Share

5

Bukan sebab ayahnya yang kaya raya, bukan pula nama ibunya yang dikenal di kalangan sosialita, Masayu mengawali bisnisnya di bidang fashion murni atas kerja kerasnya sendiri.

Bukan lulusan sekolah tata busana, kemampuannya dalam hal merancang busana tentunya diragukan banyak orang, termasuk orang tuanya sendiri. Mereka tidak setuju Masayu menjadi seorang desainer, terutama ayahnya.

Masayu dipersiapkan sejak dini untuk menjadi penerus perusahaan sementara hingga adiknya dewasa, tetapi ia lebih memilih mengejar impiannya sendiri, mengawalinya dari nol di mana ia tidak mendapatkan dukungan dari siapa pun.

Ia sering menawarkan jasanya kepada teman-teman ibunya di kalangan sosialita, memperlihatkan desain rancangannya, tetapi sering pula penolakan yang didapatnya. Mereka meragukan rancangan Masayu.

Tidak menyerah, ia terus berkarya, menciptakan desain-desain yang kreatif.

Nasib baiknya datang ketika ia memberikan hasil rancangannya sebagai hadiah ulang tahun ibunya. Seorang pengamat desain memuji pakaian yang dikenakan ibunya, sejak saat itu orang-orang mulai berkenan melirik rancangannya.

Kini, Masayu telah memiliki butik dan pelanggan tetap. Hasil rancangannya dicari-cari, pelanggannya pun bukan dari kalangan biasa. Sebagian besar adalah para sosialita dan beberapa artis terkenal. 

Namun, hasil kerja keras dan perjuangannya itu diremehkan oleh pria yang tidak dikehendaki kehadirannya.

Max berani mengkritik hasil rancangannya. Sinis, pria itu berani mengatai semua pencapaian Masayu sebab nama besar kedua orang tuanya.

Keberadaannya di dekat Masayu semakin hari semakin terasa menjengkelkan, sikapnya sangat buruk. Tidak hanya mengawal Masayu sebagaimana yang ditugaskan oleh ayahnya, pria itu juga gemar menghinanya, mengata-ngatainya dengan buruk. Mulutnya sangat pedas, kalimatnya tajam menusuk, menyakitkan didengar.

“Anjing penjaga hanya tahu soal keamanan, tidak usah sok-sokan mengkritik hasil kerja keras orang lain yang bukan menjadi bidangmu,” sindirnya pedas. 

“Kerja keras?” balasnya tak kalah sinisnya. “Tahu apa perempuan manja sepertimu mengenai kerja keras? Hidupmu terlalu manja bak tuan putri, tidak ada namanya perjuangan, mengambil suami orang pun bisa dilakukan dengan entengnya.”

“Tutup mulutmu, Max!” bentaknya berang. Mulut pria itu benar-benar sangat lancang.

“Mengapa, kamu tertampar dengan kenyataan yang kuucapkan? Aku akan terus mengingatkanmu, keberadaanku di sini adalah untuk mengawasi perempuan manja menjijikkan, tuan putri tidak berharga diri yang telah menghancurkan rumah tangga orang lain.”

Memprovokasi, Masayu tahu pria itu sedang berusaha menyulut emosinya.

Sejak awal kedatangannya, Masayu menyadari sepenuhnya, pria itu tidak menyukainya sebagaimana ia tidak menyukai sikap yang ditunjukkannya.

Ayahnya pasti telah bercerita mengenai perbuatannya yang mencoreng nama keluarganya, sehingga Max begitu merendahkannya.

Menggertakkan gigi, Masayu menahan kemarahannya. Ia sadar, mencintai pria berstatus suami tidak bisa dibenarkan, perbuatannya menjadi penyebab keretakan rumah tangga orang lain pun salah.

Namun, bukan berarti ia bersedia dihina-hina sedemikian rupa oleh pria yang baru beberapa hari dikenalnya.

“Kamu tahu, betapa aku sangat membencimu dan ingin mengenyahkanmu?” desisnya dingin.

