Share

6

Berbalik 180 derajat sikapnya mana kala menyambut Max keluar dari ruang kerja Budi Himawan.

Tangisnya yang sesenggukan musnah tak tersisa, air matanya palsunya entah pergi ke mana. Ia melipat kedua tangan ke dada sembari memasang sikap angkuh yang sangat menjengkelkan, bibirnya mengulas senyuman ejekan, merasa telah berhasil membuat Max dalam masalah besar.

“Bagaimana? Apakah Papa sudah berkenan memecatmu setelah menyakiti putri kesayangannya?” ujarnya dengan mimik penuh kemenangan.

Max mendengus keras, sudah menduga, ratu drama ini sedang berusaha menyingkirkannya dengan cara yang sangat kekanakan.

“Kamu sungguh kekanakan,” dengus Max, tajam matanya menatap Masayu, seolah siap menghunus jantung perempuan itu dan membuatnya sekarat.

Masayu tampak sangat menyebalkan, Max menahan diri untuk tidak mencekiknya hingga kehabisan napas.

“Persetan, aku tidak peduli, yang terpenting aku bisa menyngkirkanmu.” Masayu tertawa puas, wajahnya berseri-seri bak iblis cantik yang baru saja berhasil menjerat anak Adam untuk berbuat maksiat. “Aku sudah memintamu pergi secara sukarela, tapi kamu justru menanantangku. Jadi, rasakan saja akibatnya, kamu salah bermain-main denganku.”

“Justru kamu yang salah bermain-main denganku, Anak nakal,” balas Max. Sudut bibirnya tertarik membentuk seringaian buas, sarat akan ancaman.

Masayu tersenyum sinis, sama sekali tidak merasa terintimidasi. “Jangan khawatir, aku akan bertanggung jawab dengan perbuatanku.”

“Baguslah, kalau begitu tunggu apa lagi. Segera angkat kaki dari rumah ini dan jangan pernah menampakkan muka di hadapanku lagi.”

“Justru mulai sekarang, aku akan terus berada di sisimu.” Max mendengus keras, lantas pria itu maju beberapa langkah mendekati Masayu. Bergerak, wajahnya mendekat dan berbisik di telinganya, “Kamu ingin bermain-main denganku, aku akan melayanimu dengan senang hati.”

Masayu mengerutkan kening, senyum kepuasannya menghilang, merasa ada yang tidak beres, terlebih mana kala melihat seringai dingin yang muncul di bibirnya. Ia memincingkan mata curiga.

“Kamu harus pergi,” desisnya. “Papa pasti akan memecatmu!”

“Sayang sekali, ayahmu lebih mempercayaiku. Jangan lupakan, kedua orang tuamu telah kehilangan kepercayaan terhadapmu, jadi jangan berpikir mereka akan mempercayaimu.”

Masayu mendelik, melepaskan lipatan kedua tangannya, ganti berkacak pinggang. “Itu tidak mungkin! Mama sudah berjanji akan memecatmu!”

“Oh, ya? Kalau begitu, tagih saja janjinya,” balasnya mengejek.

Max sangat puas, melihat mimik kemenangannya lenyap berganti kekesalan. Perempuan itu memang harus diberi pelajaran. Ia bak rubah yang sangat licik, Max pun harus menghadapinya dengan kelicikan yang sama. 

Sejenak, mereka berhenti berdebat mana kala pintu ruang kerja Himawan terbuka dan muncul pria itu di sana. Himawan menatap sang putri dengan mimik jengkel, semakin membuat Masayu merasa ada yang tidak beres.

Seharusnya ayahnya marah, Max melukainya, dan memecat pria itu. Namun, alih-alih kepada Max, menilik dari ekspresinya, pria itu sepertinya justru marah pada Masayu.

 “Kamu memang keterlaluan, Yu, senang sekali mempermalukan orang tuamu,” kritiknya masam. Masayu melongo, tidak mengerti maksudnya. “Awasi dia terus, Max, jangan sampai bertindak memalukan lagi.”

“Pa—“

“Mulai sekarang, Papa mempercayakan kamu sepenuhnya pada Max. Papa tidak mau tahu, kamu harus menuruti semua perintahnya, dia berhak mengatur dan memberimu perintah,” tandasnya tanpa mau dibantah. Belum sempat Masayu mengeluarkan protes apa pun, pria itu berlalu sembari menggerutu.

