Share

05

Author: Nyemoetdz Kim
last update Last Updated: 2025-02-15 02:00:49

"Apa Mbak memerlukan sesuatu."

Mata Sekar yang awalnya terpejam, seketika terbuka saat suara berat milik Wira ada di hadapannya dan sedang duduk bersimpuh. Dia menatap Sekar lebih dekat. Mata indah Sekar terlihat jelas dari tempat Wira karena begitu dekat.

Setelah mendapatkan penanganan, Sekar menunggu obat bersama Wira dan Panji yang memang menjadi pengawal pribadinya. Setelah menemani Adi, dia menyusul mereka berdua di rumah sakit. Mereka sibuk bicara, di sisi lain Sekar berharap bisa cepat berbaring dengan nyenyak di tempat tidurnya.

"Tidak, Mas. Aku hanya ingin segera pulang. Apa masih lama?" tanya Sekar.

"Apa terasa sakit, biar saya minta Mbak di rawat saja," jawab Wira dan langsung mendapat gelengan dari Sekar. Keteledorannya membuat kakinya harus dipasang gips, mungkin saja kalau sejak kemarin ditangani dengan benar tidak akan terasa sakit seperti sekarang.

"Bawa pulang dulu, biar aku yang menunggu obatnya. Nanti sesampainya di rumah, lekas pergi untuk menemui Bapak," jelas Panji.

"Kita pulang sekarang, Mbak?" Pertanyaan Wira diiyakan saja oleh Sekar yang sudah sangat ingin berbaring.

Dengan kursi roda, Wira membawa Sekar ke mobil dan pulang. Tidak ada obrolan di antara mereka karena Sekar memilih memejamkan mata. Dari kemudi, Wira sesekali melirik melalui spion kecil di depannya. Dia merasa kasihan saja pada Sekar, yang terlihat kesakitan hanya saja banyak diam.

Karena tertidur, Wira kembali menggendong Sekar masuk ke kamar. Membaringkan pelan dan meninggalkan istirahat. Sebelum pergi menyusul Adi di kantor, dia memastikan dulu jika Sekar memang istirahat dengan nyaman. Dia tidak lupa memberitahu Nanik agar menemaninya.

*

Di sini Sekar sekarang, mendengarkan omelan sayang dari sang ibu yang khawatir dengan kondisi putrinya. Dia memang ceroboh sekali karena tidak mengatakan apa yang dirasakan.

"Sekarang Ibu tidak mau tau, kamu harus diantar oleh pengawal. Ibu kecolongan lagi karena kamu hanya diam, Nak, sebenarnya kenapa kamu tidak mengeluhkan rasa sakitmu."

Sekar hanya diam sambil menikmati makan malamnya. Dia tidak menjawab sama sekali. "Apa kamu mendengarkan ibu bicara sayang?" Pertanyaan Sophia tidak membuat puterinya bergeming karena dia fokus ada pada pria tampan yang sedang bicara dengan ayahnya.

Seperti tersihir dengan ketampananya, Sekar tidak berkedip melihat pemuda itu. Apalagi sejak tadi yang diingat saat Wira membantu dirinya menggendong beberapa kali. Begitu dekat, sampai Sekar merasakan tubuh pria tampan itu walau terhalang dengan pakaian yang dikenakan. Belum lagi, aroma tubuh Wira seperti terus memelukku.

"Sayang, apa kamu tidak mendengarkan Ibu?"

"Ah iya, dia itu memang tampan," celetuk putri semata wayang Sophia, dia tidak fokus pada apa yang ibunya katakan.

"Siapa?" tanya Sophia sambil menatap ke arah di mana putrinya fokus menatap.

"Mas Wira." Sekar memang tidak mendengarkan omelan ibunya karena fokus dengan pemuda tampan yang bersama ayahnya.

"Ibu pikir, kamu sejak kemarin terus memandang Ajudan baru ayahmu itu. Apa kamu menyukainya?"

"Siapa yang tidak suka dengan pria tampan seperti Mas Wira. Aku—"

"Sayang—" Sophia memegang bahu puterinya agar fokus padanya.

