"Mau ke mana?"
Adi melihat putrinya sudah terlihat rapi dengan tas yang dia gendong di pundak kiri dan langkah yang tertatih. Dia tidak ingin dibantu, merasa bisa sendiri dan tidak mau merepotkan orang lain. "Pergi kuliah, mau ke mana lagi. Menyusahkan saja kaki ini." Dia menjatuhkan pantatnya di samping ayahnya yang duduk di ruang tengah dengan beberapa berkas. Ingin sekali dia berlari dan kakinya hanya memperlambat langkah dia saja. "Izin saja. Haruskah kamu memaksakan diri saat kakimu itu masih masa pemulihan," sahut Adi, tapi bisa apa dia saat putrinya sudah teguh pada pendiriannya untuk berangkat ke kampus. "Aku merasa bosan jika terus di kamar, aku ingin kuliah saja." Bosan libur 2 hari saja dia sudah ingin pergi ke kampus, padahal dia harus menjalani masa pemulihan kurang lebih selama 2 minggu. "Ya sudah, bagaimana kamu saja. Asal di antar pengawal menggunakan mobil." Sekar hanya menghela kasar, dia tidak bisa mengelak saat Adi sudah dengan keputusannya. "Bolehkah berangkat dengan Mas Wira hari ini, Ayah?" Matanya berbinar saat meminta agar bisa diantarkan Wira. Dia juga memegang lengan Adi dan tatapan memohon. "Tidak bisa. Setelah ini dia akan pergi bersama Ayah. Kemarin itu kebetulan saja. Kenapa harus dengan Wira, apa ..." ucapan Adi mengantung, dia sepertinya tau kalau putrinya menyukai Ajudan baru itu. Terlihat jelas dari mata putrinya. Dia tidak marah, karena Adi pikir itu hal wajar. "Sudahlah, aku berangkat saja." Perlahan Sekar berjalan dengan alat bantu penyangga kaki keluar rumah dinas mereka karena gagal merayu ayahnya agar bisa diantar Wira. Ketika akan menuruni tangga di depan rumah, dia sedikit kesulitan karena tas yang dibawa, apalagi penyangga kaki membuatnya tidak bisa bergerak bebas, sampai dia menjatuhkan tas dan membuat isinya berantakan. "Susah sekali, bagaimana kalau kaki ini patah." Sekar membuat dirinya duduk untuk mengambil isi tas yang berserakan. Dia kesal, tapi bagaimana lagi kalau kakinya memang tidak bisa bergerak bebas. "Biar saya bantu." Suara berat seseorang yang sangat Sekar kenal seketika membuat senyum itu mengembang. Kebetulan sekali pagi ini mereka dipertemukan sebelum dia pergi ke kampus. "Laptopku," gerutu Sekar. "Ini aman." Wira mengecek laptop yang memang ada di tas Sekar yang jatuh, namun tidak ada yang rusak. Setelah berhasil merapikan isi tas, Wira sekarang membuat tubuh Sekar berdiri. "Terima kasih, Mas," tuturnya dengan malu. Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya, padahal dia sangat ingin bicara banyak dengan Wira. "Tidak apa-apa, Mbak. Apa hari ini diantar Panji?" Dengan membantu Sekar turun tangga, dia mengajak putri Presiden itu bicara tanpa menatap Sekar yang fokus padanya. "Bisakah Mas saja yang mengantarkanku?" tanya Sekar, tapi dengan suara lirih karena dia malu. Akan sangat senang Sekar kalau Wira bisa mengantarkannya ke kampus. "Bagaimana, Mbak?" Karena tidak begitu dengar, Wira coba menanyakan apa yang Sekar katakan. "Ah ... tidak, Mas. Aku tidak tau siapa yang akan mengantarku pergi hari ini." Hatinya kesal, dia tidak bisa dengan jujur mengatakan keinginannya. "Kenapa ke kampus kalau masih sakit. Itu akan memaksa kerja kaki dan akan terasa sakit," jelas Wira. "Ya memang sakit, tapi mau bagaimana. Aku bosan di kamar. Kalau saja ada yang mau menggendongku, itu akan membantu," ucapnya tanpa sadar. Mendengar itu, Wira coba menghentikan langkah di tangga kedua dan coba menggendong putri semata wayang Presiden, seperti yang dilakukan beberapa hari ini. "Loh ... aku kan!" Sekar memeluk erat tubuh Wira, karena terkejut. Biasanya Wira akan meminta maaf ketika mengangkat tubuhnya, kali ini tidak. Dia menggendong begitu saja setelah mengatakan keinginannya. Wira membawanya ke mobil yang akan digunakan mengantar Sekar seperti keinginan. "Nanti bisa minta Panji untuk menggendong Anda masuk ke kelas kalau masih sakit, atau saya ambilkan kursi roda?" "Tidak, Mas, aku hanya—" "Pagi ini terlihat cerah, selamat pagi Mayor Wira," sapa Panji yang baru menghampiri mereka berdua. Tatapan Sekar seketika teralihkan saat Panji yang baru datang, dia