Share

Terpikat Pesona Mahasiswa Gadungan
Terpikat Pesona Mahasiswa Gadungan
Penulis: vhiiilut

Part 1

Beberapa pria yang berbalut kemeja serta blazer saling melempar keheningan. Mulut mereka tertutup rapat, berlomba untuk mengunci suara masing-masing. Hanya ada suara mesin pendingin udara di ruangan yang hanya berisikan meja dan kursi. Masing-masing dari mereka bertanya-tanya, mengapa mereka di kumpulkan lagi?

Mereka adalah kelompok mafia Renoza. Organisasi yang sangat kompeten sebagai pelindung sebuah perusahaan, pemberantasan golongan, dan pembantaian sebuah kawasan. Jarang sekali tugas yang mereka emban gagal, lebih banyak berhasil dan tidak mengecewakan pelanggan.

Di sela keheningan, tiga orang pria yang lain memasuki ruangan. Mereka semua bangun dan membungkukkan badan, menghormati pria yang baru saja tiba. Salah satu di antara mereka adalah Alfonso, pemimpin mereka. 

Setelah semuanya kembali duduk, Alfonso kembali membuka suara. "Aku perintahkan kalian semua ke sini karena ada satu tugas yang harus kalian lakukan. Pergi ke Indonesia! Awasi seluruh keluarga Mahardika! Lindungi mereka semua! Keberatan?" tanya Alfonso dengan bahasa Prancis.

Tidak ada yang membalas ucapan Alfonso. Mereka lebih fokus pada lantai di bawahnya ketimbang wajah pria yang sedang berbicara. Lima orang yang sedang berhadapan dengan Alfonso adalah Yoseph, Ignatius, Ruhn, Idris, dan Erlangga.

Pria bernama Erlangga mengangkat wajah dengan seringai yang menghiasnya. "Kenapa selalu kami berlima?" 

"Karena kita yang terbaik," jawab Ruhn yang sedikit tersenyum miring.

 Alfonso tidak tertarik menjawab pertanyaan Erlangga, tetapi dia tertarik dengan pria yang bertanya. "Erlangga, Anda harus lindungi Olivia! Dia putri Mahardika."

Perintah Alfonso membuat Erlangga jijik mendengarnya  Pria itu mendengkus dan tertawa. "Anda selalu bersikap begitu."

Masing-masing dari mereka saling menatap. Kemudian, satu per satu pergi meninggalkan ruangan, kecuali Erlangga. Pria itu tersenyum tipis. "Tunggu aku di sana, Babe !"

***

Biasanya, mahasiswa akan pergi ke kantin bersama dengan teman sefrekuensinya. Mereka akan makan siang bersama sambil bercanda. Namun, berbeda dengan Olivia, perempuan berkardigan hitam yang sedang duduk sendirian di bangku di tengah kantin. Dia tidak pernah mau memiliki teman di kampus. Awal-awal masuk kuliah, dia langsung sadar kalau banyak dari mereka yang miskin, bodoh, bahkan tidak bermoral. Sehingga, dia lebih baik sendirian.

"Dari pada harus berurusan dengan rakyat tidak berguna, lebih baik aku hidup sendiri di sini."

Begitulah perkataan Olivia pada dirinya sendiri. 

"Dasar mahasiswa nggak berguna! Bisanya gosip doang, nggak ada kelebihannya!" gerutunya seorang diri.

Dia sedang menikmati makanan yang dia beli di salah satu warung di sana. Kalau dipikir-pikir, untuk apa dia sombong kalau tetap makan di kantin? Hanya menurunkan reputasinya saja. 

Di bagian kanan kantin, ada tiga orang mahasiswa yang sedang menikmati mi ayam dengan tawa yang sering kali terdengar. Mereka adalah Varo, Lana, dan yang paling menyebalkan adalah Leo Erlangga. 

Leo Erlangga, mahasiswa tingkat dua jurusan hukum. Tinggi, putih, rambut tertata rapi dengan jambul yang begitu khas, dan wangi parfum yang pasti dapat memikat perempuan.

"Er, hari ini belum godain cewek, nih! Kurang lengkap kayaknya," kata Lana. Pria yang senang menggunakan jaket hitam ke mana pun dia pergi.

Yang ditanya justru asyik mengunyah suapan mi terakhir dari mangkuknya. Dia seolah tidak peduli dengan pertanyaan Lana.

