"Ini bukan jalan pulang kearah rumahku. Jangan bercanda, apa kamu mau menculikku?"
Gibran melirik Anggie dengan seringai aneh dan menakutkan miliknya sambil tersenyum. Pria itu menhentikan mobilnya keluar menyeret Anggie paksa.
"Tidak, jangan kumohon.. tidak ada gunanya menculikku yang miskin dan kau tidak akan mendapatkan apapun sebagai tebusan."
Gibran tidak menghiraukan ucapan Anggie, "kamu ingin berjalan sendiri atau kugendong?"
"Aku mau pulang." Anggie berbalik hendak kabur namun Gibran mencekal pergelangan tangannya.
"Baiklah sepertinya kamu ingin berada dalam gendonganku." Tanpa babibu Gibran mengangkat tubuh mungil Anggie dalam gendongannya.
"Diam atau kamu ingin aku membungkam bibirmu dengan bibirku hingga ke apartemetku. Hm.. Kamu tahu itu pasti menyenangkan." Gibran menyela Anggie yang ingin bicara. Entah kenapa saat ini dirinya hanya ingin jadi penurut. Anggie hanya diam takut pada Ancaman Gibran hingga mereka sampai dilantai Apartemen Gibran, gadis itu telah tertidur.
Dengan susah payah Gibran menekan pin Apartementnya dan langsung membawa Anggie masuk ke dalam kamarnya.
"Kamu tidak berubah sayang." Gibran mengecup puncak kepala Anggie setelah meletakkan Anggie di atas tempat tidurnya secara perlahan.
Gibran memperhatikan Anggie, "masih saja ceroboh.. lihatlah ulahmu ini, kamu membuat tubuhmu dipenuhi luka." Gibran beralih mencari perlengkapan dokternya, memeriksa Anggie dan mengobatinya handal. Selesai dengan hal itu Gibran keluar kamar meninggalkan Anggie sendiri dalam keadaan tertidur pulas.
Selang beberapa saat kemudian. Anggie terbangun kaget mendapati dirinya dalam kamar. Sontak dia pun memeriksa pakaiannya dan hal itu menambah kekagetannya. Rupanya selain Gibran mengobati lukanya, Pria itu juga mengganti pakaian Anggie dengan salah satu kemejanya.
'Apa yang laki-laki itu lakukan padaku. Duh kenapa aku bisa sampai mengenakan kemejanya begini.' Anggie menggelengkan kepalanya lalu menarik nafas dalam, "ok baiklah.. hanya digantikan pakaian. Aku belum diapakan sepertinya.' Anggie memeriksa tubuhnya, tidak ada bekas ciuman di sana juga tidak ada rasa sakit di bagian intimnya yang menandakan memang tidak terjadi sesuatu padanya.
'Sekarang aku harus pulang! Tapi bagaimana caranya?' Anggie tanpa berpikir lagi tiba-tiba berteriak prustasi.
"LEPASKAN AKU!!"
"AKU PENGEN PULANG!"
"PAPA TOLONG ANGGIE.. ANGGIE DICULIK HUAAAAAAAAAAA."
Teriakan Anggie terus menggema di kamar Gibran. Segala barang yang terdapat di atas tempat tidur bantal selimut dan bahkan barang dinakas yang dijangkau, Anggie lempar semua hingga berserakan di lantai.
Kalau saja kaki tidak terasa nyeri, mungkin seisi kamar atau tepatnya seisi apartemen sudah dihancurkannya.
"HUAAAA.. SAKIT. HIKSSSS HIKSS KAKIKU PAH SAK.."
KLEKK, pintu kamar terbuka.
Dengan sekejap Anggie menghentikan teriakannya. Gibran ada di sana berdiri dengan menampakkan wajah datar beberapa saat memperhatikan Anggie dan beralih melihat keadaan beberapa benda miliknya tergeletak di lantai dalam posisi sembarang.
