Share

Chapter 6

POV Wendy.

Aku sudah cukup lama berdiri di sini, berusaha menguping pembicaraan kedua pria itu di dalam sana. Namun sayang sekali aku tidak bisa mendengar dengan jelas mengenai apa yang sedang mereka bicarakan karena situasi di sekitarku yang begitu riuh, ditambah lagi baik suara Reynold maupun Martin, keduanya terdengar sangat pelan sehingga hal itu membuatku terpikir bahwa di dalam sana mereka benar-benar sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius.

"Apakah mereka benar-benar mencurigaiku sehingga mereka mengikatkan kewaspadaan mereka?" pikirku, memikirkan kemungkinan terburuk itu.

"Hm, tapi jika demikian, mengapa Martin mencurigaiku? Dia hanya seorang dosen yang tak ada sangkut-pautnya dengan organisasi, dia murni orang luar yang seharusnya tidak ada keterkaitan apa-apa sehingga seharusnya dia bukanlah ancaman ... Seharusnya yang aku khawatirkan adalah Reynold, dia pasti tahu sesuatu mengenai kasus pembunuhan si brengsek itu dari ayahnya, mungkin saja dia saat ini sedang meningkatkan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitarnya ... Ya, ya, abaikan Martin dan fokuskanlah pada Reynold, Aku tidak boleh membuatnya curiga." Aku terus bergelut dengan pikiranku sendiri, mencari pemikiran yang logis untuk menenangkan diri sehingga aku bisa lebih fokus dengan misiku.

KRIET ...

Terdengar suara decitan engsel pintu begitu jelas di telingaku sehingga jelaslah pintu di belakangku ini terbuka lebar.

Perlahan kudongakkan kepalaku untuk melihat sosok yang membuka pintu, dan tampaklah wajah datar nan dingin Reynold sedang tertunduk memandangku.

"Sedang apa Kau?" tanya Reynold setelah kuperlihatkan tampangku dengan sempurna padanya.

Aku terpaku sejenak karena kaget, lalu dengan sigap langsung berdiri dengan tegak sembari cengengesan di hadapannya, layaknya seperti seorang gadis lugu yang sangat malu tertangkap basah melakukan hal memalukan.

Reynold tidak beranjak dari tempatnya berdiri, dan pandangan dinginnya masih tidak teralihkan dariku seakan ia sedang menunggu penjelasan dari pertanyaannya.

"Em, maafkan Aku, sebenarnya Aku sedang menunggumu di sini ... Kau tahu kan Aku adalah mahasiswi baru di sini, dan Aku benar-benar tidak mengenal siapa pun di sini, dan hanya ada Kau yang saat ini ada di sini ... sedangkan setelah ini masih ada kelas, Aku belum mengenal lingkungan, jadi -"

"Minggir!" serunya di saat aku belum selesai menuturkan alasanku yang sangat berbelit-belit itu.

Tentu hal itu membuatku terdiam, dan dengan refleks langsung memberi jalan pada pemuda dingin dan cuek itu.

Tanpa mengatakan apa-apa ia langsung melengos pergi melewati aku.

"Ck, bukannya tadi dia yang bertanya?!" Aku menggerutu, merasa sedikit kesal dengan tingkah pemuda itu.

Melihat punggungnya semakin jauh, aku pun berinisiatif untuk mengikutinya di belakang dan berusaha bertingkah agresif dengan berencana untuk terus menempel padanya selama seharian ini. Meski terdengar aneh, tapi aku kira cara itu patut dicoba.

"Chris menuliskan bahwa Bella Valentine adalah seorang gadis yang polos, sedikit pemalu, lugu, percaya diri, ulet, dan keras kepala. Well, kukira jika Aku mendekati Reynold dengan agresif itu tidak terlalu keluar jauh dari sifat Bella Valentine," pikirku sembari berlari kecil menyusul Reynold.

***

Tanpa mendapat protes dari pemuda datar itu, aku pun berhasil terus mengekor padanya sepanjang jalan. Harus kuakui, berlaku seperti ini sungguhlah sangat melelahkan, selain harus bertingkah sebagai orang lain, aku juga harus bersaing dengan gadis-gadis di sekitar Reynold yang terus saja berusaha mendapatkan perhatian darinya. Namun dari sekian banyak gadis itu, hanya aku yang bertahan mengekor padanya sejauh ini. Hal itu sepertinya karena aku memiliki alasan kuat, yaitu karena aku adalah teman sekelas barunya yang memerlukan bantuannya. Kukira hal itu juga lah yang membuat Reynold tidak keberatan jika aku terus bersamanya selama ini.

