Share

Bab 7

"Sehabis ini kamu masih ada kegiatan nggak? Kita pulang ber--"

Anggie memutar bola matanya seraya menghentikan makannya dan menatap Gibran tak suka.

"Aku harus menemani Kayla menemui dosen pembimbingnya," jelas Anggie memotong kalimat Gibran yang belum selesai dan menyebabkan Kayla jadi sasaran sinis Gibran.

"Temanmu sudah dewasa dan bisa menemui dosen pembimbingnya sendiri, jadi kenapa kamu harus repot menemaninya?!" Tanya Gibran dengan nada tak suka sambil beberapa kali melirik Kayla dengan tajamnya.

"Sebab Kayla telah menemaniku meskipun aku sudah dewasa dan bisa sendiri," balas Anggie tak mau mengalah. "Pulanglah lebih dulu, kamu juga sudah dewasa memangnya pulang harus bersamaku? Lagipula rumah kita tidak searaah," lanjutnya.

"Ch, tidak iklas sekali temanmu menemanimu minta balas budi!" Ucap Gibran dengan pedas.

"Dia tidak minta, aku yang berinisiatif, jad--"

"Nggie kamu pulang saja dengan Pak Dokter. Aku bimbingannya besok saja." Kayla mengalah dan memotong ucapan Anggie. Dia sudah tak tahan dengan ucapan pedas serta tatapan tajam mengintimidasi dari Gibran.

"Nah, kamu sudah mendengarnya, Anggie? Temanmu bilang dia bimbingannya besok saja. Jadi kamu harus pulang bersamaku dan jangan beralasan tidak searah sebab mulai hari ini kamu akan tinggal denganku," beritahu Gibran dengan seenaknya memaksa dan membuat Anggie kaget serta tak bernafsu menghabiskan makanannya padahal masih terlihat banyak. Tentu saja sejak makan Gibran m terus saja mengajaknya berdebat sehingga dia tak begitu fokus makan dan sekarang apa lagi?

'Tinggal bersama!'

"Apa!!" Kaget Anggie.

"Uhukkk ... ukhukkk!!" Kayla tersedak tak kalah kaget lantas mengambil minumannya. Lantas dia kembali memakan makanannya kejadian tersebut dan memilih mengabaikannya biarlah dia jadi saksi bisu saja.

"Mana boleh begitu. Dalam agama jelas dijelaskan kalau laki-laki dan prempuan yang belum menikah dilarang tinggal bersama," tolak Anggie dengan halus.

"Oh, yaa?" Tanya Gibran dengan nada tak perduli. "Kalau itu benar lalu kenapa bisa diluaran sana banyak pasangan tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan?" Tanya Gibran sambil menyunggingkan senyum devil-nya.

"Aku tidak tahu dan tidak mau tahu, itu urusan mereka bukan urusanku!"

"Kalau begitu Aku pun tidak mau tahu. Kamu harus tinggal bersamaku mulai hari ini!!" Sarkas Gibran tak mau mengalah.

Sebenarnya dia tahu dan mengerti sekali ucapan Anggie tersebut. Tetapi, mau bagaimana lagi, dia ingin mendapatkan Anggie, tapi gadis itu selalu menghindarinya dan beginilah akhirnya, Gibran menghalalkan segala cara.

♡♡♡

"Aku tidak mau tinggal bersamamu, pulangkan Aku atau Papaku akan menghajarmu!" Protes Anggie terus-terusan semejak mereka selesai mengantarkan Kayla pulang. Tentu saja Gibran tidak sejahat itu membiarkan teman kekasihnya terlontang-lanting sendirian dijalan.

"Motor matic milikku masih dikampus bagaimana nasibnya?"

"Oh, yaa ... maksudmu yang itu?" Sarkas Gibran menunjuk motor metic yang ternyata milik Anggie terparkir depan disebuah rumah bersamaan dengan ketika Gibran menghentikan laju mobilnya.

Anggie tercengang tak percaya, bagaimana motor maticnya secara ajaib sudah barada disana tak jauh dari tempatnya sekarang, sedangkan seingatnya motor maticnya diparkirkan diparkiran kampus dan kuncinya masih berada disakunya.

Gibran keluar dari mobilnya dan dengan manisnya membukakan pintu untuk Anggie dan menggandeng tangannya keluar.

"Apa-apaan ini?! Lepas jangan pegang-pengan bukan muhrim dan tidak boleh, dosa ..."

"Yasudah, kita nikah secepatnya saja biar boleh dan gak dosa," jawab Gibran datar dan makin mengeratkan genggaman tangannya.

"Aduh lepasin dan ini juga, kita berada dimana? kenapa kemari bukannya ke apartemenmu bukankah katamu kita tinggal bersama dan juga kenapa motor maticku bisa disana??"

