Share

Bab 4

"Ini bukan jalan pulang kearah rumahku. Jangan bercanda, apa kamu mau menculikku?"

Gibran melirik Anggie dengan seringai aneh dan menakutkan miliknya sambil tersenyum. Pria itu menhentikan mobilnya keluar menyeret Anggie paksa.

"Tidak, jangan kumohon.. tidak ada gunanya menculikku yang miskin dan kau tidak akan mendapatkan apapun sebagai tebusan."

Gibran tidak menghiraukan ucapan Anggie, "kamu ingin berjalan sendiri atau kugendong?"

"Aku mau pulang." Anggie berbalik hendak kabur namun Gibran mencekal pergelangan tangannya.

"Baiklah sepertinya kamu ingin berada dalam gendonganku." Tanpa babibu Gibran mengangkat tubuh mungil Anggie dalam gendongannya.

"Diam atau kamu ingin aku membungkam bibirmu dengan bibirku hingga ke apartemetku. Hm.. Kamu tahu itu pasti menyenangkan." Gibran menyela Anggie yang ingin bicara. Entah kenapa saat ini dirinya hanya ingin jadi penurut. Anggie hanya diam takut pada Ancaman Gibran hingga mereka sampai dilantai Apartemen Gibran, gadis itu telah tertidur.

Dengan susah payah Gibran menekan pin Apartementnya dan langsung membawa Anggie masuk ke dalam kamarnya.

"Kamu tidak berubah sayang." Gibran mengecup puncak kepala Anggie setelah meletakkan Anggie di atas tempat tidurnya secara perlahan.

Gibran memperhatikan Anggie, "masih saja ceroboh.. lihatlah ulahmu ini, kamu membuat tubuhmu dipenuhi luka." Gibran beralih mencari perlengkapan dokternya, memeriksa Anggie dan mengobatinya handal. Selesai dengan hal itu Gibran keluar kamar meninggalkan Anggie sendiri dalam keadaan tertidur pulas.

Selang beberapa saat kemudian. Anggie terbangun kaget mendapati dirinya dalam kamar. Sontak dia pun memeriksa pakaiannya dan hal itu menambah kekagetannya. Rupanya selain Gibran mengobati lukanya, Pria itu juga mengganti pakaian Anggie dengan salah satu kemejanya.

'Apa yang laki-laki itu lakukan padaku. Duh kenapa aku bisa sampai mengenakan kemejanya begini.' Anggie menggelengkan kepalanya lalu menarik nafas dalam, "ok baiklah.. hanya digantikan pakaian. Aku belum diapakan sepertinya.' Anggie memeriksa tubuhnya, tidak ada bekas ciuman di sana juga tidak ada rasa sakit di bagian intimnya yang menandakan memang tidak terjadi sesuatu padanya.

'Sekarang aku harus pulang! Tapi bagaimana caranya?' Anggie tanpa berpikir lagi tiba-tiba berteriak prustasi.

"LEPASKAN AKU!!"

"AKU PENGEN PULANG!"

"PAPA TOLONG ANGGIE.. ANGGIE DICULIK HUAAAAAAAAAAA."

Teriakan Anggie terus menggema di kamar Gibran. Segala barang yang terdapat di atas tempat tidur bantal selimut dan bahkan barang dinakas yang dijangkau, Anggie lempar semua hingga berserakan di lantai.

Kalau saja kaki tidak terasa nyeri, mungkin seisi kamar atau tepatnya seisi apartemen sudah dihancurkannya.

"HUAAAA.. SAKIT. HIKSSSS HIKSS KAKIKU PAH SAK.."

KLEKK, pintu kamar terbuka.

Dengan sekejap Anggie menghentikan teriakannya. Gibran ada di sana berdiri dengan menampakkan wajah datar beberapa saat memperhatikan Anggie dan beralih melihat keadaan beberapa benda miliknya tergeletak di lantai dalam posisi sembarang.

Sontak saja Anggie berubah ketakutan pasalnya benda milik Gibran baru saja dia lempar asal hingga berserakan. Pria itu mendekat padanya dan itu makin membuat Anggie makin merinding ketakutan bahkan jantungnya pun terasa seakan mau meloncat dari tempatnya.

Kelakuan seenaknya berteriak keras dan berani melempar barang benda isi dari kamar yang dapat dijangkau, nyalinya yang begitu lenyap seketika entah kemana. Kehadiran Gibran membuatnya sangat takut terlebih lagi keadaannya yang hanya berduan bersama Gibran. Berbagai dugaan buruk menghinggapi Anggie.

Sementara Gibran diam masih tidak berbicara, membawa Anggie kembali membuka ingatan lamanya.. apa Pria itu akan berbuat seperti dokter di masa lalunya?

Flashback

"Tolong, lepaskan aku!! Hiks hiksss.. Aku tidak mau. Ibb ibuuku bii bilang itu tidak boleh."

Gadis remaja yang masih mengenakan seragam SMA itu terus meronta terhadap pria berseragam dokter yang melecehkannya.

Dirinya cukup tahu apa yang coba pria lakukan padanya bukanlah hal baik berkat ajaran dari ibunya.

