Share

06

Penulis: Nyemoetdz Kim
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-15 02:01:36

"Mau ke mana?"

Adi melihat putrinya sudah terlihat rapi dengan tas yang dia gendong di pundak kiri dan langkah yang tertatih. Dia tidak ingin dibantu, merasa bisa sendiri dan tidak mau merepotkan orang lain.

"Pergi kuliah, mau ke mana lagi. Menyusahkan saja kaki ini." Dia menjatuhkan pantatnya di samping ayahnya yang duduk di ruang tengah dengan beberapa berkas. Ingin sekali dia berlari dan kakinya hanya memperlambat langkah dia saja.

"Izin saja. Haruskah kamu memaksakan diri saat kakimu itu masih masa pemulihan," sahut Adi, tapi bisa apa dia saat putrinya sudah teguh pada pendiriannya untuk berangkat ke kampus.

"Aku merasa bosan jika terus di kamar, aku ingin kuliah saja." Bosan libur 2 hari saja dia sudah ingin pergi ke kampus, padahal dia harus menjalani masa pemulihan kurang lebih selama 2 minggu.

"Ya sudah, bagaimana kamu saja. Asal di antar pengawal menggunakan mobil." Sekar hanya menghela kasar, dia tidak bisa mengelak saat Adi sudah dengan keputusannya.

"Bolehkah berangkat dengan Mas Wira hari ini, Ayah?" Matanya berbinar saat meminta agar bisa diantarkan Wira. Dia juga memegang lengan Adi dan tatapan memohon.

"Tidak bisa. Setelah ini dia akan pergi bersama Ayah. Kemarin itu kebetulan saja. Kenapa harus dengan Wira, apa ..." ucapan Adi mengantung, dia sepertinya tau kalau putrinya menyukai Ajudan baru itu. Terlihat jelas dari mata putrinya. Dia tidak marah, karena Adi pikir itu hal wajar.

"Sudahlah, aku berangkat saja." Perlahan Sekar berjalan dengan alat bantu penyangga kaki keluar rumah dinas mereka karena gagal merayu ayahnya agar bisa diantar Wira.

Ketika akan menuruni tangga di depan rumah, dia sedikit kesulitan karena tas yang dibawa, apalagi penyangga kaki membuatnya tidak bisa bergerak bebas, sampai dia menjatuhkan tas dan membuat isinya berantakan.

"Susah sekali, bagaimana kalau kaki ini patah." Sekar membuat dirinya duduk untuk mengambil isi tas yang berserakan. Dia kesal, tapi bagaimana lagi kalau kakinya memang tidak bisa bergerak bebas.

"Biar saya bantu." Suara berat seseorang yang sangat Sekar kenal seketika membuat senyum itu mengembang. Kebetulan sekali pagi ini mereka dipertemukan sebelum dia pergi ke kampus.

"Laptopku," gerutu Sekar.

"Ini aman." Wira mengecek laptop yang memang ada di tas Sekar yang jatuh, namun tidak ada yang rusak. Setelah berhasil merapikan isi tas, Wira sekarang membuat tubuh Sekar berdiri.

"Terima kasih, Mas," tuturnya dengan malu. Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya, padahal dia sangat ingin bicara banyak dengan Wira.

"Tidak apa-apa, Mbak. Apa hari ini diantar Panji?" Dengan membantu Sekar turun tangga, dia mengajak putri Presiden itu bicara tanpa menatap Sekar yang fokus padanya.

"Bisakah Mas saja yang mengantarkanku?" tanya Sekar, tapi dengan suara lirih karena dia malu. Akan sangat senang Sekar kalau Wira bisa mengantarkannya ke kampus.

"Bagaimana, Mbak?" Karena tidak begitu dengar, Wira coba menanyakan apa yang Sekar katakan.

"Ah ... tidak, Mas. Aku tidak tau siapa yang akan mengantarku pergi hari ini." Hatinya kesal, dia tidak bisa dengan jujur mengatakan keinginannya.

