Dear Diary ...Sejak awal pertama aku dilelang oleh Tante Tika, aku tidak pernah menyangka kalau hidupku akan menjadi seperti saat ini.Dinikahi laki-laki yang tidak dikenal bukanlah impianku. Namun, aku selalu berharap, untuk bisa mengabdi pada laki-laki yang telah mengikatku pada ikatan pernikahan yang suci.Sejak pertama kali Kak Gilang menggenggam erat tanganku, aku merasa terlindungi. Aku jatuh cinta padanya. Walaupun sikap Kak Gilang sangat dingin padaku, aku merasa nyaman dengan perhatian dan ketegasannya.Aku merasa terluka saat tahu Kak Gilang memilki seorang ratu di dalam hatinya. Aku berharap, dan selalu berdo'a agar Kak Gilang bisa membuka hatinya untukku dan melupakan cinta di masa lalunya.Cinta membawa keajaiban. Kak Gilang yang dahulu sangat dingin, perlahan mulai sedikit mencair dengan seringnya kami merajut kasih. Dan yang membuat aku sangat bahagia adalah ketika Kak Gilang mengatakan bahwa dia sangat mencintaiku. Dan aku adalah cinta pertama dan terakhir baginya.Na
Risa memarkirkan mobil di halaman sekolah yang bercat merah putih tersebut. Ia memasuki ruangan yang di tuju. Acara belum di mulai. Ia memilih duduk di deretan bangku paling depan. Setelah menunggu beberapa menit, Acara pun di mulai. Kepala sekolah menyampaikan pidatonya tentang perkembangan sekolah dan meminta maaf atas nama seluruh majelis guru jika pernah menyinggung perasaan wali murid. Tibalah saatnya pengumuman siswa berprestasi dengan nilai terbaik. "Siswa tersebut adalah ..." Hening "Amira Syakila Gading Putri" Air mata Risa meluncur dengan deras membasahi pipi. Amira naik ke atas panggung, menerima piala dan berjalan menuju mikropon yang telah di sediakan. Amira menunduk sebelum berbicara. Setelah mengangkat wajahnya, Risa baru tahu kalau putrinya itu sedang menangis. "Piala ini .. Amira persembahkan untuk Bunda. Bunda yang telah menjaga dan merawat Amira dengan baik dan penuh kasih sayang. Bunda yang begitu tulus menyayangi Amira. Bunda yang begitu sabar dan tabah
"Tante, apa maksud Tante menjualku di facebook?" Risa berdiri di hadapan Tante Tika seraya memperlihatkan ponselnya."Kenapa? Kamu keberatan?” Tante Tika menyunggingkan senyumnya disertai cibiran di bibir seakan mengejek ucapan Risa. “Anggap aja kamu sedang beramal untuk biaya pengobatan Om-mu yang sedang sakit parah." Risa mengepalkan tangannya kuat-kuat sehingga buku-buku tangannya memutih dengan gigi yang bergemelutuk. "Tapi, Tante aku bukan wanita murahan!" Risa menatap Tante Tika dengan geram.Perempuan berambut panjang itu mendekati Tante Tika dengan wajah merah padam. Dia bahkan membanting tas yang sejak tadi disampirkan di bahunya. Sakit hati Risa karena Tante Tika membuat postingan di F******k yang menjual dirinya terang-terangan."Lalu, kamu kira Tante peduli?" "Tapi Risa peduli, Tan. Risa nggak bisa nikah sama sembarang orang." Risa mencoba berbicara baik-baik dengan Tante Tika."Sudah, tidak ada penolakan." Tante Tika mengibas tangannya dan berlalu masuk ke dalam rumah.