Gibran tak menjawab dengan wajah datarnya dia terus menyeret Anggie masuk kerumah dan disambut oleh seseorang yang membuat Anggie makin keheranan.

"Ma, calon mantu kita sudah datang!" Teriaknya memanggil istrinya. "Lama banget kamu Gibran, perasaan Anggie keluar dari ruangan Papa tadi masih pagi. Papa bahkan sudah mengisi mata kuliah dua SKS dan hari sudah siang sekali kenapa kamu lama sekalu ngejemput Anggienya sehingga baru sekarang sampai rumahnya?"

Anggie masih bingung dan tercengang tak mengerti. Keadaan makin memusingkannya.

"Pak Dirga, kenapa berada disini?" Tanya Anggie menyela sebelum Gibran menjawab Papanya itu.

"Jelas ada disinilah kan jadwal ngajar dan bimbingan mahasiswa Papa hari ini nggak ada lagi," jawab Dirga menyebut dirinya dengan sebutan 'Papa' seenaknya kepada Anggie. "Dan Gibran Papa gak yakin kamu lama sampai rumah karena mencari Anggie dan sulit menemukannya dikampus."

"Memang bukan, kita berdua lama karena menatunya Papa kelaparan, jadi makan dulu baru pulang."

"Oh, yasudah," paham Dirga. "Hm, Anggie mulai sekarang sampai kalian menikah kamu akan tinggal disini kamu gak boleh nolak karena papamu juga sudah menyetujuinya," jelas Dirga Papanya Gibran dengan tegas.

"Apa!!"

Anggie kembali kaget. Astaga hari penuh kekagetankah untuknya. Apa juga yang terjadi pada takdirnya kenapa begitu semena-mena kepadanya.

Sebelum protes melayangkan protesannya, Dirga kembali bersuara.

"Gibran bawa menantuku kekamarnya istirahat sejenak, dia pasti sudah lelah sekali memikirkan reviasiannya. Dan setelahnya kamu ajaklah dia keliling agar tak kebosanan," Ucap Dirga dan diangguki Gibran.

"Ayo ke kamarmu atau kamu maunya kekamarku saja ..." goda Gibran sambil menyeret kembali Anggie dengan paksa.

○○○

Selepas kepergian Gibran dari kamar yang dimaksudkan akan ditempatinya dengan dipaksa untuk waktu mendatang, Anggie langsung saja memutar knopnya untuk mengunci pintu lalu merogoh ponselnya yang berada didalam tasnya.

Gadis itu secara naluri menghubungi papanya Ardi untuk menanyakan kejadian yang menciptakan kebingungan dalam kepalanya.

Kenapa dia mulai sekarang harus tinggal dengan keluarga Gibran?

Kenapa juga dia harus menikah dengan Gibran mewujudkan impian Pak dosennya Dirga??

Anehnya lagi, kenapa dia juga tak banyak membrontak dan protes tadi ...

Anggie menggeleng, semua itu harus ditanyakannya kepada papanya. Dia pun mencari nomor kontak Papanya lalu mengklik panggilan.

Beberapa kali tak kunjung tersambung hanya ada bunyi tttuuut ... yang dilanjutkan oleh suara operator yang mengatakan, "maaf nomer yang anda tuju sedang sibuk, silahkan coba kembali beberapa saat lagi."

"Bangke!!" Umpat Anggie kesalnya mendengarnya.

Walau begitu dia tak menyerah terus menelepon sampai panggilan ke tuju, "maaf nomer yang anda tuju sedang tidak bisa menerima panggilan, cobalah beberapa saat lagi."

Seketika Anggie melotot. Dia mengerti maksud ucapan operator tersebut. Itu pasti karena papanya Ardi sengaja mengatur ponsel ponselnya dengan mode sibuk supaya tidak menerima telepon darinya atau mungkin memblokir nomor telepon Anggie.

Dan benar saja, ketika Anggie mengecek WhatApp-nya tidak ada gambar profil pengguna disana dan saat Anggie mengirim pesan hanya tercentang satu, berarti benar dia memang telah diblokir oleh papanya sendiri.

"Hhhuuuuaaaa, papa teganya kamu!" Rutuk Anggie sedikit berteriak tak terima sambil meremas sprei tempat tidur dengan kerasnya dan meluapkan emosinya kesana.

"Apa-apaan semua ini? tiba-tiba banyak hal yang menyiksaku dan banyak sekali keambiguannya.. semuanya takku mengerti dan papa jahatnya serta tega mengacuhkan bahkan memblok panggilanku. Huaaa .. hiks-hiks!" Gerutu Anggie kini terisak menangis pilu dengan hebohnya.

Dia bertingkah seolah-seolah dia seperti orang yang tertindas banyak hal dan jadi pihak tak berdaya serta tersakiti. Ya, walaupun memang nyatanya demikian, tapi tindakannya tidaklah sebanding dengan kelakuannya yang berlebihan.

