Share

3

“Adiknya Ahmad nyantri di Batang, di tempat mbahnya. Mbak Milka tidak berkenan membawa Ayu ke sana saja? Banyak anak-anak bermasalah yang dibawa ke sana, mereka dididik dengan tegas untuk menjadi pribadi yang lebih baik."

Max mendengar percakapan ibunya bersama keluarga Himawan di ruang tamu. Sejujurnya ia malas harus menemui mereka, apa lagi kalau membahas urusan perjodohan, tetapi tidak punya pilihan lain.

Usai mandi dan berganti pakaian santai, Max mendatangi mereka dan ikut bergabung di ruang tamu, mendengarkan keluhan keluarga Himawan mengenai tingkah putrinya yang sudah keterlaluan. Mereka hanya datang berdua, Masayu yang sedang menjadi bahan pembahasan tidak ikut serta.

“Ayu bukan perempuan relijius seperti Nahla, Lys. Dia pemberontak dan suka kebebasan, terlebih dia bukan anak-anak lagi, aku tidak yakin dia bisa dipaksa untuk tinggal di pesantren,” keluh Milka.

“Aku juga belum berpikir ke sana,” timpal suaminya.

“Saat ini, aku hanya perlu mengawasinya setiap tingkahnya. Aku benar-benar berharap Max bersedia menerima perjodohan dengannya, pria seperti Max yang bisa mengendalikannya agar tidak semakin menjadi-jadi.”

“Aku tentu senang kita jadi besanan, tapi tetap saja aku akan mengembalikannya kepada Max. Dia yang akan menjalani, jadi dia juga yang membuat keputusan,” jawab Lucas. “Bagaimana, Max?”

“Yang penting tidak ada pacar-pacaran, Mama setuju kalau mereka langsung menikah.”

“Ma,” protes Max. “Mama selalu membicarakan pernikahan.”

“Jadi, kamu maunya pacaran, begitu? Ahmad, kamu sudah dewasa, Nak, bahkan sudah sangat matang, sudah waktunya menikah. Mama paling sebel kalau dengar kamu pacaran! Sudah ratusan kali Mama menasehatimu untuk tidak pacaran!”

“Aku tidak akan pacaran, lagi pula aku sama sekali belum pernah melihatnya,” keluhnya masam.

Budi Himawan buru-buru mengeluarkan ponselnya, membuka galeri foto, lantas menyerahkannya pada Max.

“Dulu sewaktu kecil dia sangat lengket padamu, Max. Dia sekarang sudah dewasa dan tidak ompong lagi.”

Dan tentunya sangat cantik, Max mengakuinya dalam hati, menatap layar ponsel yang menampakkan foto seorang perempuan. Masayu kecil yang diingatnya tidak secantik ini.

Masayu dewasa jauh berbeda. Ia begitu memikat dengan posenya yang diambil secara diam-diam. Tawanya tampak sangat alami, menampakkan gigi-giginya yang putih dan rapi, tidak ompong sebab terlalu banyak makan permen dan coklat. Rambutnya terurai sebahu, tidak ada kepang dua khasnya semasa kecil. Ia benar-benar telah berubah seratus persen.

Namun, cantik saja tidak cukup untuk Max, yang lebih cantik darinya sangat banyak, dan Max bisa mendapatkannya dengan mudah. Seperti kata Rayhan, sebajingan-bajingannya seorang pria, ia pasti menginginkan perempuan baik-baik sebagai istrinya.

Masayu tidak termasuk perempuan baik-baik menurut versi Max, sikapnya yang dikeluhkan kedua orang tuanya sudah menjadi nilai negatif untuknya.

Jikalaupun Max akan menikah, maka ia akan menikahi perempuan baik-baik seperti ibunya.

Perempuan relijus yang sangat menghargai seorang pria, lemah lembut, dan menyayangi keluarga. Dan sepertinya, Masayu jauh dari semua itu, ia seorang pemberontak yang menyukai kebebasan, jauh dari tipe perempuan yang diinginkan Max.

