Berbalik 180 derajat sikapnya mana kala menyambut Max keluar dari ruang kerja Budi Himawan.
Tangisnya yang sesenggukan musnah tak tersisa, air matanya palsunya entah pergi ke mana. Ia melipat kedua tangan ke dada sembari memasang sikap angkuh yang sangat menjengkelkan, bibirnya mengulas senyuman ejekan, merasa telah berhasil membuat Max dalam masalah besar.“Bagaimana? Apakah Papa sudah berkenan memecatmu setelah menyakiti putri kesayangannya?” ujarnya dengan mimik penuh kemenangan.Max mendengus keras, sudah menduga, ratu drama ini sedang berusaha menyingkirkannya dengan cara yang sangat kekanakan.“Kamu sungguh kekanakan,” dengus Max, tajam matanya menatap Masayu, seolah siap menghunus jantung perempuan itu dan membuatnya sekarat.Masayu tampak sangat menyebalkan, Max menahan diri untuk tidak mencekiknya hingga kehabisan napas.“Persetan, aku tidak peduli, yang terpenting aku bisa menyngkirkanmu.” Masayu tertawa puas, wajahnya berseri-seri bak iblis cantik yang baru saja berhasil menjerat anak Adam untuk berbuat maksiat. “Aku sudah memintamu pergi secara sukarela, tapi kamu justru menanantangku. Jadi, rasakan saja akibatnya, kamu salah bermain-main denganku.”“Justru kamu yang salah bermain-main denganku, Anak nakal,” balas Max. Sudut bibirnya tertarik membentuk seringaian buas, sarat akan ancaman.Masayu tersenyum sinis, sama sekali tidak merasa terintimidasi. “Jangan khawatir, aku akan bertanggung jawab dengan perbuatanku.”“Baguslah, kalau begitu tunggu apa lagi. Segera angkat kaki dari rumah ini dan jangan pernah menampakkan muka di hadapanku lagi.”“Justru mulai sekarang, aku akan terus berada di sisimu.” Max mendengus keras, lantas pria itu maju beberapa langkah mendekati Masayu. Bergerak, wajahnya mendekat dan berbisik di telinganya, “Kamu ingin bermain-main denganku, aku akan melayanimu dengan senang hati.”Masayu mengerutkan kening, senyum kepuasannya menghilang, merasa ada yang tidak beres, terlebih mana kala melihat seringai dingin yang muncul di bibirnya. Ia memincingkan mata curiga.“Kamu harus pergi,” desisnya. “Papa pasti akan memecatmu!”“Sayang sekali, ayahmu lebih mempercayaiku. Jangan lupakan, kedua orang tuamu telah kehilangan kepercayaan terhadapmu, jadi jangan berpikir mereka akan mempercayaimu.”Masayu mendelik, melepaskan lipatan kedua tangannya, ganti berkacak pinggang. “Itu tidak mungkin! Mama sudah berjanji akan memecatmu!”“Oh, ya? Kalau begitu, tagih saja janjinya,” balasnya mengejek.Max sangat puas, melihat mimik kemenangannya lenyap berganti kekesalan. Perempuan itu memang harus diberi pelajaran. Ia bak rubah yang sangat licik, Max pun harus menghadapinya dengan kelicikan yang sama. Sejenak, mereka berhenti berdebat mana kala pintu ruang kerja Himawan terbuka dan muncul pria itu di sana. Himawan menatap sang putri dengan mimik jengkel, semakin membuat Masayu merasa ada yang tidak beres.Seharusnya ayahnya marah, Max melukainya, dan memecat pria itu. Namun, alih-alih kepada Max, menilik dari ekspresinya, pria itu sepertinya justru marah pada Masayu. “Kamu memang keterlaluan, Yu, senang sekali mempermalukan orang tuamu,” kritiknya masam. Masayu melongo, tidak mengerti maksudnya. “Awasi dia terus, Max, jangan sampai bertindak memalukan lagi.”“Pa—““Mulai sekarang, Papa mempercayakan kamu sepenuhnya pada Max. Papa tidak mau tahu, kamu harus menuruti semua perintahnya, dia berhak mengatur dan memberimu perintah,” tandasnya tanpa mau dibantah. Belum sempat Masayu mengeluarkan protes apa pun, pria itu berlalu sembari menggerutu.Sang ayah menghilang dari pandangan mata, Masayu mengalihkan pandangan pada Max dan menatapnya dengan mata membulat marah. “Apa-apaan ini, hah! Kamu pasti sudah mengatakan sesuatu yang tidak benar kepada Papa!”Max mengedikkan bahu tak acuh, menatap malas pada Masayu, lantas berbalik meninggalkannya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Marah, Masayu menerjangnya hingga terjengkang.