Mobil William terparkir di depan sebuah restoran Italia. Kaki William melangkah melewati deretan meja dan kursi yang sengaja ditaruh di luar untuk orang-orang yang ingin makan di luar ruangan. Saat William mendorong pintu kaca berkusen cokelat tua hampir hitam, bel berbunyi. Mata William bergerak-gerak mencari wajah seseorang yang dikenalinya lalu berhenti begitu seorang perempuan yang rambutnya disanggul ke atas tengah melambai. Sekretarisnya. Segera William berjalan ke arah meja yang sudah terisi oleh tiga orang.
William menyalami dua orang di sana dan meminta maaf atas keterlambatannya. Awalnya William ingin segera memulai diskusi mengenai kerja sama dirinya dengan sang klien, tetapi sekretarisnya memberi saran untuk memesan makanan pembuka lebih dahulu. Usulnya pun disetujui oleh dua orang lain yang ada di sana.
William mengambil buku menu, memperhatikan makanan apa yang cocok untuk memulai harinya. Setelah satu menit menatap buku menu, William akhirnya memutuskan untuk memesan focaccia. Pelayan datang tidak lama kemudian setelah Isa—sekretaris William—memanggilnya. William menutup buku menu dan menunggu giliran setelah sang klien menyebutkan makanannya.
“Dua fette biscottate, macchiato,” si klien menoleh pada sekretarisnya yang menunjuk satu menu, “dan cokelat panas.”
Setelah menyebutkan pesanannya, sang klien melihat ke arah William lalu tersenyum, meminta William melanjutkan pesanan. William berdeham sekali dan menatap pelayan yang tangannya siap mencatat.
“Foccacia dan espreso,” ucap William dalam satu tarikan napas. William memang menghindari makanan atau minuman dengan banyak gula saat di pagi hari.
Kini giliran Isa yang memesan. “Tolong tambahkan lagi satu fette biscottate, dan kapucino.”
Si pelayan mengangguk dan menyebutkan ulang pesanan. Dia lalu pergi setelah memastikan tidak ada pesanan yang salah. Selepas pelayan tersebut pergi, William mengambil berkas dari tas kantor yang dibawa oleh Isa. Dia membaca semua berkas dengan teliti. Apa saja yang dibutuhkan perusahaan klien dari perusahaan miliknya dan seberapa besar keuntungan yang akan William dapatkan.
William berdeham sekali dan menatap klien. “Jadi, bagaimana dengan kerja sama yang Anda tawarkan, Pak ...?”
“Remi,” sahut si klien.
“... Remi! Ya.” William mengangguk sambil bertepuk tangan sekali lalu memasang wajah bersalah karena tidak mengingat nama si klien.
Remi mengangguk dan mulai membaca berkas yang sama yang diberikan oleh Thena, sekretarisnya. Remi pun mulai menjelaskan maksudnya dan apa saja yang dia butuhkan dari perusahaan William. Remi juga menjanjikan hasil yang sangat menguntungkan untuk William, yang tentu saja, sulit untuk ditolak William.
“Mungkin agak sulit untuk di awal, apalagi kami adalah perusahaan mode yang baru saja merintis karier,” jelas Remi.
William yang mendengarnya tersenyum. “Tapi Anda berhasil menggaet tiga penghargaan di tiga kategori berbeda.”
“Cuma keberuntungan saja.” Remi merendahkan diri yang langsung dibalas bantahan oleh William.
“Menurut saya tidak,” ucap William. “Menurut saya, Anda memang terampil dalam mengurus perusahaan Anda hingga mencapai di titik ini dan berani mengambil risiko memberikan keuntungan yang begitu besar pada saya.”
Ucapan William menggugah perasaan baru pada hati Remi. Mendengar ucapan tersebut dari seseorang yang Remi kagumi benar-benar membawa pengaruh besar. Proposal bisnisnya diterima oleh William saja Remi sudah merasa senang, apalagi mendengar pujian yang memang ditujukan untuknya.
Karena merasa malu oleh pujian William, Remi mengusap tengkuknya. “Saya benar-benar merasa tersanjung oleh ucapan Anda,” ucapnya.
Obrolan pun membahas tentang kerja sama mereka ke depannya. Isa dan Thena sibuk mencatat yang menurut mereka penting dari percakapan William dan Remi. Hingga sepuluh menit kemudian pelayan lain datang membawakan pesanan.
