Mag-log inSuasana rumah keluarga Leonardo masih tegang sejak pagi. Leonardo duduk di ruang kerja dengan kedua tangan saling meremas, pandangannya kosong ke arah jendela besar yang seharusnya memperlihatkan pemandangan menenangkan.Namun hari itu, apa pun yang ia lihat hanya kabur oleh rasa bersalah yang terus menghantam.Gabby mondar-mandir di dekat pintu, menatap ponselnya berulang kali meski jelas Alessia tidak akan menghubungi mereka.Napasnya berat, dan setiap detik terasa seperti jam ketika mereka tidak tahu di mana sahabatnya itu berada.Pintu utama tiba-tiba terbuka.Anthony masuk dengan langkah cepat, napas sedikit terengah karena bergegas. Begitu melihat wajah Leonardo dan Gabby yang sama-sama tegang, ia sudah tahu kabar itu benar.“Tuan,” panggil Anthony, suaranya datar namun jelas mengandung urgensi. “Nona Gabby menelponku. Apa benar Nona Alessia pergi?”Leonardo menoleh perlahan, seperti seseorang yang kehilangan kata-kata. “Dia … dia pergi tanpa meninggalkan satu pesan pun.”Anthon
Pagi itu, sinar matahari belum sepenuhnya menembus tirai-tirai panjang di lorong lantai dua rumah besar keluarga Deveroux.Suasana masih lengang, tenang, bahkan sedikit dingin. Leonardo berjalan cepat menuju kamar Alessia, napasnya belum stabil sejak semalaman dia memikirkan kata-kata terakhir yang gadis itu lontarkan sebelum mengurung diri.Ada gelisah yang tidak bisa dia jelaskan, seolah hatinya mengetahui bahwa ada sesuatu yang lebih buruk dari sekadar kemarahan.Tok. Tok. Tok.“Alessia?” panggilnya sambil mengetuk pelan. Namun, tidak ada jawaban.Dia mengetuk lagi, sedikit lebih keras. “Alessia, aku masuk.”Tangannya menyentuh gagang pintu. Tak terkunci.Dahi Leonardo berkerut. Karena semalam pintunya masih terkunci. Namun, tiba-tiba pagi ini pintu kamar itu sudah tidak terkunci.Dia lalu membuka pintunya perlahan. Kamar itu sunyi.Leonardo masuk dengan langkah tergesa, pandangannya menyapu seluruh ruangan. Tempat tidur rapi, bantal tersusun seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda ia
Di dalam kamarnya, Alessia menutup pintu dan memutarnya sampai bunyi klik terdengar jelas, seolah itu satu-satunya hal yang bisa melindunginya dari seluruh dunia yang tiba-tiba runtuh.Begitu pintu terkunci, tubuhnya melemas. Ia jatuh berlutut, tangannya gemetar saat meraih figura kecil di meja samping tempat tidur, foto kedua orang tuanya, satu-satunya hal yang selalu ia bawa sejak semuanya berubah bertahun-tahun lalu.Begitu jari-jarinya menyentuh bingkainya, air mata langsung pecah.“Papa, Mama,” suaranya retak dan pecah bukan lagi seperti suara seorang perempuan dewasa, melainkan anak kecil yang kehilangan tempat pulang.Alessia memeluk figura itu erat-erat ke dadanya, seperti ingin menempelkan bayangan kedua orang tuanya kembali ke dalam rongga hatinya yang kini hancur berantakan.Tangisannya memecah hening malam, jeritan lirih yang teredam oleh dinding kamar namun cukup keras untuk membuat pundaknya terguncang hebat.“Aku bodoh,” isaknya, suara terputus-putus. “Bodoh sekali.”Ai
Pintu ruang kerja baru saja tertutup ketika Leonardo melangkah masuk. Jas masih melekat di tubuhnya, dasi sedikit longgar, wajah lelah.Begitu melihat Alessia berdiri di tengah ruangan, dia tersenyum tipis dan mengulurkan tangan, berniat hendak memeluknya.Tetapi Alessia mundur. Mata mereka bersitatap dengan hening yang menggigit di ruangan itu.“Ada apa?” tanya Leonardo dengan lembut.Alessia tidak membalas. Tubuhnya tegang, bibirnya bergetar, matanya penuh sesuatu yang menghantam ke dalam.Leonardo merasakan hawa berbeda hingga akhirnya senyumnya lenyap. “Alessia?” panggilnya pelan.Wanita itu mengangkat koran yang terlipat. Sudut-sudutnya kusut, bekas jemarinya yang gemetar masih terlihat. Dia mengangkatnya setinggi dada Leonardo.“Apa ini?” tanyanya dengan nada yang begitu tajam dan dalam. Leonardo sontak membeku. Selama sekejap, dia tidak bernapas. Koran itu, yang seharusnya tidak ditemukan, sekarang berada di tangan Alessia. Mata pria itu memudar, seperti seseorang yang tiba-ti
Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul sembilan malam.Alessia baru saja tiba di rumah, memeluk cardigan tipisnya erat-erat.Udara malam terasa lebih menusuk daripada biasanya, seolah rumah itu sendiri sedang menyimpan sesuatu. Leonardo belum pulang, masih ada urusan dengan klien yang muncul mendadak.Sebelum pergi, dia sempat menunduk, mencium kening Alessia, dan berkata pelan namun tegas, “Ada beberapa dokumen di ruang kerja, tolong rapikan. Aku akan cek malam ini.”Alessia mengangguk, tanpa berpikir apa pun. Itu bukan permintaan yang aneh karena Leonardo sering meminta hal semacam itu.Dia sudah terbiasa masuk ke ruang kerjanya, menata berkas, menyiapkan materi, atau menambahkan sticky notes di sudut-sudut dokumen sesuai instruksinya.Namun kini, ketika dia berdiri di depan pintu kayu gelap menuju ruang kerja Leonardo, rasanya berbeda.Seakan ruangan itu memancarkan aura misterius yang tak pernah ia sadari sebelumnya.Lampu di lorong remang, dan suara langkah sepatu Alessia te
Rafael duduk bersandar di atas matras tebal yang belum sempat dilipat sejak sore.Angin malam dari arah danau berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang digesek angin.Suasana berkemah itu seharusnya membuatnya rileks, tapi matanya justru terpaku pada dua sosok yang sedang tertawa pelan di tepi air.Leonardo dan Alessia.Keduanya duduk di batu besar dekat tepian, bercanda tentang entah apa, namun Rafael bisa mendengar tawa ringan Alessia yang kadang pecah.Leonardo terlihat jauh lebih santai daripada yang pernah ia lihat di kantor—bahkan terlalu santai untuk ukuran seorang pria yang begitu disiplin di ruang kerja.Rafael menghela napas pelan, pandangannya tak lepas dari dua sosok yang tampak terlalu menyatu itu. “Bagaimana bisa mereka menjalin hubungan?” gumamnya tanpa memandang ke arah lain.Gabby, yang sedang menyeruput cokelat panas dari termos kecil, menoleh dan menaikkan alisnya. “Menurutmu kenapa?” Dia menirukan nada aneh Rafael.“Serius, Gab. Maksudku, bagaiman







