat dari t
"Apa masih dingin? Ada selimut kecil di laci itu, ambil dan pakai." Mereka meninggalkan Mall dengan Sekar yang banyak diam. Tidak ingin bertanya siapa wanita itu atau apapun."Tidak. Aku baik-baik saja.""Oh ya, apa seseorang yanvg mengajakmu tidak mengantarkanmu pulang. Atau kamu memang pergi sendiri?" tanya Wira dengan mata yang fokus jalanan yang padat merayap."Apa Mas Panji tidak mengatakan apapun?" Tatapanya datar, seakan tak ingin menjawab pertanyaan Wira."Hanya bilang menjemputmu saja, dan kebetulan aku di sini, jadi ya ..." ucapannya menggantung. Wira sendiri tidak menjelaskan siapa wanita tadi.Suasana mobil kembali sunyi. Sekar hanya fokus menatap jalanan kota, hujan masih turun walau tidak begitu lebat. Saat mobil berhenti karena lampu merah, Sekar dibuat terkejut ketika Wira tiba-tiba mengambilkan selimut yang dia katakan tadi. Otomatis tubuhnya condong ke arah Sekar. Sejenak dia menahan nafas sampai Wira memberikan selimut
Sekar terbangun setelah beberapa jam tidur, itu juga karena dia tidak bisa nyenyak tidur. "Mau ke mana, Mbak?" tanya Mbok Nanik saat melihat akan pergi."Apa Mas Panji hari ini datang, Mbok?""Aku tadi melihatnya, tapi dia bilang mau keluar sebentar, setelah melihat Mbak Sekar tidur. Apa mau keluar?" tanyanya lagi."Iya, mau beli sesuatu di depan sebentar.""Jangan pergi sendiri, tunggu Mas Panji saja. Dia bilang hanya sebentar kok." Mbok Nanik menghentikan langkah Sekar agar tidak pergi sendiri."Aku juga hanya sebentar, di dekat sini saja. Tidak akan lama. Nanti aku akan minta jemput Mas Panji, jadi tenang saja." Sekar bersikeras untuk pergi sendiri, tidak ingin menunggi Panji seperti permintaaan Mbok Nanik.Mempercayai ucapan Sekar, Mbok Nanik membiarkan pergi. Karena weekend, hanya beberapa yang berjaga di kediaman Presiden. Dia berjalan ke gerbang yang sedikit jauh dari rumah, tapi dia menikmatinya. Walau mendung, dia tetap ingin pergi. Rasa bosan menguasai dirinya, dia pergi seo