“Perempuan gila!” maki Max. Dua kancing kemejanya lepas sebab Masayu menariknya kasar. Kalap, Masayu memukulinya sembari mengeluarkan sumpah-serapah. Kemarahannya memuncak. Max kewalahan dibuatnya, posisinya yang telentang di atas lantai membuatnya hanya bisa menangkis pukulan perempuan itu.Masayu sangat kalap, tenaganya lebih kuat dari para perempuan kebanyakan. Pukulan demi pukulannya cukup bertenaga. Max meringis mana kala tinju perempuan itu melayang ke wajahnya, hidungnya terasa berdenyut.“Bajingan sialan! Kamu pasti mengatakan sesuatu yang tidak benar!”“Sama sepertimu,” balas Max, menangkis satu pukulan yang hendak kembali meninju hidungnya, lantas menahan tangan Masayu. “Kamu juga mengatakan hal yang tidak benar pada ayahmu.”Masayu memekik, Max mencengkeram lengannya yang memar dan terluka. Cengkeramannya semakin kuat seiring pekik kesakitannya yang kian nyaring. Kesempatan tersebut digunakan oleh Max untuk meringkusnya.Segera, pria itu memiting kedua tangannya ke belakang, lantas menekan tubuhnya ke lantai. Masayu berteriak-teriak memaki, memancing keluar ibunya.“Apa yang sedang kalian lakukan?!” seru Milka.“Mama, tolongin aku, Ma! Max kembali menyakitiku!” Ia berseru dengan pipi mencium lantai, Max meringkusnya bak meringkus seorang penjahat.“Tidak usah didengarkan, Milka,” balas ayahnya, pria itu muncul. Santai, ia justru mengambil tempat duduk di sofa dan hanya menyaksikannya tanpa berniat membantunya lepas dari Max. “Dia memang gemar menyerang Max, Max hanya membela diri.”Kedatangan Himawan dan istrinya, Max segera melepaskan Masayu. Pria itu beranjak dan meninggalkannya begitu saja, lantas menghempaskan diri di atas sofa dengan santai, duduk di sisi Himawan, sikapnya menunjukkan kedekatan, semakin memancing kekesalan Masayu.“Jadi, itu yang dikatakan Max pada Papa? Aku sama sekali tidak menyerangnya!” pekik Masayu kesal.“Tentu saja, kamu melakukannya dalam keadaan tidak sadar! Sudahlah, Papa tidak mau dengar lagi keluhanmu, kamu hanya sedang mencari-cari perhatian!”“Papa!”“Benar, kamu menyerang Max duluan, Yu?” tuding sang ibu, mendelik marah padanya. “Kamu sengaja memutar-balikkan fakta dan menuduh Max yang menyakitimu?”“Ma, bukan begitu—““Masayu mabuk, dia menggoda Max, tetapi Max tidak meladeninya, dia berpegang teguh pada ajaran ibunya untuk selalu menghormati perempuan. Masayu marah dan menyerang Max. Mereka bertengkar, secara tidak sengaja Max mendorongnya dan membuat lengannya lecet.”Masayu terperangah, mulutnya terngaga kehilangan kata. Itu yang dikatakan Max pada ayahnya? Ia mabuk dan menggoda Max? Pria kurang ajar!“Ya Tuhan, Yu! Siapa yang mengajarimu mabuk, hah!” teriak ibunya histeris. “Perempuan macam apa kamu ini! Mama tidak pernah mendidikmu menjadi jalang memalukan seperti itu!”“Itu—itu sama sekali tidak benar, Ma!” bantahnya tergagap, belum sepenuhnya sadar dari keterperangajan.Segera Masayu tersadar mana kala menoleh pada Max dan mendapati pria itu tersenyum puas, kemarahannya menggelegak di dalam dadanya, berkobar dan siap membakar Max. Pria itu sepertinya berusaha membalas dendam kepadanya.Penuh kemarahan, tajam ditatapnya Max sembari menggertakkan gigi. “Aku akan membuat perhitungan denganmu, Max!”Bersambung …“Mencintai suami orang? Busyet! Macam sudah tak ada pria lajang yang menarik saja,” decak Rayhan sembari tertawa ngakak. “Jangan-jangan karena dia ompong, jadi gak laku sampai-sampai suami orang pun diembatnya?”“Dia sudah tidak ompong,” balas Max, ia mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya, lantas menyulutnya. “Dan cantik sekali.”Rayhan urung menyesap kopinya, ia menoleh, saling berpandangan dengan Dimas. “Kamu dengar itu, Dim?”