mengalihkan pandangannya karena malu. "Bawakan Mbak Sekar kursi roda, agar dia tidak kesulitan berjalan," pinta Wira. "Tidak perlu, aku menggunakan tongkatku saja. Aku tidak lumpuh untuk menggunakan kursi roda." Sekar langsung menolaknya, dia tidak mau. Selagi dia masih berjalan walau tertatih, itu tidak masalah. Dia tidak mau dianggap manja karena luka kecil di kaki. "Lebih baik Anda saja yang menggendongnya, Mayor," bisik Panji, yang berhasil membuat Wira menatapnya ketus. "Apa Mas Panji yang mengantarku hari ini? Bisakah kita berangkat sekarang, Mas?" Merasa canggung, dia mengalihkan pembahasan mereka agar dia juga tidak semakin malu karena mulut Panji. Sekar segera masuk, tanpa melihat Wira yang ada di luar mobil. Dia menatap Sekar yang dibuat malu dengan perkataan Panji. Entah dia sengaja menyindir atau bagaimana, tapi caranya menatap Sekar dan Wira sedikit menggoda. "Kenapa? Apa terasa sakit?" tanya Panji membuyarkan lamunan Sekar yang sejak tadi menatap ke arah luar jendela. "Ti–dak, Mas. Apa hanya kalian berdua yang mengantarkan aku hari ini?" tanya Sekar. "Ada yang menggunakan motor seperti biasa, ada apa, Mbak?" Bukannya menjawab, Sekar hanya diam. Ingin dia pergi ke suatu tempat setelah kuliah hari ini, tapi apa itu bisa? Apalagi Adi memperketat penjagaan Sekar. "Apa Mayor Wira tampan?" tanya Panji tiba-tiba. "Iya ... oh, maaf maksudnya bagaimana ya?" Panji tersenyum dengan candaan yang dilontarkan dengan reflek dijawab iya oleh Sekar. "Sepertinya kamu nyaman di gendong Mayor Wira, sampai tidak fokus dengan pertanyaanku," elak Panji. "Maaf, Mas. Aku coba mengingat apa aku tidak melupakan tugasku." Kali ini giliran Sekar yang mengelak, dia dibuat malu dengan pertanyaan menjebak Panji. "Laporkan Bapak saja, Mbak. Panji sengaja menggoda Anda," sahut pengawal yang duduk di samping Panji. "Maaf, aku cuma bercanda. Kamu tau bagaimana diriku." "Tenanglah, Mas, aku tidak akan melaporkan Mas kok, tapi bisakah nanti setelah dari kampus antar aku ke tempat waktu itu?" tanya Sekar. "Ada apa? Apa ada yang membuatmu gundah?" Seperti tau jika tuannya sedang tidak baik, Panji bertanya kenapa tujuan Sekar ke tempat itu lagi. "Hanya ingin menggambar saja, jika tidak boleh tidak apa-apa kok Mas. Aku tidak mau nanti menjadi masalah seperti waktu itu." Ke mana Sekar ingin pergi, kenapa dia takut mereka mendapatkan masalah saat mengajak ke tempat tujuannya. Beberapa waktu setelah dia pindah ke Ibu Kota, selama itu juga hatinya tidak baik-baik saja. Dia harus menerima hal yang tidak dia mau, karena Adi menjadi seorang Presiden. Ada kesedihan dari sorot matanya, yang tidak pernah dia katakan pada siapapun. Wira menjadi pelampiasan hatinya agar lebih tenang."Mas—" Wira malah diam tanpa memberi jawaban atas apa yang Sekar katakan."Ya, aku pulang. Kalau begitu tutup teleponya." Wira tidak bisa membohongi Sekar dan memilih pulang.Dalam perjalanan pulang dia menghubungi Gala untuk tidak jadi pergi karena Sekar memintanya pulang. Mungkin belum waktunya dia menemukan kebenaran akan keluarganya.Dengan perasaan yang campur aduk, Wira masuk ke dalam rumah. Dia bersikap tidak terjadi apapun dan mendengarkan apa yang Sekar mau. Bukan apa-apa, hanya memeluk tubuh suaminya saja, dan mengajaknya bicara. Padahal ada hal yang lebih penting. Masalahnya Wira tidak menceritakan, kalau saja bilang dengan jujur mungkin Sekar mengiyakan."Mas tidak kembali ke Batalyon?" Setelah beberapa saat di rumah dan menemani suaminya makan, Sekar berbaring di pangkuan Wira yang duduk menatap layar TV."Tidak. Aku akan menemanimu. Mau ke kamar sekarang? Aku akan membantumu.""Tidak ap
"Mas, ada apa? Bangunlah! Mas!" Panggilan Sekar membuat Wira yang tidur sambil berteriak membuka mata dengan nafas memburu."Ada apa, Mas?" tanya Sekar yang duduk sambil menatap Wira.Tanpa menjawab, Wira bangun dan memeluk erat tubuh istrinya. Nafasnya masih memburu tanpa mengatakan apapun. Sekar yang khawatir membalas pelukan Wira dengan mengusap pelan punggung suaminya. Keringat membanjiri tubuhnya, tapi tidak peduli akan itu Sekar masih memeluknya."Maaf, aku bermimpi buruk. Seseorang mengejarku sampai akhirnya dia berhasil mencekik ku.""Minumlah dulu." Sekar menyodorkan air minum untuk suaminya. Dia tampak seperti orang yang baru berlari bermil-mil jauhnya."Beberapa hari ini Mas terus bermimpi buruk, ada apa sebenarnya? Apa ada beban pikiran yang Mas tidak katakan padaku? Ceritakan saja Mas jika itu menganggu dirimu." Wira hanya menggeleng pelan. Dia kembali membawa Sekar dalam pelukanya.Sete
