Home / Romansa / Tersandung Cinta Tuan Muda / Bab 2: Pria dengan Tatapan Mematikan

Share

Bab 2: Pria dengan Tatapan Mematikan

Author: Melsya Aulia
last update Last Updated: 2025-03-05 23:49:10

Naira masih bisa merasakan jantungnya berdebar keras setelah pertemuannya dengan Revan Alexander di ruangannya tadi. Pria itu begitu dingin dan mendominasi, tetapi ia berhasil menahan diri dan tidak menunjukkan kelemahannya.

Saat ini, ia tengah duduk di meja kerja barunya, mencoba memahami tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Selembar agenda dengan jadwal rapat dan daftar tugas Revan tergeletak di hadapannya. Tangannya menggenggam pulpen erat-erat, berusaha mencerna setiap detail tanpa melewatkan apa pun.

Namun, ketenangan yang baru saja ia rasakan buyar ketika suara langkah kaki berat bergema di ruangan itu. Suara sepatu menginjak lantai marmer terdengar tegas dan penuh otoritas. Naira mengangkat wajahnya, dan detik itu juga ia merasakan hawa dingin yang lebih menusuk dibandingkan sebelumnya.

Seorang pria dengan jas abu-abu berdiri di depan meja kerjanya, menatapnya dengan ekspresi tak bersahabat. Matanya yang tajam dan gelap menelusuri wajah Naira seolah sedang menilai sesuatu.

“Siapa kau?” tanyanya dengan nada datar, tapi tajam.

Naira berusaha tetap tenang, meskipun ada ketegangan yang menjalar di tubuhnya.

“Saya Naira, asisten pribadi Tuan Revan,” jawabnya, berusaha mempertahankan nada suaranya tetap stabil.

Pria itu mengangkat alisnya sedikit, lalu menghela napas pendek seolah tidak puas dengan jawaban tersebut.

“Jadi ini keputusan Revan?” gumamnya, sebelum tatapannya kembali terkunci pada Naira. “Apa kau yakin bisa menangani pekerjaan ini?”

Nada suaranya mengandung tantangan, seolah ia meragukan kemampuannya.

Naira menegakkan bahunya. “Saya akan melakukan yang terbaik.”

Pria itu mendekat, menyandarkan satu tangan di meja, membuat jarak mereka semakin dekat. Tatapan tajamnya membuat Naira menahan napas.

“Aku tidak percaya pada orang yang mudah membuat kesalahan,” katanya dengan nada rendah. “Dan aku benci kelalaian.”

Naira semakin bingung. Apa maksud pria ini? Apa yang sudah ia lakukan hingga dianggap lalai?

Seolah membaca pikirannya, pria itu menambahkan, “Revan tidak pernah sembarangan memilih orang, tapi aku tidak yakin kau memenuhi standarnya.”

Detik itu juga, Naira menyadari siapa pria ini.

Adrian.

Nama yang disebut Revan saat di ruangan tadi.

Dari cara bicaranya, jelas bahwa ia adalah seseorang yang cukup berpengaruh. Entah sebagai tangan kanan Revan atau seseorang yang memiliki posisi tinggi di perusahaan ini.

Namun, bukan berarti ia akan mundur hanya karena tatapan mematikan itu.

Naira menarik napas dalam, lalu membalas tatapan Adrian dengan penuh tekad.

“Saya memang baru di sini, tapi saya akan bekerja keras untuk membuktikan kemampuan saya.”

Sebuah senyum tipis—atau lebih tepatnya, seringai sinis—terbentuk di bibir Adrian.

“Kita lihat saja.”

Sebelum Naira bisa menjawab, pintu ruang kerja terbuka dan Revan masuk dengan ekspresi dinginnya seperti biasa.

Tatapan pria itu langsung mengarah pada Adrian dan Naira.

“Ada masalah?” tanyanya, suaranya datar tapi penuh kewibawaan.

Adrian menarik diri dari meja kerja Naira, lalu menggeleng pelan. “Tidak. Aku hanya ingin memastikan apakah asisten barumu benar-benar bisa diandalkan.”

Revan tidak memberikan reaksi berlebihan. Ia hanya menatap Naira sesaat sebelum akhirnya beralih pada Adrian.

“Dia sudah kuputuskan.”

Adrian menghela napas pelan, lalu tersenyum tipis. “Baiklah. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti ada masalah.”

Revan tidak menanggapi. Ia berjalan menuju mejanya, sementara Adrian melirik Naira sekilas sebelum akhirnya melangkah keluar dari ruangan.