"Erlangga hari ini nggak akan godain cewek. Dia lagi insaf, lagi mikirin nasib perkuliahannya yang mulai susah!" sahut Varo.

Sepertinya tidak mungkin kalau Erlangga tidak menggoda perempuan hari ini. Pria itu mendengkus kasar. "Enak aja, seorang Erlangga nggak mungkin kalah sama kuliah. Lagian, kamu belajar godain cewek dari aku, ya? Payah! Bukannya coba sendiri."

"Kalau sama kamu, mereka pasti langsung klepek-klepek, Bro! Kalau sama kita berdua, mah, kayaknya belum tentu. Tampangnya belum cukup!" kata Lana diiringi dengan tawa.

Varo menggumam keras. "Maaf, aku undur diri dari tampang yang belum cukup. Soalnya aku lebih ganteng dari kamu!"

Erlangga langsung akrab dengan dua orang di dekatnya sekarang setelah kedatangannya di kampus. Dia memang mencari teman untuk menyembunyikan identitasnya. Kalau sudah memiliki teman, orang-orang pasti mengira kalau Erlangga hanya mahasiswa biasa.

"Sampai detik ini, ada lima belas cewek yang baper sama kamu, dan kamu tolak, Bro!" kata Lana. Dia menatap layar ponselnya. "Ada catetannya semua, nih! Keren banget, Er! Bagi tampannya ke aku, dong!"

Erlangga mengusap-usap dagu sambil tersenyum. Dua kali alisnya bergerak naik-turun, seolah mengatakan kalau dirinya hebat, bukan? 

"Kamu nggak akan bisa setampan aku, karena udah takdir," ucap Erlangga yang berlagak membetulkan kerah kemejanya. 

Varo tertawa mendengar jawaban Erlangga untuk Lana. Menurutnya, itu perkataan paling menyakitkan yang pernah Varo dengar. 

"Dari pada kamu baperin cewek-cewek baik hati, mending kamu baperin cewek sombong di sebelah sana!" kata Lana sambil menunjuk Olivia.

Erlangga menatap perempuan yang ditunjuk oleh Lana. Matanya memicing, sesaat kemudian dia tersadar kalau perempuan yang ditunjuk adalah Olivia, orang yang seharusnya dia lindungi.

"Dia siapa? Kayaknya aku baru liat kali ini. Dia sombong kenapa?" tanya Erlangga yang pura-pura tidak mengenal Olivia.

"Dia itu Olivia, pemberi donasi terbesar di kampus ini. Ayahnya itu konglomerat. Nggak tau kerja apaan, tapi duitnya nggak habis-habis! Heran aku," jelas Lana panjang lebar.

Atmosfer di antara mereka bertiga mulai berubah. Suasana hangat yang tadi tercipta sudah digantikan dengan suasana ketegangan yang Erlangga ciptakan. Pria itu tidak tersenyum sama sekali, justru menampilkan raut muka datar yang menyeramkan.

"Dia sombong karena dia merasa orang-orang di sini itu miskin dan bodoh. Nggak setara sama dia yang pintar dan kaya raya," tambah Varo.

Erlangga menganggukkan kepalanya. Matanya kembali melirik Olivia, dia ingin meyakinkan Vano dan Lana kalau dia benar-benar tidak mengenal Olivia. 

"Dia pintar? Sepintar apa sampai dia sombong begitu?" tanya Erlangga sekali lagi.

Lana melirik Varo yang duduk di sampingnya dengan kerutan di dahi. Pria itu berlagak seolah bingung dengan Erlangga. Di dalam benaknya dia bertanya, "Mengapa Erlangga tidak kenal perempuan tenar seperti Olivia?" Itu semua terkesan aneh dan tidak masuk akal bagi Lana.

"Dia dapet A di semua mata kuliah yang dia ambil di dua semester awal. Kamu harus tahu, kalau dia itu asistennya Bu Rianti, dosen paling nyebelin di fakultas kita," jawab Varo yang masih menatap Lana dengan tajam.

Hal ini dapat Erlangga manfaatkan untuk lebih dekat dengan Olivia. Berhari-hari dia mengawasi perempuan itu dari jauh, tanpa niat untuk mendekatinya. Dia pikir akan lebih mudah jika mereka berdekatan.

