“Saya terima nikah dan kawinnya Anggie Anastasya ...!” Ucapan lantang serta tegas tersebut mengawali prosesi ijab kabul acara pernikahan. Prosesnya berlangsung dengan hikmat dan berjalan dengan lancar tanpa kendala sama sekali. Kini Anggie berdampingan dengan Gibran menyalami tamu undangan yang menghadiri pernikahan mereka. Dengan pasrah dan juga mulai merasakan lelah yang menghampirinya, Anggie bertahan dengan secerca senyuman yang menghiasi pipinya.
Itu bukanlah mimpi, sebab Anggie benar-benar menikah saat ini. Ya dia menikah setelah berhasil menyelesaikan prosesi sidang skripsinya minggu lalu. Siapa sangka persetujuan yang diiyakannya selang sebulan lalu pada orang tuanya Gibran kini telah dilaksanakannya, padahal saat itu dirinya tidak bersungguh-sungguh. Namun apa boleh buat semuanya terlanjur terjadi.
Pernikahan yang mulanya tak diinginkan yang juga berdasar perjodohan di tambah bagian dari permintaannya semasa kanak-kanak kini harus Anggie jalani.
Anggie
Anggie sudah menyelesaikan acara mandinya dan sekarang ia hendak keluar dari kamar mandi, akan tetapi kakinya seakan enggan melangkah keluar. Tidak, dia tidak sedang ceroboh lupa membawa pakain ganti sehingga malu untuk keluar. Anggie tidak sebodoh itu untuk melupakan pakaian ganti yang menurutnya merupakan hal penting. Bahkan sekarang ia pun telah mengenakan pakaian lengkap dan akan keluar mengenakan piyama tidurnya.Namun masalahnya sekarang adalah baru saja dirinya menyadari sesuatu hal yang membuatnya ragu keluar. Serius setelah selesai mandi Anggie baru sadar akan status barunya yang sudah mempunyai pasangan, sudah menikah dan menjadi seorang istri dan berarti malam ini dia akan ....“Aaarrggh, oh tidak. Bagaimana ini? Mmm ....” Anggie resah memikirkan masalahnya. Ini merupakan pertama kalinya sejak seumur hidupnya tinggal berbagi kamar dengan seorang lelaki dan malam ini merupakan malam pertamanya. Tidak, maksudnya malam kedua setelah pagi-pagi lebih
Anggie benar-benar merasa resah kali ini, tak bisa tidur dan teramat merasa tersiksa dengan posisinya. Selain karena susah tidur karena tempat tidur yang berbeda ataupun berubah, tidur dengan Gibran yang masih terasa asing baginya juga membuatnya tak tenang dan terganggu. Pikirannya berkelana membayangkan sesuatu yang buruk yang menciptakan masalah untuk dirinya sendiri.‘Bagaimana jika saat tidur, Gibran mengambil kesempatan dariku seperti tempo hari. Memberikanku segelas susu yang entah dicampur olehnya dengan apa sampai paginya nasibku menjadi malang dengan status yang sekarang berakhir menjadi istrinya. Hmm ... bagaiman ini?’ Anggie membatin resah diselimuti perasaan tak tenang dan juga waspada.Anggie membuka sepasang kelopak matanya lebar lantas berbalik sambil memeluk guling dan menghadap langit-langit kamarnya. Disampingnya Gibran yang telah tertidur pulas bergerak dengan seenaknya, tiba-tiba saja tangannya terulur menimpa perut Anggie. Sialnya meski t
“Ughh, nyebelin ... nyebelin ....” Anggie menghentakkan kakinya kesal sambil mendengus menahan amarah.Saat ini dia sedang bersama Kayla satu-satunya manusia yang tahan menjadi sahabatnya dengan segala tingkah konyol, lebay, kekanakan, suka seenaknya dan masih banyak lagi keburukan lainnya Anggie.Keduanya sedang berada di sebuah kafe menimati minuman manis yang menyegarkan tenggorokan sambil mengobrol atau lebih tepatnya Anggie yang kembali mencurahkan kisah hidupnya pada Kayla. Ah ya, sebenarnya Kayla sendiri sudah bosan dengan ceritannya Anggie yang menurutnya tidak enaknya untuk didengarkan, tapi ya bagaimana mereka sahabat dan sebagai sahabat yang baik Kayla selalu bersedia menjadi tempat segala macam curahannya Anggie.“Kamu kenapa lagi Anggie? Aduh baru nikah bukannya berseri-seri menikmati waktu menyenangkannya pengantin baru, eh kamunya malah masam gini ....”Anggie memberenggut kesal. “Gimana nggak masam coba, aku sudah berbesar hati mau menikah
Anggie yang merasa kebosanan memutuskan untuk menonton sebuah film malam itu untuk mengisi waktu. Anehnya memang demikian, padahal saat sebelum menikah dan tinggal di kamar terpisah dengan mas Gip-gipnya perasaannya tak pernah seperti ini, merasakan kebosanan dan suntuk secara bersamaan. Biasanya Anggie sebelumnya mempunyai kegiatan memainkan ponsel yang menurutnya selalu tak pernah gagal mempengaruhinya untuk terus memainkannya.Berbalas pesan, berbicara dan tatap muka dengan papa-mama atau sahabatnya Kayla lewat telepon selalu saja berhasil membuatnya merasa asik dan keseruan sampai lupa waktu.Namun saat ini setelah menikah hal itu tak ampuh lagi dan akibatnya Anggie mencari pengalihan lain seperti yang sudah diketahui yakni menonton film.Anggie memilih menonton Jailangkung karena merasa film tersebut hampir mirip dengan kepribadian mas Gip-gip.“Aaarrggh!!” Jerit Anggie kaget pada saat merasakan hal menyeramkan pada saat menonton.Bukan adegan film
