Bukan sebab ayahnya yang kaya raya, bukan pula nama ibunya yang dikenal di kalangan sosialita, Masayu mengawali bisnisnya di bidang fashion murni atas kerja kerasnya sendiri.
Bukan lulusan sekolah tata busana, kemampuannya dalam hal merancang busana tentunya diragukan banyak orang, termasuk orang tuanya sendiri. Mereka tidak setuju Masayu menjadi seorang desainer, terutama ayahnya. Masayu dipersiapkan sejak dini untuk menjadi penerus perusahaan sementara hingga adiknya dewasa, tetapi ia lebih memilih mengejar impiannya sendiri, mengawalinya dari nol di mana ia tidak mendapatkan dukungan dari siapa pun. Ia sering menawarkan jasanya kepada teman-teman ibunya di kalangan sosialita, memperlihatkan desain rancangannya, tetapi sering pula penolakan yang didapatnya. Mereka meragukan rancangan Masayu. Tidak menyerah, ia terus berkarya, menciptakan desain-desain yang kreatif.Nasib baiknya datang ketika ia memberikan hasil rancangannya sebagai hadiah ulang tahun ibunya. Seorang pengamat desain memuji pakaian yang dikenakan ibunya, sejak saat itu orang-orang mulai berkenan melirik rancangannya. Kini, Masayu telah memiliki butik dan pelanggan tetap. Hasil rancangannya dicari-cari, pelanggannya pun bukan dari kalangan biasa. Sebagian besar adalah para sosialita dan beberapa artis terkenal. Namun, hasil kerja keras dan perjuangannya itu diremehkan oleh pria yang tidak dikehendaki kehadirannya.Max berani mengkritik hasil rancangannya. Sinis, pria itu berani mengatai semua pencapaian Masayu sebab nama besar kedua orang tuanya. Keberadaannya di dekat Masayu semakin hari semakin terasa menjengkelkan, sikapnya sangat buruk. Tidak hanya mengawal Masayu sebagaimana yang ditugaskan oleh ayahnya, pria itu juga gemar menghinanya, mengata-ngatainya dengan buruk. Mulutnya sangat pedas, kalimatnya tajam menusuk, menyakitkan didengar. “Anjing penjaga hanya tahu soal keamanan, tidak usah sok-sokan mengkritik hasil kerja keras orang lain yang bukan menjadi bidangmu,” sindirnya pedas. “Kerja keras?” balasnya tak kalah sinisnya. “Tahu apa perempuan manja sepertimu mengenai kerja keras? Hidupmu terlalu manja bak tuan putri, tidak ada namanya perjuangan, mengambil suami orang pun bisa dilakukan dengan entengnya.” “Tutup mulutmu, Max!” bentaknya berang. Mulut pria itu benar-benar sangat lancang. “Mengapa, kamu tertampar dengan kenyataan yang kuucapkan? Aku akan terus mengingatkanmu, keberadaanku di sini adalah untuk mengawasi perempuan manja menjijikkan, tuan putri tidak berharga diri yang telah menghancurkan rumah tangga orang lain.” Memprovokasi, Masayu tahu pria itu sedang berusaha menyulut emosinya.Sejak awal kedatangannya, Masayu menyadari sepenuhnya, pria itu tidak menyukainya sebagaimana ia tidak menyukai sikap yang ditunjukkannya.Ayahnya pasti telah bercerita mengenai perbuatannya yang mencoreng nama keluarganya, sehingga Max begitu merendahkannya. Menggertakkan gigi, Masayu menahan kemarahannya. Ia sadar, mencintai pria berstatus suami tidak bisa dibenarkan, perbuatannya menjadi penyebab keretakan rumah tangga orang lain pun salah.Namun, bukan berarti ia bersedia dihina-hina sedemikian rupa oleh pria yang baru beberapa hari dikenalnya. “Kamu tahu, betapa aku sangat membencimu dan ingin mengenyahkanmu?” desisnya dingin.Max terus berada di dekatnya,. Tajam matanya tak pernah lepas mengawasi setiap gerak-geriknya, sekecil apa pun. Mungkin, setiap tarikan napas Masayu pun tak luput dari pengawasannya. Itu sangat menjengkelkan, belum lagi mulutnya yang sangat pedas, semakin membuatnya ingin menendang pria itu agar enyah dari pandangannya.“Sama, aku pun membencimu,” jawabnya enteng.“Kalau begitu, untuk apa terus berada di dekatku? Enyah segera tanpa harus kuminta, kamu adalah neraka bagiku!”“Kalau aku pergi, rumah tangga mana lagi yang akan kamu hancurkan?” Bergerak mendekat, Max berdiri dengan jarak yang sangat dekat darinya, hingga Masayu dapat merasakan terpaan napasnya yang panas di wajahnya. “Jangan berpikir bisa mengenyahkanku, aku ditakdirkan untuk menciptakan neraka dalam hidupmu,” lanjutnya mendesis tepat di telinga Masayu.Kasar, Masayu mendorongnya menjauh, bahkan nyaris menamparnya. Membulat sempurna, matanya menatap penuh keberanian. “Kamu menantangku, Max? Kamu berpikir aku tidak bisa menyingkirkanku?”