Mobil William melaju dengan kecepatan sedang menembus jalanan yang tidak terlalu ramai kendaraan, mengingat waktu yang sebentar lagi tengah malam. Tidak ada percakapan apa pun selama perjalanan. Merasa sesak karena kesunyian yang menyelimuti, tangan William bergerak menuju head unit dan menyalakan musik. Setidaknya nyanyian seseorang yang William hanya tahu nama dan wajahnya cukup mengusir kesunyian. Sesekali William melirik pada perempuan di sebelahnya yang tengah menyandarkan kepala ke jendela. Matanya menatap kosong jalanan yang dilalui empat sampai lima mobil.
Setir berbelok ke kiri, menjauh dari rumah besar milik William, menuju sebuah hotel yang tadi sempat William masukkan ke Maps. Tadinya William berencana untuk membawa perempuan itu ke rumahnya, tetapi dia berubah pikiran. Mengingat banyaknya kenangan bersama sang mantan kekasih di sana membuat William sering kali terbayang wajahnya. Dia tidak ingin membayangkan wajah itu, rambut pirang, atau mata biru milik seseorang yang pernah sangat disayanginya. Kalau bisa, wajah perempuan di sampingnya ini yang nanti akan memenuhi kepalanya. Setidaknya untuk satu malam ini saja.
Dari kejauhan William dapat melihat gedung hotel. Tinggi dan gemerlap karena cahaya lampu. Beberapa jendela lampunya tidak menyala, menandakan kalau kamar tersebut masih kosong. William mengembuskan napas lega dalam hati. Dia harus mencari hotel lain kalau tidak ada kamar kosong di sini. Tangan William bergerak memutar setir menuju jalanan menurun, tempat di mana mobil-mobil lain terparkir. Begitu selesai memarkir mobil, William segera mengajak perempuan itu masuk ke dalam hotel.
Topeng masih melekat di wajah William dan perempuan itu. William tidak berniat membukanya sampai masuk ke dalam kamar hotel. Beberapa orang yang berlalu-lalang di lobi mengenakan pakaian mewah dan topeng. Jelas sekali mereka orang-orang yang menghadiri acara lelang. Semua mata mereka tertuju pada William dan perempuan di sebelahnya, sang bintang utama di acara lelang malam ini.
“Tolong kartu identitasnya,” kata resepsionis setelah William menyampaikan maksudnya.
William mengeluarkan dompet dari saku jasnya dan memberikan kartu identitas pada si resepsionis. Dia lalu membuka topengnya sedikit, hanya agar si resepsionis dapat memastikan kalau kartu yang William berikan tidak palsu. Selepas membayar biaya hotel dan mendapatkan kunci kamar berbentuk kartu, William menuntun perempuan yang sejak tadi hanya diam ke arah lift. Kartu kamar William tempelkan di papan sensor hingga pintu lift terbuka.
Tombol dengan angka lima belas menyala begitu ditekan oleh William. LCD di atas pintu lift perlahan mengganti angkanya makin besar seiring makin tinggi lantai yang dituju. Ketika LCD menunjukkan angka tujuh, lift berdenting dan pintu lift terbuka, menampilkan dua orang berbeda jenis kelamin yang menempel satu sama lain lalu terkejut ketika lift datang. Mereka berdua masuk, masih saling merangkul dan cekikikan. Dulu William pernah mengalami hal seperti mereka. Dulu. Sebelum semuanya menjadi berantakan.
Mereka kembali melanjutkan kegiatannya setelah menekan tombol angka satu. William menatap mereka sebentar sebelum kembali memperhatikan LCD. Sekilas sudut matanya menangkap gerakan dari perempuan di sebelahnya. William menebak perempuan itu merasa tidak nyaman dengan pemandangan di depannya. Sejujurnya William juga, tetapi karena topeng yang menutupi seluruh wajahnya kecuali mata kanan, tidak akan ada yang tahu seperti apa ekspresi dirinya saat ini.
Lift berdenting untuk kedua kalinya. Kali ini sampai di lantai yang William tuju. Segera dia menarik gadis di sampingnya dan berjalan dengan cepat menuju kamar 1583. Kartu kamar William tempelkan di kenop pintu hingga berbunyi ‘bip’ lalu membuka pintu. Kamar luas berisi satu ranjang ukuran paling besar yang sedikit tersembunyi, satu set sofa di tengah ruangan dengan sebuah televisi, lemari yang memenuhi satu dinding penuh, kamar mandi berada di sebelah kanan pintu masuk, dan bar yang penuh dengan minuman berbagai merek.