"Kenapa ke kampus kalau masih sakit. Itu akan memaksa kerja kaki dan akan terasa sakit," jelas Wira.

"Ya memang sakit, tapi mau bagaimana. Aku bosan di kamar. Kalau saja ada yang mau menggendongku, itu akan membantu," ucapnya tanpa sadar.

Mendengar itu, Wira coba menghentikan langkah di tangga kedua dan coba menggendong putri semata wayang Presiden, seperti yang dilakukan beberapa hari ini.

"Loh ... aku kan!" Sekar memeluk erat tubuh Wira, karena terkejut. Biasanya Wira akan meminta maaf ketika mengangkat tubuhnya, kali ini tidak. Dia menggendong begitu saja setelah mengatakan keinginannya.

Wira membawanya ke mobil yang akan digunakan mengantar Sekar seperti keinginan. "Nanti bisa minta Panji untuk menggendong Anda masuk ke kelas kalau masih sakit, atau saya ambilkan kursi roda?"

"Tidak, Mas, aku hanya—"

"Pagi ini terlihat cerah, selamat pagi Mayor Wira," sapa Panji yang baru menghampiri mereka berdua. Tatapan Sekar seketika teralihkan saat Panji yang baru datang, dia mengalihkan pandangannya karena malu.

"Bawakan Mbak Sekar kursi roda, agar dia tidak kesulitan berjalan," pinta Wira.

"Tidak perlu, aku menggunakan tongkatku saja. Aku tidak lumpuh untuk menggunakan kursi roda." Sekar langsung menolaknya, dia tidak mau. Selagi dia masih berjalan walau tertatih, itu tidak masalah. Dia tidak mau dianggap manja karena luka kecil di kaki.

"Lebih baik Anda saja yang menggendongnya, Mayor," bisik Panji, yang berhasil membuat Wira menatapnya ketus.

"Apa Mas Panji yang mengantarku hari ini? Bisakah kita berangkat sekarang, Mas?" Merasa canggung, dia mengalihkan pembahasan mereka agar dia juga tidak semakin malu karena mulut Panji.

Sekar segera masuk, tanpa melihat Wira yang ada di luar mobil. Dia menatap Sekar yang dibuat malu dengan perkataan Panji. Entah dia sengaja menyindir atau bagaimana, tapi caranya menatap Sekar dan Wira sedikit menggoda.

"Kenapa? Apa terasa sakit?" tanya Panji membuyarkan lamunan Sekar yang sejak tadi menatap ke arah luar jendela.

"Ti–dak, Mas. Apa hanya kalian berdua yang mengantarkan aku hari ini?" tanya Sekar.

"Ada yang menggunakan motor seperti biasa, ada apa, Mbak?" Bukannya menjawab, Sekar hanya diam. Ingin dia pergi ke suatu tempat setelah kuliah hari ini, tapi apa itu bisa? Apalagi Adi memperketat penjagaan Sekar.

"Apa Mayor Wira tampan?" tanya Panji tiba-tiba.

"Iya ... oh, maaf maksudnya bagaimana ya?" Panji tersenyum dengan candaan yang dilontarkan dengan reflek dijawab iya oleh Sekar.

"Sepertinya kamu nyaman di gendong Mayor Wira, sampai tidak fokus dengan pertanyaanku," elak Panji.

"Maaf, Mas. Aku coba mengingat apa aku tidak melupakan tugasku." Kali ini giliran Sekar yang mengelak, dia dibuat malu dengan pertanyaan menjebak Panji.

"Laporkan Bapak saja, Mbak. Panji sengaja menggoda Anda," sahut pengawal yang duduk di samping Panji.

"Maaf, aku cuma bercanda. Kamu tau bagaimana diriku."

"Tenanglah, Mas, aku tidak akan melaporkan Mas kok, tapi bisakah nanti setelah dari kampus antar aku ke tempat waktu itu?" tanya Sekar.

"Ada apa? Apa ada yang membuatmu gundah?" Seperti tau jika tuannya sedang tidak baik, Panji bertanya kenapa tujuan Sekar ke tempat itu lagi.

