"Sepertinya aku harus ketemu lagi sama dia."
Erlangga, pria yang berhasil membuatnya gelisah semalaman. Pria itu berhasil mengacaukan pikiran Olivia hanya karena tatapannya yang tajam dan menusuk. Perempuan itu juga tidak menyangka kalau bisa memikirkan orang lain.
Dia sudah memutuskan untuk bertemu dengan Erlangga. Olivia ingin memastikan perasaannya pada pria itu. Olivia menolak kalau dirinya tertarik pada Erlangga. Namun, hatinya justru sangat menginginkan bertemu dengan pria itu lagi.
Sekarang, perempuan itu sedang berjalan mencari keberadaan Erlangga. Sudah tiga lantai dia telusuri, tetapi pria itu belum juga ditemukan. Olivia takut kalau dia tidak berhasil bertemu dengan Erlangga, karena dia harus memastikan perasaannya hari ini juga.
Dia berjalan dengan wajah yang sedikit diangkat, seolah dia adalah ratu yang harus dihormati. Beberapa kumpulan mahasiswa di sepanjang lorong dia anggap sebagai penonton yang butuh pertunjukan darinya.
Tingkah lakunya yang angkuh membuat Olivia sering digunjing. Tentu saja Olivia dapat mendengar bisikan yang membuat hatinya terluka; sombong, angkuh, tidak berperasaan, tidak punya teman, dan kalimat lain yang berhasil mengoyak hatinya.
Netra legamnya berhasil menemukan pria yang dia cari dari tadi. Tanpa ragu, tanpa ada pikir panjang lagi, Olivia berjalan menghampiri Erlangga setelah menghela napas kasar. Pria itu sedang duduk di pendopo bersama kawan-kawannya. Wangi khas dari parfum Erlangga mulai menyeruak ke dalam indera penciuman Olivia.
Hari ini Erlangga terlihat lebih gagah dengan singlet hitam yang dia pakai. Dada bidangnya dapat tercetak jelas, otot bisep di kedua lengannya yang putih bersih berhasil terlihat oleh Olivia. Yang paling membuat perempuan itu terpesona adalah bulir keringat yang masih menetes dari rambut Erlangga.
Sesampainya di dekat Erlangga, Olivia mendeham. Pria itu berbalik menatap Olivia. Senyuman langsung terpasang di wajahmya yang tampan. "Eh, ada Olivia."
Pria itu menyampirkan kemeja di bahu kanannya. Erlangga merasa senang dan bangga saat melihat Olivia datang kepadanya. Rencananya untuk membuat Olivia terpikat berhasil.
"Nama kamu Erlangga, kan?" tanya Olivia.
Erlangga semakin senang karena Olivia berhasil mengetahui namanya. Olivia tidak mungkin mau bertanya pada mahasiswa lain. Erlangga yakin kalau Olivia mencari datanya di pangkalan data fakultas. Pria itu semakin sadar kalau Olivia serius untuk mengetahui dirinya.
"Ada apa wahai Olivia yang cantik? Kamu rindu sama aku?" tanya Erlangga dengan penuh percaya diri.
Harus Olivia akui, kalau tingkat percaya diri Erlangga memang tinggi. Belum pernah dia bertemu pria sepertinya selama ini. Olivia menyadari satu hal, jantungnya berdetak cepat.
"Aku mau ngomong sesuatu." Olivia mengatakannya dengan tegas. Perempuan itu melihat kedua teman Erlangga di belakang. "Nggak di sini, tapi di tempat yang nggak ada mereka berdua."
Erlangga penasaran dengan hal yang akan Olivia bicarakan. Dia tidak mengira kalau Olivia akan mengajaknya berbincang. Pria itu hanya berharap Olivia mencarinya dan mengajak dia ke kantin bersama.
"Apa yang mau kamu omongin sampai harus pergi dari sini? Kamu nggak lagi nyusun rencana untuk nyatain cinta kamu ke aku, kan?" tanya Erlangga.
