Share

Bab 1

"Gigi mau sama Abang Gibgib. Gigi gak mau pisah hiks.. hiks.." Seorang gadis kecil merengek memeluk laki-laki remaja enggan berpisah.

"Mama Gigi mau tetap disini, Gigi enggak mau pindah. Gigi mau disini." Mohonnya mengeratkan pelukannya pada laki-laki yang dipangginya Abang Gibgib.

"Jangan begitu dong sayang, lepasin Abang Gibgibnya ya.." Bujuk Mamanya. "Kita harus pindah, kalau tidak siapa yang akan menemani Papa nanti di tempat kerja barunya. Nanti kalau Anggie libur kita kemari ya.."

"Bohong!!" Anggie geleng kepala.

"Tidak sayang," Giliran Mamanya laki-laki yang dipanggil Abang Gibgib membujuknya.

"Kalau Anggie sudah dewasa nanti kalian menikah dan bersama selamanya sampai Anggie puas."

"Tapi Abang Gibgib bukan dokter. Gigi kan cuma mau nikah sama dokter soalnya kata Papa dokter itu pahlawan pemberani dan Gigi suka Pahlawan."

Mamanya Anggie menghela nafas jengah, "Lihat tuh Mas, hasil cuci otakmu. Bujuk sendirilah anakmu. Aku sudah capek atau kalau gak, sekalian saja nikahkan dia sama Gibran biar dia gak usah ikut!"

Sontak Ardi Papanya Anggie dan kedua orang tua Gibran terkekeh mendengar ucapan prustasi dari Riani Mamanya Anggie.

"Iya Gigi, nanti Abang Gibgib jadi dokter deh biar bisa menikah sama Gigi." Rayu Gibran mengelus rambut gadis kecil dalam pelukannya dan ajaibnya Anggie pun menurut serta mengangguk.

"Dari tadi kek Gibran!! Biar tante gak usah repot membujuk Anggie." Celetuk Riani sebal.

"Kayaknya anak kita nanti beneran kita jodohin!"

Kilasan masa lalu tersebut menuai senyuman dimata Gibran Malik Abinaya. Bingkai foto gadis kecil kesayangannya ditatap dengan penuh kerinduan mendalam. Sudah empat belas tahun berlalu dari kejadian terakhir kali melihat gadis kecil kesayangannya Anggie. Namun tetap saja bayangan gadis kecilnya sangat jelas.

"Melamun lagi dok? Ckck, makanya cepat nikah biar setan jomblo terusan membuatmu begong."

"Dasar penggangu!" Dengus Gibran kesal menyadari keberadaan Arkan laki-laki yang punya profesi sama dengannya yakni dokter.

"Ini sudah malam, waktunya pulang dan seingatku ini bukan giliranmu jaga tapi kamunya masih disini?" Celetuk Arkan mengejek."Kasihan sekali diumur dua puluh delapan tahun karir sukses tapi belum punya wanita sepesial yang menunggu kepulanganmu."

Gibran berdiri dengan kesal dia pun membereskan peralatan dokternya dan bergegas pulang tanpa memperdulikan Arkan.

"Hei Gibran! Aku belum selesai dengan ucapanku." Arkan mengangkat bahunya acuh melihat kelakuan Gibran tapi dia tak kesal telah ditinggalkan begitu saja.

○○○

Sementara itu disisi lain, gadis yang sedang dirindukan oleh Gibran kini tengah berada dalam masalah yang dia timbulkan sendiri oleh ulahnya.

Dengan pelan Anggie memutar knop pintu untuk memasuki rumahnya. Meskipun penerangan lampunya diruang tengah telah padam dan gelap menandakan bahwa penghuni rumah telah tidur.

Anggie melirik jam di ponselnya. Jam dua puluh dua lewat tiga puluh menit. Pantas saja keadaan rumah telah sepi. Walau begitu Anggie tetap waspada. Siapa tahu saja jika ada yang terbangun dan memergokinya.

Anggie meringis seraya menghela nafasnya panjang mengingat besok pagi akan ada sarapan ceramah panjang dari Mama, papanya. Hal itu biasa bagi Anggie dan itu terjadi karena kelakuan buruknya yang keluyuran malam yang biasakan. Tapi sudahlah, yang penting malam ini ia tenang. Untuk masalah esok biarlah besok hadapi.

Dengan rasa takut Anggie terus melangkah menuju kamarnya. Akan tetapi pecahayan lampu yang padam tiba-tiba saja terang.

"Kenapa pulang, tidak sekalian saja gak usah pulang!" Suara Ardi Papanya menggema marah. Orang tua manalah yang diam saja melihat putrinya baru pulang hampir tengah malam.