Focaccia milik William masih berada di dalam loyang kecil dan mengeluarkan asap. William memotong rotinya menjadi potongan seukuran gigitan dan langsung memakannya. Pikirannya tiba-tiba melayang pada Sarah. Dalam hati William bertanya-tanya apa perempuan itu sudah memakan sesuatu untuk sarapan, atau dia terlalu gengsi melakukannya? Apa pun itu, William akan mengetahuinya nanti.
Obrolan kini berganti menjadi hal yang lebih ringan, seperti keseharian yang dilakukan saat waktu renggang. Tak banyak yang dapat William katakan karena dirinya selama beberapa bulan terakhir sengaja menyibukkan diri dengan apa pun yang dapat dia lakukan. Berbanding terbalik dengan Remi yang sering kali menghadiri pesta-pesta ternama yang digelar oleh model-model terkenal atau desainer.
Pesta yang didatangi Remi selalu berakhir dengan dirinya yang tersadar di kamar bersama perempuan berbeda. Remi menceritakannya dengan bangga, seakan hal yang dilakukannya adalah suatu pencapaian yang sulit untuk dicapai orang lain. Isa dan Thena yang mendengarnya hanya memutar bola mata, sedangkan William tidak menampilkan ekspresi apa pun. Dia sibuk memakan focaccia miliknya yang hanya tersisa lima suap lagi.
Ketika semua orang sudah menghabiskan sarapannya, percakapan kembali membahas kerja sama. William sejak awal memang ingin menerima proposal yang dikirimkan oleh Remi, tetapi dia masih belum terlalu yakin. Begitu mendengar langsung rencana itu dari mulut Remi, hati William makin mantap. Surat kontrak dikeluarkan lalu dibubuhi tanda tangan dari kedua belah pihak. Setelahnya William dan Remi berjabat tangan.
“Saya tak menyangka bisa bekerja sama dengan Anda,” ucap Remi sembari membereskan kemejanya.
Ucapan Remi dibalas senyuman oleh William. “Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik ke depannya dan saling menciptakan keuntungan untuk satu sama lain.”
Karena tidak ada urusan apa pun lagi, William pamit dari restoran. Isa memberitahu William sebelumnya kalau hari ini jadwalnya kosong. Ada rasa hampa di hati William yang membuatnya menjadi gundah. Setelah setiap hari disibukkan oleh pekerjaan, William menjadi seseorang yang tidak tahan dengan hari libur. Rasanya semua masalah akan menghantam dirinya kalau dia tidak terlihat sibuk.
Pikiran William melayang sembari mengendarai mobilnya. Dia sendiri tidak tahu ingin pergi ke mana. William hanya mengikuti kata hatinya, membiarkan hatinya membawa dirinya ke suatu tempat, apa pun itu. Selama perjalanan William hanya ditemani oleh ocehan dari penyiar radio yang menceritakan pengalaman-pengalaman dari pendengarnya. Tidak begitu menarik, tetapi mampu mengusir sunyi.
Ketika mobil William berbelok menuruni jalanan, William baru tersadar dan menyadari ke mana dirinya pergi. Hotel. Tempat di mana dia menghabiskan malam setelah acara lelang. Tempat di mana perempuan itu berada, perempuan yang dibelinya. Tidak munafik, William merasa penasaran dengan kisah hidup Sarah. Pertanyaan bagaimana Sarah bisa terjebak dan berakhir dijual di pelelangan mengetuk pintu hatinya setidaknya sekali setiap satu jam.
William melakukan hal yang sama seperti saat dia pertama kali datang atau saat pergi menemui Remi. Menggunakan kartu hotelnya untuk mengakses semua fasilitas di hotel ini. Begitu sampai di depan pintu kamarnya, William tak langsung masuk, dia berdiri sejenak di sana. Lima detik. Lalu menekankan kartu pada kenop pintu. Bunyi ‘bip’ dan William pun membuka pintu.
Hal pertama yang tertangkap indra penglihatan William adalah Sarah tengah tertidur di sofa, seperti semalam. Bedanya adalah, kali ini televisi menyala dan piring bekas makanan masih ada di atas coffee table.
