"Kita harus segera memakamkan Om Herman." Gilang membujuk Risa dan Della agar berhenti menangis.Setelah jenazah Om Herman dibersihkan oleh petugas rumah sakit, mereka membawa Om Herman pulang ke rumah dengan memakai ambulans rumah sakit. Risa dan Dela ikut bersama ambulans untuk mendampingi Om Herman yang terakhir kalinya. Awalnya, Risa ingin Om Herman dibersihkan di rumah saja dan di kafankan di rumah, tapi Gilang memberi pendapat agar sebaiknya Om Herman dibersihkan oleh pihak rumah sakit agar langsung dimakamkan di pemakaman umum."Kalau kita bawa ke rumah otomatis kita harus membersihkan kan rumah dulu." Gilang menatap Risa dengan lekat. Gilang membantu Risa dan Dela mengurus pemakaman Om Herman. Risa tidak menyangka kalau ternyata Gilang sebegitu peduli padanya dan Della yang telah kehilangan Om Herman. Gilang juga yang sudah membayar semua biaya pemakaman termasuk minta seorang ustadz untuk membantu proses pemakaman tersebut."Kamu tenang saja. Semua biaya sudah aku handle."
Gilang hanya membisu membuat Risa mundur dan memilih untuk menenangkan dirinya sendiri dengan cara yang lain. Dia tidak ingin mempermalukan dirinya dengan mengemis pelukan pada Gilang."Risa ...!" Gilang menahan tangan Risa yang hendak pergi. Detik berikutnya Gilang menarik Risa dalam ke dalam dekapannya. Lelaki itu memeluk Risa dengan erat sambil mengusap punggung dengan lembut."Aku semakin merasa ini adalah tempat yang paling nyaman untukku. Aku merasa kalau pelukan ini benar-benar membuat aku mampu melupakan semua kesedihanku. Bolehkah aku berlama-lama di sini?" Risa menangis tersedu-sedu di pelukan Gilang."Jangan bersedih lagi, kamu harus mengikhlaskan Om Herman agar dia tenang di sisinya." Gilang membingkai wajah Risa dan mengusap air mata yang membanjiri wajah gadis dengan lembut. "Kamu boleh berada di pelukanku selama apa pun yang kamu mau," tambah Gilang lagi seraya mencium pucuk kepala Risa membuat Risa semakin merasa nyaman.Risa tersenyum mendapati perhatian dari Gilang
"Menurutmu bagaimana?" Gilang balik bertanya kepada Risa."Gimana kalau Della tinggal dirumah Kak Gilang aja. Kan ada Gio yang super duper ganteng menjaganya dari orang-orang suruhan Tante Tika." Gio langsung angkat bicara "Aku nggak setuju!" sanggah Gilang."Elah, Kak. Kenapa nggak setuju? Kan biar kami bisa berangkat barengan ke sekolah?" Gio tetap bersikukuh pada pendiriannya."Barengan? Enak di kamu nggak enak di aku!" cicit Gilang."Aku kan ... cuma ....""Della tinggal di apartemenku saja." Gilang terus menatap ke depan tanpa menoleh pada siapa pun."Di apartemen? Tapi, Kak!"Pletakk"Mulut Lo berisik, bisa diam nggak!" Gilang menjitak kening Gio karena pemuda itu terus membantah ucapan kakaknya. "Kalau Della tinggal di apartemen, itu jauh lebih aman karna tidak sembarangan orang yang bisa masuk ke sana dan Della juga berangkat sekolah lebih dekat," tambah Gilang lagi."Aku menurut saja bagaimana baiknya menurut Kakak," sahut Risa. Gadis itu membelai rambut Della dengan lembut
"hah?" Risa terkejut saat Gilang menunjuk bibirnya. "Ssstt," Gilang menempelkan telunjuknya di bibir Risa, lalu kembali menunjuk bibirnya. Risa melihat ke arah Gio yang tidur membelakangi mereka. Gilang kembali menyentuh tangan Risa dan menunjuk bibirnya. "Ya Tuhan? Aku harus mencium bibir Kak Gilang?" Tubuh Risa gemetar karena dia tidak pernah mencium lelaki mana pun sebelumnya. "Ckk." Gilang berdecak kesal hingga akhirnya menutup wajahnya dengan selimut yang diberikan oleh Risa. "Masuk ke dalam kamar!" Perintah lelaki itu pada Risa. Risa merasa ambigu apakah harus masuk ke dalam kamar atau mencium bibir Gilang, tapi kemudian dia menyadari kalau tadi Gilang hanya bercanda. Terbukti lelaki itu menutup wajahnya dengan selimut. *** Sepanjang hari, Risa disibukkan dengan membeli barang-barang dan belanjaan untuk Della selama tinggal di apartemen. Gilang menyewa seorang asisten rumah tangga yang umurnya sebaya dengan Risa untuk menemani Della di sana. "Terima kasih karena Kak