“Begini saja,” kata Lucas bijak. “Alangkah baiknya kamu temui dulu Ayu, kamu bisa mengenalnya pelan-pelan, kalau memang menurutmu tidak cocok, kami tidak akan memaksa.”

“Aku setuju, Lucas. Kita memang sangat berharap kalian menikah, tetapi kami tidak akan memaksa. Meski kami paksakan seperti apa pun, kalau bukan jodohnya, tetap tidak akan bisa bersatu. Hanya saja, mencoba mengenal adalah salah satu usaha.”

“Untuk sementara Max akan menjadi pengawal Ayu,” anggul Lucas setuju. “Kamu akan segera menemuinya, Max.”

“Yang penting ingat terus pesan Mama, ya, Nak. Jangan pernah melanggar ajaran yang Mama ajarkan padamu. Kamu sudah tahu bagaimana harus memperlakukan lawan jenismu,” imbuh sang ibu mewanti-wanti.

Tidak kontak fisik dengan lawan jenis, menjaga pandangan, dan tidak boleh pacaran, hal yang berhasil diterapkan kepada Nahla, saudara seayah beda ibu.

Namun, tidak dengan Max. Sejak remaja ia sudah bergaul dengan bebas, tidak ada yang memberinya ajaran-ajaran seperti yang dilakukan ibu tirinya. Ia dan ayahnya nyaris tidak ada bedanya, sebelum kedatangan ibunya yang mampu mengubah seluruh hidup ayahnya.

Meski berhasil mengubah ayahnya dari seorang bajingan menjadi pria alim, tetapi tidak mudah mengubah Max menjadi relijius seperti Nahla yang sejak kecil dididik dengan ketat dan dikirim ke pesantren. Max dan adiknya bagaikan langit dan bumi, dan hal itu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi ibunya.

Ibunya akan mengomel, menasehatinya panjang lebar setiap kali Max berhubungan dengan perempuan, melarangnya pacaran dan terus memintanya untuk segera menikah. Katanya, untuk menghindari dosa besar bernama zina, kalimat yang sudah ratusan kali didengarnya.

Keesokan harinya, max benar-benar menemuinya. Ia melihat Masayu dari jarak yang begitu dekat, perempuan itu jauh lebih cantik dari yang dilihatnya dalam foto. Namun, lagi-lagi kecantikan tidak cukup untuknya.

Hanya pada pertemuan pertama, Max sudah lamgsung dapat menyimpulkan dan yakin sekali, seterusnya mereka tidak akan cocok.

Masayu benar-benar pemberontak seperti yang dikatakan kedua orang tuanya. Sikapnya menyebalkan dan sangat tidak bersahabat. Namun, satu hal yang menarik darinya, ia gemar menentang Max.

Bersambung …

part 4

“Mencintai suami orang? Busyet! Macam sudah tak ada pria lajang yang menarik saja,” decak Rayhan sembari tertawa ngakak. “Jangan-jangan karena dia ompong, jadi gak laku sampai-sampai suami orang pun diembatnya?”

“Dia sudah tidak ompong,” balas Max, ia mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya, lantas menyulutnya. “Dan cantik sekali.”

Rayhan urung menyesap kopinya, ia menoleh, saling berpandangan dengan Dimas. “Kamu dengar itu, Dim?”

“Dia sangat cantik,” gumam Dimas, keningnya berkerut dalam. “Baru kali ini aku mendengar Max memuji kecantikan seorang perempuan, tentunya selain ibunya.”

“Aku tidak memuji,” bantah Max, “Hanya mengatakan yang sebenarnya.”

“Bianca juga cantik, tapi kamu tidak pernah mengatakannya. Satu-satunya perempuan yang kamu sebut cantik hanyalah ibumu, dan sepertinya sekarang bertambah satu lagi.”