Sontak saja Anggie berubah ketakutan pasalnya benda milik Gibran baru saja dia lempar asal hingga berserakan. Pria itu mendekat padanya dan itu makin membuat Anggie makin merinding ketakutan bahkan jantungnya pun terasa seakan mau meloncat dari tempatnya.
Kelakuan seenaknya berteriak keras dan berani melempar barang benda isi dari kamar yang dapat dijangkau, nyalinya yang begitu lenyap seketika entah kemana. Kehadiran Gibran membuatnya sangat takut terlebih lagi keadaannya yang hanya berduan bersama Gibran. Berbagai dugaan buruk menghinggapi Anggie.
Sementara Gibran diam masih tidak berbicara, membawa Anggie kembali membuka ingatan lamanya.. apa Pria itu akan berbuat seperti dokter di masa lalunya?
Flashback
"Tolong, lepaskan aku!! Hiks hiksss.. Aku tidak mau. Ibb ibuuku bii bilang itu tidak boleh."
Gadis remaja yang masih mengenakan seragam SMA itu terus meronta terhadap pria berseragam dokter yang melecehkannya.
Dirinya cukup tahu apa yang coba pria lakukan padanya bukanlah hal baik berkat ajaran dari ibunya.
"Tidak apa sayang. Nanti kakak beri jajan mau.." Iming pria itu terus saja berusaha menjamah gadis yang terus-terusan meronta padanya.
Gadis itu menggeleng, dia tidak sebodoh itu. Mungkin dirinya masih terlalu bocah tapi lagi-lagi didikkan ibunya menjadikannya tidak selugu itu.
"Jaaaangan.. Aku mohon lepaskan aku hiksss.." Mohon gadis itu. Matanya sudah bengkak akibat menangis, seragamnya beberapa bagian robek dan pipinya merah akibat tamparan dari pria itu.
Kejadian ini berawal dari rasa sukanya pada seorang dokter hingga sesaat dia lupa akan nasehat ibunya. Bodohnya dirinya yang mau saja diajak pria berseragam dokter ini hanya iming-iming diajak main dokter-dokteran.
Mata pria itu menyeringangai menatap gadis berseragam SMA itu dengan mesum.
"Ayo buka bajunya biar dokter periksa.."
Gadis itu lagi-lagi menggeleng dalam keadaannya yang sudah nampak mengenaskan.
Pria itu tidak mengiyakan sebab dia sudah dikuasai oleh nafsu bejatnya. Dengan kejinya dia makin menggebu melakukan aksi bejatnya.
BRAKK
Pintu kamar gudang rumah sakit itu terdobrak. Terlihat seorang tanpa basa-basi menghajar laki-laki bejat itu untuk menolong gadis itu.
Setelah pria bejat itu tergeletak tak berdaya, pria baik itu menyampirkan jasnya untuk dikenakan pada Anggie. Pasalnya pakaiannya sudah tak layak pakai.
Anggie lupa dengan wajahnya namu dirinya selalu ingat dengan suaranya dan juga omongannya.
"Tenanglah, kau akan baik-baik saja."
Flashback off
Anggie menggeleng, tidak, pria dihadapannya sepertinya bukan seperti pria bejat yang ada di masa lalunya. Kalau hal itu benar maka sudah dari tadi pria itu lakukan.
"Kau kenapa?" Gibran heran melihat Anggie yang terbengong dalam lamunan.
Sepertinya yang gadis itu pikirkan adalah hal buruk. Terlihat dari raut ekspresinya yang Gibran perhatian. Gibran yang terlalu dekat dengannya membuat Anggie mencoba menjauh dengan raut ketakutan.
"Tenanglah, kau akan baik-baik saja." Ucap Gibran sambil menyerahkan selimut dan bantal yang tadi Anggie lemparkan setelah dipungutnya.
Ucapan itu terdengar tidak asing bagi Anggie. Itu ucapan pria baik penyelamatnya. Ya, Anggielah gadis yang beberapa tahun lalu dilecehkan oleh orang yang berseragam dokter dan inilah mengapa Anggie sangat takut pada dokter.
