"Akh ... menyusahkan sekali," gerutu Sekar saat dia coba menaiki motor kesayangannya yang terlihat baret di bagian knalpot dan body karena jatuh kemarin. Kakinya malah sakit, padahal kemarin dia tidak merasakannya.
"Bisa saya bantu?" Suara berat itu membuat Sekar menghentikan kegiatannya dan langsung mencari asal suara. Senyum mengembang ketika dia melihat Wira berada di sampingnya. "Apa Mas Panji ikut Bapak hari ini?" Dia bertanya ragu dengan rasa sesak menguasai dirinya, bukan karena sakitnya melainkan menatap wajah tampan Wira. "Iya, apa Mbak ingin berangkat ke kampus? Biar saya yang antar menggunakan mobil." Tawaran yang bagus, tidak mungkin Sekar menolaknya. Dia mengangguk kepala cepat menjawab tawaran pria di hadapannya. Dengan kaki yang terpincang-pincang, Sekar berjalan ke arah mobil. Kalau bukan karena jam dosen killer, dia tidak mau pergi karena kakinya sedikit bengkak, padahal kemarin dia pikir hanya luka lecet saja. Mungkin karena tertimpa motor yang berat, makanya terasa sakit. "Mau saya bantu ke dalam mobil?" Pertanyaan Wira menghentikan langkah Sekar yang menatapnya bingung, dia sejak tadi fokus dengan punggung kekar pria tampan di depannya. "Apa tidak istirahat saja di rumah, kalau kaki Mbak masih sakit." Setiap Wira bicara tatapan wanita cantik itu tidak lepas dari pria yang sudah membuat jantungnya berdegub kencang. "Mbak—" panggil Wira saat tidak ada sautan dari wanita cantik itu. "Ah iya, Mas." Entah apa yang di tanyakan, Sekar mengiyakan saja apa yang Wira tanyakan. Tanpa banyak bicara lagi Wira berjalan mendekati Sekar yang hanya diam mematung dengan tatapan tidak lepas dari wajah tampan Ajudan ayahnya. Tak lama Wira membawa tubuh ringkih wanita cantik itu dalam gendongannya, ala bridge style. "Maafkan saya," tuturnya lirih, dan langsung membuat Sekar mengalungkan tangan pada leher Wira karena dia juga terkejut tubuhnya kembali dalam gendongannya. Perlahan langkah Wira berjalan ke arah mobil, dengan mata masih menatap pria tampan yang menggendongnya, jantung Sekar semakin berdegub kencang. Dia juga mengatur nafas karena rasa sesak yang di sebabkan oleh Wira. "Ada apa, Mbak? Apa merasa sesak lagi? Biar saya ambilkan oksigen? Haruskah saya membawa Mbak masuk ke rumah saja?" "Ti–dak, Mas. Aku tetap harus berangkat. Hanya—" Hanya dia terpesona dengan ketampanan dari Wira, itu yang Sekar ingin katakan, namun lidahnya seperti keluh untuk mengatakannya. Dengan pelan-pelan Wira mendudukkan tubuh wanita yang dia gendong ke dalam mobil. "Terima kasih, Mas." "Mbak yakin tetap akan berangkat ke kampus?" tanya Wira. "Iya, Mas. Aku tidak bisa absen karena dosen killer itu akan menghukumku." Senyum manisnya mengembang dari bibir Sekar. Pasti yang melihatnya akan terpesona dengan senyuman itu, hanya saja tidak pada Wira. Dia tampak begitu serius dan juga tegas. "Baiklah," sahut Wira. Dia menutup pelan pintu mobil itu dan berjalan ke tempat seseorang yang berjaga di rumah dinas Adi. "Apa dia akan mengantarkanku? Jantungku tidak akan baik-baik saja saat aku terus