Share

Chapter 5

Karena di hari pertama perkuliahan tidak ada penyampaian materi perkuliahan, setelah selesai mengabsen dan memberi sedikit pengarahan, serta sesi tanya jawab, Martin pun akhirnya mengakhiri kelas.

Semua mahasiswa dan mahasiswi pergi meninggalkan kelas, terkecuali Wendy, karena ia diminta Martin untuk jangan dulu meninggalkan ruangan. Oleh karena itu, Wendy hanya duduk manis di tempat duduknya melihat satu persatu teman kelas melewati pintu.

Ia lalu mengalihkan pandangannya pada DPA-nya yang tampak sedang sibuk memeriksa ponselnya sembari menunggu semua orang meninggalkan kelas. "Hm, apa saja yang ingin dia bicarakan denganku ya?" pikir Wendy.

Ting!

Tiba-tiba ponsel Wendy berdering, pertanda sebuah pesan singkat baru saja terkirim padanya.

Menyadari hal itu, Wendy langsung mengambil ponselnya untuk mengetahui siapakah si pengirim pesan itu.

Setelah memastikannya seketika wajah manis gadis itu tertekuk, tampak sekali raut wajahnya sangat tidak senang dengan apa yang dibacanya.

"Semangat menjalani hari pertama sebagai seorang mahasiswi, Baby!" Seperti itulah isi pesan dari Chris, si pengirim yang mampu membuat suasana hatinya berubah menjadi sangat buruk.

Meski malas, Wendy pun membalas pesan itu karena hal itu adalah sebuah kewajiban baginya untuk membalas setiap pesan yang dikirim Chris walaupun pesan itu amat sangat tidak penting.

"Ya," balas Wendy dengan sangat singkat.

"Sedang ngambek pada kekasihmu, hm" ucap Martin yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan Wendy.

Sontak mendengar suara yang tiba-tiba itu, membuat Wendy kaget bukan main. Ia langsung menoleh pada pria yang berdiri di depannya itu dan tampaklah tampang ramah dosen itu tersenyum sembari memandanginya.

"Ah! Tidak Pak, ini hanya sebuah pesan dari orang yang begitu sangat menyebalkan," sangkal Wendy dengan jantung yang berdegup begitu kencang karena saking terkejutnya.

"Santai saja, tak perlu gugup begitu, maafkan tadi Saya tidak sengaja melihat isi balasanmu," timpal Martin dengan santainya.

"Ti ... Tidak apa-apa, Pak. Tapi benar Pak, dia ini bukan kekasih Saya!" Untuk mendalami karakternya sebagai Bella Valentine agar sesuai dengan apa yang diinginkan Chris, ia pun bertingkah seperti mahasiswi polos yang cukup pemalu.

"Hahahaha, ya, ya, baiklah." Martin tertawa, lalu pergi membawa sebuah kursi dan menempatkannya berhadapan dengan Wendy, kemudian duduk dengan santainya di sana.

"Ngomong-ngomong, ada apa ya Bapak meminta Saya jangan dulu pergi?" tanya Wendy setelah ia melihat dosennya itu duduk dengan baik.

"Hm, sebenarnya tidak terlalu penting juga, sebagai DPA-mu Saya hanya ingin tahu mengenai mahasiswi baru ini," jawab Martin sembari memeriksa kembali ponselnya.

Wendy hanya diam memperhatikan pria yang tampak seperti sedang membaca sesuatu di ponselnya itu.

“Em, Pak, Saya –“

“Saya ingin mendengar tanggapanmu mengenai sesuatu, boleh kan?” sela pria itu setelah ia selesai dengan ponselnya.

“Tentu saja, Pak, tapi mengenai apa ya?” Wendy penasaran dengan permintaan yang tiba-tiba itu.

“Saya baru saja membaca sebuah artikel berita mengenai kasus ditemukannya mayat tanpa identitas di taman beberapa waktu yang lalu, Kau tahu kasus itu kan?” tanya Martin yang kemudian dibalas dengan sebuah anggukan dari Wendy yang sebenarnya sangat gugup. Tentu wendy sangat gugup mengingat kasus itu sangat ada hubungannya dengan dirinya. Namun karena Wendy ahli dalam menyembunyikan perasaannya, ia pun tampak biasa saja menampakkan ekspresinya.