Olivia mendengkus mendengar jawaban Erlangga. Dia sudah berjuang menahan rasa gugup, tetapi pria itu justru membalasnya dengan guyonan. "Bisa pergi dari sini dulu? Aku harus ngomong sesuatu sama kamu."
Erlangga berbalik menatap kedua temannya. Mereka juga bingung dengan tingkah Olivia. Tidak biasanya Olivia mau berurusan dengan mahasiswa di sini.
Erlangga kembali menatap Olivia. "Oke. Kamu hanya punya waktu sepuluh menit. Bagaimana?"
"Sepakat!" sahut Olivia.
Perempuan itu meninggalkan Erlangga. Pria itu semakin tertarik dengan tingkah Olivia yang menggemaskan. Tidak biasanya perempuan bersikap sombong jika berhadapan dengan Erlangga, hanya Olivia yang bersikap demikian.
Erlangga mengikuti Olivia sambil memakai kemeja. Pikirannya membayangkan apa yang akan Olivia katakan nanti. Dia hanya takut kalau Olivia risih dan ingin berjauhkan dengannya. Pria itu bisa lebih sulit dalam melindungi Olivia nanti.
Olivia masuk ke dalam ruangan tempat biasa dia kerja. Perempuan itu langsung duduk di kursi sambil menyalakan mesin komputer. Dia mengabaikan Erlangga yang sudah bersamanya.
"Jadi, kenapa manggil aku?" kata Erlangga.
Olivia mengalihkan pandangan dari komputer. Dia dapat melihat Erlangga yang duduk di meja di depannya. "Siapa kamu sebenarnya?" tanya Olivia.
Pria itu tersenyum tipis. "Perkenalkan, aku Leo Erlangga, mahasiswa tingkat dua di kampus ini."
Olivia kembali mendengkus. Dia merasa gagal mendapatkan informasi tambahan dari Erlangga. Semua informasi yang baru saja pria itu katakan sudah Olivia ketahui.
"Kenapa kamu bisa tahu aku?" tanya Olivia.
Pria yang ditanya justru mencibir. Erlangga tidak sangka kalau akan diinterogasi seperti ini oleh Olivia. "Data diri kamu nggak terlindungi banget.. Orang seperti aku nggak perlu effort banyak untuk mendapatkan informasi tentang kamu," jawabnya.
Jawaban Erlangga membuat Olivia geram. "Apa mau kamu? Kenapa kemarin kamu perlakukan aku seperti itu?"
Hal itu justru dianggap lucu oleh Erlangga. Pria itu tertawa, mengabaikan raut wajah Olivia yang mulai kesal.
"Aku lagi serius. Tolong jangan bercanda," kata Olivia.
Suasana ruang ini mulai sunyi. Erlangga sadar kalau dia tidak bisa lagi bercanda. Pria itu menatap Olivia dengan sebelah alis yang dia angkat. "Kamu serius nanya hal itu sama aku? Kenapa kamu terlalu mikirin kejadian kemarin?"
"Karena aku kepikiran sampai semalem!" jawab Olivia dengan tegas.
Erlangga mengembangkan senyumnya. Dia sangat senang mendengar hal itu. Perjuangannya mendekati Olivia kemarin tidak sia-sia. Namun, Erlangga juga merasa kecewa karena Olivia masih belum bersikap baik padanya.
"Itu artinya kamu mulai suka sama aku!" kata Erlangga dengan bangga.
Mata Olivia terbelalak mendengar pengakuan Erlangga. Dia menggelengkan kepala seraya berkata, "Nggak mungkin!"
"Kenapa nggak mungkin?" tanya Erlangga yang sudah berdiri menghadap Olivia.
Olivia masih merasa ragu dengan perasaannya. Dia hanya merasa detak jantungnya lebih cepat sekarang. Namun, dia tidak mau mengakui kalau dia merasa tertarik pada Erlangga.
"Aku nggak mungkin suka sama cowok di kampus ini! Walau dari tampang kamu terlihat cukup tampan, itu belum cukup untuk memenuhi standar untuk menjadi pacar aku," jawab Olivia yang berbicara semakin sewot.