"Ayo, Risa." Gilang kembali menggandeng tangan Risa naik ke lantai atas tanpa peduli kedua orang yang masih terus memanggil namanya di bawah tangga.Gilang membawa Risa menuju lantai atas yang ternyata banyak kamar di sana. Ketika Gilang baru saja hendak membuka pegangan pintu kamar, tiba-tiba seorang anak perempuan berhambur memeluk Risa."Bunda … Amira kangen. Bunda kemana saja?" Gadis kecil itu memeluk Risa dengan erat."Bunda? Jadi Kak Gilang sudah punya anak? Aku ... menikah dengan seorang duda?" Risa menatap nanar pada Gilang yang berusaha menyeka air matanya."Bunda ... kenapa Bunda diam saja?" Gadis kecil itu membingkai wajah Risa dan menatap lekat iris mata Risa dengan mata yang sudah berkaca-kaca."Ak-aku ...."Risa terheran karena gadis kecil itu memanggilnya dengan sebutan Bunda. Gadis kecil itu juga mencium kedua pipi Risa dengan lembut. Seakan Risa adalah orang yang sangat dirindukannya. Risa hendak bertanya pada Gilang, tapi diurungkannya saat melihat wajah sendu gadis
"Aku .... Errr ..." Risa bingung harus menjawab apa."Cepat mandi, dan bersihkan dirimu." Gilang berdiri di hadapan Risa, lalu menunjuk sebuah pintu dengan dagunya."Ak-aku segera mandi!" Risa langsung meraih pintu dan masuk seperti ketakutan.Risa segera membersihkan diri, lalu berganti pakaian. Ia memakai dress terbaik yang dia punya karena memang dia tidak memiliki pakaian yang bagus.Setelah rapi, Gilang mengajak Risa turun untuk makan bersama anggota keluarga. Dari kejauhan Risa melihat ruang makan yang cukup mewah. Meja makan tersebut terbuat dari kaca yang tebal berukuran panjang yang di setiap sisinya terdapat beberapa kursi yang tak kalah mewah.Risa melihat Mama dan Papa Gilang sedang menikmati makan malam bersama. Sesekali terdengar derai tawa dari kedua pasangan suami istri tersebut. Risa ragu untuk melangkah karena tadi siang masih terngiang di telinganya kalau kedua orang tua tersebut tidak menyukai kehadirannya.Namun, tangan Gilang terus menyeretnya. Tangan lebar itu
"Ikut aku kekantor." Gilang memberikan sebuah paper bag pada Risa."Selamat pagi, Kakak ipar. Kenalkan, aku Gio." Seorang remaja tiba-tiba masuk ke dalam kamar Gilang."Minggat, Lo." Gilang melempar sebuah sisir pada remaja itu."Gue cuma mau kenalan sama Kakak ipar aja, kali, Kak. Masa nggak boleh?""Minggat, gue bilang.""Dasar pelit." Remaja itu pergi meninggalkan kamar Gilang sambil terus mengomel."Kak, dia ....""Gio, adikku." Gilang menjawab singkat.Risa manggut-manggut mendengar penjelasan Gilang. Perempuan itu segera berganti pakaian karena takut Gilang kembali marah. Sebenarnya Risa ingin merajuk atas sikap Gilang tadi malam, tapi saat dia menyadari bahwa pernikahan mereka tidak dilandasi cinta dan tujuan yang jelas, dia pun menganggap ucapan Gilang tadi malam suatu peringatan untuknya agar tidak banyak berharap pada pernikahan mereka."Sarapan di kantor saja." Gilang langsung menyeret Risa keluar kamar membuat perempuan itu mendengkus kesal."Tak bisakah Kakak berjalan la
"Katakan padanya kalau Bundanya sedang sibuk."" ... ""Hhhh. Baiklah, aku akan segera pulang." Gilang memanggil pelayan dan membayar makanan mereka, lalu mengajak Risa segera pulang ke rumah."Amira kenapa, Kak?""Aku tidak tahu." Risa tidak berani bertanya lebih banyak karena khawatir Gilang akan marah. Mereka tergesa-gesa masuk ke dalam rumah saat mobil sudah terparkir di halaman."Bunda ... kenapa Bunda pergi lagi?" Amira berhambur memeluk Risa yang baru saja menginjakkan kaki di lantai atas."Karena dia bukan ibumu, Amira!" Nyonya Adiguna muncul dengan bersidekap dada."Ma-maksud Oma apa?" Amira menatap Risa dan Omanya secara bergantian."Iy, Oma sudah bilang berkali-kali, kalau Ibumu itu sudah mati, dia sudah mati karena dia yang membunuh anak tertuaku, ibumu itu pembunuh!" Nyonya Adiguna menunjuk-nunjuk wajah Amira sehingga gadis kecil itu ketakutan.Risa segera memeluk Amira yang ketakutan."Cukup, Ma! Mega bukan pembunuh, kalau ada yang disalahkan atas kematian Kak Gading,
"Ini, Risa … dia istriku," Gilang mengisyaratkan agar Risa memberi hormat. Wajah Bik Ijum berubah menjadi keruh, dan beberapa bulir bening menetes di pipinya. Risa tidak mengerti mengapa Bik Ijum memanggilnya dengan sebutan Mega. "Mega … aku pernah mendengar nama ini. Tapi aku lupa, dimana itu." Risa bergumam seorang diri. Gilang lalu menggandeng Risa menuju sebuah kamar. Kamar yang tidak kalah mewah dengan kamar di rumah Gilang. "Ini kamar kita," Gilang menatap Risa dan membuka kopernya, lalu memasukkan pakaiannya ke dalam lemari. "Biar aku saja, Kak," ujar Risa seraya menahan tangan Gilang. Namun, Gilang menatap tajam ke arah Risa seakan tidak suka apa yang dilakukan oleh istrinya itu "Harus berapa kali aku katakan. Aku tidak ingin, kamu menyentuh barang-barang milikku." Suara bariton Gilang membuat dada Risa kembali sesak seperti beberapa saat yang lalu. Melihat Gilang yang sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam lemari, Risa memutuskan untuk masuk ke dalam kamar mandi dan mencu