"Tidurlah, besok baru kamu akan saya antarkan pulang. Jangan khawatir saya sudah izin termasuk memberi tahu keadaanmu pada Om Ardi. Dan dia mengizinkan kalau kamu menginap akan di apartemen saya." Beritahu Gibran sebelum keluar dari kamar dan memilih tidur di ruang tengah di atas sofa.
Apa ini, Anggie makin bingung dibuatnya. Bagaimana bisa pria asing itu mengenalnya dan bahkan mengenal ayahnya.. Siapa pria ini?
○○○
Sesuai perkataannya Gibran mengantarkan Anggie pulang kerumahnya. Anehnya pria itu tahu juga alamat rumahnya padahal Anggie belum memberitahu. Dan lebih aneh lagi saat mereka sampai dirumah pria itu malah tampak akrab sekali dengan Papanya.
"Berapa kali Mama bilang Anggie hahh.. Kenapa telinga kamu ini gak mau dengar? Sekarang rasakanlah akibatnya." Omel Mamanya terus-terusan dan Anggie hanya menunduk tak berani menyela.
"Pulang malam, keluyuran! Mau jadi apa kamu? Mama beritahu kamu malah bilang Mama cerewet dan enggak gaullah!! Sekarang kamu masih mau bandel?"
Anggie mengangguk pasrah.
"Dasar duplikat Papamu.. Kelakuan anak sama ayah sama saja. Luar biasa suka sekali membuatku mengomel marah." Mamanya Riani memijit kepalanya yang tiba saja terasa pusing.
"Apa!! Kamu mau protes, gak terima sama ucapan Mama.." Tuding Mamanya Riani saat melihat Anggie akan bicara.
"Sudahlah lebih baik kamu banyak istirahat. Supaya kamu cepat sembuh dan bisa membandel lagi. Huhh.. Mama sungguh tidak habis pikir dengan pikiran dan kelakuanmu. Mirip sekali dengan Papamu!!."
Brakk
Mamanya keluar dari kamarnya dan menutup mintu dengan membantingnya kasar. Hal itu membuat Anggie mengelus dada. Sabar.
Begitulah Riani Mamanya hobi sekali mengomel dan tentu saja itu karena ulahnya tapi Papanya yang malang selalu saja turut ikut disalahkan dalam hal itu.
TO BE CONTINUED
Baik Anggie maupun Gibran, sepasang suami dan istri yang sakit bersamaan itu kini perlahan membaik. Hal itu bukan tidak lain pengaruh dari kehadiran calon sang buah hati. Kehadiran bukan hanya membawa kebahagian bagi seluruh keluarga, tapi juga kesembuhan bagi ibu dan ayahnya.Meski demikian di sisi Anggie, wanita itu belum sepenuhnya sembuh dan tidak jarang kambuh ataupun kumat berreaksi berlebihan sambil meneriakkan kata-kata kalau dirinya bukan pembunuh. Tak jarang ia juga suka menceritakan pengalamannya menyayat kulit para pria tampan, tapi hidung belang suruhan Diana yang hendak melecehkan dirinya.Sebagai solusinya seperti yang telah diketahui sebelumnya, jika keadaan sang buah hati yang belum lahir adalah obatnya, maka ibu mertua dan semua anggota keluarga langsung mengungkit kehamilannya untuk membuatnya tenang dan juga melupakan kejadian yang mengakibatkan dirinya trauma.Keadaan perlahan pulih dan kondisi keluarg
Anggie dengan nafas tersenggal dan ngos-ngosan membuka pintu dengan tubuh yang luar biasa gemetar juga teramat letih dan pucat. Wajahnya memerah kontraks menutupi kulit mulusnya yang seputih susu dan selembut sutera itu.Keringat membanjirinya, hampir sekujur tubuhnya basah dengan beberapa bagian yang bercorak merah yang terjadi akibat cairan merah anyir yang keluar dari kulitnya yang kelupas. Mengalir keluar lewat sudut bibirnya dan juga bagian pelipisnya yang belum mengering menyempurnakan tampilannya sehingga terlihat kacau berantakan.Wanita itu diam membeku berjalan masuk tanpa memperdulikan seseorang yang kaget melihat komdisinya.Gibran yang sebelumnya berada di ruang depan menunggu Anggie yang tiba-tiba saja menghilang, berniat untuk mengomel. Akan tetapi hal itu tidak terjadi dan Gibran dengan seketika malah tercengang seketika menjadi cemas bercampur marah. Cemas melihat kondisi Anggie dan marah pada orang yang m