Gelak tawa kembali terdengar dari mulut Erlangga. Pria itu tidak kuasa menahan tawa setelah mendengar kata pacar yang Olivia katakan.
"Pacar? Lagian siapa juga yang mau jadi pacar dari seorang perempuan sombong seperti kamu? Untuk jadi gebetan aja aku harus mikir seribu kali. Bagaimana jadi pacar? Oh, bahkan aku harus berpikir sangat keras untuk menimbang tawaran menjadi teman dekat kamu!" jelas Erlangga.
Itu sedikit menyakitkan hati Olivia. Perkataannya dapat diartikan bahwa Olivia sangatlah tidak pantas dijadikan teman, sahabat, atau pacar.
"Orang seperti kamu harus mikir-mikir untuk jadi teman aku? Sebelum kamu mikir, aku udah coret nama kamu dari daftar orang yang akan menjadi teman aku," sahut Olivia.
Pria itu kembali tergelak mendengar perkataan Olivia. "Kalau kamu harus mencoret nama aku dari daftar orang yang nggak akan jadi teman kamu, kenapa kamu sampai nggak bisa tidur semalam?"
Olivia menatap Erlangga tanpa berkutik. Dia tidak dapat mengeluarkan sepatah kata untuk membantah perkataannya.
"Wah, berarti kemarin aku berhasil membuat kamu terpana, ya? Jadi, apa yang semalam kamu pikirkan? Kamu nggak sampai mikirin kalau kita akan menikah, kan? Aku nggak akan sanggup kalau hal itu terjadi." Erlangga menyeringai.
Olivia berdiri dan menggebrak meja. Perempuan itu tidak senang dengan perkataan Erlangga. Tangannya menunjuk wajah Erlangga sambil berkata, "Jaga ucapan kamu! Aku nggak serendah itu untuk nikah sama pria rendahan seperti kamu."
Kata-kata pahit sudah mulai keluar dari mulutnya. Erlangga hanya bisa tersenyum. Otaknya berpikir tentang rencana membuat perempuan di hadapannya bungkam.
Pria itu menurunkan tangan Olivia ke atas meja. Namun, perempuan itu menariknya dengan kasar. "Jangan sembarangan pegang-pegang! Tangan kamu itu kotor, bau, banyak kuman. Aku cuma tanya, apa maksud tindakan kamu kemarin?"
"Hanya main-main aja. Kenapa, Liv? Apa kamu langsung suka dengan semua tindakan aku kemarin? Jujur aja!" kata Erlangga.
Olivia sontak tertawa terbahak-bahak. Perempuan itu tidak sangka kalau tuduhan pria di depannya benar. Namun, Olivia terus mengelaknya dengan berkata, "Mana mungkin tindakan kamu yang kampungan itu berhasil buat aku suka sama kamu? Justru itu buat aku jijik "
Erlangga mulai bingung dengan semua yang Olivia katakan. Dia tidak mau memperpanjang pembicaraan kalau Olivia hanya ingin menghinanya saja. Dia akan menyusun rencana lagi besok agar Olivia dapat berdekatan dengannya.
"Jadi, hanya itu yang akan kita bicarakan? Aku masih punya banyak jadwal, nggak bisa selamanya meladeni perempuan sombong seperti kamu," kata Erlangga.
"Bagaimana kalau kita buat kesepakatan?" tanya Olivia.
Erlangga baru saja berbalik ingin meninggakkan Olivia. Dia mengurungkan niatnya, karena ucapan Olivia lebih menarik. Pria itu berhenti dan berdiri membelakangi Olivia. "Kesepakatan seperti apa?"
"Kamu harus buat aku jatuh cinta! Bagaimanapun caranya aku nggak peduli. Kalau berhasil, aku akan kasih satu permintaan. Apa pun yang akan kamu ajuin, tapi kalau gagal kamu harus siap-siap angkat kaki dari kampus ini," jelas Olivia.