"Good Night," ujar Gilang setelah ciuman mereka terlepas."Aku kira ... Kakak ....""Aku tahu kamu belum siap, lagi pula aku tidak ingin melewati malam bersejarah dalam hidupku dengan keterpaksaan." Gilang bangkit dari ranjang dan mengecup kening Risa sekilas. "Tidurlah. Aku masih banyak pekerjaan."Risa merasa lega karena Gilang tidak menuntut haknya. Dia memang belum siap untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri."Malam bersejarah? Bukankah ini bukan yang pertama bagi Kak Gilang? Kenapa dia bilang malam bersejarah? Apa itu artinya Kak Gilang menganggap aku hal yang paling bersejarah di hidupnya?" Risa bertanya di dalam hati. Dia sedikit untuk memastikan Gilang sudah menutup pintu dengan rapat. "Bodoh. Mungkin saja Kak Gilang menganggap kalau malam dia merenggut kesucianku adalah malam bersejarah," umpat Risa pada dirinya sendiri.Sementara itu, Gilang yang kembali duduk di meja kerja segera membuka laci meja kerjanya dan mengambil sebuah figura putih dengan Poto seorang
"Aku tidak bermaksud begitu," lirih Risa.Betapa sakit hatinya saat Gilang terang-terangan mengatakan tentang perempuan yang dicintainya. Risa tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah sebatas status, tapi tetap saja sakit hati mendapati kenyataan hidupnya saat ini."Maafin aku, Mega." Gilang mengusap kasar wajahnya dan larut dalam lamunan saat Mega memintanya untuk menjaga Amira."Orang tua Amira." Suara dokter membuyarkan lamunan Gilang dan Risa. Mereka berdua segera menemui dokter tersebut bersama-sama."Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" Wajah Gilang begitu cemas saat bertanya pada dokter."Amira hanya mengalami demam panas tinggi. Dia hanya butuh istirahat total dan tidak terus teringat pada masa lalu," sahut dokter menatap Gilang dan Risa dengan seksama."Masa lalu?" Gilang bergumam."Benar, sepertinya Amira memiliki masa lalu yang menyedihkan.""Lalu, apa Amira harus dirawat?""Tidak perlu. Kami akan memberikan obat penurun panas yang harus segera Amira minum jika sudah terisi p
"Ayah kok ngomong kasar gitu sih sama Bunda?" Amira yang melihat ayahnya berbicara sedikit kasar kepada Risa langsung mendelik. Gadis kecil itu mengerucutkan bibirnya karena dia memang tidak suka jika sampai bundanya dimarahi oleh ayahnya. Sejak kecil Amira memang tidak pernah melihat ayahnya memarahi sang Bunda, jadi tidak heran jika Amira sangat marah melihat kali ini ayahnya memarahi bundanya, apalagi sambil melotot seperti yang dilakukan oleh ayahnya sekarang. "Tapi kamu kan nggak mau minum obat? Terus Bunda memaksa. Tentu saja ayah marah." Gilang menoleh ke arah Risa yang sudah tertunduk. Gadis itu berusaha meredam kesedihannya karena dibentak oleh Gilang. "Aku hanya ingin memberikan yang terbaik untuk Amira. Aku hanya ingin Amira sembuh. Aku hanya tidak ingin jika sampai Amira sakit." Risa menjawab lirih kemudian mengalihkan pandangannya keluar jendela ke arah beberapa sepeda motor yang berlalu lalang di samping mobil mereka. "Amira mau kok minum obatnya." Amira tiba-tiba b
Matahari mulai naik ke permukaan bumi. Sinarnya menerobos hingga ventilasi jendela dan menyilaukan mata Risa yang masih tertidur dengan pulas sambil memeluk Amira dengan erat.Perempuan berambut panjang itu segera menyibak selimut yang menutupi tubuhnya dan Amira sambil mengingat Siapa yang telah menyelimuti mereka."Sampai saat ini aku bahkan tidak tahu bagaimana kepribadianmu yang terkadang manis kepadaku, tapi terkadang juga sangat keras." Risa bergumam seorang diri sambil mengenangkan Bagaimana sikap Gilang yang sering berubah-rubah kepadanya.Gadis itu segera turun dari ranjang dan mencari Mbak Asih untuk meminta baby sitter Amira agar menjaga Amira, karena dia ingin segera menyiapkan pakaian Gilang yang akan berangkat ke kantor pagi ini.Risa kembali masuk ke dalam kamarnya dan segera mencari pakaian Gilang. Gadis itu merasa lega karena ternyata Gilang belum selesai mandi, sehingga dia pun meletakkan pakaian kantor Gilang di atas ranjang."Semoga kali ini dia mau memakai pakaian