"Dia lumayan menarik. Apa dia pernah dekat sama seseorang? Mungkin seorang cowok gitu? Dia terlihat cantik," kata Erlangga.

"Sayangnya, dia nggak pernah mau deket-deket sama siapa pun di sini. Kita juga males main sama dia, nggak asyik!" timpal Lana.

Erlangga tersenyum miring, lalu beralih menatap kedua teman di depannya. Dia punya ide yang sangat cemerlang. "Apa yang aku dapet kalau cewek itu baper sama aku?" tanya Erlangga.

Varo dan Lana tertawa kecil mendengar pertanyaan temannya. Tidak mungkin ada yang bisa dekat dengan Olivia, perempuan itu sulit ditaklukan.

"Emangnya kamu mau apa? Duit? Motor? Traktiran? Aku yakin kamu udah kaya raya dan nggak butuh semua itu," sahut Varo.

Erlangga kembali menatap perempuan yang bernama Olivia. Matanya tidak terlepas dari rambut Olivia yang tergerai lurus. Dia sedikit tersenyum, lalu mengangkat salah satu bibirnya.

"Oke, aku akan lakuin, tapi kamu harus mau lakuin apa yang aku perintah! Gimana?" tantang Erlangga yang kembali menatap kedua temannya.

Varo dan Lana enggan untuk menyetujui tantangan Erlangga. Karena mereka pikir, nanti Erlangga akan terus memberi mereka perintah-perintah yang tidak jelas dan memalukan, mengingat sikap Erlangga yang tidak tahu malu.

Namun, mereka juga ingin melihat Olivia yang bertekuk lutut pada orang lain. Mereka ingin tahu bagaimana sikap Olivia jika sudah menemukan pria yang mampu meluluhkan hatinya.

"Ogah, ah. Nanti kamu minta macem-macem. Ribet!" Varo memutuskan untuk tidak setuju. 

"Tenang aja, aku paling cuma minta absenin kelas, salin tugas kuliah, hal yang berbau kuliah aja," jawab Erlangga yang membujuk temannya. 

Lama menunggu jawaban dari Lana dan Varo, Erlangga semakin tidak sabar. Dia memutuskan untuk melakukannya tanpa balasan apa pun dari Lana dan Varo. Lagi pula, dia dekat dengan Olivia saja sudah merupakan hal yang bagus.

"Jangan banyak mikir! Aku lakuin sekarang dan kalian harus nurut!" kata Erlangga sambil mengangkat kaki dari hadapan temannya.

Erlangga sudah berjalan ke arah Olivia yang sedang duduk di salah satu meja kantin di depan warung soto. Tangannya mengambil beberapa lembar tisu di meja yang ia lewati.

Sesampainya di meja Olivia, Erlangga langsung berdiri di belakang perempuan itu. Tangannya bergerak di wajah Olivia, mengusap bibir perempuan itu dengan tisu yang dia ambil tadi.

Olivia langsung memundurkan wajahnya. Dia menolak perlakuan yang Erlangga berikan. Olivia langsung memberungut kesal. Dia marah dengan tindakan Erlangga yang tanpa izin menyentuh bibirnya. Walaupun menggunakan tisu, tetap saja Olivia tidak terima.

"Hei! Jangan kurang ajar!" pekik Olivia kencang. 

Erlangga langsung menarik tangannya dan duduk di sebelah Olivia. Jarak mereka yang terlalu dekat membuat tatapan mata mereka bertemu. Olivia terdiam setelah menatap wajah Erlangga dari jarak dekat. 

"Aku cuma mau ngelap bibir kamu, jangan mikir macem-macem!" kata Erlangga. Pria itu mulai mengelap Bibir Olivia dengan tisu. Noda bumbu kacang sudah hilang dari bibirnya yang ranum. 

"Ada bumbu di sudut bibir kamu. Makanya kalau makan itu yang bersih. Kenapa buru-buru, sih? Aku nggak akan pergi buru-buru, kok. Aku tungguin sampai kamu selesai makan." Erlangga menarik tangannya dan tersenyum. 

Perempuan itu masih menatap Erlangga rupanya. Setiap sentimeter di wajah Elangga, Olivia amati perlahan-lahan; matanya yang hitam legam, tulang rahangnya yang tercetak jelas, hidungnya yang mancung, dan yang paling penting adalah bibirnya yang sangat menggoda. Satu hal yang dapat Olivia simpulkan. "Sempurna."