"Hiks-hikss ... kenapa nasibku jadi begini? Penuh tanda tanya dan jawabannya seakan enggan menghampiri. Papa kenapa kejamnya dirimu... apakah kamu tak sayang lagi padaku dan apakah aku anak tiri, anak angkat atau mungkin anak pungut? Hhuuuuuuaaa ..."

Gadis itu terus menggerutu, menjerit serta dengan hebohnya menangis bahkan sampai mengeluarkan air mata. Untungnya kamar yang ditempatinya kedap suara jadi dari luar tak akan ada yang mendengar kegilaannya. Atau kalau tidak penghuni rumah pasti penuh tanda tanya dan mungkin akan menganggapnya gila.

Anggie dengan inisiatif pun beralih menelepon mamanya. Begitu tersambung aduannya langsung meluncur.

"Hhuuuaaa ... Mama, kenapa hidup Anggie begini?!"

"Ada apa sih, Nngie? Teleponmu menggangu Mama saja! Dan kenapa kamu menangis serta cengeng sekali tidak seperti biasanya?" Kesal Mamanya disertai keheranan diseberang telepon sana seteleh berdecih.

"Aku nggak cengeng Mama!" Protes Anggie.

"Kalo gak cengeng mengapa telepon begitu tersambung langsung nangis bukannya bilang 'hallo, Anggie yang cantik manis membutuhkanmu' bukannya gitu biasanya?" Celetuk Mamanya adanya.

Anggie terperanjat dan terdiam sejenak, ucapan Mamanya ada benarnya juga. Tetapi, memangnya kenapa?

Bukan itu yang ingin Anggie bahas melainkan tentang permasalahannya hari ini.

"Iihhh Mama, aku lagi serius.."

"Apa! serius .."

"Iya, Ma."

"Yasudah."

Sontak Anggie mendengus kecewa mendengar hanya kalimat 'yasudah' yang keluar dari Mamanya.

"Yasudah, doang?" Tanya Anggie.

Mamanya kembali mendengus, "terus kamu maunya gimana Anggie? Dasar anak tidak jelas!" Umpat Mamanya spontan sangging kesalnya membuat Anggie berpikiran buruk dan menangis teringat akan satu hal.

"Mama jadi benar aku bukan anakmu dan aku ini anak tak jelas, hhhuuuuaaaa ... kenapa banyak sekali kenyataan pahit hari ini?" isak Anggie berlebihan makin heboh saja.

"Kayaknya kamu lupa minum obat, ckck! Sudahlah, Mama mau pergi. Bye ..." Mamanya makin kesal dan memutuskan penggilan sebelah pihak. Benar-benar anak tertuanya itu mengurasa emosi saja.

Hal itu membuat Anggie jadi diam tak menangis dan cemberut. Yang benar saja menelepon mamanya tak membuahkan apapun.

"Bagaimana ini, sekarang masalahku bertambah lagi? Huaa, belum juga sehari ..."

♡♡♡

Setelah merasa lebih tenang Anggie keluar kamar mencari Gibran untuk menanyakan kebingungannya. Yang jawabannya tak didapatkan dari Mamanya yang bahkan justru makin menambah kebingungan baginya.

"Anggie," Panggil seseorang membuatnya menoleh.

"Aduh, ternyata kamu benaran sudah tumbuh dewasa dan cantik sekali," ungkap wanita paruh baya memuji Anggie. "Kamu masih ingat tente tidak?"

Anggie menggeleng, "maaf Aunty, aku tak ingat," jawabnya dengan jujur.

Wanita didepannya mungkin adalah isteri dosennya pak Dirga atau mamanya Gibran. Tetapi, siapa dia baginya, Anggie hanya merasa seakan tak asing dengan wajahnya, tapi dia tak ingat kalau mereka pernah bertemu.

Wanita paruh baya itu terkekeh, "wah ternyata benar kata Mas Dirga, Ommu, bahwa kamu benar-benar sudah melupakan kami. Hm, tapi sudahlah tak apa. Nanti kamu juga akan ingat dengan sendirinya."

Anggie mengangguk, "semoga saja Anty."

Anggie teringat suatu hal, "oh, iya apakah Aunty melihat Gib-Mas Gibran?" Tanya Anggie hampir saja memanggil Gibran tanpa embel-embel yang terkesan tidak sopan menurutnya didepan Mamanya Gibran lantas mengubahnya.

"Tidak apa, jika kamu tidak nyaman dengan panggilanmu pada Gibran jangan sungkan memanggil namanya," peka Mamanya Gibran dengan bijak. "Hehe, terkecuali kalau Gibran yang minta sebab itu beda lagi ceritanya. Hm, tadi kamu tanya Gibran kan?"

"Iya Aunty ..."

"Dia ada kamarnya."

TO BE CONTINUED

Komen (1)
goodnovel comment avatar
alicia_alice
seru banget nihhhh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status