Share

Part 3

Taman kampus menjadi saksi kesenangan Erlangga hari ini. Pria berkemeja flanel merah itu beberapa kali berteriak, menyerukan kesenangan dari dalam dirinya. Erlangga bukan hanya senang karena Olivia masuk ke dalam perangkapnya. Dia juga senang, karena bisa berdekatan dengan Olivia.

Pria itu sedang duduk di salah satu bangku taman sambil bersiul. Dia sedang menunggu kehadiran rekannya di sana. Idris sengaja melakukan pertemuan dengan Erlangga di kampus, karena dia juga ingin melihat penampilan anak buahnya yang menyamar sebagai mahasiswa.

Seorang pria yang memakai kaca mata hitam sedang berjalan ke arahnya. Tubuhnya yang dilapisi kaus putih dan jaket denim membuatnya terlihat tampan. Erlangga tidak sangka kalau rekannya akan bergaya seperti itu. Dia pikir Idris akan tetap memakai blazer hitam dan dasi merah seperti biasanya. 

"Jadi seperti ini penampilanmu selama di kampu?" tanya Idris yang sudah duduk di samping Erlangga.

Kedua pria itu tidak saling menatap, justru saling mengalihkan tatapan mata. Embusan angin yang menerpa membuat rambut mereka melambai-lambai. Seperti biasanya, Erlangga tidak pernah menghormati Idris sebagai pemimpinnya.

Erlangga mendengkus setelah mendengar pertanyaan rekannya, seolah Idris tidak percaya pada apa yang dia lakukan. Pria itu membuang ludah ke sembarang tempat sebelum menjawabnya. "Apa yang membawamu ke sini?"

Idris merasa geli mendengar pertanyaan Erlangga. Dia pemimpinnya, dia bebas bertemu dengan anak buahnya kapan pun dia ingin. Pria itu tertawa, lalu tersenyum. "Mereka sudah tiba. Bersiap untuk bertugas."

Erlangga mendelik menatap Idris. Pria itu tidak sangka akan secepat ini kedatangan musuhnya. Dia belum siap untuk misi ini, Olivia masih belum bisa dia kontrol.

"Aku harus pergi." Idris mengangkat tubuhnya. Dia menatap Erlangga dengan seringai, lalu berjalan menjauh.

Ketegangan yang tadi sempat terasa, perlahan mulai menghilang terbawa angin yang berembus. Erlangga tidak lagi tersenyum. Matanya menatap tajam pria yang berjalan menjauh. Tangannya mengepal, berusaha meredam emosi yang mulai menyeruak di dalam dirinya. Dia tidak marah pada Idris, hanya marah pada dirinya sendiri yang terlalu lama bertindak.

***

Ucapan Idris membuat Erlangga harus bertindak lebih cepat. Dia harus segera dekat dengan Olivia apa pun caranya. Karena hanya dengan itu, Erlangga bisa menjaga Olivia dari orang yang hendak membuatnya celaka.

Dia dan kedua temannya sedang berjalan menyusuri salah satu lorong gedung fakultas hukum. Erlangga sadar kalau dirinya sedang menjadi pusat perhatian. Namun, dia tidak mau peduli pada masalah lain. Tugasnya lebih penting, dia harus menemui Olivia.

"Er, hari ini makin ganteng aja, sih?" tegur perempuan yang baru saja dia lewati.

Pria itu hanya tersenyum tipis. Matanya meneliti setiap meter dari tempat yang dia lewati. Erlangga tidak menemukan keberadaan Olivia. Dia tahu di mana Olivia berada, perempuan itu pasti sedang berada di bangku taman fakultas hukum.

"Saya mau ke Oliv dulu. Kalian jangan lupa sama janji yang udah dibuat, harus bantuin saya untuk absen di kelas! Nanti absenin saya di kelas Pak Mardi dan kerjain makalahnya!" seru Erlangga yang berjalan meninggalkan kedua temannya.

Dia tidak tahu kalau Lana sedang mengumpatnya di belakang. Fokus Erlangga saat ini hanya Olivia, dia harus bertemu dengan perempuan itu. Kedua tungkai kakinya melangkah cepat menuju taman. Pria itu langsung tersenyum ketika melihat Olivia sedang duduk sambil membaca buku.