Erlangga tersenyum miring mendengarnya. Dia merasa kalau itu bukan sebuah tantangan. Olivia benar suka padanya, tetapi perempuan itu tidak mau mengakui. Pria itu berbalik dan tersenyum lebar. "Kamu yakin kalau aku boleh menggunakan cara apa pun?"
Olivia sempat ragu untuk menjawabnya. Dia takut kalau Erlangga melakukan hal yang buruk padanya. "Emangnya kamu mau apa?"
Pria itu tersenyum lebar mejawabnya. "Kalau untuk membuat kamu jatuh cinta, kayaknya kita nggak bisa ketemuan di kantin aja. Kita harus lebih sering bersama. Itu artinya aku harus berada di samping kamu."
Jawaban Erlangga membuat Olivia mendengkus. Dia pikir Erlangga adalah cowok lemah yang banyak minta. "Kalau kamu cowok hebat, kamu bisa aja buat aku jatuh cinta dengan cara apa pun. Kamu nggak perlu berada di samping aku terus," sanggah Olivia.
"Sayangnya, perempuan di hadapan aku berbeda dengan perempuan yang lain. Kalau kamu nggak mau, aku bisa keluar dari tempat ini." Erlangga mengangkat tubuhnya untuk berniat pergi.
Namun, Olivia kembali menahannya. "Eh-eh, tunggu dulu!"
Seringai pria itu kembali muncul. Dengan tangan yang mengepal sempurna di depan tubuhnya. Erlangga berbalik kembali menatao Olivia. "Apa keputusan kamu?"
"Oke, lakukan apa yang kamu mau. Aku nggak peduli! Inget kalau kalah, kamu harus siap-siap pergi dari kampus ini!" sahut Olivia.
Olivia semakin lemas kalau terus melihat wajah Erlangga yang tampan. Senyumnya yang manis membuat Olivia salah tingkah. Perempuan itu mengalihkan pandangannya.
"Nggak perlu khawatir! Aku akan terus kuliah di sini, di kampus yang sama dengan kamu, sayangku!"
Setelah itu, Erlangga pergi meninggalkan Olivia sendirian di ruangannya. Dia terus bersorak kegirangan karena tujuannya hampir tercapai. Sementara Olivia sedang memukul meja berkali-kali. Perempuan itu berteriak, menjambak rambutnya sendiri dengan keras.
"Siapa kamu sebenernya? Kenapa kamu berhasil buat aku kepikiran, sih?" pekik Olivia nyaring.
Erlangga masih mendengar suara Olivia di dalam ruangan. Dia belum pergi, dia masih di depan ruangan dengan pintu yang tidak dia tutup rapat.
"Aku Erlangga, Dewa Pelindung sekaligus Dewa Cinta kamu, Olivia."
Taman kampus menjadi saksi kesenangan Erlangga hari ini. Pria berkemeja flanel merah itu beberapa kali berteriak, menyerukan kesenangan dari dalam dirinya. Erlangga bukan hanya senang karena Olivia masuk ke dalam perangkapnya. Dia juga senang, karena bisa berdekatan dengan Olivia. Pria itu sedang duduk di salah satu bangku taman sambil bersiul. Dia sedang menunggu kehadiran rekannya di sana. Idris sengaja melakukan pertemuan dengan Erlangga di kampus, karena dia juga ingin melihat penampilan anak buahnya yang menyamar sebagai mahasiswa. Seorang pria yang memakai kaca mata hitam sedang berjalan ke arahnya. Tubuhnya yang dilapisi kaus putih dan jaket denim membuatnya terlihat tampan. Erlangga tidak sangka kalau rekannya akan bergaya seperti itu. Dia pikir Idris akan tetap memakai blazer hitam dan dasi merah seperti biasanya. "Jadi seperti ini penampilanmu selama di kampu?" tanya Idris yang sudah duduk di samping Erlangga. Kedua pria itu tidak sali
