Share

Fifth

Mobil William terparkir di depan sebuah restoran Italia. Kaki William melangkah melewati deretan meja dan kursi yang sengaja ditaruh di luar untuk orang-orang yang ingin makan di luar ruangan. Saat William mendorong pintu kaca berkusen cokelat tua hampir hitam, bel berbunyi. Mata William bergerak-gerak mencari wajah seseorang yang dikenalinya lalu berhenti begitu seorang perempuan yang rambutnya disanggul ke atas tengah melambai. Sekretarisnya. Segera William berjalan ke arah meja yang sudah terisi oleh tiga orang.

William menyalami dua orang di sana dan meminta maaf atas keterlambatannya. Awalnya William ingin segera memulai diskusi mengenai kerja sama dirinya dengan sang klien, tetapi sekretarisnya memberi saran untuk memesan makanan pembuka lebih dahulu. Usulnya pun disetujui oleh dua orang lain yang ada di sana.

William mengambil buku menu, memperhatikan makanan apa yang cocok untuk memulai harinya. Setelah satu menit menatap buku menu, William akhirnya memutuskan untuk memesan focaccia. Pelayan datang tidak lama kemudian setelah Isa—sekretaris William—memanggilnya. William menutup buku menu dan menunggu giliran setelah sang klien menyebutkan makanannya.

“Dua fette biscottate, macchiato,” si klien menoleh pada sekretarisnya yang menunjuk satu menu, “dan cokelat panas.”

Setelah menyebutkan pesanannya, sang klien melihat ke arah William lalu tersenyum, meminta William melanjutkan pesanan. William berdeham sekali dan menatap pelayan yang tangannya siap mencatat.

“Foccacia dan espreso,” ucap William dalam satu tarikan napas. William memang menghindari makanan atau minuman dengan banyak gula saat di pagi hari.

Kini giliran Isa yang memesan. “Tolong tambahkan lagi satu fette biscottate, dan kapucino.”

Si pelayan mengangguk dan menyebutkan ulang pesanan. Dia lalu pergi setelah memastikan tidak ada pesanan yang salah. Selepas pelayan tersebut pergi, William mengambil berkas dari tas kantor yang dibawa oleh Isa. Dia membaca semua berkas dengan teliti. Apa saja yang dibutuhkan perusahaan klien dari perusahaan miliknya dan seberapa besar keuntungan yang akan William dapatkan.

William berdeham sekali dan menatap klien. “Jadi, bagaimana dengan kerja sama yang Anda tawarkan, Pak ...?” 

“Remi,” sahut si klien.

“... Remi! Ya.” William mengangguk sambil bertepuk tangan sekali lalu memasang wajah bersalah karena tidak mengingat nama si klien.

Remi mengangguk dan mulai membaca berkas yang sama yang diberikan oleh Thena, sekretarisnya. Remi pun mulai menjelaskan maksudnya dan apa saja yang dia butuhkan dari perusahaan William. Remi juga menjanjikan hasil yang sangat menguntungkan untuk William, yang tentu saja, sulit untuk ditolak William.

“Mungkin agak sulit untuk di awal, apalagi kami adalah perusahaan mode yang baru saja merintis karier,” jelas Remi.

William yang mendengarnya tersenyum. “Tapi Anda berhasil menggaet tiga penghargaan di tiga kategori berbeda.”

“Cuma keberuntungan saja.” Remi merendahkan diri yang langsung dibalas bantahan oleh William.

“Menurut saya tidak,” ucap William. “Menurut saya, Anda memang terampil dalam mengurus perusahaan Anda hingga mencapai di titik ini dan berani mengambil risiko memberikan keuntungan yang begitu besar pada saya.”

Ucapan William menggugah perasaan baru pada hati Remi. Mendengar ucapan tersebut dari seseorang yang Remi kagumi benar-benar membawa pengaruh besar. Proposal bisnisnya diterima oleh William saja Remi sudah merasa senang, apalagi mendengar pujian yang memang ditujukan untuknya.

Karena merasa malu oleh pujian William, Remi mengusap tengkuknya. “Saya benar-benar merasa tersanjung oleh ucapan Anda,” ucapnya.