Erlangga berjalan menghampiri Olivia yang sedang duduk di salah satu kursi taman seorang diri. Dia merasa hari ini Olivia terlihat lebih cantik, dengan bando warna merah muda di kepalanya. Pria itu menarik napas dan membuangnya perlahan-lahan sebelum berkata, "Sendirian aja, Liv. Butuh temen buat baca?" 

Tidak ada jawaban dari Olivia. Perempuan itu tidak ingin diganggu kalau sedang membaca. Sayangnya, Erlangga tidak mengetahui hal itu. Dia hanya tahu kalau Olivia tidak mudah berbicara dengan siapa pun. Oleh karena itu, Erlangga kembali berkata, "Liv, nanti sore main, yuk!"

Alih-alih mendapatkan jawaban positif, Erlangga justru dibalas dengan tatapan tajam Olivia. Perempuan itu juga menutup bukunya dengan kasar. "Aku sibuk. Nggak ada waktu buat rakyat miskin seperti kamu!" 

Erlangga tidak kehilangan akalnya setelah ditolak. Pria itu kembali bertanya,"Sibuk ngapain? Aku temenin, ya?"

Suasana hening mulai tergantikan dengan kicauan suara Erlangga yang memenuhi kepala Olivia. Perempuan itu berdiri dan menyampirkan tas di bahu kiri. "Nggak perlu, yang ada kamu malah nyusahin aku nanti. Aku peringatin sekali lagi, waktu yang kamu punya hanya satu bulan, nggak lebih. Kalau sampai aku nggak bisa jatuh cinta sama kamu dalam satu bulan, kamu harus pergi dari kampus ini!"

Erlangga kaget dengan ucapan Olivia, mulutnya menganga. Dia tidak sadar kalau ada hukuman dari tantangannya. Namun, pria itu tidak mau repot-repot mengurusinya. Setelah melipat kedua tangan di depan dada, Erlangga berkata, "Tenang aja, nggak akan sampai satu bulan perjanjian itu akan berakhir, Liv!"

Olivia menyunggingkan senyuman sebelah bibir. Erlangga sedang bermimpi pikirnya. Perempuan itu meninggalkan Erlangga di taman, dia ingin ke ruangan kerjanya. Tidak mungkin aku bisa jatuh cinta sama dia dalam waktu sebulan!

Olivia tidak sadar kalau Erlangga mengikutinya dari belakang. Ketika perempuan itu hendak membuka pintu ruangan, Erlangga bersandar di dinding samping pintu. Bibirnya tersenyum, sebelah matanya berkedip.

"Kenapa kamu ikutin aku? Aku udah bilang nggak perlu ditemenin! Nggak ngerti bahasa indonesia, ya? Wajar aja, sih, mahasiswa miskin yang malas belajar!" kata Olivia dengan nada sewot.

Erlangga tertawa mendengarnya. Dia senang melihat Olivia yang sedang marah. "Kamu hanya bilang nggak perlu, bukan nggak boleh. Jadi, nggak ada yang ngelarang aku ke mana pun, kan?"

Olivia mulai segan membalas ucapan Erlangga. Dia tidak mau membuang energinya untuk marah-marah. Akhirnya, Olivia membiarkan Erlangga masuk ke dalam ruangan. 

"Kamu kerja apa di sini?" kata Erlangga.

Olivia melihat Erlangga yang sedang menggeratak. "Asisten dosen. Jangan menggeratak! Itu bukan milik kamu."

Pria itu meletakkan kembali bingkai kotak kecil yang sedang dipegang. "Baiklah. Terus, apa kerjaan kamu kali ini? Duduk santai terus nerima gaji?"

Olivia tidak menjawab pertanyaan Erlangga. Perempuan

"Aku keluar sebentar, ya?" kata Erlangga.

Setelah pria itu keluar, Olivia langsung bernapas lega. "Akhirnya ada juga waktu untuk nggak dengerin kata-katanya yang nggak bermakna."