di dekatnya, tapi ... dia sungguh candu." Di dalam mobil Sekar bicara seorang diri dengan mata yang masih menatap Wira di luar mobil. Dari dalam mobil, terlihat Wira berjalan ke arah mobil dan membuka pintu kemudi. Itu artinya memang dia yang akan mengantarkan Sekar kuliah. Ada rasa senang, tapi dia juga merasa sesak karena dekat dengan pria idamannya. Hanya Wira yang membuatnya jatuh hati dari beberapa Ajudan ayahnya. "Kata Panji hari ini hanya akan ada satu mata kuliah saja, apa benar, Mbak? Nanti setelah dari kampus, kita ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kaki Mbak. Ini perintah Bapak." Wira menjelaskan dengan fokus pada kemudi, sedangkan Sekar duduk di belakang sambil menatap sopir tampan yang membuat dirinya tidak bisa berkata-kata. Entahlah hatinya sangat senang, meski kakinya sakit. Dia tidak peduli dengan itu. Menikmati mahakarya Tuhan yang sedang dilakukan sekarang. * Sesampainya di kampus, karena malu Sekar meminta bantuan Lastri untuk masuk kelas. Dia tidak mungkin mencari perhatian dengan membuat Wira menggendongnya lagi. Walau dia suka hal itu, tapi dia malu. Apalagi dia harus menjaga sikap karena menyandang nama besar ayahnya. "Kau terus melamun. Ngomong-ngomong, sopirmu itu tampan juga," tutur Lastri. Sekar menatapnya tajam ketika senyum Lastri mengembang mengingat Wira yang menjadi sopirnya. "Dia pria yang aku maksud, jaga pandanganmu karena dia miliku." Senyum Lastri seketika luntur ketika mendengar perkataan sahabatnya. "Siapa yang tidak akan meliriknya kalau dia begitu tampan. Lihat saja tadi para wanita di sini menatap ke pria itu," sahut Lastri. "Itu sebabnya aku sangat menyukainya, tapi aku seperti bisu saat bersamanya. Jantung ku tidak sehat apalagi aku merasa sesak. Apa aku merasakan phobia dekat dengannya, itu tidak mungkin kan," jawab Sekar. "Ah, benar juga. Kau alergi dengannya." Tawa Lastri pecah mengejek sahabatnya itu dan langsung mendapatkan tatapan tajam. "Apa kau tidak bisa mengecilkan suara tawamu itu, seorang wanita tertawa lebar seperti itu apa pantas." Semua mahasiswa yang ada di kelas langsung diam ketika dosen killer itu masuk. Kemalangan menimpa Lastri yang ditegur dosen itu. Sekar hanya tersenyum tipis melihat Lastri seketika diam karena ucapan dosen mereka. Mata kuliah hari ini Sekar jalani dengan perasaan senang, karena diantar oleh Wira. Tidak ada pengawal pribadi yang biasa bersamanya, hanya ada Wira dan sekarang dia menunggu Sekar di mobil. "Kita ke rumah sakit sekarang, Mbak?" tanya Wira saat melihat putri tuanya berjalan dibantu Lastri ke arah mobil. "Iya," jawab Sekar dengan lembut. "Kau manis juga saat bersikap seperti sekarang. Lihatlah wajahmu itu, jelas kau sedang jatuh hati," bisik Lastri. "Diam kau! Kau hanya akan membuatku mati kutu. Sudah sana pulang, aku harus pulang juga. Haruskah Dosen killer tadi menegurmu lagi," ejek Sekar. "Terus saja kau mengejekku. Dosen itu juga terus mengincarku sejak tadi. Untung aku membaca materinya, jika tidak malah aku dibuat malu oleh Dosen killer itu." Karena