Kabut mimpi perlahan mulai pergi dari kepala Sarah. Dia meregangkan tubuhnya yang kaku setelah tidur beberapa jam dan menyadari di mana dirinya sekarang. Di ranjang, seperti sebelumnya saat dirinya terbangun pagi tadi. Kepala Sarah menoleh ke arah nakas dan melihat angka lima di jam digital. Karena masih merasa mengantuk, Sarah menarik selimut dan kembali memejamkan matanya.
“Kamu gak punya kasur di rumah?”
Sontak mata Sarah kembali terbuka saat mendengar sebuah suara lain di kamar. Segera Sarah mendudukkan dirinya dan melihat William yang tengah bersandar di meja bar. Tangannya memegang gelas kecil berisi cairan bening. William tak lagi mengenakan pakaian formal seperti tadi pagi, melainkan sweatshirt berwarna hitam dan celana panjang berwarna abu-abu.
William meminum alkoholnya, matanya tetap mengarah pada Sarah. Menatap setiap inci tubuh Sarah. Rambutnya yang berantakan khas baru bangun tidur. Matanya yang jelalatan, yang dari jarak lumayan jauh pun William dapat melihat kegelisahan di sana. Bibirnya yang digigit meskipun plester sebelumnya masih menempel di sana. Lalu Sarah menunduk, memainkan jari-jarinya.
“Apa enaknya tidur di sofa?” tanya William lagi sembari kembali menuang cairan bening itu.
“Ketiduran,” balas Sarah dengan suara kecil, tetapi masih dapat terdengar oleh William.
William hanya bergumam sebelum meminum habis alkoholnya. Dia lalu berjalan menuju paper bag yang berada di atas armchair. William mengeluarkan pakaian dari sana. Semuanya adalah gaun dengan warna berbeda. Gaun berwarna putih tulang bertali spageti dengan kaus hitam yang terlipat di dalamnya menjadi pilihan William. Dia lalu memberikan gaun itu kepada Sarah.
“Pergilah mandi, kita akan makan malam,” ucapnya lalu berbalik arah dan duduk di armchair setelah memindahkan paper bag ke lantai.
Sarah beranjak dari ranjang, mengambil gaun yang dipilih oleh William, lalu melangkah menuju kamar mandi. Tidak seperti kemarin, kali ini Sarah benar-benar membersihkan tubuhnya. Dia memakai produk yang memang disediakan oleh hotel. Sarah masih memakai bathrobe dan mengeringkan rambutnya dengan hair dryer saat pintu kamar mandi diketuk. Sarah segera bangkit dan berjalan menuju pintu lalu membukanya.
Melihat air yang masih menetes di rambut Sarah, William kembali membawa Sarah ke dalam kamar mandi, mendudukkannya di depan cermin. Kegiatan yang tadi Sarah lakukan sekarang William yang melakukannya. Dengan telaten William mengeringkan rambut Sarah dan menyisirnya. Selama William melakukan itu, tidak ada obrolan apa pun. William langsung pergi begitu selesai melakukannya dan Sarah segera berganti pakaian.
Setelah Sarah keluar, William kembali masuk ke dalam kamar mandi, menyelesaikan hal yang tertunda tadi. Sarah menyadari ada satu paper bag tambahan di sebelah paper bag miliknya. Rasa penasaran yang tinggi memaksanya untuk mengintip ke dalam. Pakaian yang tadi pagi Sarah pinta untuk dicuci dan sebuah topeng, milik William. Pintu kamar mandi terbuka.
William mengambil ponsel, dompet, dan dua paper bag tersebut. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, William beranjak pergi dan Sarah mengekorinya. Sarah berdiri dalam diam di samping William saat lelaki itu menyelesaikan tagihan hotel. Tidak banyak orang yang lalu-lalang di lobi. William menyentuh pinggang Sarah lembut untuk menarik perhatiannya dan menuntun Sarah menuju tempat parkir. Langit sudah mulai gelap dan matahari hampir menghilang.
