Share

Sixth

Kabut mimpi perlahan mulai pergi dari kepala Sarah. Dia meregangkan tubuhnya yang kaku setelah tidur beberapa jam dan menyadari di mana dirinya sekarang. Di ranjang, seperti sebelumnya saat dirinya terbangun pagi tadi. Kepala Sarah menoleh ke arah nakas dan melihat angka lima di jam digital. Karena masih merasa mengantuk, Sarah menarik selimut dan kembali memejamkan matanya.

“Kamu gak punya kasur di rumah?”

Sontak mata Sarah kembali terbuka saat mendengar  sebuah suara lain di kamar. Segera Sarah mendudukkan dirinya dan melihat William yang tengah bersandar di meja bar. Tangannya memegang gelas kecil berisi cairan bening. William tak lagi mengenakan pakaian formal seperti tadi pagi, melainkan sweatshirt berwarna hitam dan celana panjang berwarna abu-abu.

William meminum alkoholnya, matanya tetap mengarah pada Sarah. Menatap setiap inci tubuh Sarah. Rambutnya yang berantakan khas baru bangun tidur. Matanya yang jelalatan, yang dari jarak lumayan jauh pun William dapat melihat kegelisahan di sana. Bibirnya yang digigit meskipun plester sebelumnya masih menempel di sana. Lalu Sarah menunduk, memainkan jari-jarinya.

“Apa enaknya tidur di sofa?” tanya William lagi sembari kembali menuang cairan bening itu.

“Ketiduran,” balas Sarah dengan suara kecil, tetapi masih dapat terdengar oleh William.

William hanya bergumam sebelum meminum habis alkoholnya. Dia lalu berjalan menuju paper bag yang berada di atas armchair. William mengeluarkan pakaian dari sana. Semuanya adalah gaun dengan warna berbeda. Gaun berwarna putih tulang bertali spageti dengan kaus hitam yang terlipat di dalamnya menjadi pilihan William. Dia lalu memberikan gaun itu kepada Sarah.

“Pergilah mandi, kita akan makan malam,” ucapnya lalu berbalik arah dan duduk di armchair setelah memindahkan paper bag ke lantai.

Sarah beranjak dari ranjang, mengambil gaun yang dipilih oleh William, lalu melangkah menuju kamar mandi. Tidak seperti kemarin, kali ini Sarah benar-benar membersihkan tubuhnya. Dia memakai produk yang memang disediakan oleh hotel. Sarah masih memakai bathrobe dan mengeringkan rambutnya dengan hair dryer saat pintu kamar mandi diketuk. Sarah segera bangkit dan berjalan menuju pintu lalu membukanya.

Melihat air yang masih menetes di rambut Sarah, William kembali membawa Sarah ke dalam kamar mandi, mendudukkannya di depan cermin. Kegiatan yang tadi Sarah lakukan sekarang William yang melakukannya. Dengan telaten William mengeringkan rambut Sarah dan menyisirnya. Selama William melakukan itu, tidak ada obrolan apa pun. William langsung pergi begitu selesai melakukannya dan Sarah segera berganti pakaian.

Setelah Sarah keluar, William kembali masuk ke dalam kamar mandi, menyelesaikan hal yang tertunda tadi. Sarah menyadari ada satu paper bag tambahan di sebelah paper bag miliknya. Rasa penasaran yang tinggi memaksanya untuk mengintip ke dalam. Pakaian yang tadi pagi Sarah pinta untuk dicuci dan sebuah topeng, milik William. Pintu kamar mandi terbuka.

William mengambil ponsel, dompet, dan dua paper bag tersebut. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, William beranjak pergi dan Sarah mengekorinya. Sarah berdiri dalam diam di samping William saat lelaki itu menyelesaikan tagihan hotel. Tidak banyak orang yang lalu-lalang di lobi. William menyentuh pinggang Sarah lembut untuk menarik perhatiannya dan menuntun Sarah menuju tempat parkir. Langit sudah mulai gelap dan matahari hampir menghilang.

Dua paper bag yang dibawa William ditaruh di jok belakang mobil. William menyalakan musik untuk mengusir kesunyian yang jelas akan terjadi selama perjalanan menuju restoran tempat mereka akan makan malam. Sarah menatap ke luar jendela sepanjang perjalanan. Melihat lampu-lampu jalanan yang berwarna kuning, lampu belakang mobil yang berwarna merah, atau lampu di gedung-gedung.

Setelah satu jam perjalanan, akhirnya mobil William berhenti di depan sebuah restoran bergaya modern yang didominasi warna cokelat. William memilih meja dengan jendela dan tidak terlalu jauh dari pintu masuk. William duduk berhadapan dengan Sarah yang sibuk memperhatikan interior restoran. Lampu-lampu berbentuk mangkuk menggantung di langit-langit dengan panjang yang berbeda. Lampu itu ditemani oleh tanaman merambat yang menjumpai ke bawah. Sarah merasa berada di dalam hutan.

Perhatiannya teralihkan saat seorang pelayan datang membawa dua buku menu, satu catatan kecil, dan pulpen. William segera membuka buku menu, diikuti oleh Sarah. Diam-diam Sarah menelan air liurnya melihat harga yang tertera di sana.

“Mau pesan apa?” tanya William setelah dia selesai memilih menu.

Sarah mengintip dari balik buku menunya. “Aku ngikut kamu aja,” cicitnya.

William mengangguk lalu menatap si pelayan. “Dua salad, dua steak angus medium rare, wine,” William melirik Sarah sejenak, “dan soda.”

Pelayan mencatat pesanan yang diucapkan oleh William dengan cepat. Selesai menulis dia menatap William dan Sarah bergantian lalu berkata, “Ada lagi?”

