Share

Third

Sarah tetap dalam posisinya ketika air pancuran di kamar mandi mulai menyala. Sarah takut kalau dia bergerak sedikit saja akan membuat masalah menjadi makin runyam. Detik-detik yang terlewati rasanya menjadi sangat suram dan lama, seperti sudah puluhan tahun terlewati. Tiga menit kemudian suara pancuran air berhenti dan tak lama pintu kamar mandi terbuka, menampilkan William yang terbalut jubah mandi berwarna putih dengan garis-garis biru tua tipis di sepanjang lengan. Saat mata milik Sarah bertemu dengan William, Sarah dengan cepat menundukkan kepala.

William berjalan ke lemari dan mengambil satu dari lima piama yang ada di dalam sana lalu kembali ke dalam kamar mandi. Begitu keluar, tubuh William sudah terbalut sempurna oleh piama yang di sakunya terdapat nama hotel. Sarah masih dalam posisinya semula, tetapi dari sudut matanya dia dapat melihat William yang melangkah menuju bar.

“Pergilah mandi,” ucap William sembari menuangkan cairan bening dari botol transparan ke gelas kecil.

Awalnya Sarah merasa ragu, tetapi dia memutuskan untuk melakukan hal yang William perintahkan. Lagi pula, tubuhnya memang sudah terasa lengket. Pikirannya pun harus dijernihkan di bawah guyuran air. Mungkin nanti setelah mandi dia dan William bisa berbicara mengenai masalah ini dan membuat kesepakatan. Sebelum masuk ke kamar mandi, Sarah mengambil piama dari tempat yang sama dengan William.

Kamar mandi dengan nuansa emas dan putih menyambut kedatangan Sarah. Aroma sampo dan sabun yang sebelumnya digunakan William masih tersisa. Sarah berjalan ke arah wastafel lalu menatap pantulan dirinya di depan cermin bulat besar yang terdapat lampu di belakangnya. Wajahnya terlihat amat lelah, matanya merah dan riasannya hancur. Tatapan Sarah beralih ke deretan botol-botol perawatan kulit, mencari satu botol yang bertuliskan cairan pembersih makeup. Botol itu berada di ujung, tertutup oleh sabun muka. Sarah beralih mengambil kapas yang berada di rak yang tergantung di dinding. Dalam diam Sarah membersihkan wajahnya.

Setelah memastikan seluruh wajahnya sudah bebas dari riasan, Sarah mulai melepaskan gaun hitamnya yang kemudian dia taruh di keranjang berisi kemeja dan celana milik William. Pakaian dalam Sarah letakkan di rak samping kapas karena nantinya dia akan memakai dua benda itu lagi. Tidak mungkin Sarah tidak memakai pakaian dalam, terutama setelah menolak perintah William sebelumnya. Sarah pun mulai membasahi tubuhnya dengan air yang mengalir dari pancuran. 

Air yang membasahi tubuhnya mengantarkan memori-memori menyakitkan yang ingin Sarah buang jauh-jauh. Masih Sarah ingat hari-hari itu, hari di mana neraka tampaknya jauh lebih baik. Ingatan paling buruk dalam hidupnya mulai datang. Saat itu Sarah baru saja pulang kerja, lebih tepatnya dipecat secara sepihak. Sepanjang perjalanan pulang Sarah sudah menahan tangis, dia tidak tahu lagi bagaimana mencari pekerjaan lain, mengingat sulitnya mencari kerja sekarang. Namun, begitu sampai di rumah, bukan sambutan hangat yang menyambutnya, justru sebuah tamparan keras di pipi hingga membuat Sarah tersungkur.

“Maksud kamu apa nyimpen uang begini? Saya bilang kasih semua gaji kamu ke saya. Mau jadi anak durhaka kamu?”

Sarah mengangkat kepalanya, melihat lembaran uang berwarna merah di tangan seseorang yang baru saja menamparnya. Uang yang sengaja Sarah simpan seandainya ada keperluan penting dan mendadak. Dengan cepat Sarah berdiri, berusaha merebut kembali uang itu, tetapi dirinya kalah cepat.

“Ayah, tolong, balikin uang Sarah. Itu buat keperluan penting. Sarah butuh uang itu, Ayah,” pinta Sarah dengan memelas.

Sang ayah menepis tangan Sarah. “Halah! Palingan juga mau kamu beliin barang-barang gak guna.” Jari telunjuk sang ayah mendorong kepala Sarah hingga membuatnya mundur beberapa langkah. “Harusnya kamu, tuh, sadar diri. Uang yang saya keluarkan buat ngurus kamu gak sebanding dengan ini.”

Sarah menggeleng. Air mata tidak berhenti mengalir di wajahnya. Sarah masih berusaha untuk mengambil uang itu yang berujung kembali ditampar oleh sang ayah. Namun, Sarah tidak menyerah. Dia terus berusaha merebut uang yang mati-matian dikumpulkannya. Sarah perlu uang itu, apalagi dirinya baru saja dipecat.