"Aku tahu kalau aku sempurna," ucap Erlangga seolah tahu apa yang ada di benak Olivia.

Olivia langsung mendorong Erlangga agar jarak tercipta di antara mereka. Perempuan itu mengalihkan pandangan, mendeham, dan menegakkan tubuhnya. 

"Kalau kita pacaran, kamu bisa mandang wajahku lebih lama, nih," kata Erlangga.

Siapa yang sangka kalau beberapa detik menatap wajah Erlangga dapat membuat jantung Olivia berdetak lebih cepat? Perempuan itu tidak menjawab ucapan Erlangga. Dia berusaha membuat dirinya lebih nyaman dengan menarik napas, kemudian membuangnya.

"Kamu nggak mau lihat wajahku yang sempurna lagi?" tanya Erlangga.

Perempuan itu tidak menyangka kalau ada orang sepercaya diri pria di sampingnya. Dia mengelak kalau sudah menatap pria di depannya. Olivia hanya terpaksa menatapnya, karena posisi mereka yang saling berdekatan dan berhadapan.

"Padahal kamu itu cantik—" Ucapan Erlangga terhenti karena Olivia memotongnya terlebih dahulu.

"Emang bener," sahut Olivia.

Pria itu senang, karena Olivia sudah mulai menjawab ucapannya. Dia pikir Olivia tidak akan tertarik padanya. Erlangga hanya harus berusaha untuk membuat dirinya lebih nenarik lagi.

"Cuma ...." Erlangga sengaja menghentikan ucapannya. Dia berharap Olivia penasaran, dan bertanya padanya.

Lama Erlangga tidak menyahuti kata-katanya. Dia terus memperhatikan Olivia yang terus membuang wajahnya ke arah lain. Pria itu sudah mulai berpikir kalau Olivia tidak tertarik padanya. 

"Cuma?" tanya Olivia yang penasaran. Perempuan itu menoleh ke arah Erlangga.

"Cuma sayang, belum pacaran sama aku." Erlangga tersenyum puas.

Olivia semakin bingung pada dirinya sendiri. Biasanya dia akan mengusir pria lain yang mendekatinya. Namun, kali ini dia justru membiarkan Erlangga mendekatinya.

"Udah puas?" tanya Erlangga. 

Olivia berkedip beberapa kali. "Puas ngapain?"

"Puas mandangin wajahku yang sempurna," sahut Erlangga sambil menaik-turunkan alisnya. Pria itu tersenyum lebar sambil berkata, "Mata kamu sampai nggak kedip-kedip dari tadi."

Olivia tidak sadar kalau wajah Erlangga semakin mendekat ke wajahnya. Perempuan itu mulai kesal dengan Erlangga. Dia segera menjauhkan badannya. "Siapa yang mandangin? Kebetulan aja di depan aku."

"Mandangin juga nggak apa-apa. Kamu percaya kalau aku suka sama kamu?" kata Erlangga. 

"Serius? Kamu suka sama aku?" sahut Olivia 

Erlangga membantahnya dengan gelengan kepala dan senyuman. Pria itu mengecewakan Olivia. "Sayangnya belum, Liv. Mau coba jalanin pacaran dulu?"

"Serius?" kata Olivia dengan semangat.

Lagi-lagi Erlangga menggeleng. "Bercanda doang. Jangan terlalu serius!"

Gelak tawa terdengar seisi kantin. Siapa yang tidak tertawa melihat perempuan yang mereka benci dijahili?

Erlangga mendekatkan wajahnya lagi ke Olivia. "Jangan rindu sama aku, ya?" bisiknya.

Olivia terkejut sehingga memundurkan wajahnya. Erlangga melangkahkan kaki untuk pergi menjauh. Pria itu sudah puas telah memberi satu percikan api ke Olivia.

"Sialan! Dia siapa, sih? Berani-beraninya dia gangguin aku," gerutu Olivia.

Olivia tidak sadar kalau perkataannya masih terdengar oleh Erlangga. Pria itu menyeringai. Di dalam hatinya dia bersorak, karena jalan untuk lebih dekat dengan Olivia telah terbuka.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Iya_Angelya
🔥🔥🔥 keren ceritanya kak.. semangat nulisnya ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status