Setelah Adrian pergi, Naira menghembuskan napas yang tidak ia sadari telah ia tahan sejak tadi.

Pria itu benar-benar mengintimidasi.

Namun, ia tidak akan membiarkan dirinya takut. Ini adalah awal dari pekerjaannya di sini, dan ia akan membuktikan bahwa ia pantas berada di posisi ini.

Tanpa ia sadari, Revan masih berdiri di dekatnya, memperhatikannya dalam diam.

“Jangan biarkan Adrian mengintimidasi dirimu,” ucap Revan tiba-tiba.

Naira menoleh, sedikit terkejut.

“Dia hanya tidak percaya pada orang baru,” lanjutnya, sebelum akhirnya kembali fokus pada berkas-berkasnya.

Naira mengangguk pelan.

Mungkin benar, tetapi ia bisa merasakan bahwa ini bukan hanya soal kepercayaan.

Adrian jelas bukan tipe orang yang mudah ditaklukkan, dan ia merasa ini bukan pertemuan terakhir mereka dengan ketegangan seperti tadi.

Namun, ia siap.

Apapun yang terjadi, ia tidak akan mundur.

Setelah Adrian pergi, ruangan kembali sunyi. Namun, efek dari pertemuan itu masih tertinggal di dada Naira. Ia merasakan ketegangan yang begitu nyata dari pria itu. Adrian jelas bukan orang yang mudah diprediksi, dan dari cara ia berbicara, Naira bisa menebak bahwa pria itu sangat melindungi Revan.

Naira masih berdiri di tempatnya, mencoba mengatur kembali pikirannya. Tapi suara Revan yang terdengar dingin memecah lamunannya.

"Kembali bekerja," perintahnya tanpa menoleh.

Naira segera duduk kembali di kursinya dan mulai memeriksa dokumen yang ada di mejanya. Namun, pikirannya tidak bisa sepenuhnya fokus. Satu hal yang ia sadari sejak masuk ke perusahaan ini adalah bahwa dunia ini jauh lebih keras daripada yang ia bayangkan.

Aku harus bisa bertahan.

Saat Naira sedang mencoba memahami isi dokumen di depannya, tiba-tiba telepon kantornya berbunyi. Ia segera mengangkatnya.

"Ya, ini asisten Tuan Revan," ucapnya dengan nada profesional.

"Nona Naira, saya dari departemen keuangan. Ada beberapa dokumen yang harus segera ditandatangani oleh Tuan Revan. Bisa Anda antar ke ruangannya sekarang?"

Naira menoleh ke arah pria yang masih sibuk membaca berkas di mejanya. Ia ragu sejenak, tapi akhirnya menjawab, "Baik, saya akan segera membawanya."

Setelah menutup telepon, ia segera mengumpulkan dokumen yang disebutkan dan berdiri. Namun, sebelum ia sempat melangkah, suara berat Revan menghentikannya.

"Mau ke mana?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari berkas yang sedang ia baca.

Naira menelan ludah. "Saya diminta mengantar dokumen dari departemen keuangan untuk ditandatangani oleh Anda, Tuan."

Revan mengangguk kecil. "Bawa ke sini."

Naira berjalan dengan hati-hati ke mejanya, meletakkan dokumen itu di hadapannya. Revan mengambil berkas tersebut dan mulai membacanya.

Namun, Naira tidak langsung pergi. Ia menunggu di tempatnya, mengamati ekspresi pria itu.

Seketika, tatapan Revan berubah dingin. Ia meletakkan dokumen itu di atas meja dengan sedikit tekanan.

"Ada yang tidak beres," gumamnya.

Naira mengernyit, tidak mengerti. "Maaf, Tuan?"

Revan menunjuk angka yang tertera di lembar laporan. "Jumlah ini tidak sesuai dengan perhitungan yang seharusnya. Ada selisih yang cukup mencurigakan."

Naira merasa sedikit gugup. Ini adalah pertama kalinya ia berhadapan dengan masalah di pekerjaannya, dan ia tidak ingin terlihat tidak kompeten.

"Apa saya perlu menghubungi departemen keuangan untuk mengonfirmasinya?" tanyanya hati-hati.

Revan mengangguk. "Ya. Dan pastikan mereka segera memberikan klarifikasi."

Naira segera kembali ke mejanya, mengambil telepon, dan menghubungi departemen keuangan. Namun, belum sempat ia menyampaikan masalahnya, suara langkah kaki terdengar mendekat ke arah ruangan Revan.

Pintu terbuka, dan Adrian kembali muncul.