“Baguslah, bagaimana tanggapanmu mengenai kasus itu?” sambungnya sembari memasang tampang antusias menunggu tanggapan dari wanita itu.

“Kasus itu cukup ramai diperbincangkan, memang tampak seperti pembunuhan biasa saja, tapi mengetahui sampai sekarang Saya tidak menemukan perkembangan apa pun mengenai kasus itu di media masa mana pun, Saya jadi meragukan bahwa itu bukanlah pembunuhan biasa,” tutur Wendy dengan sangat hati-hati memaparkan apa yang dipikirkannya tanpa menyinggung sedikit pun pada dirinya atau pun organisasi di balik pembunuhan pria yang ia eksekusi itu.

Tampak pria itu tetap memasang senyumnya sembari mendengarkan baik-baik mengenai tanggapan Wendy atas apa yang ia tanyakan itu. “Lalu mengapa Kau berpikir seperti itu?” tanyanya seakan menunjukkan bahwa ia ingin mendengar lebih banyak mengenai pemikiran mahasiswi barunya itu.

“Jika kasus itu hanya kasus biasa, normalnya dalam beberapa hari kemudian ada kabar terbaru muncul di media, entah itu mengenai perkembangan kasus, atau pun jika memang sesulit itu pasti ada berita yang mengabarkan tentang kesulitan apa yang dialami kepolisian, dan sekurang-kurangnya pasti ada satu berita tidak bermutu yang memberitakan mengenai hal itu, tetapi sampai sekarang Saya tidak menemukan satu pun lagi berita terbaru mengenai pembunuhan itu.” Wendy mengungkapkan apa yang ia tahu dari perkembangan berita itu.

“Yap, Saya juga memikirkan hal yang sama. Tapi sebenarnya yang paling menarik perhatian Saya adalah pelaku pembunuhan itu, Aku sangat penasaran dengan orang yang membunuh pria itu dengan tangannya sendiri,” timpal Martin sembari menggosok-gosok kedua tangannya dengan sangat cepat seolah ia begitu antusias dengan pembicaraan yang menjurus pada hal yang paling ia sukai, yaitu tebak-tebakan.

Wendy terdiam sembari mengerutkan kening seakan sedang menunjukkan perasaan herannya itu, meski sebenarnya ia merasa was-was mengenai apakah pria itu mencurigai dirinya sebagai pembunuh dari pria tanpa identitas itu atau apa.

“Em, kenapa memangnya, Pak? Apakah Bapak tahu sesuatu tentang pembunuh itu?” tanya Wendy dengan tampang sok polosnya itu.

“Hm, entahlah, Saya sama halnya dengan orang-orang yang hanya tahu sesuatu dari media, meski kasus itu terjadi di kota ini, tepat di bawah hidung Saya sendiri, tapi kemungkinan langka itu sangat sulit sekali ditemui dalam kehidupan secara langsung,” ujar dosen aneh itu. “Tapi meski begitu, Saya benar-benar ingin tahu lebih banyak mengenai penjahat itu,” sambungnya yang entah mengapa terdengar seperti menekankan keinginannya.

Martin terdiam setelah mengatakan hal itu. Ia terus memandangi Wendy dengan penuh selidik hingga akhirnya ia mulai membuka mulut kembali. “Well, Kita sudahi diskusinya, dan beralih pada hal-hal menarik yang kutemukan dari data-data mengenai dirimu dari berkas pendaftaranmu.”

Mendengar hal itu, Wendy langsung merasa tegang, ia khawatir jika pria itu benar-benar menemukan sesuatu yang mencurigakan dan langsung menunjuk bahwa dirinya adalah pelaku dari kasus pembunuhan pria tanpa identitas itu.

“Aku harus waspada pada pria ini, sepertinya di masa depan ia akan menjadi orang yang begitu sangat merepotkan bagiku,” pikir Wendy.

Menyadari ketegangan yang tak dapat disembunyikan Wendy, Martin tertawa dan berusaha menenangkannya. “Hahaha, tak perlu tegang begitu, tenang saja, Saya hanya ingin berbincang-bincang saja denganmu, Kau tahu? Saya memang begini orangnya, Saya ingin mengenal semua mahasiswa di bawah bimbingan Saya agar Saya bisa melindungi mereka, termasuk Kau,” ucapnya sembari memasang tatapan lembut pada wanita yang duduk di hadapannya itu.