Dua paper bag yang dibawa William ditaruh di jok belakang mobil. William menyalakan musik untuk mengusir kesunyian yang jelas akan terjadi selama perjalanan menuju restoran tempat mereka akan makan malam. Sarah menatap ke luar jendela sepanjang perjalanan. Melihat lampu-lampu jalanan yang berwarna kuning, lampu belakang mobil yang berwarna merah, atau lampu di gedung-gedung.
Setelah satu jam perjalanan, akhirnya mobil William berhenti di depan sebuah restoran bergaya modern yang didominasi warna cokelat. William memilih meja dengan jendela dan tidak terlalu jauh dari pintu masuk. William duduk berhadapan dengan Sarah yang sibuk memperhatikan interior restoran. Lampu-lampu berbentuk mangkuk menggantung di langit-langit dengan panjang yang berbeda. Lampu itu ditemani oleh tanaman merambat yang menjumpai ke bawah. Sarah merasa berada di dalam hutan.
Perhatiannya teralihkan saat seorang pelayan datang membawa dua buku menu, satu catatan kecil, dan pulpen. William segera membuka buku menu, diikuti oleh Sarah. Diam-diam Sarah menelan air liurnya melihat harga yang tertera di sana.
“Mau pesan apa?” tanya William setelah dia selesai memilih menu.
Sarah mengintip dari balik buku menunya. “Aku ngikut kamu aja,” cicitnya.
William mengangguk lalu menatap si pelayan. “Dua salad, dua steak angus medium rare, wine,” William melirik Sarah sejenak, “dan soda.”
Pelayan mencatat pesanan yang diucapkan oleh William dengan cepat. Selesai menulis dia menatap William dan Sarah bergantian lalu berkata, “Ada lagi?”
“Ada yang kamu mau?” tanya William pada Sarah, membuatnya melihat menu dengan gelagapan.
“Um ... creme brulee.” Sarah melirik William dengan napas tertahan. Begitu William mengangguk, diam-diam Sarah mengembuskan napas lega.
Si pelayan pun pergi, meninggalkan Sarah dan William dalam keheningan. Saat salad datang, disusul steak sepuluh menit kemudian, masih tidak ada percakapan di antara mereka. William sibuk membaca berkas-berkas lewat dokumen yang dikirimkan oleh Isa, sedangkan Sarah memperhatikan setiap pengunjung dan pelayan yang sibuk mondar-mandir.
Begitu makanan penutup datang, Sarah memakannya sendirian karena William memang tidak memesan. William hanya melihat Sarah memakan puding yang dilapisi karamel itu dalam diam. Sesekali menyesap wine keduanya. Karena terlalu fokus menikmati makanan yang baru pertama kali dia makan, Sarah tidak menyadari tatapan William yang terus tertuju padanya. Tidak berpaling sedetik pun hingga tidak ada lagi puding yang tersisa di sana.
“Ayo pulang,” ajak William lima kemudian, setelah Sarah menghabiskan sodanya.
Sarah menolak. “Aku mau ke toilet dulu,” katanya.
William mengangguk dan sedikit mengarahkan arah toilet pada Sarah sepenglihatan William saat masuk ke dalam. Sarah mencoba sebisa mungkin berjalan dengan percaya diri meskipun jantungnya berdetak dengan kencang. Di toilet hanya ada satu bilik yang tertutup. Sarah mencuci tangannya di wastafel lalu menempelkannya ke wajah. Untuk kesekian kalinya hari ini, Sarah meratapi nasibnya. Meski begitu, dirinya merasa bersyukur atas perlakuan William yang baik padanya. Setidaknya Sarah dapat menikmati sedikit kehidupan barunya sekarang.
“Halo?”
Sarah terlonjak begitu mendengar suara tersebut. Dia menoleh pada satu-satunya bilik yang pintunya tertutup, tidak bersuara. Sarah berpikir, mungkin saja dia salah dengar.
“Halo?” Suara itu lagi. “Ada orang?”
Kali ini Sarah menyahut. “Ya?”
“Hei, um, bisa tolong ambilkan tisu? Di sini tisunya habis,” pinta seseorang di dalam bilik toilet.
“Sebentar.” Sarah segera mengambil beberapa lembar tisu lalu memberikannya lewat bawah pintu toilet.