tertawa tadi membuat Lastri di tandai oleh Dokter killer, dan itu seperti karma untuknya setelah mengejek Sekar. "Bisa kita pergi sekarang, Mbak? Janji temu dengan Dokter 10 menit lagi." Wira memotong obrolan mereka. Sekar hanya mengangguk pelan. Setelah berpamitan, mereka kemudian pergi ke rumah sakit dengan Sekar yang banyak diam. Bukan karena apa, dia merasa tidak nyaman saja dengan rasa sakit di kakinya, namun malu untuk mengeluh pada Wira. "Tunggu di sini, biar saya ambilkan kursi roda untuk Mbak." Setelah mendapatkan kursi roda, Wira kembali menggendong Sekar ke kursi roda dan membawanya masuk karena sudah mendapatkan janji temu dengan Dokter ortopedi. "Kamu membiarkan rasa sakit ini saat ada retak halus di pergelangan kakimu. Itu yang membuatmu kesakitan," jelas Dokter. Sekar hanya diam sambil memejam mata menahan rasa sakit di kakinya. Dokter membalut dengan gips karena terjadi patah tulang walau tidak begitu parah. Tetap saja dia memerlukan pemulihan. Di sisi berbeda ada Wira yang melihat dan mendengarkan penjelasan Dokter tentang kondisi Sekar yang menahan rasa sakitnya. Terlihat dia meremas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya dengan mata tertutup."Lihat saja dulu. Nanti Mas bisa menyimpulkan sendiri, kenapa aku bersikap seperti tadi. Jika aku tidak sungguh-sungguh padamu, untuk apa aku membuang waktu untuk memikirkan Mas yang tidak membalas perasaanku."Sekar memberikan ponsel miliknya pada Wira. Dia tidak mungkin mengatakan saat ada Panji ataupun Rini. Bukan tidak percaya pada mereka, hanya saja pasti dia semakin tidak bisa bergerak karena penjagaan ketat dari ayahnya.Wira ingin ikut ke rumah dinas daripada memilih untuk pulang. Sesampainya di rumah, Sekar segera ke kamar. Mood nya buruk karena ucapan Wira, memang tidak salah, tapi terdengar memaksakan saja.Dalam ruang kerja yang juga banyak berbagai buku di ruangan itu, Wira duduk di sofa panjang dan coba mengecek ponsel Sekar. Dia coba melihat dari panggilan masuk. Begitu banyak panggilan tidak dijawab di sana, padahal Sekar sudah mengaktifkan mode blokir untuk penelepon spam, tapi tetap saja ada yang menghubunginya. B
"Mbak yakin dengan jawaban itu?" Sekar menatap serius atas pernyataan Rini."Kita berangkat sekarang?" Wira yang sudah terlihat rapi dan tampan menghampiri mereka dan langsung mendapatkan tatapan tajam."Apa yang kalian lihat? Kenapa menatap sampai seperti itu?" tanya Wira bingung."Tunggu, Mbak. Aku ulangi, siapa target laki-laki yang Mbak sukai?" Sekar mengulangi pertanyaan di hadapan Wira yang tidak mengerti topik pembahasan mereka."Dia. Sejak pertama kali bertemu, dia sudah membuatku jatuh hati." Sekar menatap seseorang yang Rini maksudkan."Kenapa Mas tidak mengelak. Apa kalian sudah menjalin hubungan?""Belum. Dia belum membalas perasaanku, tapi jahatnya dia selalu memberiku perhatian." Rini kembali yang menjawab rasa penasaran Sekar, akan hubungan yang sedang mereka jalani."Sebenarnya apa yang sedang kalian bahas? Tidak bisakah kita berangkat dulu.""Mas Panji ...