"Tidak apa sayang. Nanti kakak beri jajan mau.." Iming pria itu terus saja berusaha menjamah gadis yang terus-terusan meronta padanya.

Gadis itu menggeleng, dia tidak sebodoh itu. Mungkin dirinya masih terlalu bocah tapi lagi-lagi didikkan ibunya menjadikannya tidak selugu itu.

"Jaaaangan.. Aku mohon lepaskan aku hiksss.." Mohon gadis itu. Matanya sudah bengkak akibat menangis, seragamnya beberapa bagian robek dan pipinya merah akibat tamparan dari pria itu.

Kejadian ini berawal dari rasa sukanya pada seorang dokter hingga sesaat dia lupa akan nasehat ibunya. Bodohnya dirinya yang mau saja diajak pria berseragam dokter ini hanya iming-iming diajak main dokter-dokteran.

Mata pria itu menyeringangai menatap gadis berseragam SMA itu dengan mesum.

"Ayo buka bajunya biar dokter periksa.."

Gadis itu lagi-lagi menggeleng dalam keadaannya yang sudah nampak mengenaskan.

Pria itu tidak mengiyakan sebab dia sudah dikuasai oleh nafsu bejatnya. Dengan kejinya dia makin menggebu melakukan aksi bejatnya.

BRAKK

Pintu kamar gudang rumah sakit itu terdobrak. Terlihat seorang tanpa basa-basi menghajar laki-laki bejat itu untuk menolong gadis itu.

Setelah pria bejat itu tergeletak tak berdaya, pria baik itu menyampirkan jasnya untuk dikenakan pada Anggie. Pasalnya pakaiannya sudah tak layak pakai.

Anggie lupa dengan wajahnya namu dirinya selalu ingat dengan suaranya dan juga omongannya.

"Tenanglah, kau akan baik-baik saja."

Flashback off

Anggie menggeleng, tidak, pria dihadapannya sepertinya bukan seperti pria bejat yang ada di masa lalunya. Kalau hal itu benar maka sudah dari tadi pria itu lakukan.

"Kau kenapa?" Gibran heran melihat Anggie yang terbengong dalam lamunan.

Sepertinya yang gadis itu pikirkan adalah hal buruk. Terlihat dari raut ekspresinya yang Gibran perhatian. Gibran yang terlalu dekat dengannya membuat Anggie mencoba menjauh dengan raut ketakutan.

"Tenanglah, kau akan baik-baik saja." Ucap Gibran sambil menyerahkan selimut dan bantal yang tadi Anggie lemparkan setelah dipungutnya.

Ucapan itu terdengar tidak asing bagi Anggie. Itu ucapan pria baik penyelamatnya. Ya, Anggielah gadis yang beberapa tahun lalu dilecehkan oleh orang yang berseragam dokter dan inilah mengapa Anggie sangat takut pada dokter.

"Tidurlah, besok baru kamu akan saya antarkan pulang. Jangan khawatir saya sudah izin termasuk memberi tahu keadaanmu pada Om Ardi. Dan dia mengizinkan kalau kamu menginap akan di apartemen saya." Beritahu Gibran sebelum keluar dari kamar dan memilih tidur di ruang tengah di atas sofa.

Apa ini, Anggie makin bingung dibuatnya. Bagaimana bisa pria asing itu mengenalnya dan bahkan mengenal ayahnya.. Siapa pria ini?

â—‹â—‹â—‹

Sesuai perkataannya Gibran mengantarkan Anggie pulang kerumahnya. Anehnya pria itu tahu juga alamat rumahnya padahal Anggie belum memberitahu. Dan lebih aneh lagi saat mereka sampai dirumah pria itu malah tampak akrab sekali dengan Papanya.

"Berapa kali Mama bilang Anggie hahh.. Kenapa telinga kamu ini gak mau dengar? Sekarang rasakanlah akibatnya." Omel Mamanya terus-terusan dan Anggie hanya menunduk tak berani menyela.

"Pulang malam, keluyuran! Mau jadi apa kamu? Mama beritahu kamu malah bilang Mama cerewet dan enggak gaullah!! Sekarang kamu masih mau bandel?"

Anggie mengangguk pasrah.

"Dasar duplikat Papamu.. Kelakuan anak sama ayah sama saja. Luar biasa suka sekali membuatku mengomel marah." Mamanya Riani memijit kepalanya yang tiba saja terasa pusing.

"Apa!! Kamu mau protes, gak terima sama ucapan Mama.." Tuding Mamanya Riani saat melihat Anggie akan bicara.

"Sudahlah lebih baik kamu banyak istirahat. Supaya kamu cepat sembuh dan bisa membandel lagi. Huhh.. Mama sungguh tidak habis pikir dengan pikiran dan kelakuanmu. Mirip sekali dengan Papamu!!."

Brakk

Mamanya keluar dari kamarnya dan menutup mintu dengan membantingnya kasar. Hal itu membuat Anggie mengelus dada. Sabar.

Begitulah Riani Mamanya hobi sekali mengomel dan tentu saja itu karena ulahnya tapi Papanya yang malang selalu saja turut ikut disalahkan dalam hal itu.

TO BE CONTINUED


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status