Wendy sedikit tertegun mendengar alasan itu. Akhirnya ia mendapat jawaban mengenai alasan mengapa mahasiswa dan mahasiswi di kelas ini tampak sangat akrab dengan dosen yang satu ini. Ia bisa merasakannya saat perkuliahan tadi yang terasa tidak menegangkan sebagaimana biasanya para mahasiswa akan merasa sungkan untuk berinteraksi dengan dosennya.

“Ba … Baik Pak, maaf, Saya hanya takut bapak menanyakan materi perkuliahan yang sudah-sudah karena sejujurnya Saya lupa-lupa ingat mengenai hal itu, hehehe,” ucap Wendy yang kini kembali memasang senyum polosnya pada pria yang tampak sangat lembut itu.

Setelah itu, mereka pun berbincang dengan asyik, sampai-sampai mereka tidak menyadari keberadaan Reynold yang sedari tadi berdiri diam memperhatikan mereka berdua di daun pintu tanpa melakukan pergerakan sedikit pun. Ia sengaja melakukan hal itu karena tak ingin ikut terlibat dengan apa pun yang sedang kedua orang itu bicarakan.

Tak lama, Wendy pun akhirnya menyadari pemuda yang tampak tengah memandang ke arahnya dengan tampang datar seakan ia menyembunyikan sesuatu di balik tampang yang tak terbaca itu.

“Reynold!” Wendy bergumam dalam hati melihat targetnya kini benar-benar berada di depan matanya kembali.

Menyadari Wendy yang terdiam dengan pandangannya terfokus pada sesuatu yang berada di belakangnya, Martin pun menoleh ke belakang untuk memastikannya.

“Oh, Kau ternyata, Masuklah, Rey!” ucap Martin dengan antusias mempersilakan pemuda datar itu untuk bergabung bersama mereka.

Reynold hanya mengangguk, lalu berjalan menuju tempat duduk kosong di sebelah Wendy, kemudian duduk di sana.

Wendy yang melihat kedatangannya itu tak melepaskan pandangannya pada pemuda itu. Ia tampak seakan tertegun melihat betapa tampan dan berkarismanya target yang ia incar itu. Tentu itu hanyalah gimik yang wanita itu lakukan sebagai langkah pertamanya untuk membangun karakteristiknya serta untuk mendapat perhatian Reynold tentunya.

Meski menyadari dirinya diperhatikan, Reynold tampak tidak memedulikan hal itu karena memang ia sering sekali mendapat perlakuan seperti itu dari gadis-gadis yang melihat dirinya di sekitar mereka. Pandangannya hanya lurus pada dosennya yang malah tersenyum jahil melihat mereka berdua secara bergantian.

“Hoo … Rey, sepertinya Kau punya penggemar baru,” komentar Martin dengan nada jahil.

Reynold tidak menanggapi kejahilan secara verbal itu, ia tetap diam sembari memandang datar pada dosennya itu.

“Hahaha, dingin seperti biasa …” ucap Martin yang kemudian beralih pada Wendy yang masih memandangi Reynold dari tempat duduknya. “Em, Bella, Saya tahu Rey begitu sangat tampan, tapi tidak usah sampai seperti itulah … Pst … Pst … Dia bisa marah loh jika terus ditatap seperti itu,” bisik Martin pada Wendy.

Wendy terperanjat setelah mendengar bisikan itu, lalu dengan segera membenarkan cara duduknya dan pandangannya langsung beralih pada dosen itu.

“Ekhm … Ma … Maaf, Saya tidak bermaksud seperti itu … “ ucap Wendy dengan tingkah malu-malu dan wajahnya memerah karena itu.

Ia melirik sedikit pada pemuda yang tidak sedikit pun meliriknya itu. “Tapi Saya hanya seorang gadis biasa, mana ada gadis yang sanggup berpaling dari keindahan di hadapannya seperti … Em, seperti pemuda ini,” sambungnya dengan senyum yang tampak malu-malu sehingga membuat kedua laki-laki yang mendengarnya itu pun dibuat tertegun oleh penampakan gadis polos itu.

“Waw, Kau romantis juga ternyata … Well, lagi pula tidak mesti laki-laki yang harus bersikap romantis sih,” komentar Martin.

Bahkan dengan perkataan itu, Reynold sempat melirik pada Wendy karena menurutnya perkataan itu sangatlah menarik, meski pemuda itu tidak berkomentar apa pun.