Terdiam, Max menyesap rokoknya nikmat, lantas menghembuskan asapnya ke udara, membentuk pola abstrak sebelum kemudian memudar secara perlahan dan hilang. Sadar telah salah berucap, buru-buru ia meralatnya, “Sikapnya menyebalkan. Tidak ramah, dingin, dan jutek.”

“Kurasa memang itulah yang menjadi daya tariknya, tentunya selain kecantikan parasnya.” Rayhan mengangkat cangkir kopinya. “Mari bersulang, Dim, kita harus mengucapkan selamat pada sahabat bejat kita.”

“Kamu yang bejat!” maki Dimas. Rayhan terkekeh. "Max pria baik-baik."

“Selamat untuk apa?” dengus Max. “Aku tidak sedang memenangkan lotre berhadiah besar.”

“Selamat, kurasa perjodohan antara kamu dan Ayu akan berhasil. Entahlah, instingku sangat kuat, dan sejauh ini belum pernah meleset.”

“Pria bebas seperti Max memang cocok dengan perempuan berkarakter seperti Ayu. Mari bertaruh, Ray, Max benar-benar akan dibuat jatuh cinta padanya.” Dimas ikut mengangkat cangkir kopinya, ia dan Rayhan bersulang sembari terkekeh.

Benar yang dikatakan oleh Rayhan, menyebalkan justru menjadi daya tarik Masayu. Perempuan itu sangat tidak bersahabat, ia gemar menentang Max, melawan semua perintahnya, memprovokasi Max untuk menyulut kemarahannya.

Dalam 35 tahun hidupnya, baru kali ini ada seorang perempuan yang begitu berani pada Max, menentang perintah-perintahnya, dan bersikap kurang ajar padanya.

Hanya dari pertemuan pertama, Max sudah dapat menduga, perempuan itu tidak menyukai keberadaannya. Namun, justru itulah yang membuat Max memutuskan untuk menerima tawaran keluarga Himawan. Ia akan menjadi pengawal perempuan itu, mengendalikan kekeraskepalaannya akan menjadi sangat menyenangkan untuknya.

***

“Pe—pesantren? Yang benar saja, Ma!” teriak Masayu, nanar matanya menatap kedua orang tuanya dengan sorot sakit hati.

Semarah-marahnya mereka, tidak disangkanya tega bermaksud membuangnya ke tempat antah-berantah yang jauh dari kehidupannya selama ini.

Apakah orang tuanya berpikir, Masayu adalah anak kecil yang masih bisa dikendalikan sesukanya?

Seorang pria tiba-tiba datang, mengaku sebagai pengawalnya. Sialnya, pria itu sangat menyebalkan, bukan jenis pengawal yang akan tunduk pada perintah Masayu, melainkan sebaliknya.

Pria yang mengaku bernama Max itu justru memperlakukannya dengan keterlaluan. Alih-alih patuh kepada Masayu, ia justru bersikap penuh kuasa, seolah-olah memiliki hak untuk mengatur dan mengendalikan segala hidup Masayu.

Kesal dan marah, tentunya ia tidak menerimanya begitu saja. Namun, protesnya justru ditanggapi dengan hal yang tak kalah mengejutkannya. Orang tuanya memberi dua pilihan tidak masuk akal.

“Ya, pesantren. Pilihanmu hanya ada dua, terima Max jadi pengawalmu atau kami akan mengirimu ke pesantren,” jawab sang ayah tegas.

“Aku tidak suka Max, Pa,” rengeknya, jusrus terakhir yang dimiliknya.

Biasanya, ibunya akan luluh kalau ia sudah menampakkan wajah memelas dan merengek, meski usianya sudah tidak pantas lagi untuk melakukan trik tersebut, lantas ibunya yang akan meluluhkan ayahnya agar Masayu lolos dari hukuman apa pun.