Obrolan pun membahas tentang kerja sama mereka ke depannya. Isa dan Thena sibuk mencatat yang menurut mereka penting dari percakapan William dan Remi. Hingga sepuluh menit kemudian pelayan lain datang membawakan pesanan.

Focaccia milik William masih berada di dalam loyang kecil dan mengeluarkan asap. William memotong rotinya menjadi potongan seukuran gigitan dan langsung memakannya. Pikirannya tiba-tiba melayang pada Sarah. Dalam hati William bertanya-tanya apa perempuan itu sudah memakan sesuatu untuk sarapan, atau dia terlalu gengsi melakukannya? Apa pun itu, William akan mengetahuinya nanti.

Obrolan kini berganti menjadi hal yang lebih ringan, seperti keseharian yang dilakukan saat waktu renggang. Tak banyak yang dapat William katakan karena dirinya selama beberapa bulan terakhir sengaja menyibukkan diri dengan apa pun yang dapat dia lakukan. Berbanding terbalik dengan Remi yang sering kali menghadiri pesta-pesta ternama yang digelar oleh model-model terkenal atau desainer.

Pesta yang didatangi Remi selalu berakhir dengan dirinya yang tersadar di kamar bersama perempuan berbeda. Remi menceritakannya dengan bangga, seakan hal yang dilakukannya adalah suatu pencapaian yang sulit untuk dicapai orang lain. Isa dan Thena yang mendengarnya hanya memutar bola mata, sedangkan William tidak menampilkan ekspresi apa pun. Dia sibuk memakan focaccia miliknya yang hanya tersisa lima suap lagi.

Ketika semua orang sudah menghabiskan sarapannya, percakapan kembali membahas kerja sama. William sejak awal memang ingin menerima proposal yang dikirimkan oleh Remi, tetapi dia masih belum terlalu yakin. Begitu mendengar langsung rencana itu dari mulut Remi, hati William makin mantap. Surat kontrak dikeluarkan lalu dibubuhi tanda tangan dari kedua belah pihak. Setelahnya William dan Remi berjabat tangan.

“Saya tak menyangka bisa bekerja sama dengan Anda,” ucap Remi sembari membereskan kemejanya.

Ucapan Remi dibalas senyuman oleh William. “Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik ke depannya dan saling menciptakan keuntungan untuk satu sama lain.”

Karena tidak ada urusan apa pun lagi, William pamit dari restoran. Isa memberitahu William sebelumnya kalau hari ini jadwalnya kosong. Ada rasa hampa di hati William yang membuatnya menjadi gundah. Setelah setiap hari disibukkan oleh pekerjaan, William menjadi seseorang yang tidak tahan dengan hari libur. Rasanya semua masalah akan menghantam dirinya kalau dia tidak terlihat sibuk.

Pikiran William melayang sembari mengendarai mobilnya. Dia sendiri tidak tahu ingin pergi ke mana. William hanya mengikuti kata hatinya, membiarkan hatinya membawa dirinya ke suatu tempat, apa pun itu. Selama perjalanan William hanya ditemani oleh ocehan dari penyiar radio yang menceritakan pengalaman-pengalaman dari pendengarnya. Tidak begitu menarik, tetapi mampu mengusir sunyi.

Ketika mobil William berbelok menuruni jalanan, William baru tersadar dan menyadari ke mana dirinya pergi. Hotel. Tempat di mana dia menghabiskan malam setelah acara lelang. Tempat di mana perempuan itu berada, perempuan yang dibelinya. Tidak munafik, William merasa penasaran dengan kisah hidup Sarah. Pertanyaan bagaimana Sarah bisa terjebak dan berakhir dijual di pelelangan mengetuk pintu hatinya setidaknya sekali setiap satu jam.

William melakukan hal yang sama seperti saat dia pertama kali datang atau saat pergi menemui Remi. Menggunakan kartu hotelnya untuk mengakses semua fasilitas di hotel ini. Begitu sampai di depan pintu kamarnya, William tak langsung masuk, dia berdiri sejenak di sana. Lima detik. Lalu menekankan kartu pada kenop pintu. Bunyi ‘bip’ dan William pun membuka pintu.

Hal pertama yang tertangkap indra penglihatan William adalah Sarah tengah tertidur di sofa, seperti semalam. Bedanya adalah, kali ini televisi menyala dan piring bekas makanan masih ada di atas coffee table.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status