Sepanjang jalan aku terus bertanya padanya mengenai berbagai hal mengenai kampus ini. Ia memang tampak tidak memedulikanku, tapi mengejutkannya sesekali dia menimpali atau menjawab pertanyaanku meski dengan sangat singkat. Mengetahui hal itu membuatku terpikir bahwa mungkin saja untuk mendekati pemuda ini tidaklah sesulit yang kubayangkan.

setelah cukup lama berjalan, akhirnya kami sampai di sebuah tempat yang teduh dan banyak ditanami berbagai macam tanaman dan beberapa pohon besar yang membuat tempat ini sangatlah teduh. Selain itu, di sini juga terdapat beberapa bangku dan meja yang tampak digunakan oleh mahasiswa di sini sebagai tempat untuk mengerjakan tugas.

"Ini taman batu," ucap Reynold dengan malas.

"Hm? Taman Batu?" gumamku yang sejenak merasa heran dengan nama taman itu. Namun setelah kulihat dengan seksama aku mengerti, hal itu karena bangku dan meja di taman itu terbuat dari batu. "Ah, ya, Aku mengerti!" ucapku dengan bersemangat.

Mendengar ucapanku, akhirnya Reynold pun menoleh padaku setelah sedari tadi ia hanya memandang lurus saja ke depan, tanpa sedikit pun memandangku.

"Bagus, sepertinya Kau mengerti," ucapnya dengan nada bicara yang terdengar seperti sedang merendahkan tingkat intelegensiku.

"Keh! Apa-apaan dengan perkataannya itu!" ucapku dalam hati yang tak dapat kupungkiri bahwa aku cukup tersinggung akan hal itu.

Ia lalu berjalan menuju ke salah satu bangku yang kosong, kemudian duduk di sana dengan tenangnya. Tentu melihat hal itu, aku mengikutinya dan hendak ikut duduk di sampingnya. Namun, saat aku hendak mendaratkan pantatku di bangku itu, tiba-tiba Reynold berkata lagi dengan datar, "Jika Kau ingin terhindar dari masalah lain, sebaiknya Kau duduk di bangku lain saja."

"Hah?" Aku langsung berdiri lagi, lalu mengedarkan pandanganku dan tampaklah sepasang mata dari semua gadis yang berada di sekitarku menatap tajam padaku seakan mereka sedang mengintimidasiku.

Aku yang mengerti dengan maksud Reynold pun akhirnya memilih untuk duduk di bangku lain yang berada tak jauh darinya.

"Aku yang sedari tadi mengikuti Reynold saja pasti sudah menimbulkan masalah, apa lagi jika aku duduk sangat dekat dengannya, mungkin Aku akan mendapat masalah lain lagi yang lebih berat," pikirku.

"Hah~ Sial! Merepotkan sekali misi ini!" Aku hanya menghela napas meratapi misiku yang amat sangat menguras energi ini.

Kulirik pemuda yang duduk tak jauh dariku itu. Ia tampak nyaman membaca sebuah buku di tangannya. "Si ... Sial! Mengapa dia begitu tampan sekali sih!" Aku sedikit terkesima dengan pemandangan indah yang kulihat ini. Wajah kalem pemuda itu tampak semakin menawan dan berkarisma saat ini, tidak salah memang jika dia menjadi incaran setiap gadis di sekitarnya.

"Wendy, dia hanya anak ingusan, bahkan umurnya tujuh tahun di bawahmu! Sadar dirilah Kau!" Aku terus mengingatkan diri sendiri bahwa targetku hanyalah seorang anak kecil belaka dan tidak sepantasnya aku terlalu berlebihan memandangnya.

"Selamat siang, Rey!" Tampak seorang gadis berjalan dengan begitu ceria menghampiri Reynold.

Penampilan gadis itu tampak begitu sempurna. Dia begitu amat sangat cantik, tinggi, langsing, dan tentu saja modis bak seorang super model. Namun, ditilik dari wajahnya, tampaknya ia bukanlah seorang wanita manja bodoh yang hanya mengandalkan sosok sempurnanya saja, ia malah tampak pintar dan berpendidikan.

Mendengar panggilan itu, Reynold hanya meliriknya saja, tanpa sedikit pun menyahutnya.

Meski hanya mendapat lirikan dingin dari pemuda itu atas sapan ceria darinya, tanpa ragu gadis itu malah langsung duduk di sampingnya. Berbeda dengan perlakuan padaku, semua orang yang melihat tampak tidak mempermasalahkannya, justru mereka malah tampak iri.