Max terus berada di dekatnya,. Tajam matanya tak pernah lepas mengawasi setiap gerak-geriknya, sekecil apa pun. Mungkin, setiap tarikan napas Masayu pun tak luput dari pengawasannya. Itu sangat menjengkelkan, belum lagi mulutnya yang sangat pedas, semakin membuatnya ingin menendang pria itu agar enyah dari pandangannya.

“Sama, aku pun membencimu,” jawabnya enteng.

“Kalau begitu, untuk apa terus berada di dekatku? Enyah segera tanpa harus kuminta, kamu adalah neraka bagiku!”

“Kalau aku pergi, rumah tangga mana lagi yang akan kamu hancurkan?” Bergerak mendekat, Max berdiri dengan jarak yang sangat dekat darinya, hingga Masayu dapat merasakan terpaan napasnya yang panas di wajahnya. “Jangan berpikir bisa mengenyahkanku, aku ditakdirkan untuk menciptakan neraka dalam hidupmu,” lanjutnya mendesis tepat di telinga Masayu.

Kasar, Masayu mendorongnya menjauh, bahkan nyaris menamparnya. Membulat sempurna, matanya menatap penuh keberanian. “Kamu menantangku, Max? Kamu berpikir aku tidak bisa menyingkirkanku?”

“Lakukan saja kalau memang bisa.”

“Kamu akan menyesal menantangku!”

Max mendengus sinis, sangat tidak enak dihat. Pria bertubuh tinggi itu kembali ke tempat duduknya, mengawasi Masayu sembari memasang ekspresinya yang menjengkelkan. “Aku akan memberimu hadiah, jika bisa mengenyahkanku dari kehidupanmu.”

“Kita lihat saja, aku bersumpah akan membuatmu angkat kaki dari kehidupanku! Akan kupastikan kamu kehilangan muka di depan orang tuaku dan pergi dengan kepala tertunduk!” 

“Aku tidak sabar menantikannya,” balasnya, sebelah sudut bibirnya tertarik membentuk seringai ejekan.

Dan sejak saat itu, keras Masayu memikirkan berbagai macam cara untuk menyingkirkan Max. Kekesalannya berubah menjadi rasa benci yang sangat besar, memicu keingiannya pula untuk menghalalkan segala macam cara.

***

“Max, bagaimana ini bisa terjadi?” tuntut Himawan, menunjukkan lengan Masayu yang lecet dan memar keunguan.

Max mengerutkan kening, melihat Masayu memeluk ibunya sambil menangis. Ia meringis kesakitan mana kala ibunya menyentuh lengannya yang memar.

 

“Ayu kenapa, Om?” tanyanya bingung.

“Harusnya Om yang menanyakan hal itu padamu! Bagaimana Ayu bisa terluka seperti itu?”

Mana Max tahu, Masayu tampak baik-baik saja saat turun dari mobil. Perempuan itu masih bisa membalas kata-katanya dengan tajam, berdebat sepanjang perjalanan pulang dari butik.

Namun, hanya berselang tidak lebih dari dua menit, ia menangis tersedu-sedu dalam pelukan ibunya, persis seperti balita yang baru saja jatuh belajar naik sepeda

.

“Max—dia menyakitiku, Pa,” adunya.

Tak hanya Max yang terperangah, Milka dan suaminya pun terngaga mendengarnya. Mereka menatap Max dengan tatapan menuntut penjelasan.

“A—apa?” desisnya tak percaya.

“Aku tidak mau menuruti perintahnya, dia marah dan mendorongku hingga jatuh di atas aspal.”

“Ya Tuhan, Max!” 

“Itu—sama sekali tidak benar!” bantahnya, belum sepenuhnya sadar dari keterperangahannya.

“Ikut Om ke ruang kerja, Max! Kamu harus menjelaskan perbuatanmu pada Ayu!” Himawan melangkah lebar meninggalkan mereka, wajahnya keruh bak air comberan yang meluap.

Max tersadar, menatap Masayu dengan tatapan bak singa lapar. Ia terisak-isak dalam pelukan ibunya, sungguh akting yang sangat sempurna. Ratu drama itu ternyata sangat berbahaya, melebihi yang diduganya.

Memincingkan mata, Max melemparkan tatapan sarat akan ancaman. Ia akan membalas sikap perempuan itu. Max bersumpah, ia akan membuatnya jera.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status