Namun, kali ini mereka benar-benar tidak bisa dibantah. Wajah ibunya yang selalu dinaungi kelembutan, kali ini tampak keruh dan tidak bersahabat. Sang ayah yang keras, semakin menampakkan ketegasannya.

“Papa tidak memintamu menyukainya, Max hanya akan mengawalmu, mengawasi semua gerak-gerikmu agar tidak bertingkah memalukan lagi,” dengus sang ayah.

“Pa—“

“Sudah, tidak usah banyak protes, atau sekarang juga kemasi barang-barangmu, Mama akan meminta Mang Dirman untuk membawamu ke pesantren! Tinggal di pelosok, renungi kesalahan-kesalahanmu di sana dan tobat!”

Kekesalannya memuncak, tetapi tidak ada yang dapat dilakukannya. Masayu hanya menatap masam mana kala Max kembali datang untuk mengawasinya. Pagi harinya seketika suram melihat wajah dingin pria itu telah tiba di meja makan, ikut sarapan bersama keluarganya.

Masayu tahu, kedua orang tuanya sangat kecewa kepadanya, mereka mengabaikannya di meja makan. Dibanding mengajak Masayu bicara, mereka lebih suka ngobrol dengan Max, melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang dijawab singkat oleh Max.

Hanya dalam dua hari kedatangan pria itu dalam hidupnya, Masayu merasa kehilangan banyak hal, termasuk perhatian orang tuanya, semakin menambah kebenciannya pada Max.

“Titip Ayu, Max, dia perlu pengawasan ketat. Om tidak ingin terjadi sesuatu lagi padanya,” kata Budi Himawan. Masayu hanya memutar bola mata sembari menekuri sarapannya.

“Jangan khawatir, Tuan, saya akan melakukan tugas saya sebaik mungkin.”

“Jangan terlalu formal, Max, panggil saja om seperti sebelum-sebelumnya.”

Muak, Masayu segera bangkit begitu menyelesaikan sarapannya. Namun, ayahnya berteriak, memintanya untuk menunggu Max.

“Satu lagi, Yu, tinggalkan butikmu dan mulai belajar menggantikan Papa di perusahaan!” titahnya.

“Papa tidak bisa memintaku meninggalkan semua yang kusukai!” bantahnya sengit. Menghentakkan kaki, Masayu mengabaikan mereka dan melangkah lebar-lebar.

Ia telah kehilangan pria yang dicintai, satu-satunya yang disukainya kini hanyalah butik yang dibangunnya susah-payah, tidak akan dibiarkannya sang ayah mengambilnya juga.

Namun, selebar apa pun langkahnya, ternyata masih juga bisa tersusul dengan mudah oleh langkah-langkah Max. Pria itu telah berjalan beberapa langkah mendahului Masayu, membukakan pinutu mobil untuknya.

“Memang aku mengatakan padamu, kalau aku bersedia semobil denganmu?” ujarnya sembari mendengus dingin. “Minggir, aku akan pergi sendiri!”

“Aku tidak menerima perintah dari seorang tawanan,” balasnya datar, tanpa ekspresi apa pun.

“Tawanan, katamu?” Masayu memincingkan mata sengit. “Kamu hanyalah seorang pengawal yang digaji ayahku, sama saja kamu adalah pembantuku! Pembantu sudah selayaknya mematuhi perintah majikan!”

“Sayang sekali, aku dibayar untuk tidak mematuhi perintahmu.”

“Kurang aj—aw!” Masayu memekik keras, Max mendorongnya kasar masuk ke dalam mobil.

Belum sempat Masayu memarahinya, dengan cepat pria itu menutup pintu mobil tepat di depan hidung Masayu, lantas berlari kecil dan menyusul masuk.

Duduk tenang di balik kemudi, mengabaikan tatapan membunuh yang dilayangkan Masayu.

Mimpi buruk, Max benar-benar mimpi buruknya. Hari-hari tenangnya akan segera berakhir oleh kedatangan pria kasar ini.

Bersambung …

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status