Share

Second

Mobil William melaju dengan kecepatan sedang menembus jalanan yang tidak terlalu ramai kendaraan, mengingat waktu yang sebentar lagi tengah malam. Tidak ada percakapan apa pun selama perjalanan. Merasa sesak karena kesunyian yang menyelimuti, tangan William bergerak menuju head unit dan menyalakan musik. Setidaknya nyanyian seseorang yang William hanya tahu nama dan wajahnya cukup mengusir kesunyian. Sesekali William melirik pada perempuan di sebelahnya yang tengah menyandarkan kepala ke jendela. Matanya menatap kosong jalanan yang dilalui empat sampai lima mobil.

Setir berbelok ke kiri, menjauh dari rumah besar milik William, menuju sebuah hotel yang tadi sempat William masukkan ke Maps. Tadinya William berencana untuk membawa perempuan itu ke rumahnya, tetapi dia berubah pikiran. Mengingat banyaknya kenangan bersama sang mantan kekasih di sana membuat William sering kali terbayang wajahnya. Dia tidak ingin membayangkan wajah itu, rambut pirang, atau mata biru milik seseorang yang pernah sangat disayanginya. Kalau bisa, wajah perempuan di sampingnya ini yang nanti akan memenuhi kepalanya. Setidaknya untuk satu malam ini saja.

Dari kejauhan William dapat melihat gedung hotel. Tinggi dan gemerlap karena cahaya lampu. Beberapa jendela lampunya tidak menyala, menandakan kalau kamar tersebut masih kosong. William mengembuskan napas lega dalam hati. Dia harus mencari hotel lain kalau tidak ada kamar kosong di sini. Tangan William bergerak memutar setir menuju jalanan menurun, tempat di mana mobil-mobil lain terparkir. Begitu selesai memarkir mobil, William segera mengajak perempuan itu masuk ke dalam hotel.

Topeng masih melekat di wajah William dan perempuan itu. William tidak berniat membukanya sampai masuk ke dalam kamar hotel. Beberapa orang yang berlalu-lalang di lobi mengenakan pakaian mewah dan topeng. Jelas sekali mereka orang-orang yang menghadiri acara lelang. Semua mata mereka tertuju pada William dan perempuan di sebelahnya, sang bintang utama di acara lelang malam ini.

“Tolong kartu identitasnya,” kata resepsionis setelah William menyampaikan maksudnya.

William mengeluarkan dompet dari saku jasnya dan memberikan kartu identitas pada si resepsionis. Dia lalu membuka topengnya sedikit, hanya agar si resepsionis dapat memastikan kalau kartu yang William berikan tidak palsu. Selepas membayar biaya hotel dan mendapatkan kunci kamar berbentuk kartu, William menuntun perempuan yang sejak tadi hanya diam ke arah lift. Kartu kamar William tempelkan di papan sensor hingga pintu lift terbuka.

Tombol dengan angka lima belas menyala begitu ditekan oleh William. LCD di atas pintu lift perlahan mengganti angkanya makin besar seiring makin tinggi lantai yang dituju. Ketika LCD menunjukkan angka tujuh, lift berdenting dan pintu lift terbuka, menampilkan dua orang berbeda jenis kelamin yang menempel satu sama lain lalu terkejut ketika lift datang. Mereka berdua masuk, masih saling merangkul dan cekikikan. Dulu William pernah mengalami hal seperti mereka. Dulu. Sebelum semuanya menjadi berantakan.

Mereka kembali melanjutkan kegiatannya setelah menekan tombol angka satu. William menatap mereka sebentar sebelum kembali memperhatikan LCD. Sekilas sudut matanya menangkap gerakan dari perempuan di sebelahnya. William menebak perempuan itu merasa tidak nyaman dengan pemandangan di depannya. Sejujurnya William juga, tetapi karena topeng yang menutupi seluruh wajahnya kecuali mata kanan, tidak akan ada yang tahu seperti apa ekspresi dirinya saat ini.

Lift berdenting untuk kedua kalinya. Kali ini sampai di lantai yang William tuju. Segera dia menarik gadis di sampingnya dan berjalan dengan cepat menuju kamar 1583. Kartu kamar William tempelkan di kenop pintu hingga berbunyi ‘bip’ lalu membuka pintu. Kamar luas berisi satu ranjang ukuran paling besar yang sedikit tersembunyi, satu set sofa di tengah ruangan dengan sebuah televisi, lemari yang memenuhi satu dinding penuh, kamar mandi berada di sebelah kanan pintu masuk, dan bar yang penuh dengan minuman berbagai merek.