Begitu perempuan bergaun hitam ketat itu masuk ke dalam, William menutup pintu. Dia berjalan menuju sofa, meninggalkan si perempuan di depan pintu. Tangan William bergerak melepas kancing jas lalu menyampirkan jas itu ke lengan sofa. Dasi yang sejak tadi melekat kuat di kerah kemejanya menjadi pilihan keduanya. William mendudukkan tubuhnya di sofa panjang. Matanya terpejam selagi kepala dan tubuhnya menyender, tenggelam di dalam empuknya sofa. Beberapa detik kemudian matanya kembali terbuka dan melihat ke arah perempuan yang masih berdiri di depan pintu.
“Kemarilah,” ucapnya sembari melambaikan tangan.
Perempuan itu dengan ragu berjalan ke arahnya. William dapat melihat tangan perempuan itu yang bergetar. Ini pertama kalinya William melihat tanda-tanda kehidupan darinya. Sejak tadi perempuan yang ikut bersamanya dari gedung di mana acara lelang digelar hingga sampai ke hotel ini hanya diam saja, berjalan mengikuti William tanpa ada kata atau gerakan apa pun darinya.
William memperhatikan perempuan itu selama beberapa detik sebelum berkata, “Buka bajumu.”
Perempuan itu diam, tidak berkata ataupun bergerak, tetapi tangannya bergetar makin hebat. Dia menggigit bibir bawahnya seiring tangannya yang terus bergetar. William menunggu dalam diam. Hingga beberapa menit kemudian perempuan itu masih saja tidak melakukan apa yang William perintahkan dan membuatnya berdiri. Melihat William yang beranjak dari sofa, perempuan itu menjatuhkan tubuhnya ke lantai, berlutut di depan lelaki yang membelinya di lelang.
“Maaf,” cicitnya, “aku—aku tidak bisa melakukannya.” Air mata meleleh membasahi wajah perempuan itu. “Bukan aku yang ingin menjual diri di acara tersebut. Aku dijebak.”
Perempuan itu mengangkat kepalanya, menatap ke arah William yang menunduk. Wajahnya berkilau ketika terkena cahaya lampu. Bibirnya sedikit berdarah karena terus-terusan digigit dengan kencang. Kedua tangan perempuan itu mencengkeram celana hitam milik William sambil terus mengucapkan kalau dirinya tidak bisa melakukan apa yang William pinta. William tidak bereaksi apa pun selama beberapa detik sebelum memutuskan untuk berjongkok di depan si perempuan.
Tangan William bergerak ke arah kepala perempuan itu, menarik tali yang mengikat topengnya. Begitu topeng terbuka, William dapat melihat jelas wajah perempuan itu. Alis hitam tebalnya, bulu mata lentik yang basah oleh air mata, iris abu-abu yang menyimpan beribu macam kesedihan, hidung kecil dengan tulang yang tinggi, dan bibir penuh yang meneteskan darah. Kini tangan William bergerak melepas topengnya.
Lagi-lagi perempuan itu menggigit bibirnya. “Kumohon ... lepaskan aku.”
“Melepaskanmu?” William bertanya. Wajahnya tidak menampakkan ekspresi apa pun. “Setelah saya mengeluarkan uang sebesar 100 miliar?”
Si perempuan menunduk. Tangannya meremas gaun hitam ketatnya hingga kusut. Apa yang dibicarakan William ada benarnya. Tidak mungkin lelaki itu akan melepaskan dirinya begitu saja setelah mengeluarkan uang sebesar 100 miliar. Bertahun-tahun kerja pun dia tidak yakin bisa membayar uang tersebut.
“Aku ... aku masih perawan,” lirih perempuan itu masih menunduk. Mendengarnya William mendengus.
“Kamu pikir saya peduli?”
William berdiri, mengusap rambutnya kasar sembari menghela napas. Ditatapnya perempuan yang masih setia berlutut dan menunduk itu. Perasaan tidak tega sedikit mengetuk pintu hati William, tetapi mengingat uang yang dia keluarkan, William mengeraskan hatinya.
“Siapa namamu?” tanya William beberapa detik kemudian sembari membuka kancing rompinya.
Si perempuan menjawab, “Sarah.” Kepalanya kini sudah terangkat, menatap William yang meletakkan rompi di lengan sofa, di atas jas, menyisakan kemeja putih di tubuhnya.