Setelah beberapa saat Olivia sendirian di dalam ruangan, Erlangga datang kembali. Dia membawakan segelas minuman berwarna cokelat. 

"Aku nggak tau apa minuman kesukaan kamu, jadi saya beliin mocca aja. Kamu suka mocca?"

Pria itu berjalan mendekati Olivia. Dia menyodorkan sedotan untuk diminum. Namun, Olivia memundurkan wajahnya.

"Aku bisa minum sendiri," ucapnya.

Tentu saja Erlangga menepis. "Kamu lagi beresin buku-buku, nanti tangan kamu basah kalau megang. Nurut aja kenapa, sih?"

"Kenapa jadi kamu yang marah? Seharusnya aku yang marah, karena udah digangguin kerjanya hari ini!" ketus Olivia.

Erlangga berdecak. "Minum buruan!"

Akhirnya, Olivia meneguk minuman yang pria itu berikan. Sudah dua kali dia disuapi oleh pria bernama Erlangga. Apa yang akan terjadi setelah ini?

"Aku peringatin satu hal sama kamu, aku nggak suka diganggu! Kalau kamu mau berusaha memenangkan tantangan, main adil, dong!" Olivia berkata sambil melotot.

Yang diajak bicara hanya tersenyum tanpa ada rasa bersalah. "Aku hanya ngelakuin hal yang ingin saya lakuin aja. Nggak ada yang salah kalau ngasih kamu minum, kan? Lagian, kamu lagi capek, butuh tenaga. Kalau aku kasih makanan, nanti malah makin repot. Kalau minuman, kamu tinggal minum aja kayak tadi."

"Nggak di saat aku kerja juga, kan?" bantah Olivia. 

"Ya, saya nggak tau kalau kamu orang yang harus fokus saat bekerja. Lagian, kamu harusnya bisa lebih santai. Di luar itu ada banyak mahasiswa yang lagi bercanda, ketawa, seneng-seneng. Kenapa kamu milih di sini, sih?"

Satu hal yang dapat Olivia katakan saat ini. "Nggak level! Aku nggak akan mau berkawan dengan mereka semua."

Olivia mulai membereskan semua berkas yang tadi dia kerjakan. Erlangga kebingungan, padahal tadi dia disuruh diam dan jangan menganggu kerjanya.

"Ini mau pergi ke mana? Udah beres-beres aja, Liv!" tanya Erlangga dengan dahi yang mengkerut.

"Aku mau pulang, besok aja lanjutin kerjaannya. Lagian mood aku udah hilang saat bertemu sama kamu tadi!" kata Olivia sambil berjalan ke luar ruangan.

Erlangga tidak mungkin menyerah sampai di sana. Dia mengikuti perempuan itu ke parkiran mobil. Ketika tangan perempuan itu menyentuh kenop pintu, Erlangga menahannya.

"Biar aku yang nyetir aja, gimana?" kata Erlangga. 

Perempuan itu lagi-lagi berdecak. "Kenapa kamu terus ngikutin aku, sih? Aku mau sendirian, nggak mau diganggu!"

Erlangga menyeringai, dia menarik tubuh Olivia agar bersandar di mobil. Tangannya menyangga di kedua sisi tubuh perempuan itu. Wajah mereka semakin dekat, sampai Olivia dapat merasakan hembusan napas hangat dari hidung pria di depannya.

"Kamu ... kamu mau ngapain?" tanya Olivia yang berusaha terlihat tidak ketakutan. Padahal, hatinya sungguh ingin berteriak meminta pertolongan.

"Kamu itu susah banget dibilangin, sih? Aku lagi berusaha deket sama kamu, dan kamu nggak boleh nolak apa pun yang aku katakan! Kamu tau karena apa?" kata Erlangga.

Perempuan itu mulai bergemetar. Dia menggelengkan kepalanya. "Apa?"

Erlangga memajukan wajahnya semakin dekat dengan wajah Olivia. Bibirnya sedikit menempel di pipi Olivia, dan terus bergerak ke arah telinga. Dia berbisik, "Karena aku nggak suka penolakan. Paham apa yang aku katakan?"