Sang ayah menghilang dari pandangan mata, Masayu mengalihkan pandangan pada Max dan menatapnya dengan mata membulat marah. “Apa-apaan ini, hah! Kamu pasti sudah mengatakan sesuatu yang tidak benar kepada Papa!”

Max mengedikkan bahu tak acuh, menatap malas pada Masayu, lantas berbalik meninggalkannya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Marah, Masayu menerjangnya hingga terjengkang.

“Perempuan gila!” maki Max. Dua kancing kemejanya lepas sebab Masayu menariknya kasar. 

Kalap, Masayu memukulinya sembari mengeluarkan sumpah-serapah. Kemarahannya memuncak. Max kewalahan dibuatnya, posisinya yang telentang di atas lantai membuatnya hanya bisa menangkis pukulan perempuan itu.

Masayu sangat kalap, tenaganya lebih kuat dari para perempuan kebanyakan. Pukulan demi pukulannya cukup bertenaga. Max meringis mana kala tinju perempuan itu melayang ke wajahnya, hidungnya terasa berdenyut.

“Bajingan sialan! Kamu pasti mengatakan sesuatu yang tidak benar!”

“Sama sepertimu,” balas Max, menangkis satu pukulan yang hendak kembali meninju hidungnya, lantas menahan tangan Masayu. “Kamu juga mengatakan hal yang tidak benar pada ayahmu.”

Masayu memekik, Max mencengkeram lengannya yang memar dan terluka. Cengkeramannya semakin kuat seiring pekik kesakitannya yang kian nyaring. Kesempatan tersebut digunakan oleh Max untuk meringkusnya.

Segera, pria itu memiting kedua tangannya ke belakang, lantas menekan tubuhnya ke lantai. Masayu berteriak-teriak memaki, memancing keluar ibunya.

“Apa yang sedang kalian lakukan?!” seru Milka.

“Mama, tolongin aku, Ma! Max kembali menyakitiku!” Ia berseru dengan pipi mencium lantai, Max meringkusnya bak meringkus seorang penjahat.

“Tidak usah didengarkan, Milka,” balas ayahnya, pria itu muncul. Santai, ia justru mengambil tempat duduk di sofa dan hanya menyaksikannya tanpa berniat membantunya lepas dari Max.  “Dia memang gemar menyerang Max, Max hanya membela diri.”

Kedatangan Himawan dan istrinya, Max segera melepaskan Masayu. Pria itu beranjak dan meninggalkannya begitu saja, lantas menghempaskan diri di atas sofa dengan santai, duduk di sisi Himawan, sikapnya menunjukkan kedekatan, semakin memancing kekesalan Masayu.

“Jadi, itu yang dikatakan Max pada Papa? Aku sama sekali tidak menyerangnya!” pekik Masayu kesal.

“Tentu saja, kamu melakukannya dalam keadaan tidak sadar! Sudahlah, Papa tidak mau dengar lagi keluhanmu, kamu hanya sedang mencari-cari perhatian!”

“Papa!”

“Benar, kamu menyerang Max duluan, Yu?” tuding sang ibu, mendelik marah padanya. “Kamu sengaja memutar-balikkan fakta dan menuduh Max yang menyakitimu?”

“Ma, bukan begitu—“

“Masayu mabuk, dia menggoda Max, tetapi Max tidak meladeninya, dia berpegang teguh pada ajaran ibunya untuk selalu menghormati perempuan. Masayu marah dan menyerang Max. Mereka bertengkar, secara tidak sengaja Max mendorongnya dan membuat lengannya lecet.”

Masayu terperangah, mulutnya terngaga kehilangan kata. Itu yang dikatakan Max pada ayahnya? Ia mabuk dan menggoda Max? Pria kurang ajar!

“Ya Tuhan, Yu! Siapa yang mengajarimu mabuk, hah!” teriak ibunya histeris. “Perempuan macam apa kamu ini! Mama tidak pernah mendidikmu menjadi jalang memalukan seperti itu!”

“Itu—itu sama sekali tidak benar, Ma!” bantahnya tergagap, belum sepenuhnya sadar dari keterperangajan.

Segera Masayu tersadar mana kala menoleh pada Max dan mendapati pria itu tersenyum puas, kemarahannya menggelegak di dalam dadanya, berkobar dan siap membakar Max. Pria itu sepertinya berusaha membalas dendam kepadanya.

Penuh kemarahan, tajam ditatapnya Max sembari menggertakkan gigi. “Aku akan membuat perhitungan denganmu, Max!”

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status