“Dia sangat cantik,” gumam Dimas, keningnya berkerut dalam. “Baru kali ini aku mendengar Max memuji kecantikan seorang perempuan, tentunya selain ibunya.”“Aku tidak memuji,” bantah Max, “Hanya mengatakan yang sebenarnya.”“Bianca juga cantik, tapi kamu tidak pernah mengatakannya. Satu-satunya perempuan yang kamu sebut cantik hanyalah ibumu, dan sepertinya sekarang bertambah satu lagi.”Terdiam, Max menyesap rokoknya nikmat, lantas menghembuskan asapnya ke udara, membe
Tawa Ivander menyembur keras, puas sekali ia menertawakan kekesalan adik sepupunya.Jengkel, Masayu mendelik tajam sembari melemparinya bantal sofa, merasa percuma menceritakan kedongkolannya pada Ivander.Pria itu sedang berbahagia, sebentar lagi akan menikah dengan perempuan yang dicintainya. Dunianya di sekitarnya terasa berwarna, mana mungkin dapat melihat keruh wajah Masayu.“Dia bajingan bukan? Pokoknya kamu harus membantuku menyingkirkan dia. Bayangan, Van, bayangkan! Dia bilang ke Papa aku mabuk dan menggodanya, Ya Tuhan! Bedebah itu bilang, tidak tertarik padaku meski aku sangat cantik dan menggoda, dia tidak mau meladeni sebab memegang teguh ajaran ibunya untuk menghormati perempuan. Cih, sok alim! Aku harus cari kebobrokannya, aku yakin dia tidak sealim itu!”“Max memang tidak suci, tapi bukan pria bajingan seperti yang kamu tuduhkan.” Tawa Ivander memelan, ia sampai batuk-batuk menertawakan adik sepupunya. “Mungkin memang kamu yang tidak menarik di matanya.”“Sialan kamu,
Butik selalu sepi ketika pagi hari, untuk itu, Masayu sengaja datang terlambat, toh tidak ada sesuatu yang mendesak.Sebenarnya Masayu tidak perlu datang ke butik setiap hari, kecuali untuk bertemu dengan klien secara khusus, sudah ada asisten dan karyawan butik yang dapat menghandel segalanya.Namun, terbiasa berjuang dan bekerja keras sejak awal, ia tidak bisa membiarkan semua urusan ditangani orang lain.Masayu lebih senang mengerjakan banyak hal sendiri, termasuk menemui para tamu yang datang ke butik. Ia sering turun tangan langsung untuk melayani para tamu, ketika karyawannya sedang istirahat.Pukul 10 pagi, ia baru tiba di butik setelah mengerjai Max habis-habisan. Wajahnya berseri-seri, sarat akan kepuasan. Mungkin ibunya akan mengomelinya setelah menyadari perbuatannya, tetapi Masayu tidak peduli, yang terpenting ia berhasil membuat Max kesal setengah mati.Bunyi gemericik air shower terdengar dari kamar mandi. Masayu cekikikan puas. Max sedang mandi di kamar mandi butiknya s
Kehidupan di kalangan orang-orang beruang, tidak selamanya seindah dalam novel-novel yang dibaca Masayu semaja remaja.Suami tampan dan setia, uang yang mengalir bak air bah, hidup bahagia dan penuh kasih sayang. Sangat sempurna untuk sebuah dongeng, tetapi tidak dalam kehidupan realita.Nyatanya, selain para selebriti yang memang membutuhkan sebagai penunjang penampilan, orang-orang yang datang ke butik Masayu banyak juga dari kalangan para sosialita yang kesepian, salah satunya Tante MirnaSudah dua tahun Tante Mirna menjadi pelanggan tetap, boleh dibilang ia merupakan pelanggan sejak Masayu masih berjuang, belum mendirikan butik seperti sekarang. Tante Mirna cukup dekat dengannya dan sering mengeluhkan hidupnya yang dirasa sangat tidak adil.Suaminya kaya raya, tetapi tidak setia. Setahun terakhir, Tante Mirna terlibat perang dingin dengan suaminya, mereka hidup seatap tetapi bak orang asing yang tidak saling mengenal.Tante Mirna sangat kecewa dengan suaminya setelah perselingkuha