“Lakukan saja kalau memang bisa.”“Kamu akan menyesal menantangku!”Max mendengus sinis, sangat tidak enak dihat. Pria bertubuh tinggi itu kembali ke tempat duduknya, mengawasi Masayu sembari memasang ekspresinya yang menjengkelkan. “Aku akan memberimu hadiah, jika bisa mengenyahkanku dari kehidupanmu.”“Kita lihat saja, aku bersumpah akan membuatmu angkat kaki dari kehidupanku! Akan kupastikan kamu kehilangan muka di depan orang tuaku dan pergi dengan kepala tertunduk!” “Aku tidak sabar menantikannya,” balasnya, sebelah sudut bibirnya tertarik membentuk seringai ejekan.Dan sejak saat itu, keras Masayu memikirkan berbagai macam cara untuk menyingkirkan Max. Kekesalannya berubah menjadi rasa benci yang sangat besar, memicu keingiannya pula untuk menghalalkan segala macam cara.***“Max, bagaimana ini bisa terjadi?” tuntut Himawan, menunjukkan lengan Masayu yang lecet dan memar keunguan.Max mengerutkan kening, melihat Masayu memeluk ibunya sambil menangis. Ia meringis kesakitan mana kala ibunya menyentuh lengannya yang memar. “Ayu kenapa, Om?” tanyanya bingung.“Harusnya Om yang menanyakan hal itu padamu! Bagaimana Ayu bisa terluka seperti itu?”Mana Max tahu, Masayu tampak baik-baik saja saat turun dari mobil. Perempuan itu masih bisa membalas kata-katanya dengan tajam, berdebat sepanjang perjalanan pulang dari butik.Namun, hanya berselang tidak lebih dari dua menit, ia menangis tersedu-sedu dalam pelukan ibunya, persis seperti balita yang baru saja jatuh belajar naik sepeda.“Max—dia menyakitiku, Pa,” adunya.Tak hanya Max yang terperangah, Milka dan suaminya pun terngaga mendengarnya. Mereka menatap Max dengan tatapan menuntut penjelasan.“A—apa?” desisnya tak percaya.“Aku tidak mau menuruti perintahnya, dia marah dan mendorongku hingga jatuh di atas aspal.”“Ya Tuhan, Max!” “Itu—sama sekali tidak benar!” bantahnya, belum sepenuhnya sadar dari keterperangahannya.“Ikut Om ke ruang kerja, Max! Kamu harus menjelaskan perbuatanmu pada Ayu!” Himawan melangkah lebar meninggalkan mereka, wajahnya keruh bak air comberan yang meluap.Max tersadar, menatap Masayu dengan tatapan bak singa lapar. Ia terisak-isak dalam pelukan ibunya, sungguh akting yang sangat sempurna. Ratu drama itu ternyata sangat berbahaya, melebihi yang diduganya.Memincingkan mata, Max melemparkan tatapan sarat akan ancaman. Ia akan membalas sikap perempuan itu. Max bersumpah, ia akan membuatnya jera.Bersambung ...Ada yang berbeda dalam hidup Max, dalam lima hari ini terasa seperti ada yang hilang.Sementara yang dimaksud Milka ternyata hingga batas waktu yang tidak dapat dipastikan. Masayu masih belum kembali, ayahnya beberapa kali menghubungi Max, menanyakan keberadaannya. Namun, Max sama tidak tahunya.“Tante bilang, Ayu hanya butuh waktu menyendiri, Om. Memang Tante tidak bilang sama Om kalau sudah bertemu Ayu?”Semakin ia merasa ada yang disembunyikan perempuan itu, mana kala mendapat jawaban Himawan. Milka tidak mengatakan apa-apa pada suaminya.“Om akan menanyakannya nanti. Milka benar, kita tidak perlu berlebihan mencemaskan Ayu, dia hanya sedang merajuk, nanti juga akan kembali.”“Tapi ini sudah lima hari, Om.”“Tidak apa-apa, Max, anak itu sudah dewasa, ibunya juga sudah mengatakan dia baik-baik saja.”Mungkin memang hanya perasaan Max saja yang berlebihan, ayah dan ibunya Ma
Masayu hanya perlu waktu sebentar untuk menyendiri. Namun, tak urung ia tetap resah memikirkannya.Semalam suntuk Max tidak dapat tidur, mencari Masayu ke sana-kemari.Max baru akan datang ke kantor keesokan paginya, meminta bantuan kedua temannya untuk ikut melacak keberadaan Masayu, tetapi Milka sudah meneleponnya terlebih dahulu, memintanya berhenti mencari.“Tante sudah bicara dengannya, dia baik-baik saja,” katanya. “Tidak apa-apa, Max, tidak usah mencarinya lagi.”Ya, Max tidak perlu mencarinya, harusnya ia lega mendengar perempuan itu baik-baik saja. Namun, entah mengapa hatinya justru sebaliknya.Insting Max yang tajam mencium sesuatu yang tidak beres, hanya dengan mendengar nada suara Milka. Alih-alih kelegaan, suara perempuan itu justru seperti seorang yang sedang dilanda ketakutan.Max kian resah, ia belum bisa percaya sebelum melihatnya secara langsung.“Apakah dia sud