“Tapi sayang sekali Bella, Kau pasti tahu pemuda macam ini sudah memiliki kekasih bukan?” ucap Martin yang tampak menyayangkan hal itu sembari melirik pada Reynold.

“AKU TIDAK TAHU, SIALAN! TIDAK ADA INFORMASI APA-APA TENTANG ITU DARI DATA YANG DIBERIKAN CHRIS PADAKU!” Wendy berteriak dalam hatinya karena ia sungguh terkejut dengan fakta terbaru yang baru saja ia ketahui itu.

“O … Oh, tentu saja Saya tahu pak, mana mungkin pria setampan ini masih lajang.” Meski masih terkejut akan hal itu, Wendy hanya mengiyakannya untuk mengikuti arus.

“Sekarang bagaimana caranya agar Aku bisa merebut kekasih orang, hah? Aku yakin itu akan jauh lebih sulit, apa lagi jika mereka saling mencintai, Aku yakin tingkat kesulitannya seperti menghadapi final bos di video game!” gerutu Wendy dalam hatinya mengeluhkan pekerjaannya yang tidak sesuai minat dan bakatnya ini.

“Betul kan, kekasihnya itu –“

“Pak, Saya sangat yakin tujuan Anda meminta Saya untuk menemui Anda bukan untuk membicarakan hal ini.” Reynold menyela dengan tampang datarnya sehingga meski ia tidak menampakkan ekspresinya, semua orang tahu bahwa dia tidak menyukainya.

Martin tertawa dan ia pun akhirnya berhenti membicarakan pemuda itu, kemudian mulai fokus dengan urusannya dengan pemuda itu.

“Well, baiklah, baiklah, tapi sebelum itu, Aku ingin Kau berkenalan dengan teman sekelas barumu terlebih dahulu sebelum Kita bicara, Rey!” seru Martin.

Reynold akhirnya memandang pada Wendy dan ia tampak sedikit tertegun melihat sosok Wendy seakan ia tengah terpikir sesuatu.

Tentu Wendy menyadarinya, ia merasa heran dengan tatapannya itu sehingga membuatnya sekilas terpikir bahwa pemuda itu mulai mencurigainya. “Apa lagi sekarang? Aku yakin penyamaranku sudah sangat sempurna, apa lagi celah dariku sekarang?” pikir Wendy.

Untuk menghilangkan kecanggungan, Wendy pun dengan tampang yang begitu ceria menyodorkan tangannya pada pemuda itu sembari memperkenalkan diri. “Namaku Bella Valentine, salam kenal!”

Reynold melirik tangan yang Wendy ulurkan padanya sejenak, lalu dengan tangannya yang besar ia menerima uluran tangan itu dan menggenggamnya cukup kuat sehingga membuat Wendy kaget sendiri dengan kekuatan pemuda itu. “Reynold Clifford,” ucap Reynold dengan malas menyebutkan namanya.

“Di … Dia benar-benar tidak mencurigaiku kan?” pikir Wendy dengan perasaan was-was.

Reynold melepaskan jabat tangan itu dan Wendy pun langsung mengusap tangannya yang terasa cukup sakit itu. Martin yang melihat tingkah Wendy dan Reynold tersenyum lebar seakan ia memikirkan sesuatu melihat mereka berdua.

“Well, Bella, Kau boleh pergi, maaf sudah mengganggu waktumu,” ucap Martin selanjutnya.

“Ah, tidak apa-apa, Pak. Baiklah, kalau begitu saya undur diri dulu,” ucap Wendy sebelum ia beranjak dari tempat duduknya. “Dan sampai jumpa lagi, Reynold,” sambungnya sembari memasang senyum terbaiknya pada pemuda itu.

Martin hanya mengangguk, sedangkan Reynold terlihat tidak peduli.

Setelah itu, Wendy keluar dari ruangan perkuliahan itu. Ia menutup pintu ruangannya rapat-rapat, lalu berdiri dengan menempel ke pintu itu karena ia sangat ingin tahu mengenai apa yang mereka bicarakan di dalam ruangan itu, serta memastikan bahwa mereka tidak mencurigainya.

“Sial sekali Aku tidak membawa alat untuk mengupingku, Aku tidak mengira hal seperti ini akan terjadi. Lain kali Aku tidak boleh lengah!” pikir Wendy sembari berusaha mendekatkan telinganya pada pintu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status