William diam menatap perempuan itu. Menatap mata abu-abu yang memelas belas kasihan. Selama beberapa detik mereka hanya bertatapan tanpa melakukan apa pun hingga William beranjak dari sana menuju kamar mandi.
Sarah tetap dalam posisinya ketika air pancuran di kamar mandi mulai menyala. Sarah takut kalau dia bergerak sedikit saja akan membuat masalah menjadi makin runyam. Detik-detik yang terlewati rasanya menjadi sangat suram dan lama, seperti sudah puluhan tahun terlewati. Tiga menit kemudian suara pancuran air berhenti dan tak lama pintu kamar mandi terbuka, menampilkan William yang terbalut jubah mandi berwarna putih dengan garis-garis biru tua tipis di sepanjang lengan. Saat mata milik Sarah bertemu dengan William, Sarah dengan cepat menundukkan kepala.William berjalan ke lemari dan mengambil satu dari lima piama yang ada di dalam sana lalu kembali ke dalam kamar mandi. Begitu keluar, tubuh William sudah terbalut sempurna oleh piama yang di sakunya terdapat nama hotel. Sarah masih dalam posisinya semula, tetapi dari sudut matanya dia dapat melihat William yang melangkah menuju bar.“Pergilah mandi,” ucap William sembari menuangkan cairan bening dari botol transparan ke gelas kecil.Aw
Matahari belum menampakkan diri—hanya seberkas cahayanya yang mulai menyapa bumi— tetapi William sudah membuka mata. Hal pertama yang dia lihat adalah wajah Sarah begitu dekat dengannya. Dua detik kemudian William merasakan tangannya kebas. Tangan yang ternyata menjadi alas tidur untuk kepala Sarah. William tidak ingat apa yang terjadi hingga Sarah berada di dalam pelukannya pagi ini. Dengan hati-hati William mengangkat kepala Sarah dan bangkit dari tempat tidur.Ponsel yang masih berada di saku jas menjadi benda pertama yang William ambil. Ada pesan dari sekretarisnya yang menginformasikan kalau hari ini William ada janji temu dengan klien. Dari ponsel, William beralih ke telepon hotel yang ada di atas coffee table untuk menyewa setelan jas. Tidak membutuhkan waktu lama hingga pramutamu membawakan barang yang diminta oleh William. Setelah mengecek setelan jas berwarna dongker tersebut, William beranjak menuju kamar mandi. Berdasarkan pesan yang dikirim oleh sekretarisnya, pukul semb
Mobil William terparkir di depan sebuah restoran Italia. Kaki William melangkah melewati deretan meja dan kursi yang sengaja ditaruh di luar untuk orang-orang yang ingin makan di luar ruangan. Saat William mendorong pintu kaca berkusen cokelat tua hampir hitam, bel berbunyi. Mata William bergerak-gerak mencari wajah seseorang yang dikenalinya lalu berhenti begitu seorang perempuan yang rambutnya disanggul ke atas tengah melambai. Sekretarisnya. Segera William berjalan ke arah meja yang sudah terisi oleh tiga orang.William menyalami dua orang di sana dan meminta maaf atas keterlambatannya. Awalnya William ingin segera memulai diskusi mengenai kerja sama dirinya dengan sang klien, tetapi sekretarisnya memberi saran untuk memesan makanan pembuka lebih dahulu. Usulnya pun disetujui oleh dua orang lain yang ada di sana.William mengambil buku menu, memperhatikan makanan apa yang cocok untuk memulai harinya. Setelah satu menit menatap buku menu, William akhirnya memutuskan untuk memesan fo
Kabut mimpi perlahan mulai pergi dari kepala Sarah. Dia meregangkan tubuhnya yang kaku setelah tidur beberapa jam dan menyadari di mana dirinya sekarang. Di ranjang, seperti sebelumnya saat dirinya terbangun pagi tadi. Kepala Sarah menoleh ke arah nakas dan melihat angka lima di jam digital. Karena masih merasa mengantuk, Sarah menarik selimut dan kembali memejamkan matanya.“Kamu gak punya kasur di rumah?”Sontak mata Sarah kembali terbuka saat mendengar sebuah suara lain di kamar. Segera Sarah mendudukkan dirinya dan melihat William yang tengah bersandar di meja bar. Tangannya memegang gelas kecil berisi cairan bening. William tak lagi mengenakan pakaian formal seperti tadi pagi, melainkan sweatshirt berwarna hitam dan celana panjang berwarna abu-abu.William meminum alkoholnya, matanya tetap mengarah pada Sarah. Menatap setiap inci tubuh Sarah. Rambutnya yang berantakan khas baru bangun tidur. Matanya yang jelalatan, yang dari jarak lumayan jauh pun William dapat melihat kegelisah