"Papa kayak gak pernah muda.." Cengir Anggie menatap Papanya sedikit takut.

"Pernah tapi gak kayak kamu, durhaka sama orang tua."

"Iya Pa, Anggie minta maaf soal itu. Besok Anggie tidak nakal lagi, janji enggak akan pulang malam. Lagian ini salah Pak dosen sih, dia kasih tugas banyak bangat makanya Anggie pulang kerumah mantannya Mama dulu. Kan Papa tau anaknya mantan Mama itu pintar." Anggie beralasan berharap Papanya tidak marah.

"Oh, jadi anak Papa bodoh, kamu bodoh Anggie?" Ardi mengeram marah."Besok kalau kamu masih pulang malam, jangan harap bisa tidur nyaman di atas tempat tidur yang ada di dalam kamarmu. Kamu tidur diluar, diatas lantai dingin beratap langit, supaya tau rasa dan kapok kamu!!" Ardi mengeram menatap masam putrinya

"Papa sadis amat dengan putri sendiri," Ardi menatap tajam Anggie. Hal itu membuat Anggie buru-buru meralat kalimatnya."Iya Pa, Anggie janji besok pulang cepat."

"Papa pegang janjinya! Awas jangan sampai ingkar atau ancaman Papa akan diterapkan padamu!" Peringat Ardi menghela nafas.

Astaga semudah itu dirinya luluh pada putrinya. Ah, ya. Dia memang tipikal ayah yang tidak bisa marah terhadap putrinya.

"Yoi Papaku yang ganteng, tapi dahinya jangan dilipat, Nanti tua. Apa kata teman-temanku nanti? Masa Papaku sudah tua!" Anggie mengalihkan pembicaraan.

"Kamu malu punya Papa yang udah tua?" Emosi Adri sudah menurun dan berganti jengkel.

"Jelas dong Pa, akukan bilang pada temanku kalau Papaku masih muda. Jadi kalau mereka liat Papa sudah tua, aku dikira boong dong."

"Lah kamukan memang bohong, gimana sih? Papamu ini sudah tua nak, makanya jangan nakal. Papa sudah tak kuat menghadapi segala ulah dan tingkahmu."

"Siapa bilang Papa uda tua orang Papa masih muda kok, buktinya uban aja gak ada. Udah jangan bilang tua lagi, Papa masih kuat ngomel, walaupun kulinya rada berkerut dikit."

"Makin ngelantur kamu! Sudahlah, sana tidur ke kamarmu sebelum Papa kunciin kamu diluar."

"Iya, iya. Kalau Papa gak negur aku dan mengajakku mengobrol sudah dari tadi aku sampai ke alam mimpi."

Ardi geleng kepala, putrinya Anggie selalu saja punya jawaban untuk mengelak atau ngeles padanya. "Ngomong lagi dan berani menjawab ucapan Papa. Papa seret kamu keluar, biar kamu tau rasanya tidur dibawah langit terbuka."

Tanpa menjawab ucapan Ardi Papanya, Anggie segera bergegas ke kamarnya. Bukan karena takut pada ancaman Papanya, lebih kepada kantuk yang sudah tak dapat ditahannya.

Begitulah Anggie, dengan kelihaiannya pandai mengalihkan pembicaraan. Sampai Papanya yang tadinya ingin memarahinya jadi lupa.

○○○

"Anggie, bangun!! atau Mama siram kamu!" Riani berdiri menatap putrinya kesal.

"Punya anak gadis kelakuannya kebo amat, Anggie cepat bangut!"

Teriakan Mama seketika mempringati Anggie akan bahaya dinginnya air es yang akan mengguyur dirinya. Seketika matanya terbuka. Rasa mengantuk yang tadinya memyebabkan berat membuka mata kini hilang entah kemana.

Bayangan dinginnya air es membuat Anggie dengan cepar bangun dan segera bergegas ke dalam kamar mandi. Anggie begitu karena sebelumnya dia sudah pernah merasakan siraman air es Mamanya mengguyur Anggie supaya bangun. Hal itu bukan cuma sekali tapi dua, tiga kali. Dan kali ini Anggie tidak mau lagi merasakannya.

"Cepat mandinya Nggie, airnya jangan diliatin mulu!" Omel Riani dari luar kamar mandi.

"Kalo cepat, nanti mandinya gak bersih Maa.." Balas Anggie menjawab teriakan Mamanya dari dalam kamar mandi.

Dengan ritual mandi yang bergaya siput setelah hampir satu jam, akhirnya Anggie keluar dari kamar mandi yang berada dikamarnya. Sudah mengenakan handuk sebatas paha dan bergegas memakai pakaiannya.

TO BE CONTINUED

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status