"Iya, Bu, aku sudah kenyang." Padahal ibunya saja tidak menanyakan atas apa yang dia jawab. Dia sungguh tidak bisa fokus ketika melihat Wira.

Sophia hanya menggeleng kepala pelan dengan sikap putrinya. "Sebaiknya aku ke kamar." Sekar yang tau Wira akan pergi segera beranjak dan saat berdiri, dia hampir terjadi karena tidak memijak dengan benar.

"Apa sakit?" tanya Sophia khawatir.

Wajahnya berubah pucat saat merasakan kakinya terasa sakit. Dia sungguh ceroboh, tidak bisa berhati-hati dengan langkahnya karena ingin menghampiri Wira yang berjalan pergi.

"Gunakan penyangga kakimu, jangan ceroboh," ucap Adi yang menghampiri putrinya bersama Wira mengikuti.

"Mbak mau ke mana? Biar saya membantu." Tawaran Wira seperti angin segar untuk Sekar yang merasa kesakitan. Dia langsung menganggukkan kepala, tanpa menjawab dengan mulutnya.

Sophia hanya tersenyum melihat ekspresi putrinya yang bahagia karena Wira menawarkan membantu. "Akh ... akh!" Rintih Sekar lirih saat langkahnya kembali terasa sakit. Dia mempererat pegangannya pada Wira, tanpa disengaja.

"Mohon maafkan saya." Setelah mengatakan itu, Wira kembali membawa tubuh ringkih wanita cantik itu dalam gendongannya. Entah sudah berapa kali dia digendong Wira, dan itu menjadi candu untuk Sekar.

"Gunakan penyangga kaki Anda, agar tidak terasa sakit saat berjalan," tutur Wira dengan sopan.

"Tidak bisakah Mas bicara informal saja seperti Mas Panji. Aku merasa canggung saat Mas bicara seperti ini," ucap Sekar dalam gendongan pemuda tampan seperti Wira.

"Maafkan saya," jawabnya.

"Harusnya yang minta maaf juga aku, karena sudah membuat Mas repot." Dengan langkah kaki menaiki tangga, tenaga Wira terlihat kuat. Tidak tampak dia mengeluh keberatan atau bagaimana ketika menggendong Sekar.

"Tidak masalah. Ini juga tugas saya." Wira berhasil masuk ke kamar dan mendudukkan tubuh ringkih itu di ujung tempat tidurnya.

"Anda memerluka sesuatu?" Wira belum terbiasa untuk bicara informal dengan putri Presiden yang dia jaga.

"Aku–" Rasa canggung di hadapan Wira membuatnya tidak bisa banyak bicara. Seperti otaknya langsung bleng seketika.

Wira tanpa diminta membenarkan posisi Sekar agar bisa berbaring di tempat tidurnya dan menyelimuti sebagian tubuh agar tidak kesulitan dengan kakinya yang sakit.

"Te–rima kasih, Mas," tutur Sekar canggung.

Senyuman manis Wira mengembang, dan berhasil membuat Jantung Sekar berdegub kencang. "Ini benar-benar tidak baik saat detak jantungku seperti ini," ucapnya lirih.

"Mbak mengatakan sesuatu?" Sekar menggeleng pelan, dia tidak bisa bernafas dengan baik karena tegang. Benar kata Lastri, dia seperti orang yang alergi saat dekat dengan Wira.

"Panggil Sekar saja, Mas. Jangan Mbak. Aku rasa umur Mas jauh lebih tua dariku," ucapnya mengalihkan pertanyaan Wira.

"Sebaiknya Mbak Sekar istirahat saja. Saya tinggal jika tidak ada yang dibutuhkan lagi," sahut Wira.

Sekar tidak bisa mencegah pemuda tampan itu tetap tinggal di kamarnya, kembali punggung kekar milik Wira menjadi pemandangan indah. Senyumnya mengembang hanya karena menatap punggung Wira, dari sisi belakang saja terlihat tampan, apalagi dari depan.