"Lantas jika bukan, lalu siapa dia?" Sekar balas bertanya atas pertanyaan yang Wira lontarkan."Dia ini hanya teman lama, dia memiliki suami yang semalam menyeretku dalam perkelahian bodoh itu. Apa kamu pikir dia kekasihku? Kenapa sikapmu seperti menghindariku sejak kemarin. Di Mall kemarin itu kamu kan? Dia memang bersamaku, tapi dia juga bersama suaminya. Kita teman akrab, tidak ada hubungan lebih.""Lalu kenapa Mas menjelaskan ini semua. Memangnya siapa aku? Mau dia pacar Mas atau bukan, itu terserah Mas."Mereka berdua bicara di dalam mobil, membiarkan yang lain menunggu setelah wanita yang bersama Wira pergi. Sekar tidak mau di ajak masuk, itu sebabnya mereka bicara di mobil."Aku hanya ingin menjelaskan saja. Apa salahnya? Aku pikir kamu menghindariku beberapa hari ini. Maaf jika aku bersikap salah padamu."Sekar diam, dia salah paham pada Wira karena gosip bohong itu. "Tanyakan apa yang ingin kamu tau dariku, jangan hanya diam ketika kamu ingin mengenalku lebih jauh. Bagaimana
"Aku tidak ingin membahasnya lagi. Aku juga tidak berbohong. Besok, aku tidak bisa datang. Bisakah aku cek laporan itu dari rumah?" Sekar tetaplah sama, tidak terbuka dengan perasaanya.Melihat Wira keluar rumah dinas, Sekar menghentikan pembahasan mereka. Dia pikir Wira sudah pulang, nyatanya dia masih di rumah."Masuklah, Ibu sudah siapkan makan malam. Di sini juga dingin," tutur Wira pada mereka berdua."Aku tidak lapar, tadi sudah makan sebelum ke sini," jawab Lastri."Temani dia makan, sejak semalam dia tidak makan. Ibu juga sudah siapkan," sahut Wira.Sekar diam, memainkan kakinya tanpa ingin menatap pria yang ada di hadapannya. Dia masih meyakini jika wanita itu memang kekasih Wira. "Dia sungguh tampan dari jarak dekat, daripada di foto." Lastri berbisik ketika Wira meninggalkan mereka dan berharap masuk."Sebaiknya kita masuk sebelum terkena omelan lagi." Mereka berdua masuk dan segera duduk di meja makan, terlihat dari t
"Apa masih dingin? Ada selimut kecil di laci itu, ambil dan pakai." Mereka meninggalkan Mall dengan Sekar yang banyak diam. Tidak ingin bertanya siapa wanita itu atau apapun."Tidak. Aku baik-baik saja.""Oh ya, apa seseorang yanvg mengajakmu tidak mengantarkanmu pulang. Atau kamu memang pergi sendiri?" tanya Wira dengan mata yang fokus jalanan yang padat merayap."Apa Mas Panji tidak mengatakan apapun?" Tatapanya datar, seakan tak ingin menjawab pertanyaan Wira."Hanya bilang menjemputmu saja, dan kebetulan aku di sini, jadi ya ..." ucapannya menggantung. Wira sendiri tidak menjelaskan siapa wanita tadi.Suasana mobil kembali sunyi. Sekar hanya fokus menatap jalanan kota, hujan masih turun walau tidak begitu lebat. Saat mobil berhenti karena lampu merah, Sekar dibuat terkejut ketika Wira tiba-tiba mengambilkan selimut yang dia katakan tadi. Otomatis tubuhnya condong ke arah Sekar. Sejenak dia menahan nafas sampai Wira memberikan selimut
Sekar terbangun setelah beberapa jam tidur, itu juga karena dia tidak bisa nyenyak tidur. "Mau ke mana, Mbak?" tanya Mbok Nanik saat melihat akan pergi."Apa Mas Panji hari ini datang, Mbok?""Aku tadi melihatnya, tapi dia bilang mau keluar sebentar, setelah melihat Mbak Sekar tidur. Apa mau keluar?" tanyanya lagi."Iya, mau beli sesuatu di depan sebentar.""Jangan pergi sendiri, tunggu Mas Panji saja. Dia bilang hanya sebentar kok." Mbok Nanik menghentikan langkah Sekar agar tidak pergi sendiri."Aku juga hanya sebentar, di dekat sini saja. Tidak akan lama. Nanti aku akan minta jemput Mas Panji, jadi tenang saja." Sekar bersikeras untuk pergi sendiri, tidak ingin menunggi Panji seperti permintaaan Mbok Nanik.Mempercayai ucapan Sekar, Mbok Nanik membiarkan pergi. Karena weekend, hanya beberapa yang berjaga di kediaman Presiden. Dia berjalan ke gerbang yang sedikit jauh dari rumah, tapi dia menikmatinya. Walau mendung, dia tetap ingin pergi. Rasa bosan menguasai dirinya, dia pergi seo