— Flashback —Seorang anak laki-laki berusia 19 tahun sedang menggendong adiknya keluar rumah agar tangis sang adik berhenti, namun tidak. Sepanjang jalan adiknya terus menangis dalam gendongannya. Terpaut usia 14 tahun, tidak membuat anak laki-laki itu lantas malu memilik adik, apalagi dia harus merawat adiknya ketika kedua orang tuanya sibuk bekerja.Hidupnya sendiri sudah berat dan jarang mendapatkan kasih sayang, sekarang di usianya 18 tahun, dia harus merawat adiknya yang baru 5 tahun. Tubuhnya sangat lelah, namun dia tetap coba membujuk adiknya agar tidak menangis lagi. Sejak pagi sang adik sudah menyusahkan neneknya.Dia, Wira Cahyadi, peserta Taruna Akmil yang sedang menjalani pendidikanya untuk menjadi Perwira. Dia mendapatkan ini karena kemapuannya, selain tampan, dia juga pintar. Itu sebabnya dia berhasil masuk dengan sekali tes, dan beasiswa yang dia dapat."Mas, mau ibu ..." rengek anak kecil yang ada di gendonganya.
10 lembar uang pecahan 100 dolar berserta surat menjadi fokus Wira. Dia diam dalam mobil sebelum melajukannya, dia penasaran siapa sebenarnya yang mengirimkan uang sebanyak itu."Bawa Mas saja, aku tidak mau membawanya," ucap Gala."Jika ini memang dari mereka, untuk apa baru sekarang mereka memberinya." Wira langsung berpikir jika itu dari orang tuanya, siapa lagi pikirnya, apalagi kata-kata dalam suratnya seperti itu."Tidak tau, bagiku Mas jauh berarti dari mereka, karena Mas aku bisa seperti ini. Aku tidak mengenal mereka dan tidak ingin bertemu dengan mereka."Wira diam, dia sendiri bingung. Hati kecilnya mengatakan hal yang sama, namun dia juga ingin tau apa orang tuanya masih hidup atau tidak dan alasan apa yang membuat mereka pergi begitu saja."Jangan ceritakan pada Sekar nanti, aku tidak ingin dia malah kepikiran dengan hal yang tidak jelas kebenaranya. Iya kalau ini dari mereka, jika tidak bagaimana. Se
"Masih terasa mual? Kita pulang saja ya?" Pria yang mengenakan Jas biru dongker, kemeja putih dengan kancing atas dibuka itu sedang berjongkok menatap istrinya yang mengeluh mual. Wanita cantik dengan kebaya warna baby blue itu coba mengatur nafas agar tidak memuntahkan isi perutnya. Sikapnya begitu manja dengan menyandarkan kepala pada bahu sang suami."Tidak mau," rengeknya."Tunggu di sini biar aku minta air hangat." Wira kemudian beranjak untuk mengambilkan air hangat untuk istrinya. Penuh perhatian hingga seseorang yang sejak tadi menatap interaksi mereka berjalan menghampiri Sekar."Suamimu baik sekali, tampan lagi. Beruntung kau mengenalnya, Mbak," sahut salah satu sepupu Sekar."Makanya jadi cegil agar kau bisa mendapatkan apa yang kau mau. Jangan hanya diam sambil menunggu.""Ngomong-ngomong, Mas Panji apa sudah menikah. Dia terlihat sangat tampan, lihatlah," tuturnya sambil menatap Panji y
"Sudah merasa lebih baik?" Wira menopang tubuh istrinya yang lemas karena sejak tadi terus memuntahkan isi perutnya. Tanpa rasa jijik Wira membantu sang istri ke kamar mandi. Tak hanya itu, dia juga menggendong tubuh istrinya. Membawa kembali ke atas tempat tidur. Bertambah hari, perut Sekar sering merasa mual hingga muntah. "Tidurlah lagi, masih terlalu pagi," ucap Wira dengan lembut. "Maafkan aku mengganggu waktu tidur Mas," jawab Sekar. "Sudah jangan pikirkan, mau minum yang hangat dulu?" Wira mengambilkan istrinya minum air hangat agar lebih enakan. Setelahnya mereka kembali berbaring dengan Sekar memeluk tubuh suaminya. Usia kandungannya jalan 12 minggu, dan beberapa hari ini Sekar mulai merasakan mual yang mengganggu harinya. Dia beruntung suaminya, Wira, selelah apa dia masih mau membantu istrinya. Seperti sekarang, dia baru pulang pukul 11 malam dan saat akan tidur malah Sekar