Olivia tetap membungkam mulutnya sepanjang perjalanan. Perempuan itu masih terbayang wajah Erlangga yang tepat di depannya. Jangankan tatapan tajamnya, deru napas Erlangga pun masih dia ingat. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan lama, mereka tiba di depan bengkel Olivia pikir mereka akan datang ke kafe atau restoran. Ternyata hanya ke sebuah bengkel yang kumuh. Perempuan itu mendengkus dan memutar bola matanya. Erlangga menatap sekilas wajah Olivia lalu melepas sabuknya. Wajah yang tadi sangar sudah memancarkan senyuman. "Ayo turun!" titah Erlangga. Perempuan yang sudah mengganti kardigannya dengan jaket tebal berwarna hitam tidak bergerak. Dia memainkan ponsel dan mengabaikan perintah Erlangga. "Olivia!" Kata Erlangga dengan nada rendah. "Aku nggak mau ke dalam sana! Itu tempat kumuh. Kamu kenapa bawa aku ke tempat ini, sih? Seharusnya aku udah di rumah," bantahnya sambil menatap Erlangga dengan nyalang. Raut wajah
Setelah hampir tiga jam berada di dalam mobil, akhirnya mereka sampai juga di depan unit apartemen milik Erlangga. Kesadaran Olivia mulai menipis yang mulai menipis tidak mampu membuat perempuan itu sepenuhnya sadar dengan keadaan. Matanya yang berusaha tegar walau kelopaknya sudah tidak kuasa untuk terbuka membuat wajah Olivia berkali-kali terantuk kepala Erlangga. Erlangga membawa Olivia di punggungnya. Pria itu sudah menunggu Olivia bangun dari tadi, tetapi lima belas menit berada di parkiran membuatnya sadar kalau Olivia sudah benar-benar terlelap. Erlangga menempelkan sebuah kartu pada mesin di depan pintu. Warna hijau yang memindai kartu berhenti, pintu besi itu terbuka. Erlangga memasuki apartemennya dengan langkah perlahan. Dia takut membangunkan perempuan yang berada di punggungnya. “Ini apartemen kamu?” gumam Olivia. Artikulasi suaranya mulai tidak jelas karena berbicara dengan keadaan setengah sadar.Pria yang ditanya tidak menjawa
Setelah mengantarkan Olivia ke dalam kelas, Erlangga tidak langsung pergi ke kelasnya. Pria itu justru keluar dari kampus menuju sebuah gedung mewah di daerah Jakarta Pusat. Dengan penampilannya yang hanya menggunakan kaus putih polos dan kemeja flanel serta celana levis, membuat orang yang melihatnya merasa aneh. “Siapa pria itu? Apakah dia tidak tahu kalau gedung ini hanya didatangi oleh pria berdasi?” Mungkin itu yang dipikirkan oleh mereka. Erlangga sadar kalau dirinya ditatap aneh oleh orang di sekitar, tetapi dia tidak mempedulikannya. Pria itu justru terus melangkah menuju lantai 18 dan memasuki salah satu ruangan. Sebuah kejutan untuknya, dia hanya bertemu Idris dan Yoseph. Pria itu mendecih setelah menutup pintu. "Kamu menyuruhku untuk buru-buru, tetapi sekarang baru kalian berdua di sini. Ke mana uang lainnya?" Lampu ruangan seketika meredup, bergantikan cahaya biru remang-remang. Jendela tak bergorden pun langsung tertutup oleh tralis besi
“Ke mana Erlangga, sih? Nyusahin aja jadi orang!” Sudah hampir jam dua siang, tetapi batang hidung Erlangga belum tampak juga. Olivia sudah geram dengan pria itu. Dia ingin sekali menjambak rambut Erlangga kalau bertemu nanti. Akhirnya, perempuan itu memutuskan untuk pergi dari kantin. “Kelamaan nungguin dia. Nanti malah nggak ikut kelas.” Dalam hati dia mengutuk pria bernama Erlangga, seandainya dia dateng, akan aku hantam wajahnya dengan tas. Padahal, sepertinya nyali Olivia belum cukup untuk melakukan itu. Ditatap dari jarak dekat saja sudah gerogi, apalagi melakukan hal yang tidak-tidak. “Eheeem!” Olivia menoleh ke sumber suara di belakangnya. Ternyata Erlangga, dia sedang mengikuti Olivia dari belakang. “Apa yang aku bilang tadi saat di kantin?” tanya Erlangga dengan tatapan mata yang menajam. Olivia menjawab setelah memutar bola matanya. “Terus aku harus nungguin kamu sampai kapan? Dua menit lagi udah masuk kelas