Anggie menang dan kini dialah yang berhasil mandi duluan, sementara Gibran menunggu di dalam kamar sambil menahan amarahnya yang terpancing oleh aksi kekanakan Anggie. Pria itu mengeras mengepalkan tangannya, tapi sebenarnya dia bisa saja mandi di kamar mandi yang lain kalau saja ia tak malas dan menurutnya mandi di kamar tamu ataupu kamar mandi yang pernah ditempati oleh Anggie pasti merepotkan. Oleh karenanya Gibran memilih menunggu Anggie selesai mengenakan kamar mandi sambil mendengus kasar dan sesekali berteriak menyuruh Anggie agar mandinya dipercepat.“Cepatlah!! Aku sudah sangat terlambat!!” Omel Gibran dari luar kamar mandi membuat Anggie yang tengah mandi mengerucutkan bibirnya sebal.“Palingan cuma alasan doang mau pergi, buktinya sejak bangun nggak ada reaksi terburu-buru. Huhh ... dasar pembohong!” cibir Anggie yang tak terdengar oleh Gibran karena tersamarkan oleh suara air jatuh dari pancuran shower.“Nggie jangan main-main, aku sudah benar-benar tel
Sampai tengah malam ternyata Gibran tidak kunjung pulang semejak pergi siang itu dan membuat Anggie tanpa bisa menepis perasaannya menjadi khawatir.“Itu cowok ngambekan kemana aja ya, kok nggak pulang-pulang?” ringisnya menatap jam yang yang menunjukkan waktu yang membuatnya merinding saja.“Ughh ... haruskah aku terus menunggunya atau bobo duluan saja ya? Ugmm ... tapi kata papaku yang masih awet muda itu nggak boleh.”Anggie meremas piyama tidurnya akibat takut bercampur dengan perasaan cemas yang melandanya. Jujur saja memang ia sering pulang hampir tengah malam saat masih tinggal bersama orang tuanya, tapi hal itu karena dia asik keyapan diluar dengan sok jagoan melakukan kegiatan kurang berfaedah seperti balapab motor, gosipin cowok tampan sampai paling kegiatan paling bodoh menghitung jumlah kendaraan lewat dipinggir jalan bersama Kayla. Ditungguin pulang dan bukannya menunggu orang pulang di ruang tengah yang kini terlihat seram dan mencekam karena sepi aki
Brakk. Anggie melangkahkan kaki jenjangnya dengan anggun keluar dari kamar mandi, membuat Gibran yang masih berada di sana dengan pakaian yang sudah rapih menjadi tercengang. Seketika tatapan Gibran terhipnotis agar terus menatap Anggie dan tidak bisa berpaling.Anggie berjalan seperti model di catwalk yang memamerkan busana, bedanya Anggie malah memamerkan lekuk tubuhnya. Dia acuh seolah tak terganggu akan tatapan aneh Gibran yang sudah seperti predator yang siap menerkam mangsanya.Sesaat sampai di depan lemari Anggie membuka dan meraih pakaian yang hendak digunakan olehnya. Dia tak terlihat akan bergantidi kamar mandi, sebab ketika dirinya mendapatkan pakaiannya Anggie malah terlihat akan memakai pakaiannya di depan lemari di depan Gibran.“Hmm!!” Gibran berdehem keras tak tahan dengan pemandangan yang disuguhkan. Dia tak ingin hilaf dan menjadi berengsek dengan memasakan kehendaknya pada isterinya yang masih trauma dengan hubungan intim.Gibran p
Pada akhirnya Anggie tetap nekat pergi meskipun tanpa mengantongi izin dari suaminya Gibran. Sipat keras kepala dan pantang mundur sebelum mendapatkan apa yang diinginkannya membuat Anggie enggan memperdulikan risiko pergi dengan seenaknya. Dia bersama Kayla saat ini berada dalam bus perjalanan menuju desa oma-nya.Keburukan Anggie tak hanya sampai di sana. Ternyata selain itu Anggie memaksa Kayla ikut dengannya tanpa izin dari kedua orang tuanya Kayla dan mereka pergi hanya dengan izinnya ibu Kayla.“Kau boleh mengumpat kepadaku Kay, tetapi setelahnya aku jamin kamu akan sangat berterima kasih. Kamu pasti akan sangat menyukai liburan di desa oma yang masih asri dan terletak di kaki gunung. Huhh ... pemandang di sana sungguh sangat menyejukkan mata tau!!”Kayla dengan raut wajah betenya hanya mendengus tak bersemangat. “Tapi setelahnya kita pulang dari sana apa yang akan kita terima pasti takkan ramah didengarkan oleh telinga kita,” cibir Kayla memperingatkan.