Senyum Sekar luntur, dia juga mengalihkan pendangannya ketika orang yang sejak tadi dilihat menatapnya untuk menutup pintu. Dia menjadi tegang, ingin mulutnya bilang dirinya jatuh hati pada Wira, akan tetapi dia malah tidak bisa mengatakan itu.

"Kau bodoh, Sekarwangi." Dia merasa kesal dengan dirinya, tidak bisa banyak bicara di hadapan Wira padahal ingin sekali dia menanyakan hal saat mereka bertemu di Mall.

Dia menutupi wajahnya dengan bantal dan berteriak di sana. "Ada apa, Mbak Sekar? Apa sakit, apa harus saya panggilkan Ibu?" Dibalik bantal Sekar terdiam, dia menyingkirkan perlahan bantal itu dan menatap Wira yang ada di ambang pintu melihat dirinya berteriak di balik bantal.

"Ti–dak, Mas. Ak—" Pipinya memerah karena malu, dia menghempaskan bantal itu ke sisi kirinya dan langsung merapikan poni tipis. Jantung nya kembali berdetak lebih cepat, dan itu membuat Sekar merasa aneh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   62 🩷

    "Mas—" Wira malah diam tanpa memberi jawaban atas apa yang Sekar katakan."Ya, aku pulang. Kalau begitu tutup teleponya." Wira tidak bisa membohongi Sekar dan memilih pulang.Dalam perjalanan pulang dia menghubungi Gala untuk tidak jadi pergi karena Sekar memintanya pulang. Mungkin belum waktunya dia menemukan kebenaran akan keluarganya.Dengan perasaan yang campur aduk, Wira masuk ke dalam rumah. Dia bersikap tidak terjadi apapun dan mendengarkan apa yang Sekar mau. Bukan apa-apa, hanya memeluk tubuh suaminya saja, dan mengajaknya bicara. Padahal ada hal yang lebih penting. Masalahnya Wira tidak menceritakan, kalau saja bilang dengan jujur mungkin Sekar mengiyakan."Mas tidak kembali ke Batalyon?" Setelah beberapa saat di rumah dan menemani suaminya makan, Sekar berbaring di pangkuan Wira yang duduk menatap layar TV."Tidak. Aku akan menemanimu. Mau ke kamar sekarang? Aku akan membantumu.""Tidak ap

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   61 🩷

    "Mas, ada apa? Bangunlah! Mas!" Panggilan Sekar membuat Wira yang tidur sambil berteriak membuka mata dengan nafas memburu."Ada apa, Mas?" tanya Sekar yang duduk sambil menatap Wira.Tanpa menjawab, Wira bangun dan memeluk erat tubuh istrinya. Nafasnya masih memburu tanpa mengatakan apapun. Sekar yang khawatir membalas pelukan Wira dengan mengusap pelan punggung suaminya. Keringat membanjiri tubuhnya, tapi tidak peduli akan itu Sekar masih memeluknya."Maaf, aku bermimpi buruk. Seseorang mengejarku sampai akhirnya dia berhasil mencekik ku.""Minumlah dulu." Sekar menyodorkan air minum untuk suaminya. Dia tampak seperti orang yang baru berlari bermil-mil jauhnya."Beberapa hari ini Mas terus bermimpi buruk, ada apa sebenarnya? Apa ada beban pikiran yang Mas tidak katakan padaku? Ceritakan saja Mas jika itu menganggu dirimu." Wira hanya menggeleng pelan. Dia kembali membawa Sekar dalam pelukanya.Sete