Begitu perempuan bergaun hitam ketat itu masuk ke dalam, William menutup pintu. Dia berjalan menuju sofa, meninggalkan si perempuan di depan pintu. Tangan William bergerak melepas kancing jas lalu menyampirkan jas itu ke lengan sofa. Dasi yang sejak tadi melekat kuat di kerah kemejanya menjadi pilihan keduanya. William mendudukkan tubuhnya di sofa panjang. Matanya terpejam selagi kepala dan tubuhnya menyender, tenggelam di dalam empuknya sofa. Beberapa detik kemudian matanya kembali terbuka dan melihat ke arah perempuan yang masih berdiri di depan pintu.

“Kemarilah,” ucapnya sembari melambaikan tangan. 

Perempuan itu dengan ragu berjalan ke arahnya. William dapat melihat tangan perempuan itu yang bergetar. Ini pertama kalinya William melihat tanda-tanda kehidupan darinya. Sejak tadi perempuan yang ikut bersamanya dari gedung di mana acara lelang digelar hingga sampai ke hotel ini hanya diam saja, berjalan mengikuti William tanpa ada kata atau gerakan apa pun darinya.

William memperhatikan perempuan itu selama beberapa detik sebelum berkata, “Buka bajumu.”

Perempuan itu diam, tidak berkata ataupun bergerak, tetapi tangannya bergetar makin hebat. Dia menggigit bibir bawahnya seiring tangannya yang terus bergetar. William menunggu dalam diam. Hingga beberapa menit kemudian perempuan itu masih saja tidak melakukan apa yang William perintahkan dan membuatnya berdiri. Melihat William yang beranjak dari sofa, perempuan itu menjatuhkan tubuhnya ke lantai, berlutut di depan lelaki yang membelinya di lelang.

“Maaf,” cicitnya, “aku—aku tidak bisa melakukannya.” Air mata meleleh membasahi wajah perempuan itu. “Bukan aku yang ingin menjual diri di acara tersebut. Aku dijebak.”

Perempuan itu mengangkat kepalanya, menatap ke arah William yang menunduk. Wajahnya berkilau ketika terkena cahaya lampu. Bibirnya sedikit berdarah karena terus-terusan digigit dengan kencang. Kedua tangan perempuan itu mencengkeram celana hitam milik William sambil terus mengucapkan kalau dirinya tidak bisa melakukan apa yang William pinta. William tidak bereaksi apa pun selama beberapa detik sebelum memutuskan untuk berjongkok di depan si perempuan.

Tangan William bergerak ke arah kepala perempuan itu, menarik tali yang mengikat topengnya. Begitu topeng terbuka, William dapat melihat jelas wajah perempuan itu. Alis hitam tebalnya, bulu mata lentik yang basah oleh air mata, iris abu-abu yang menyimpan beribu macam kesedihan, hidung kecil dengan tulang yang tinggi, dan bibir penuh yang meneteskan darah. Kini tangan William bergerak melepas topengnya.

Lagi-lagi perempuan itu menggigit bibirnya. “Kumohon ... lepaskan aku.”

“Melepaskanmu?” William bertanya. Wajahnya tidak menampakkan ekspresi apa pun. “Setelah saya mengeluarkan uang sebesar 100 miliar?”

Si perempuan menunduk. Tangannya meremas gaun hitam ketatnya hingga kusut. Apa yang dibicarakan William ada benarnya. Tidak mungkin lelaki itu akan melepaskan dirinya begitu saja setelah mengeluarkan uang sebesar 100 miliar. Bertahun-tahun kerja pun dia tidak yakin bisa membayar uang tersebut.

“Aku ... aku masih perawan,” lirih perempuan itu masih menunduk. Mendengarnya William mendengus.

“Kamu pikir saya peduli?”

William berdiri, mengusap rambutnya kasar sembari menghela napas. Ditatapnya perempuan yang masih setia berlutut dan menunduk itu. Perasaan tidak tega sedikit mengetuk pintu hati William, tetapi mengingat uang yang dia keluarkan, William mengeraskan hatinya.

“Siapa namamu?” tanya William beberapa detik kemudian sembari membuka kancing rompinya.

Si perempuan menjawab, “Sarah.” Kepalanya kini sudah terangkat, menatap William yang meletakkan rompi di lengan sofa, di atas jas, menyisakan kemeja putih di tubuhnya.

William diam menatap perempuan itu. Menatap mata abu-abu yang memelas belas kasihan. Selama beberapa detik mereka hanya bertatapan tanpa melakukan apa pun hingga William beranjak dari sana menuju kamar mandi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status