“Ada yang kamu mau?” tanya William pada Sarah, membuatnya melihat menu dengan gelagapan.

“Um ... creme brulee.” Sarah melirik William dengan napas tertahan. Begitu William mengangguk, diam-diam Sarah mengembuskan napas lega.

Si pelayan pun pergi, meninggalkan Sarah dan William dalam keheningan. Saat salad datang, disusul steak sepuluh menit kemudian, masih tidak ada percakapan di antara mereka. William sibuk membaca berkas-berkas lewat dokumen yang dikirimkan oleh Isa, sedangkan Sarah memperhatikan setiap pengunjung dan pelayan yang sibuk mondar-mandir.

Begitu makanan penutup datang, Sarah memakannya sendirian karena William memang tidak memesan. William hanya melihat Sarah memakan puding yang dilapisi karamel itu dalam diam. Sesekali menyesap wine keduanya. Karena terlalu fokus menikmati makanan yang baru pertama kali dia makan, Sarah tidak menyadari tatapan William yang terus tertuju padanya. Tidak berpaling sedetik pun hingga tidak ada lagi puding yang tersisa di sana.

“Ayo pulang,” ajak William lima kemudian, setelah Sarah menghabiskan sodanya.

Sarah menolak. “Aku mau ke toilet dulu,” katanya.

William mengangguk dan sedikit mengarahkan arah toilet pada Sarah sepenglihatan William saat masuk ke dalam. Sarah mencoba sebisa mungkin berjalan dengan percaya diri meskipun jantungnya berdetak dengan kencang. Di toilet hanya ada satu bilik yang tertutup. Sarah mencuci tangannya di wastafel lalu menempelkannya ke wajah. Untuk kesekian kalinya hari ini, Sarah meratapi nasibnya. Meski begitu, dirinya merasa bersyukur atas perlakuan William yang baik padanya. Setidaknya Sarah dapat menikmati sedikit kehidupan barunya sekarang.

“Halo?”

Sarah terlonjak begitu mendengar suara tersebut. Dia menoleh pada satu-satunya bilik yang pintunya tertutup, tidak bersuara. Sarah berpikir, mungkin saja dia salah dengar.

“Halo?” Suara itu lagi. “Ada orang?”

Kali ini Sarah menyahut. “Ya?”

“Hei, um, bisa tolong ambilkan tisu? Di sini tisunya habis,” pinta seseorang di dalam bilik toilet.

“Sebentar.” Sarah segera mengambil beberapa lembar tisu lalu memberikannya lewat bawah pintu toilet.

Hening sejenak hingga tiga puluh detik kemudian pintu terbuka, menampilkan seorang perempuan berambut pirang sebahu yang sedang tersenyum padanya. Sarah pun balas tersenyum.

“Aku gak tau apa yang bakal terjadi kalo gak ada kamu,” ucapnya sambil memegang kedua tangan Sarah. “Aku Jessica.”

“Sarah,” balas Sarah mencoba bersikap santai meski dirinya merasa canggung parah.

Jessica menatap gaun yang dipakai oleh Sarah dan matanya membulat. Senyumnya makin lebar dari sebelumnya. “Ya ampun, kamu pake gaun ini! Kamu tau gak kalo aku ini modelnya?”

Sarah tidak tahu. Dia tidak pernah tahu soal apa pun di dunia mode. Selama ini Sarah sibuk mencari dan mengumpulkan uang. Pakaian yang dipakainya pun dibelinya secara obral setahun sekali. Sarah mencoba memberikan senyuman pada Jessica. Senyum kaku yang Sarah tidak yakin terlihat bagus.

“Oh, ya? Aku gak tau, kurang ngikutin soal mode,” balas Sarah memilih jujur, tetapi tidak memberitahu alasan sebenarnya.

Jessica terkikik. “Sekarang kamu tau.”

Ponsel Jessica berdering, mengalihkan atensi dari keduanya. Jessica mengangkat telepon dan mendengarkan ucapan dari orang di seberang lalu menutupnya. Dia kembali menghadap pada Sarah.

“Aku harus pergi, ada urusan pekerjaan,” jelasnya yang dibalas anggukan oleh Sarah. “Gaunnya cocok kamu pake.”

Jessica pun keluar. Tersisa Sarah seorang diri di toilet. Sepuluh detik Sarah terdiam sebelum mencuci tangannya lagi dan kembali menghampiri William, yang lagi-lagi sibuk dengan ponselnya. Melihat kedatangan Sarah, William mematikan ponsel dan segera bangkit. Kembali mereka menempuh jarak yang lumayan jauh dalam keheningan dan hanya ditemani musik yang disetel dengan suara rendah.

Sampai saat mobil William memasuki gerbang dan melewati taman kecil hingga berhenti di garasi, William dan Sarah masih membisu. William membawa Sarah menuju sebuah kamar tamu yang sedikit lebih kecil dari kamar hotel. William meletakkan paper bag milik Sarah di atas ranjang lalu menunggu Sarah selesai memperhatikan kamar barunya.

Yang paling menarik perhatian Sarah adalah laci yang di atasnya diberi busa—seperti sofa—yang menempel pada jendela. Kiri kanannya terdapat rak buku tanpa isi. Ada empat bantal di atas sofa jendela itu. Di depan ranjang terdapat bufet televisi. Di sebelah kiri ranjang terdapat lemari pakaian. Pintu kamar mandinya bersebelahan dengan pintu masuk kamar.

“Ini kamarmu,” ucap William sembari berjalan menuju pintu. “Istirahatlah. Kalau butuh apa-apa, saya ada di ruang kerja.”

Setelahnya William pergi dan menutup pintu. Dia meninggalkan Sarah dalam kebingungan besar. Dalam hati Sarah bertanya-tanya di mana letak ruang kerja milik William.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status