Kejadian ketika Diana memarahi dan menindas Anggie di depan umum berhasil menciptakan kesan buruk tentangnya dihadapan Gibran. Diana menjadi geram karenanya dan bertambah benci pada sosok yang bernama Anggie. "Aaarrggh!!" Diana mengamuk melembari semua barang dalam ruangannya yang bisa dijangkau tangannya. "Biadap, dasar bocah tengik. Beraninya kamu mempermainkanku, membuatku dibenci oleh Mas Gibran!! Berengsek ... Aaarrggh!" "Awas kau bocah, jika sampai aku mendapatkanmu, kali ini aku tidak hanya akan memberi makan peliharanku dengan tubuhmu, tapi juga akan jual dirimu!!" Gerutu marah Diana tidak tahan dengan perasaannya yang memanas seolah membakar dirinya sendiri dalam kemarahannya. "Hari ini kau boleh menikmati kemenanganmu itu, tapi lain kali jangan harap. Sial! Sial!! Aaarrggh, Rocky, kemarilah ... aku membutuhkan dirimu untuk mendinginkan amarahku!!" Jerit Diana keras. **** Sementara itu di sisi
Setelah berbicara dengan ibu mertuanya lewat telepon perasaan Anggie menjadi sedikit lebih tenang dan melunak. Meskipun masih kesal mengingat bagaimana Gibran dan Diana berpelukan mesra yang membuatnya terluka dan juga kecewa. Namun sedikit demi-sedikit Anggie sudah menerima dan memahaminya.‘Itulah mengapa Mama memintamu pergi ke rumah sakit dan lebih memperhatikan Gibran. Agar wanita iblis itu tidak mempunyai kesempatan mendekatinya, Anggie. Mama tahu kamu kecewa dan merasa diduakan, tapi ketahuilah hubungan apapun yang berhasil diikatkan wanita iblis itu kepada suamimu bukanlah ikatan yang sekuat ikatan hatimu dan Gibran suamimu.’Kata-kata ibu mertuanya terus membayang
Anggie berlari dari Gibran ketika ia berhasil lepas dari pelukan suaminya dan dibelakangnya ada Gibran yang menyusul sambil terus meneriakkan namanya.Melihat hal itu, para perawat dan juga dokter perempuan kepo dan tanpa segaja menyaksikannya drama tersebut, tak tahan untuk tidak berbisik-bisik menggosipi Gibran dan Anggie. Mengakibatkan Diana yang masih di sana menjadi panas dan mendidih."Wanita yang Dikter Gibran kejar itu istrinya?""Kalau dilihat dari kemiripan foto pernikahan Dokter Gibran yang diunggahnya di akun media sosial, wanita itu memanglah mirip dengan istrinya.""Lebih cantik aslinya yah?""Hm, iya. Media sosial memanglah penipu, tapi kali ini tipuannya beda. Jika biasanya membuat oramg cantik sekarang malah berbalik. Kelihatan di foto istrinya dokter Gibran kecantikannya biasa saja. Eh, pas ketemu aslinya, cantiknya kelewatan.""Hm, kamu benar. Wanita yang hamp