Kabut mimpi perlahan mulai pergi dari kepala Sarah. Dia meregangkan tubuhnya yang kaku setelah tidur beberapa jam dan menyadari di mana dirinya sekarang. Di ranjang, seperti sebelumnya saat dirinya terbangun pagi tadi. Kepala Sarah menoleh ke arah nakas dan melihat angka lima di jam digital. Karena masih merasa mengantuk, Sarah menarik selimut dan kembali memejamkan matanya.“Kamu gak punya kasur di rumah?”Sontak mata Sarah kembali terbuka saat mendengar sebuah suara lain di kamar. Segera Sarah mendudukkan dirinya dan melihat William yang tengah bersandar di meja bar. Tangannya memegang gelas kecil berisi cairan bening. William tak lagi mengenakan pakaian formal seperti tadi pagi, melainkan sweatshirt berwarna hitam dan celana panjang berwarna abu-abu.William meminum alkoholnya, matanya tetap mengarah pada Sarah. Menatap setiap inci tubuh Sarah. Rambutnya yang berantakan khas baru bangun tidur. Matanya yang jelalatan, yang dari jarak lumayan jauh pun William dapat melihat kegelisah
Sarah mengeringkan rambutnya dengan handuk sehabis mandi. Semalam William memberikan sampo dan sabun miliknya untuk Sarah pakai sementara karena belum sempat berbelanja. William juga meminjamkan piama miliknya yang kebesaran di tubuh Sarah. Tadi saat mandi, Sarah kembali teringat sang ayah. Beberapa pertanyaan hadir di benaknya saat mengingat sosok yang kerap kali menyakiti dirinya.Bagaimana kabar sang ayah? Apa dia bertanya-tanya ke mana perginya Sarah? Apa dia khawatir karena Sarah tidak pulang-pulang? Apa mungkin dia justru senang karena Sarah tidak ada?.Apa pun itu, Sarah tidak menemukan jawabannya. Tidak sekarang, atau mungkin, tidak selamanya. Setelah rambutnya sudah lembap, tidak basah seperti sebelumnya, Sarah memutuskan untuk keluar, hanya berbalut handuk. Jantung Sarah rasanya seperti berhenti berdetak saat melihat William berada di kamarnya, sedang duduk di atas ranjang, dan lagi-lagi, s
Jessica berjalan dengan gontai menuju lift. Matanya sedikit terpejam karena kelelahan. Kegiatan pemotretannya baru saja selesai. Beberapa hari ini jadwal Jessica memang lebih padat dari sebelumnya. Butuh waktu dua menit untuk menunggu lift datang ke lantai basement. Tidak ada orang di lift dan Jessica bersyukur akan hal itu. Dia menekan tombol sebelas, tempat penthouse-nya berada.Jessica menyenderkan tubuhnya ke dinding lift dan memejamkan mata. Terbayang bathub air hangat yang penuh dengan busa yang akan menjadi tempat pelepasan rasa penat Jessica. Jessica berpikir apa yang akan dia lakukan nanti sebelum pergi tidur, mengingat besok jadwalnya kosong untuk satu hari.Lift berdenting membuat mata Jessica terbuka sempurna. Pintu lift terbuka, menampilkan jendela dengan pot kaktus sebagai pemanis. Jessica melangkah keluar, sudah tidak terlalu gontai dari sebelumnya. Kaki Jess
Mobil silver William terparkir rapi di sebelah mobil hitamnya. William tidak langsung mematikan mesin, dia duduk di kursi pengemudi dan menyenderkan tubuhnya ke senderan jok terlebih dahulu. Matanya terpejam dan napasnya berembus lelah. William memijat pangkal hidungnya, berharap pusingnya dapat sedikit hilang. Ada satu masalah rumit di kantor tadi yang menguras energi William.Pemilik butik yang juga adalah seorang manajer tempo hari tidak terima dengan keputusan sepihak William. Dia mendatangi kantor pria bersurai cokelat itu dan menolak ganti rugi, bahkan mengancam untuk membawa perkara ini ke jalur hukum. William tetap kekeh memutus kontrak dengan butik itu. Bukan hanya karena Sarah saja, tetapi William berpikir, kalau Sarah sudah menjadi korban, pasti lebih banyak korban lainnya. Pada akhirnya William yang memenangkan perdebatan itu dengan alasan yang sama yang dia berikan pada Sarah waktu perempuan itu bertanya, tetapi Wil