“Hari ini kita ke rumah kamu, ya.” Pernyataan dari Erlangga membuat Olivia mengembuskan napasnya dengan kasar. Perempuan itu tersadar, kepergiannya semalam pasti akan membuat ayahnya marah. “Bisa kita main ke mana dulu gitu? Aku juga kayaknya mau nginep di apartemen kamu lagi, Lang!” kat Olivia. Sontak pria di sampingnya langsung tertawa. Apa maksudnya Olivia ingin menginap di apartemennya lagi? Erlangga berpikir kalau Olivia ingin tidur di apartemennya, berarti Olivia sudah mau menerima Erlangga. “Kenapa? Kamu udah nggak sabar untuk tinggal sama aku, ya? Jangan-jangan kamu juga udah nggak sabar untuk tidur sekamar sama aku, Liv,” kata Erlangga yang sedang menyetir. “Anda ini terlalu percya diri banget, ya?” tanya Olivia sedikit jengkel. Erlangga terus tertawa kecil mendengarnya. “Emang itu kenyataannya, kan? Bukan percaya diri, tapi emang itu kenyataan yang terjadi.” “Kalau bisa, aku mending nggak ketemu lagi sama kamu, Er.” O
Dua orang yang tidak memiliki kejelasan status akan tinggal bersama di satu apartemen. Terdengar konyol, tetapi itu yang terjadi pada Erlangga dan Olivia. Kedua insan itu sedang berdebat masalah kamar. “Pokoknya aku mau kamar ini. Kamu harus pindah kamar!” titah Olivia. “Ini apartemen aku. Kenapa jadi kamu yang ngatur-ngatur? Kamu pindah aja ke kamar sebelah!” Erlangga kembali mendorong Olivia dari kamarnya. Setelah lolos dari kejaran anak buah Firman, mereka berdua langsung ke apartemen. Warna langit yang sudah jingga yang membuat Erlangga untuk memilih pulang. “Kenapa kamu nggak mau ngalah sama cewek, sih?” protes Olivia. “Bukannya malam ini kamu jadi pembantu aku? Mending kamu buatin aku minum aja sekarang dari pada rebutan kamar.” Erlangga menutup pintu kamar dan menguncinya. “Kenapa kuncinya kamu simpen?” tanya Olivia yang semakin sewot. “Jaga-jaga kalau kamu mau ambil kuncinya terus nyelonong masuk. Udah, sekarang kamu bu
“Kenapa diem aja?” tanya Erlangga. Mereka berdua sudah tiba di depan sebuah gedung tinggi daerah Kasablanka. Erlangga sengaja mengajak Olivia ke pertemuan kelompoknya. “Kamu masih marah sama aku?” Erlangga kembali bertanya. Dia melepas kaitan sabuk pengaman dan menghadap Olivia. “Nggak ada yang harus dimarahi. Ngapain kita ke sini?” Olivia akhirnya membuka suara, setelah perjalanan yang cukup memakan waktu dia terdiam. “Saya mau ketemu temen-temen aku. Kamu nggak apa-apa ikut aku, kan?” tanya Erlangga. Embusan kasar napas Olivia mengartikan dia tidak senang. Perempuan itu seolah kehilangan mood untuk tersenyum setelah perbuatan yang Erlangga lakukan. “Hei! Kenapa nggak mau natap aku, sih?” Erlangga membuat wajah Olivia menatapnya. “Kamu masih marah masalah tadi?” “Kamu pikir a kumasih marah atau nggak? Kalau kamu punya pikiran, seharusnya kamu tahu,” sahut Olivia. Erlangga sadar kesalahannya. Dia tidak seharusn