Hening sejenak hingga tiga puluh detik kemudian pintu terbuka, menampilkan seorang perempuan berambut pirang sebahu yang sedang tersenyum padanya. Sarah pun balas tersenyum.
“Aku gak tau apa yang bakal terjadi kalo gak ada kamu,” ucapnya sambil memegang kedua tangan Sarah. “Aku Jessica.”
“Sarah,” balas Sarah mencoba bersikap santai meski dirinya merasa canggung parah.
Jessica menatap gaun yang dipakai oleh Sarah dan matanya membulat. Senyumnya makin lebar dari sebelumnya. “Ya ampun, kamu pake gaun ini! Kamu tau gak kalo aku ini modelnya?”
Sarah tidak tahu. Dia tidak pernah tahu soal apa pun di dunia mode. Selama ini Sarah sibuk mencari dan mengumpulkan uang. Pakaian yang dipakainya pun dibelinya secara obral setahun sekali. Sarah mencoba memberikan senyuman pada Jessica. Senyum kaku yang Sarah tidak yakin terlihat bagus.
“Oh, ya? Aku gak tau, kurang ngikutin soal mode,” balas Sarah memilih jujur, tetapi tidak memberitahu alasan sebenarnya.
Jessica terkikik. “Sekarang kamu tau.”
Ponsel Jessica berdering, mengalihkan atensi dari keduanya. Jessica mengangkat telepon dan mendengarkan ucapan dari orang di seberang lalu menutupnya. Dia kembali menghadap pada Sarah.
“Aku harus pergi, ada urusan pekerjaan,” jelasnya yang dibalas anggukan oleh Sarah. “Gaunnya cocok kamu pake.”
Jessica pun keluar. Tersisa Sarah seorang diri di toilet. Sepuluh detik Sarah terdiam sebelum mencuci tangannya lagi dan kembali menghampiri William, yang lagi-lagi sibuk dengan ponselnya. Melihat kedatangan Sarah, William mematikan ponsel dan segera bangkit. Kembali mereka menempuh jarak yang lumayan jauh dalam keheningan dan hanya ditemani musik yang disetel dengan suara rendah.
Sampai saat mobil William memasuki gerbang dan melewati taman kecil hingga berhenti di garasi, William dan Sarah masih membisu. William membawa Sarah menuju sebuah kamar tamu yang sedikit lebih kecil dari kamar hotel. William meletakkan paper bag milik Sarah di atas ranjang lalu menunggu Sarah selesai memperhatikan kamar barunya.
Yang paling menarik perhatian Sarah adalah laci yang di atasnya diberi busa—seperti sofa—yang menempel pada jendela. Kiri kanannya terdapat rak buku tanpa isi. Ada empat bantal di atas sofa jendela itu. Di depan ranjang terdapat bufet televisi. Di sebelah kiri ranjang terdapat lemari pakaian. Pintu kamar mandinya bersebelahan dengan pintu masuk kamar.
“Ini kamarmu,” ucap William sembari berjalan menuju pintu. “Istirahatlah. Kalau butuh apa-apa, saya ada di ruang kerja.”
Setelahnya William pergi dan menutup pintu. Dia meninggalkan Sarah dalam kebingungan besar. Dalam hati Sarah bertanya-tanya di mana letak ruang kerja milik William.