"Hanya ingin menggambar saja, jika tidak boleh tidak apa-apa kok Mas. Aku tidak mau nanti menjadi masalah seperti waktu itu."

Ke mana Sekar ingin pergi, kenapa dia takut mereka mendapatkan masalah saat mengajak ke tempat tujuannya. Beberapa waktu setelah dia pindah ke Ibu Kota, selama itu juga hatinya tidak baik-baik saja. Dia harus menerima hal yang tidak dia mau, karena Adi menjadi seorang Presiden. Ada kesedihan dari sorot matanya, yang tidak pernah dia katakan pada siapapun. Wira menjadi pelampiasan hatinya agar lebih tenang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   30.

    "Lihat saja dulu. Nanti Mas bisa menyimpulkan sendiri, kenapa aku bersikap seperti tadi. Jika aku tidak sungguh-sungguh padamu, untuk apa aku membuang waktu untuk memikirkan Mas yang tidak membalas perasaanku."Sekar memberikan ponsel miliknya pada Wira. Dia tidak mungkin mengatakan saat ada Panji ataupun Rini. Bukan tidak percaya pada mereka, hanya saja pasti dia semakin tidak bisa bergerak karena penjagaan ketat dari ayahnya.Wira ingin ikut ke rumah dinas daripada memilih untuk pulang. Sesampainya di rumah, Sekar segera ke kamar. Mood nya buruk karena ucapan Wira, memang tidak salah, tapi terdengar memaksakan saja.Dalam ruang kerja yang juga banyak berbagai buku di ruangan itu, Wira duduk di sofa panjang dan coba mengecek ponsel Sekar. Dia coba melihat dari panggilan masuk. Begitu banyak panggilan tidak dijawab di sana, padahal Sekar sudah mengaktifkan mode blokir untuk penelepon spam, tapi tetap saja ada yang menghubunginya. B

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   29.

    "Mbak yakin dengan jawaban itu?" Sekar menatap serius atas pernyataan Rini."Kita berangkat sekarang?" Wira yang sudah terlihat rapi dan tampan menghampiri mereka dan langsung mendapatkan tatapan tajam."Apa yang kalian lihat? Kenapa menatap sampai seperti itu?" tanya Wira bingung."Tunggu, Mbak. Aku ulangi, siapa target laki-laki yang Mbak sukai?" Sekar mengulangi pertanyaan di hadapan Wira yang tidak mengerti topik pembahasan mereka."Dia. Sejak pertama kali bertemu, dia sudah membuatku jatuh hati." Sekar menatap seseorang yang Rini maksudkan."Kenapa Mas tidak mengelak. Apa kalian sudah menjalin hubungan?""Belum. Dia belum membalas perasaanku, tapi jahatnya dia selalu memberiku perhatian." Rini kembali yang menjawab rasa penasaran Sekar, akan hubungan yang sedang mereka jalani."Sebenarnya apa yang sedang kalian bahas? Tidak bisakah kita berangkat dulu.""Mas Panji ...

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   28.

    "Lantas jika bukan, lalu siapa dia?" Sekar balas bertanya atas pertanyaan yang Wira lontarkan."Dia ini hanya teman lama, dia memiliki suami yang semalam menyeretku dalam perkelahian bodoh itu. Apa kamu pikir dia kekasihku? Kenapa sikapmu seperti menghindariku sejak kemarin. Di Mall kemarin itu kamu kan? Dia memang bersamaku, tapi dia juga bersama suaminya. Kita teman akrab, tidak ada hubungan lebih.""Lalu kenapa Mas menjelaskan ini semua. Memangnya siapa aku? Mau dia pacar Mas atau bukan, itu terserah Mas."Mereka berdua bicara di dalam mobil, membiarkan yang lain menunggu setelah wanita yang bersama Wira pergi. Sekar tidak mau di ajak masuk, itu sebabnya mereka bicara di mobil."Aku hanya ingin menjelaskan saja. Apa salahnya? Aku pikir kamu menghindariku beberapa hari ini. Maaf jika aku bersikap salah padamu."Sekar diam, dia salah paham pada Wira karena gosip bohong itu. "Tanyakan apa yang ingin kamu tau dariku, jangan hanya diam ketika kamu ingin mengenalku lebih jauh. Bagaimana

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   27.