Sarah mengeringkan rambutnya dengan handuk sehabis mandi. Semalam William memberikan sampo dan sabun miliknya untuk Sarah pakai sementara karena belum sempat berbelanja. William juga meminjamkan piama miliknya yang kebesaran di tubuh Sarah. Tadi saat mandi, Sarah kembali teringat sang ayah. Beberapa pertanyaan hadir di benaknya saat mengingat sosok yang kerap kali menyakiti dirinya.Bagaimana kabar sang ayah? Apa dia bertanya-tanya ke mana perginya Sarah? Apa dia khawatir karena Sarah tidak pulang-pulang? Apa mungkin dia justru senang karena Sarah tidak ada?.Apa pun itu, Sarah tidak menemukan jawabannya. Tidak sekarang, atau mungkin, tidak selamanya. Setelah rambutnya sudah lembap, tidak basah seperti sebelumnya, Sarah memutuskan untuk keluar, hanya berbalut handuk. Jantung Sarah rasanya seperti berhenti berdetak saat melihat William berada di kamarnya, sedang duduk di atas ranjang, dan lagi-lagi, s
Jessica berjalan dengan gontai menuju lift. Matanya sedikit terpejam karena kelelahan. Kegiatan pemotretannya baru saja selesai. Beberapa hari ini jadwal Jessica memang lebih padat dari sebelumnya. Butuh waktu dua menit untuk menunggu lift datang ke lantai basement. Tidak ada orang di lift dan Jessica bersyukur akan hal itu. Dia menekan tombol sebelas, tempat penthouse-nya berada.Jessica menyenderkan tubuhnya ke dinding lift dan memejamkan mata. Terbayang bathub air hangat yang penuh dengan busa yang akan menjadi tempat pelepasan rasa penat Jessica. Jessica berpikir apa yang akan dia lakukan nanti sebelum pergi tidur, mengingat besok jadwalnya kosong untuk satu hari.Lift berdenting membuat mata Jessica terbuka sempurna. Pintu lift terbuka, menampilkan jendela dengan pot kaktus sebagai pemanis. Jessica melangkah keluar, sudah tidak terlalu gontai dari sebelumnya. Kaki Jess
Mobil silver William terparkir rapi di sebelah mobil hitamnya. William tidak langsung mematikan mesin, dia duduk di kursi pengemudi dan menyenderkan tubuhnya ke senderan jok terlebih dahulu. Matanya terpejam dan napasnya berembus lelah. William memijat pangkal hidungnya, berharap pusingnya dapat sedikit hilang. Ada satu masalah rumit di kantor tadi yang menguras energi William.Pemilik butik yang juga adalah seorang manajer tempo hari tidak terima dengan keputusan sepihak William. Dia mendatangi kantor pria bersurai cokelat itu dan menolak ganti rugi, bahkan mengancam untuk membawa perkara ini ke jalur hukum. William tetap kekeh memutus kontrak dengan butik itu. Bukan hanya karena Sarah saja, tetapi William berpikir, kalau Sarah sudah menjadi korban, pasti lebih banyak korban lainnya. Pada akhirnya William yang memenangkan perdebatan itu dengan alasan yang sama yang dia berikan pada Sarah waktu perempuan itu bertanya, tetapi Wil
Remi menatap ruangan tempat dia mengadakan pesta topeng untuk merayakan lima tahun berdirinya perusahaan miliknya. Lampu kristal besar di tengah ruangan berkilauan dengan megah, ditemani lampu-lampu kecil yang menggantung dari satu lampu ke yang lain layaknya tirai. Meja-meja bundar yang dipenuhi dengan gelas berisi champagne dan kudapan. Beberapa sofa terdapat di setiap sudut ruangan. Ada panggung kecil yang digunakan para musisi untuk memainkan musik saat berdansa nanti. Selebihnya ruangan itu dibiarkan kosong dari barang, menjadi tempat untuk berdansa.Remi mengundang semua koleganya, termasuk William yang mengajak Sarah. William memberikan undangan pada penjaga pintu lalu masuk ke dalam, diikuti Sarah yang mengalungkan tangannya di lengan William. Sarah begitu terpukau dengan dekorasi ruang dansa ini, begitu pula dengan orang-orang yang hadir. Gaun mereka terlihat amat mewah di mata Sarah, membuat dirinya langsung m