“Dasar anak sialan!” murka sang ayah saat Sarah berhasil merebut sebagian uangnya.

Melihat wajah ayahnya yang memerah karena murka, Sarah gemetar. Ayahnya memang selalu marah, tetapi kali ini berbeda. Rasanya Sarah seperti melihat iblis yang baru saja lepas dari neraka. Tepat sebelum sang ayah mengayunkan botol beling berwarna hijau bekas minuman alkohol yang dikonsumsinya hampir setiap hari, Sarah melarikan diri. Sarah berlari tanpa alas kaki, menyebabkan rasa perih ketika kakinya menginjak kerikil. Pandangannya buram karena air mata yang tidak kunjung berhenti, membuatnya tidak melihat bongkahan batu di depan kakinya.

Belum sempat Sarah meratapi rasa sakit sehabis jatuh, rambutnya ditarik dengan kencang dan tubuhnya diseret. Tangan Sarah menggapai batu yang tadi membuatnya terjatuh. Dia gunakan batu itu untuk memukul kaki sang ayah hingga genggamannya di rambut Sarah lepas. Tidak mempedulikan rasa sakit di sekujur tubuhnya, Sarah berlari. Menjauh dari sana. Dari rumah itu. Dari uang yang berhamburan di tengah jalan. Dari orang yang selalu berkata dirinya adalah ayah padahal sebenarnya dia seorang iblis yang menyamar. Sarah terus berlari, mengabaikan sang ayah yang memanggil namanya dengan murka. Sarah terus berlari hingga kegelapan menyelimuti dirinya.

Sarah membuka mata. Melihat tembok marmer berwarna putih dan emas lalu tersadar kalau tubuhnya menggigil. Cepat-cepat Sarah mematikan pancuran air. Keriput di jemarinya menandakan seberapa lama Sarah telah berdiri bawah pancuran air. Sarah pun mengeringkan tubuh dengan handuk lalu memakai piama yang tadi dibawanya. Sarah membuka pintu kamar mandi dengan pelan dan mengintip. Tidak ada suara apa pun dari kamar. Baik suara televisi atau denting gelas yang saling bertabrakan. Begitu keluar dari kamar mandi, Sarah melihat William yang sudah terlelap di atas ranjang.

Kaki Sarah melangkah ragu menuju ranjang dan berhenti dua langkah sebelum sampai lalu beralih melangkah menuju sofa. Embusan napas lega Sarah keluarkan begitu tubuhnya menyentuh sofa. Sofa yang sekarang dia tiduri bahkan rasanya lebih nyaman dari ranjang di rumah lamanya. Sarah tidak langsung tidur, dia kembali mengingat. Ingatan saat tersadar di sebuah kamar yang bukan miliknya. Terkurung di sana selama berhari-hari sampai akhirnya dia harus berdiri di atas panggung di mana orang-orang berebut untuk membeli dirinya. Sarah memaksakan matanya terpejam sedetik kemudian, berusaha untuk tidak mengingat hal apa pun lagi.

Tak lama setelah Sarah terlelap, William membuka matanya. Rasa haus mencekiknya dalam tidur. Masih setengah sadar William berjalan menuju bar dan membuka kulkas. Sebuah botol air mineral menjadi pilihan William. Segera dia meminumnya hingga isi botol itu tersisa setengah. Pikirannya mulai kembali jernih dan William mengingat Sarah. Terakhir kali dia tinggal tidur perempuan yang sedang mandi itu. Kepalanya menoleh untuk mencari keberadaan perempuan itu dan menemukannya di sofa. Setelah meletakkan botol kembali ke dalam kulkas, William berjalan ke arah Sarah, memperhatikannya yang sedang tidur.

“Dijebak, ya?” gumam William mengingat apa yang diucapkan Sarah sebelumnya.

William lalu mengangkat Sarah dengan hati-hati dan memindahkannya ke ranjang. Setelahnya William merebahkan diri, miring menghadap perempuan di sebelahnya. Tangan William terulur untuk menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Sarah ketika dia menyadari luka di bibir perempuan itu. William bangkit kembali, berjalan menuju kamar mandi dan mencari kotak P3K di setiap laci. Kotak P3K itu ada di dalam laci wastafel.

Dengan hati-hati William mengobati luka di bibir Sarah, berusaha selembar mungkin agar Sarah tidak terbangun. Selepas meneteskan obat merah, William menggunting kecil plester, seukuran luka, lalu menempelkannya. Pekerjaannya berhasil dengan sempurna tanpa membangunkan Sarah. William segera membereskan semua benda yang dia pakai untuk mengobati dan menyimpan kotak P3K di nakas lalu kembali merebahkan diri. Mata William terpejam, mencoba untuk kembali tidur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status