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   60 🩷

    — Flashback —Seorang anak laki-laki berusia 19 tahun sedang menggendong adiknya keluar rumah agar tangis sang adik berhenti, namun tidak. Sepanjang jalan adiknya terus menangis dalam gendongannya. Terpaut usia 14 tahun, tidak membuat anak laki-laki itu lantas malu memilik adik, apalagi dia harus merawat adiknya ketika kedua orang tuanya sibuk bekerja.Hidupnya sendiri sudah berat dan jarang mendapatkan kasih sayang, sekarang di usianya 18 tahun, dia harus merawat adiknya yang baru 5 tahun. Tubuhnya sangat lelah, namun dia tetap coba membujuk adiknya agar tidak menangis lagi. Sejak pagi sang adik sudah menyusahkan neneknya.Dia, Wira Cahyadi, peserta Taruna Akmil yang sedang menjalani pendidikanya untuk menjadi Perwira. Dia mendapatkan ini karena kemapuannya, selain tampan, dia juga pintar. Itu sebabnya dia berhasil masuk dengan sekali tes, dan beasiswa yang dia dapat."Mas, mau ibu ..." rengek anak kecil yang ada di gendonganya.

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   59 🩷

    10 lembar uang pecahan 100 dolar berserta surat menjadi fokus Wira. Dia diam dalam mobil sebelum melajukannya, dia penasaran siapa sebenarnya yang mengirimkan uang sebanyak itu."Bawa Mas saja, aku tidak mau membawanya," ucap Gala."Jika ini memang dari mereka, untuk apa baru sekarang mereka memberinya." Wira langsung berpikir jika itu dari orang tuanya, siapa lagi pikirnya, apalagi kata-kata dalam suratnya seperti itu."Tidak tau, bagiku Mas jauh berarti dari mereka, karena Mas aku bisa seperti ini. Aku tidak mengenal mereka dan tidak ingin bertemu dengan mereka."Wira diam, dia sendiri bingung. Hati kecilnya mengatakan hal yang sama, namun dia juga ingin tau apa orang tuanya masih hidup atau tidak dan alasan apa yang membuat mereka pergi begitu saja."Jangan ceritakan pada Sekar nanti, aku tidak ingin dia malah kepikiran dengan hal yang tidak jelas kebenaranya. Iya kalau ini dari mereka, jika tidak bagaimana. Se

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   58 🩷

    "Masih terasa mual? Kita pulang saja ya?" Pria yang mengenakan Jas biru dongker, kemeja putih dengan kancing atas dibuka itu sedang berjongkok menatap istrinya yang mengeluh mual. Wanita cantik dengan kebaya warna baby blue itu coba mengatur nafas agar tidak memuntahkan isi perutnya. Sikapnya begitu manja dengan menyandarkan kepala pada bahu sang suami."Tidak mau," rengeknya."Tunggu di sini biar aku minta air hangat." Wira kemudian beranjak untuk mengambilkan air hangat untuk istrinya. Penuh perhatian hingga seseorang yang sejak tadi menatap interaksi mereka berjalan menghampiri Sekar."Suamimu baik sekali, tampan lagi. Beruntung kau mengenalnya, Mbak," sahut salah satu sepupu Sekar."Makanya jadi cegil agar kau bisa mendapatkan apa yang kau mau. Jangan hanya diam sambil menunggu.""Ngomong-ngomong, Mas Panji apa sudah menikah. Dia terlihat sangat tampan, lihatlah," tuturnya sambil menatap Panji y

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   57 🩷

    "Sudah merasa lebih baik?" Wira menopang tubuh istrinya yang lemas karena sejak tadi terus memuntahkan isi perutnya. Tanpa rasa jijik Wira membantu sang istri ke kamar mandi. Tak hanya itu, dia juga menggendong tubuh istrinya. Membawa kembali ke atas tempat tidur. Bertambah hari, perut Sekar sering merasa mual hingga muntah. "Tidurlah lagi, masih terlalu pagi," ucap Wira dengan lembut. "Maafkan aku mengganggu waktu tidur Mas," jawab Sekar. "Sudah jangan pikirkan, mau minum yang hangat dulu?" Wira mengambilkan istrinya minum air hangat agar lebih enakan. Setelahnya mereka kembali berbaring dengan Sekar memeluk tubuh suaminya. Usia kandungannya jalan 12 minggu, dan beberapa hari ini Sekar mulai merasakan mual yang mengganggu harinya. Dia beruntung suaminya, Wira, selelah apa dia masih mau membantu istrinya. Seperti sekarang, dia baru pulang pukul 11 malam dan saat akan tidur malah Sekar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status