    "Aku tidak ingin membahasnya lagi. Aku juga tidak berbohong. Besok, aku tidak bisa datang. Bisakah aku cek laporan itu dari rumah?" Sekar tetaplah sama, tidak terbuka dengan perasaanya.Melihat Wira keluar rumah dinas, Sekar menghentikan pembahasan mereka. Dia pikir Wira sudah pulang, nyatanya dia masih di rumah."Masuklah, Ibu sudah siapkan makan malam. Di sini juga dingin," tutur Wira pada mereka berdua."Aku tidak lapar, tadi sudah makan sebelum ke sini," jawab Lastri."Temani dia makan, sejak semalam dia tidak makan. Ibu juga sudah siapkan," sahut Wira.Sekar diam, memainkan kakinya tanpa ingin menatap pria yang ada di hadapannya. Dia masih meyakini jika wanita itu memang kekasih Wira. "Dia sungguh tampan dari jarak dekat, daripada di foto." Lastri berbisik ketika Wira meninggalkan mereka dan berharap masuk."Sebaiknya kita masuk sebelum terkena omelan lagi." Mereka berdua masuk dan segera duduk di meja makan, terlihat dari t

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   26.

    "Apa masih dingin? Ada selimut kecil di laci itu, ambil dan pakai." Mereka meninggalkan Mall dengan Sekar yang banyak diam. Tidak ingin bertanya siapa wanita itu atau apapun."Tidak. Aku baik-baik saja.""Oh ya, apa seseorang yanvg mengajakmu tidak mengantarkanmu pulang. Atau kamu memang pergi sendiri?" tanya Wira dengan mata yang fokus jalanan yang padat merayap."Apa Mas Panji tidak mengatakan apapun?" Tatapanya datar, seakan tak ingin menjawab pertanyaan Wira."Hanya bilang menjemputmu saja, dan kebetulan aku di sini, jadi ya ..." ucapannya menggantung. Wira sendiri tidak menjelaskan siapa wanita tadi.Suasana mobil kembali sunyi. Sekar hanya fokus menatap jalanan kota, hujan masih turun walau tidak begitu lebat. Saat mobil berhenti karena lampu merah, Sekar dibuat terkejut ketika Wira tiba-tiba mengambilkan selimut yang dia katakan tadi. Otomatis tubuhnya condong ke arah Sekar. Sejenak dia menahan nafas sampai Wira memberikan selimut

  • Terpikat Mayor Ajudan Bapak   25.

    Sekar terbangun setelah beberapa jam tidur, itu juga karena dia tidak bisa nyenyak tidur. "Mau ke mana, Mbak?" tanya Mbok Nanik saat melihat akan pergi."Apa Mas Panji hari ini datang, Mbok?""Aku tadi melihatnya, tapi dia bilang mau keluar sebentar, setelah melihat Mbak Sekar tidur. Apa mau keluar?" tanyanya lagi."Iya, mau beli sesuatu di depan sebentar.""Jangan pergi sendiri, tunggu Mas Panji saja. Dia bilang hanya sebentar kok." Mbok Nanik menghentikan langkah Sekar agar tidak pergi sendiri."Aku juga hanya sebentar, di dekat sini saja. Tidak akan lama. Nanti aku akan minta jemput Mas Panji, jadi tenang saja." Sekar bersikeras untuk pergi sendiri, tidak ingin menunggi Panji seperti permintaaan Mbok Nanik.Mempercayai ucapan Sekar, Mbok Nanik membiarkan pergi. Karena weekend, hanya beberapa yang berjaga di kediaman Presiden. Dia berjalan ke gerbang yang sedikit jauh dari rumah, tapi dia menikmatinya. Walau mendung, dia tetap ingin pergi. Rasa bosan menguasai dirinya, dia pergi seo

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status