Sarah mengeringkan rambutnya dengan handuk sehabis mandi. Semalam William memberikan sampo dan sabun miliknya untuk Sarah pakai sementara karena belum sempat berbelanja. William juga meminjamkan piama miliknya yang kebesaran di tubuh Sarah. Tadi saat mandi, Sarah kembali teringat sang ayah. Beberapa pertanyaan hadir di benaknya saat mengingat sosok yang kerap kali menyakiti dirinya.Bagaimana kabar sang ayah? Apa dia bertanya-tanya ke mana perginya Sarah? Apa dia khawatir karena Sarah tidak pulang-pulang? Apa mungkin dia justru senang karena Sarah tidak ada?.Apa pun itu, Sarah tidak menemukan jawabannya. Tidak sekarang, atau mungkin, tidak selamanya. Setelah rambutnya sudah lembap, tidak basah seperti sebelumnya, Sarah memutuskan untuk keluar, hanya berbalut handuk. Jantung Sarah rasanya seperti berhenti berdetak saat melihat William berada di kamarnya, sedang duduk di atas ranjang, dan lagi-lagi, s
Jessica berjalan dengan gontai menuju lift. Matanya sedikit terpejam karena kelelahan. Kegiatan pemotretannya baru saja selesai. Beberapa hari ini jadwal Jessica memang lebih padat dari sebelumnya. Butuh waktu dua menit untuk menunggu lift datang ke lantai basement. Tidak ada orang di lift dan Jessica bersyukur akan hal itu. Dia menekan tombol sebelas, tempat penthouse-nya berada.Jessica menyenderkan tubuhnya ke dinding lift dan memejamkan mata. Terbayang bathub air hangat yang penuh dengan busa yang akan menjadi tempat pelepasan rasa penat Jessica. Jessica berpikir apa yang akan dia lakukan nanti sebelum pergi tidur, mengingat besok jadwalnya kosong untuk satu hari.Lift berdenting membuat mata Jessica terbuka sempurna. Pintu lift terbuka, menampilkan jendela dengan pot kaktus sebagai pemanis. Jessica melangkah keluar, sudah tidak terlalu gontai dari sebelumnya. Kaki Jess
Mobil silver William terparkir rapi di sebelah mobil hitamnya. William tidak langsung mematikan mesin, dia duduk di kursi pengemudi dan menyenderkan tubuhnya ke senderan jok terlebih dahulu. Matanya terpejam dan napasnya berembus lelah. William memijat pangkal hidungnya, berharap pusingnya dapat sedikit hilang. Ada satu masalah rumit di kantor tadi yang menguras energi William.Pemilik butik yang juga adalah seorang manajer tempo hari tidak terima dengan keputusan sepihak William. Dia mendatangi kantor pria bersurai cokelat itu dan menolak ganti rugi, bahkan mengancam untuk membawa perkara ini ke jalur hukum. William tetap kekeh memutus kontrak dengan butik itu. Bukan hanya karena Sarah saja, tetapi William berpikir, kalau Sarah sudah menjadi korban, pasti lebih banyak korban lainnya. Pada akhirnya William yang memenangkan perdebatan itu dengan alasan yang sama yang dia berikan pada Sarah waktu perempuan itu bertanya, tetapi Wil
Remi menatap ruangan tempat dia mengadakan pesta topeng untuk merayakan lima tahun berdirinya perusahaan miliknya. Lampu kristal besar di tengah ruangan berkilauan dengan megah, ditemani lampu-lampu kecil yang menggantung dari satu lampu ke yang lain layaknya tirai. Meja-meja bundar yang dipenuhi dengan gelas berisi champagne dan kudapan. Beberapa sofa terdapat di setiap sudut ruangan. Ada panggung kecil yang digunakan para musisi untuk memainkan musik saat berdansa nanti. Selebihnya ruangan itu dibiarkan kosong dari barang, menjadi tempat untuk berdansa.Remi mengundang semua koleganya, termasuk William yang mengajak Sarah. William memberikan undangan pada penjaga pintu lalu masuk ke dalam, diikuti Sarah yang mengalungkan tangannya di lengan William. Sarah begitu terpukau dengan dekorasi ruang dansa ini, begitu pula dengan orang-orang yang hadir. Gaun mereka terlihat amat mewah di mata Sarah, membuat dirinya langsung m