Rumah yang sudah 27 tahun ditempatinya, tak lagi memberikan kenyamanan. Segala kehangatan di dalamnya seolah lenyap begitu saja tanpa bekas.Hari-harinya penuh dengan perdebatan panas yang ikut memanaskan kepalanya sebab tersulut oleh amarah, membuatnya tidak betah berlama-lama di rumah.Taka da lagi tempat yang dirasanya nyaman. Di butik, ada Max yang keberadaannya sangat tidak ia harapkan. Sementara di rumah pun tak lagi menawarkan kenyamanan.Sebagaimana hari-hari sebelumnya, malam itu perdebatan sengit antara ia dan ayahnya, kembali pecah.Jika sebelum-sebelumnya duduk permasalahannya adalah keberatan Masayu yang merasa terkekang, kehadiran Max membuatnya merasa tidak diberi ruang kebebasan sama sekali, maka kali ini masalahnya lebih serius.Ayahnya baru saja kedatangan tamu yang tak lain adalah Lucas, ayahnya Max. Mereka mengobrol lama, rupanya sedang membicarakan perjodohan antara Masayu dan Max.
Sudah waktunya mereka saling bicara untuk memperbaiki hubungan, terlebih Larissa telah menjadi kakak sepupunya.Selain belum berani, selama ini Masayu sengaja memberi waktu Larissa agar siap. Perempuan itu menjadi orang yang paling terluka, hubungannya dengan Masayu pun merenggang, tentunya tidak mudah membuatnya serta-merta dapat menerima permintaan maaf Masayu. Malam itu, usai ijab qobul pernikahan Larissa dengan Ivander, ia memberanikan diri meminta waktu pada Ivander untuk mengajak Larissa bicara.Jantungnya berdetak kencang, tangannya terasa dingin, sejujurnya ia gugup dan takut, khawatir Larissa akan menamparnya, lantas mentah-mentah menolak permintaan maafnya.Sepenuhnya sadar, kesalahan Masayu terlalu besar, ia membuat perempuan itu kehilangan suami, Malik dan Larissa bercerai sebab Masayu, wajar seandainya Larissa menolak permintaan maafnya.Menarik napas, lantas menghembuskannya, demikian hingga berkali
Nama Malik kembali mencuat ke permukaan, membangkitkan kesedihannya.Pertunangan mereka telah kandas, kedua orang tuanya tidak merestui hubungannya dengan Malik. Hubungan mereka memang salah, tapi biar bagaimanapun, pria itu masih mendiami hatinya.Meski telah bertekad mengakhiri dan melupakan, tetapi tidak mudah mengenyahkan sosoknya begitu saja, terlebih Malik merupakan cinta pertamanya, satu-satunya pria yang berhasil membuat Masayu merasakan jatuh cinta.Mendengar namanya, mampu membangkitkan kesedihannya. Bertemu dengan orang yang memiliki hubungan erat dengan pria itu, membuat Masayu kembali mengingatnya.Malik pernah bercerita, ibunya sudah tua dan tinggal sendirian di desa yang sangat jauh dari ibukota.Pria itu pernah mengutarakan keinginannya untuk membawa istrinya dan mengajaknya hidup sederhana, kala itu Masayu belum tahu Malik telah memiliki seorang istri.Ia beranggapan, istri yan
“Ahmad masih suka pacaran, masih hobi mabuk-mabukan juga?” tuntut Eyang Hasna. Perempuan itu menatap Max dan Masayu bergantian.“Mabuknya sudah sembuh, tapi pacarnya ada di mana-mana,” jawab ibunya, mewakili.“Tidak, Eyang,” ralatnya kalem. “Aku tidak pernah pacaran.”“Lha, itu, yang bolak-balik ganti itu namanya apa?”“Teman kencan, Ma, beda sama pacaran.”“Intinya sama saja, sama-sama jalan dengan perempuan yang bukan mahramu,” gerutu ibunya.Eyang Hasna mengibaskan tangan, lantas memijat keningnya yang berdenyut. Max memang menjadi masalah serius dalam keluarga mereka, tidak mudah mengubahnya menjadi pria alim seperti ayahnya. “Bilang sama Abah Ulil, Lys, untuk segera menikahkan mereka.”“Eyang, tadi itu beneran tidak ada apa-apa, kok, bukan sebuah kesengajaan. Max hanya berusaha menolongku,” ulang Masayu, entah yang ke berapa, tetapi mereka tidak mau mendengar penjelasannya. Berpel