“Max minta ijin, besok tidak akan mengawalmu, katanya akan menemani ibunya mengunjungi adiknya di pesantren,” kata Himawan.Bak madu, Masayu mengula senyuman. Ia mengangkat kepala dari sketsa gambar yang sedang dikerjakannya. “Baguslah, ijin selamanya juga tidak apa-apa.”“Kakmu kedengarannya sangat senang, Yu,” balas Himawan masam. “Katanya mau memperbaiki sikapmu padanya?”“Aku tidak suka Max, Pa, dia sangat menyabalkan.”“Yang kamu sebut menyebalkan itu adalah calon suamimu, Yu.”“Papa sedang mengajakku bercanda? Tumben sekali, biasanya Papa selalu serius. Mama aja dibikin cepat tua punya suami gak pernah bisa diajak guyon.”Himawan bergerak, menjitak kepala putrinya gemas. “Siapa yang bercanda? Papa sama Om Lucas sudah sepakat akan menjodohkan kalian.”Mengaduh, Masayu meletakkan pensil di tangannya, lantas menatap sang ayah dengan sorot ngeri. “Itu gak bener, kan?”“Tanya saja sama Max, kalau kamu tidak percaya.”Ayahnya sudah pasti mengira Masayu akan menjerit histeris,
Pesantren adalah dunia yang sangat asing baginya, Masayu lebih memilih kabur dibanding harus menuruti kemauan ayahnya untuk tinggal di sana.Terjadi drama terlebih dahulu antara Masayu dan ibunya. Masayu mengira akan disuruh tinggal di pesantren, ia marah-marah, merayu ibunya, bahkan meratap, menolak pergi.Melihat pakaian-pakaian muslimah baru yang dibeli ibunya, sudah tertata rapi di dalam koper, Masayu benar-benar cemas luar biasa. Tidak dapat membayangkan hidupnya di tempat asing dan suasana yang asing pula.Merengek, Masayu merayu ibunya untuk mengurungkan niatnya. Adiknya yang sangat menyebalkan pun ikut-ikutan menakut-nakuti. Menurut Gio, pesantren adalah tempat yang mirip dengan penjara, di mana kebebasan Masayu benar-benar direnggut.Selain tidak boleh melihat dunia luar, Masayu jugs tidak diperbolehkan membawa ponsel dan alat elektronik lainnya. Membayangkan harus hidup tanpa ponselnya saja, Masayu sudah ketakutan setengah mati.“Ma, butikku bagaimana? Pelangganku bagaimana?
Malu, perasaan itu tumbuh dengan sendirinya meski keluarga Tante Lysa tidak mengatakan apa-apa.Mengenakan celana jeans yang menjadi pakaian sehari-harinya, dipadukan dengan kaos longgar, sementara rambutnya yang sebahu diekor kuda, penampilan paling sopan yang pernah diperlihatkannya. Namun, tetap saja, di tempat itu Masayu merasa penampulannya sangat terbuka.Lingkungan di sekitarnya jauh berbeda dengan di Jakarta. Di sini, jangankan perempuan dewasa, anak-anak SD pun semuanya mengenakan pakaian tertutup, dari ujung kepala hingga ujung kaki.Eyang Hasna tidak mengatakan apa-apa, demikian pula dengan Tante Lysa, mereka mengobrol banyak di rumah, ramah menanyainya banyak hal. Eyang Hasna sangat baik, lembut seperti Tante Lysa, sama sekali tidak menyinggung-nyinggung soal penampilannya yang tidak wajar di sana.Menjelang sore, Tante Lysa mengajak Masayu berkunjung ke rumah Abah Ulil. Tidak lebih dari 100 meter dari rumah Eyang Hasna, Masayu bersama perempuan itu berjalan kaki. Namun, r
Senyuman Umik Salma dan Tante Lysa mengembang lebar, melihat kemunculan Masayu bersama Nahla.Malu-malu, Masayu ikut bergabung bersama mereka, penampilan barunya membuatnya semakin memancarkan aura kecantikannya.Dibalut gamis panjang yang dibelinya bersama Nahla dan Max, Masayu memadukan penampilannya dengan jilbab warna senada. Nahla mengajarinya cara menggunakan jilbab, simpel, hanya jilbab segitiga yang dijepit menggunakan peniti.Masih belum sempurna, tetapi sudah cukup baik untuk seseorang yang sepanjang 27 tahun hidupnya belum pernah mengenakan jilbab.Dengan penampilannya, Masayu merasa menyatu dengan lingkungan sekitar, tidak lagi merasa menjadi alien yang baru turun ke bumi.“Ayu cantik sekali, Nduk,” kata Umik Salma. Perempuan tua yang lemah lembut itu tersenyum, mengaguminya, Masayu tersipu malu.Seluruh keluarga Tante Lysa memiliki cara yang unik menegur seseorang. Mereka tidak menegurny