Remi menatap ruangan tempat dia mengadakan pesta topeng untuk merayakan lima tahun berdirinya perusahaan miliknya. Lampu kristal besar di tengah ruangan berkilauan dengan megah, ditemani lampu-lampu kecil yang menggantung dari satu lampu ke yang lain layaknya tirai. Meja-meja bundar yang dipenuhi dengan gelas berisi champagne dan kudapan. Beberapa sofa terdapat di setiap sudut ruangan. Ada panggung kecil yang digunakan para musisi untuk memainkan musik saat berdansa nanti. Selebihnya ruangan itu dibiarkan kosong dari barang, menjadi tempat untuk berdansa.Remi mengundang semua koleganya, termasuk William yang mengajak Sarah. William memberikan undangan pada penjaga pintu lalu masuk ke dalam, diikuti Sarah yang mengalungkan tangannya di lengan William. Sarah begitu terpukau dengan dekorasi ruang dansa ini, begitu pula dengan orang-orang yang hadir. Gaun mereka terlihat amat mewah di mata Sarah, membuat dirinya langsung m
Jessica baru saja mengganti gaunnya yang tidak sengaja ketumpahan champagne. Wanita itu kini menggunakan gaun hitam bertaburan kristal di bagian bawahnya. Sebelum kembali ke ruang dansa, Jessica merapikan tatanan rambutnya terlebih dahulu, kembali membubuhkan bedak dan lipstik, dan memakai topengnya. Jessica mengucapkan terima kasih pada pelayan yang membantunya mengganti gaun lalu keluar.Kaki Jessica menyusuri lorong panjang yang di kiri kanannya terdapat vas keramik tanpa bunga setiap lima meter. Tidak ada orang di sana kecuali dirinya. Jessica berbelok menuju tangga, langkahnya dengan anggun menuruni tangga. Di bawah, Jessica melihat Sarah yang sedang dibopong oleh seorang lelaki yang Jessica yakini adalah teman yang disebut Sarah sebelumnya. Melihat bagaimana interaksi mereka, Jessica tidak yakin kalau Sarah dan lelaki itu tidak hanya berteman.Sarah tampak berontak dari genggaman temannya, tanpa sengaja melepaskan topeng yang dipakai oleh temannya. Tubuh Jess
Sarah mengerjapkan matanya beberapa kali yang terasa panas. Setiap kedipan membawa rasa panas yang tidak nyaman. Sarah memperhatikan sekitar, tidak mengenali kamar tempat dia tidur. Sarah mencoba untuk bangun, tetapi kepalanya terasa amat pusing, akhirnya dia menidurkan tubuhnya kembali. Kamar yang kini ditempatinya didominasi oleh warna hitam dan putih. Di depan ranjang yang Sarah tiduri terdapat satu sofa panjang dengan coffee table di depannya.Sarah memejamkan matanya, berharap rasa pusing yang menghantam kepalanya bisa segera pergi. Sarah masih memejamkan mata saat mendengar suara pintu terbuka dan langkah kaki yang mendekat. Lalu sebuah tangan menyentuh dahinya. Tangan itu terasa dingin di kulitnya. Sarah membuka mata. Meski penglihatannya sedikit buram, Sarah tahu kalau seseorang di depannya adalah William.Seketika Sarah teringat kejadian sebelumnya. Sarah ingat dia pergi ke pesta topeng yang diadakan oleh kolega William. Sarah juga ingat meminum champagne.
Layar laptop menampilkan data-data pengeluaran dan pemasukan bulan ini, tetapi Remi tidak memperhatikan sedikit pun. Matanya memang tertuju ke sana, tetapi pikirannya berkelana ke malam pesta topeng. Remi sempat mengikuti William yang tengah membawa perempuan dari acara lelang saat itu. Namun, dia kehilangan jejak William karena seorang kolega yang menghampirinya dan mengajak berbincang. Remi tentu saja memilih menetap. Dia tidak bisa menghancurkan perusahaan yang dibangunnya dengan susah payah hanya karena seorang perempuan. Terakhir kali Remi melihat William saat lelaki itu pergi ke belakang tembok berisi lukisan sepasang kekasih yang tengah berdansa.Saat Remi tiba di tangga, dia tidak menemukan William, atau jejak ke mana koleganya itu pergi. Justru Remi menemukan Jessica tengah berdiri di tengah tangga tanpa melakukan apa pun. Keduanya berakhir berbincang bersama beberapa kolega lain dan berdansa. Remi sama sekali tidak bertemu dengan William sampai dirinya mendapat ka