Jessica baru saja mengganti gaunnya yang tidak sengaja ketumpahan champagne. Wanita itu kini menggunakan gaun hitam bertaburan kristal di bagian bawahnya. Sebelum kembali ke ruang dansa, Jessica merapikan tatanan rambutnya terlebih dahulu, kembali membubuhkan bedak dan lipstik, dan memakai topengnya. Jessica mengucapkan terima kasih pada pelayan yang membantunya mengganti gaun lalu keluar.Kaki Jessica menyusuri lorong panjang yang di kiri kanannya terdapat vas keramik tanpa bunga setiap lima meter. Tidak ada orang di sana kecuali dirinya. Jessica berbelok menuju tangga, langkahnya dengan anggun menuruni tangga. Di bawah, Jessica melihat Sarah yang sedang dibopong oleh seorang lelaki yang Jessica yakini adalah teman yang disebut Sarah sebelumnya. Melihat bagaimana interaksi mereka, Jessica tidak yakin kalau Sarah dan lelaki itu tidak hanya berteman.Sarah tampak berontak dari genggaman temannya, tanpa sengaja melepaskan topeng yang dipakai oleh temannya. Tubuh Jess
Sarah mengerjapkan matanya beberapa kali yang terasa panas. Setiap kedipan membawa rasa panas yang tidak nyaman. Sarah memperhatikan sekitar, tidak mengenali kamar tempat dia tidur. Sarah mencoba untuk bangun, tetapi kepalanya terasa amat pusing, akhirnya dia menidurkan tubuhnya kembali. Kamar yang kini ditempatinya didominasi oleh warna hitam dan putih. Di depan ranjang yang Sarah tiduri terdapat satu sofa panjang dengan coffee table di depannya.Sarah memejamkan matanya, berharap rasa pusing yang menghantam kepalanya bisa segera pergi. Sarah masih memejamkan mata saat mendengar suara pintu terbuka dan langkah kaki yang mendekat. Lalu sebuah tangan menyentuh dahinya. Tangan itu terasa dingin di kulitnya. Sarah membuka mata. Meski penglihatannya sedikit buram, Sarah tahu kalau seseorang di depannya adalah William.Seketika Sarah teringat kejadian sebelumnya. Sarah ingat dia pergi ke pesta topeng yang diadakan oleh kolega William. Sarah juga ingat meminum champagne.
Layar laptop menampilkan data-data pengeluaran dan pemasukan bulan ini, tetapi Remi tidak memperhatikan sedikit pun. Matanya memang tertuju ke sana, tetapi pikirannya berkelana ke malam pesta topeng. Remi sempat mengikuti William yang tengah membawa perempuan dari acara lelang saat itu. Namun, dia kehilangan jejak William karena seorang kolega yang menghampirinya dan mengajak berbincang. Remi tentu saja memilih menetap. Dia tidak bisa menghancurkan perusahaan yang dibangunnya dengan susah payah hanya karena seorang perempuan. Terakhir kali Remi melihat William saat lelaki itu pergi ke belakang tembok berisi lukisan sepasang kekasih yang tengah berdansa.Saat Remi tiba di tangga, dia tidak menemukan William, atau jejak ke mana koleganya itu pergi. Justru Remi menemukan Jessica tengah berdiri di tengah tangga tanpa melakukan apa pun. Keduanya berakhir berbincang bersama beberapa kolega lain dan berdansa. Remi sama sekali tidak bertemu dengan William sampai dirinya mendapat ka
Sarah memasukkan ayam krispi ke dalam mulutnya lalu tersenyum senang. Setelah selama dua hari penuh dia hanya memakan sup labu dan minum air hangat, akhirnya Sarah bisa memakan makanan lain. Tubuhnya sekarang sudah segar bugar. Tadi pagi bahkan Sarah sudah memasak sarapan untuk dirinya dan William. Sebelum William berangkat ke kantor, Sarah sempat meminta uang untuk membeli beberapa bahan makanan yang habis karena minggu ini tidak ada orang yang mengirim. Uang sisanya Sarah belikan ayam krispi.Setelah memakan habis makanannya, Sarah beralih untuk bersih-bersih rumah. Karena tidak ada banyak barang atau ruangan yang dipakai, pekerjaan Sarah tidak terlalu berat lantaran memang sudah bersih. Ada satu ruangan yang membuat Sarah merasa kagum. Berisi satu layar besar untuk menonton film dan sofa bed. Sarah melihatnya seperti bioskop yang kadang-kadang dia datangi saat punya uang lebih. Home theater itu tidak Sarah bersihkan karena memang tidak ada sedikit pun debu di sana.