Perasaan Anggie bergitu membuncah gelisah sekaligus berdebar senang dan bahagia bercampur aduk sama ratanya. Pernyataan cinta dari Gibran benar-benar tidak Anggie disangka dan Anggie sedikit kaget mendengarnya.Tadinya ia hanya ingin mendebat Gibran seperti kebiasaannya, mencari masalah dan menangis untuk membuatnya merasa lega dari perasaan yang menghimpit keras dadanya hingga membuatnya merasa sesak.Namun apa yang Gibran lakukan benar-benar membuatnya berdebar kencang dan membuat jantungnya berdetak tidak beraturan.Meskipun demikian ia masih terganggu dengan perasaan lain yang masih terselip mengganjal dalam hatinya. Ada wanita lain yang menjadi nomor dua dalam hati Gibran setelah dirinya dan hal itu ditolak mentah-mentah enggan mau berbagi dalam hatinya. Namun boleh dikatakan apa yang sudah Gibran ungkapkan membuat merasa lebih baik dan sedikit merasa lebih baik.Hari ini karena senang dengan ungkapan cin
Anggie terkejut sekaligus menjadi syok. Hatinya terluka mengetahui ada wanita yang diperhatikan Gibran selain dirinya. Setelah mendengarkan penjelasan dari Mertuanya mengenai siapa wanita yang bernama Dinda yang dicurigai merupakan pelaku utama dibalik penculikan yang terjadi kepadanya.Seketika rasa tidak terima menghimpit menyemangati dirinya agar berteriak keras. ingin rasanya marah, mengamuk sekaligus menangis. Namun yang Anggie lakukan hanyalah diam dan termenung sampai beberapa saat berlalu. Beberapa jam dari setelah selesainya ibu mertuanya membantunya mengompres sekitar matanya yang menghitam bengkak.'Haruskah aku menangis lagi setelah semalam aku sudah puas menangis terus. Aku bahkan merasa bahwa mataku yang bengkak belum sepenuhnya sembuh, tapi yang benar saja aku harus menangis,' Anggie berusaha menguatkan hatinya yang cengeng dan juga rapuh. 'Diana wanita jahat itu hanya nomor dua di hati Mas Gib-gib, tapi kenapa rasa
'Ughhh, Mas Gib-gib ini apa-apaan sih? Mengapa mematapku sampai segitunya dan bukannya kasih pelukan kek biar aku berhenti menangis. Aaarrggh, bahkan mataku sudah capek mengeluarkan air mata, tapi dia tenang-tenang saja, huhh ... dasar menyebalkan!!'Gibran terus mengamati istrinya dengan lamat-lamat dan dengan detail mempehatikan lekuk tubuhnya.'Wajahnya agak bercahaya, kulitnya agak memucat, bentuk dadanya lebih bulat dari biasanya dan yang terpenting bagian perutnya agak kelihatan membuncit. Sepertinya dugaanku tidak salah lagi! Anggie memang sudah mengandung anakku. Besok aku harus mengajaknya periksa dan aku harus lebih mewaspadai pergerakannya juga memperhatikannya, jangan sampai anak kami dalam bahaya apalagi jangan sampai kejadian penculikan tadi terjadi lagi. Bagian terpenting lainnya aku juga harus segera mengetahui siapa dalang dibalik penculikan ini dan memberikan orang itu pelajaran. Ah, s
Anggie masih saja menangis meski urusan mereka telah selesai baik sebagai saksi dan memberikan keterangan pada polisi atas kejadian yang barusan terjadi. Bahkan ketika sudah sampai di rumah mereka yang sudah ditunggu oleh kedua keluarga besar mereka yang haraf mencemaskan Anggie, setelah mengetahui kejadian penculikan yang menimpa Anggie. Istrinya Gibran itu masih betah dengan isakan piku yang disertai lelehan air mata yang menyelimuti daerah pipinya.Melihat hal itu para orang tua memaklumi apa yang dilakukan oleh Anggie, mereka pikir mungkin Anggie masih syok dan ketakutan.Berbeda dengan Gibran. Rasa-rasanya dia tidak mempercayai kalau Anggie mengalami trauma setelah penculikannya kali ini. Gibran ingat istrinya itu memang takut, tapi raut wajahnya yang dipikirkan Gibran tidaklah mencerminkan apa yang dikatakan orang-orang. Tapi apa yang membuat Anggie demikian jika bukan karena syok akibat penculikan yang dialaminya, Gibran pun kurang me