Melihat reaksi mereka dan tingkah gadis itu, aku terpikir bahwa gadis itu adalah kekasih Reynold yang sempat disinggung Martin di kelas tadi.

"Bagaimana pagimu hari ini, hm?" tanya wanita itu dengan sangat bersahabat pada Reynold.

"Biasa saja," ucap Reynold dengan dingin tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang ia baca itu.

Setelah itu, gadis itu terus mengoceh meski aku yakin dia pasti menyadari bahwa Reynold tidak tertarik dengan apa yang ia bicarakan.

Walaupun begitu, melihat mereka duduk bersanding berdua seperti itu membuat siapa pun pasti akan setuju bahwa mereka adalah pasangan yang begitu serasi. Si pria yang begitu tampan rupawan dengan Si Cantik jelita bak bidadari, bisa dikatakan bahwa mereka seperti pasangan dari langit.

"Hah~ Sudahlah, melihat perbandingan wujud antara Aku dan gadis itu, tentu saja Aku kalah dalam segi apa pun. Tapi tak apa, Aku pemegang prinsip jangan menilai seseorang dari tampangnya saja, jadi yang harus kulakukan hanyalah menjadi sosok yang berkesan bagi pemuda itu dan membuatnya tidak menilai dari penampakkan seseorang!" Aku menjadi begitu bersemangat sembari menatap tajam sepasang kekasih itu.

Kulihat Reynold melirik padaku, lalu beralih pada kekasihnya yang masih mengoceh. Ia tampak menghela napas sejenak, lalu memegang tangan gadis itu, lalu berkata, "Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."

"Hm? Menunjukkan apa?" tanya gadis itu dengan heran.

"Ikut Aku dan Kau akan tahu." Reynold tidak menjawab pertanyaan gadis itu dan beranjak berdiri dengan tangannya yang masih menggenggam tangan gadis itu.

"Ba ... Baiklah," timpal gadis itu yang juga ikut berdiri dari tempat duduknya.

Reynold menoleh ke arahku dengan dingin, lalu berseru dengan penuh ketegasan, "Jangan ikuti Aku!"

Sontak aku langsung mengangguk, dan setelah itu mereka berdua pun pergi entah kemana meninggalkan diriku di taman batu yang menyejukkan ini.

"Hah~ sepertinya untuk kali ini Aku tidak akan mengikutinya," gumamku yang sebenarnya sangat menyayangkan tidak bisa mengikutinya lagi. Tapi jika aku tetap nekad, dan dia menyadarinya, aku yakin dia akan semakin menjauh dariku, dan itu sungguh sangat tidak bagus bagi misiku.

Aku pun menyandarkan diri pada sandaran bangku batu yang kududuki ini dan sejenak memejamkan kedua mataku untuk menikmati kesejukan di sekitarku.

"Berani sekali Kau sok akrab dengan Si Pangeran Kampus itu!" Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita di tengah ketenanganku ini.

Mendengar komentar yang kurasa memang ditujukan padaku, meski dengan perasaan kesal, aku pun membuka kedua mata untuk melihat sosok yang mengomentariku itu.

Tampak seorang gadis berwajah jutek tanpa senyuman itu sudah duduk di sampingku sembari memasang tampang yang sungguh sangat tidak enak dilihat. Aku merasa familier dengan wajah itu karena sebelumnya aku melihatnya di kelas.

"Hm?" Aku hanya memiringkan kepala seakan menunjukkan bahwa aku tidak mengerti dengan apa yang dikatakannya.

"Kau ini bodoh atau -"

"Ah, Kau Viona? Viona Jackline, bukan?" selaku dengan ceria seakan sangat senang melihat seseorang yang kukenal.

"Bagaimana Kau-"

"Bukannya pak Martin sebelumnya menyinggung namamu dan mengapresiasi keberanianmu? Tentu saja Aku sebagai mahasiswi baru mengingat wajah dan nama itu!" selaku kembali, memujinya.

Seketika raut wajahnya tampak berubah. Setelah mendengar pujian dariku, gadis itu malah menjadi kikuk, tapi sangat tampak sekali sebuah kebanggaan di wajahnya.

"O ... Oh, tentu saja, Aku kan orangnya sangat kritis, jadi Aku tidak bisa membiarkan sesuatu yang salah berjalan begitu saja tepat di depan wajahku, hahaha," katanya sambil tertawa dengan bangga.

Tak sadar aku malah menyeringai, dan berkata dalam hati, "Sepertinya gadis ini bisa kumanfaatkan!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status