Mata perempuan itu sontak terbelalak. Erlangga sukses membekukan Olivia di tempatnya. Perempuan itu tidak bergerak lagi, dia menatap lurus ke depan, walaupun Erlangga sudah menyingkir.

Pria itu masuk ke dalam mobil. Dia membunyikan klakson secara keras hingga membuat Olivia terlonjak. 

Olivia terkejut, dia mengusap dadanya berkali-kali. Astaga, dia hampir cium kamu. Untung bibir aku gak dia sentuh. 

Sambil berdecak, dia masuk ke dalam mobil. Wajahnya yang memberungut membuat Erlangga tertawa melihatnya. "Hei!"

Olivia tidak menyahut, dia membuang muka. Sebab itu juga, Erlangga jadi memajukan tubuhnya mendekat kembali ke arah Olivia.

Perempuan itu tersadar kalau Erlangga mulai mendekat, dia segera memojokkan diri ke ujung pintu. "Jangan macam-macam!"

"Di parkiran lagi sepi, aku bisa lakuin apa pun tanpa ada yang curiga, kan?" kata Erlangga.

Pria itu terus memajukan tubuhnya. Hingga sampailah wajah mereka berdua berhadapan. Deru napas Olivia yang tidak teratur membuat Erlangga menyeringai. "Kenapa ngos-ngosan? Takut sama aku?"

"Aku nggak pernah takut sama kamu!"

Tangan Erlangga mulai menyusur ke belakang kepala Olivia. Wajah pria itu pun mulai miring dan semakin dekat dengan wajah perempuan di hadapannya. Olivia sudah memejamkan mata, sampai dia merasakan usapan tangan di belakang kepala dan sebuah sabuk pengan terpasang di tubuhnya.

"Jangan terlalu percaya diri kalau kita akan berciuman, sayangku. Kita belum sampai di tahap itu. Kamu udah nggak sabar nyobain bibirku yang menggoda ini, ya?" ucap Erlangga yang mulai menjalankan mobil.

Olivia pikir dia akan berciuman tadi, ternyata hanya memasangkan sabuk pengaman. "Kenapa nggak nyuruh aku masang sendiri aja, sih?"

"Jangan tanya sama aku! Kenapa kamu nggak nyaut saat aku panggil tadi?" balas Erlangga.

Pria itu menyunggingkan senyuman miringnya. Setidaknya, dia berhasil membuat Olivia gemetar.

"Tunggu, kita mau ke mana? Ini bukan jalan ke rumah aku, Er!" Olivia panik, dia sadar kalau jalanan yang sedang Erlangga tuju bukan jalan biasa yang dia lewati. "Puter balik sekarang!"

Pria itu menoleh dan tersenyum. "Kita mau main dulu. Kalau kamu bilang mahasiswa di kampus nggak level, mungkin temen-temen aku yang lain bisa selevel dengan kamu!"

"Nggak, aku nggak mau pergi sama kamu! Puter balik sekarang juga atau kamu keluar dari mobil aku!" bantah Olivia.

Pria itu melaju dengan sangat kencang, lalu menginjak pedal rem seketika sampai wajah perempuan di sampingnya hampir terantuk dashboard. Erlangga menoleh, dan menatap Olivia dengan tajam. 

Pria itu menarik tubuh Olivia agar mendekat dengannya. Tangan Erlangga memegang tengkuk kepala Olivia agar dahi mereka bersentuhan.

"Inget apa yang aku bilang sebelumnya?" Erlangga berbicara dengan nada rendah, dia sedang mode serius sekarang.

"Kamu ... aku nggak boleh membantah," jawab Olivia dengan volume suara yang kecil.

"Good girl! Jangan bantah ucapan aku! Kamu harus nurut sama semua perintah aku mulai dari sekarang! Paham apa yang aku katakan?"

Olivia menganggukkan kepalanya. Dia seolah terhipnotis dengan perkataan Erlangga, seolah dirinya mengikuti naluri kalau dia memang seharusnya patuh pada Erlangga. 

"Sekarang kita akan ke rumah temen aku, dan kamu harus ikut serta tunduk sama perintah aku! Paham?" kata Erlangga.

"Paham, Lang ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status