Tatapannya masih tajam, bahkan lebih tajam daripada sebelumnya. Namun, kali ini, sorot matanya tidak hanya ditujukan pada Naira—melainkan juga pada Revan.

"Ada sesuatu yang mencurigakan," kata Adrian tanpa basa-basi.

Revan menatapnya dengan tenang. "Aku juga berpikir begitu."

Naira merasa udara di ruangan ini semakin dingin. Ia bisa melihat bagaimana dua pria ini saling bertukar tatapan seolah sedang berkomunikasi tanpa kata.

"Aku baru saja mengecek beberapa dokumen tambahan," lanjut Adrian. "Dan ada indikasi manipulasi keuangan dalam laporan terbaru."

Naira tersentak. Ini bukan masalah kecil.

Revan mengetukkan jarinya di meja, ekspresinya masih tetap dingin. "Siapa yang bertanggung jawab atas laporan ini?"

"Bagian keuangan," jawab Adrian. "Tapi aku curiga ada seseorang di dalam yang bermain kotor."

Naira merasa sedikit tegang. Baru sehari bekerja di sini, dan ia sudah dihadapkan dengan situasi yang serius.

"Siapa yang menghubungimu tadi?" Revan tiba-tiba bertanya pada Naira.

Naira menelan ludah. "Seorang staf dari departemen keuangan, Tuan. Dia meminta saya mengantar dokumen ini."

Revan menyipitkan matanya, lalu melirik Adrian.

"Sepertinya seseorang mencoba menutupi sesuatu," kata Adrian.

Revan mengangguk pelan, lalu mengambil ponselnya dan menelepon seseorang.

"Saya ingin laporan keuangan lengkap dikirim ke meja saya dalam sepuluh menit. Tidak ada alasan," katanya dingin sebelum menutup panggilan.

Naira bisa merasakan ketegangan di ruangan ini semakin meningkat. Ia mencoba tetap tenang, tetapi jelas bahwa ada sesuatu yang serius sedang terjadi.

Setelah beberapa saat, seorang pegawai dari departemen keuangan datang membawa dokumen tambahan. Revan menerima berkas itu, membuka lembar demi lembar dengan mata yang tajam.

Tiba-tiba, ia tertawa kecil.

Namun, bukan tawa bahagia.

Ini adalah tawa penuh ironi.

Adrian meliriknya. "Apa yang kau temukan?"

Revan melemparkan dokumen itu ke meja, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi.

"Seseorang mencoba bermain di belakangku."

Naira menahan napas.

Adrian mengambil dokumen itu dan memeriksanya. Setelah beberapa detik, matanya menyipit.

"Brengsek," gumamnya.

Naira tidak berani bertanya lebih lanjut, tetapi jelas bahwa ada manipulasi keuangan yang cukup besar sedang terjadi.

Revan mengalihkan tatapannya pada Naira.

"Mulai sekarang, kau harus lebih berhati-hati dalam menerima dokumen," katanya dengan suara tegas. "Perhatikan setiap detail. Jangan sampai kau menjadi bagian dari permainan mereka."

Naira mengangguk cepat. "Saya mengerti, Tuan."

Revan menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengalihkan perhatiannya kembali ke Adrian.

"Kita perlu menyelidiki ini lebih dalam," katanya.

Adrian mengangguk. "Aku akan menangani bagian keuangan."

Dengan itu, Adrian berbalik dan keluar dari ruangan dengan langkah cepat.

Naira menghela napas panjang.

Baru sehari bekerja, dan ia sudah terseret dalam sebuah intrik perusahaan yang tidak ia pahami sepenuhnya.

Namun, satu hal yang ia tahu dengan pasti:

Dunia Revan Alexander bukan hanya sekadar bisnis biasa.

Dan jika ia ingin bertahan, ia harus lebih dari sekadar asisten biasa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tersandung Cinta Tuan Muda   Bab 111 – Rumah Itu Bernama Kita

    Tiga tahun kemudian... Langit sore tampak teduh di atas taman kecil di panti asuhan Harapan. Angin berembus lembut, menerpa bunga-bunga yang tumbuh di sepanjang jalan setapak. Anak-anak berlarian sambil tertawa, membawa balon warna-warni dan bendera kecil bertuliskan "Terima Kasih, Kak Adrian & Kak Naira!" Di tengah keramaian itu, sepasang suami istri berdiri berdampingan, tangan mereka saling menggenggam erat. Adrian mengenakan kemeja putih sederhana, sementara Naira mengenakan gaun biru langit dengan riasan ringan. Wajah mereka tak lagi tegang seperti dulu—hanya ada ketenangan, kedewasaan, dan bahagia yang tak meledak-ledak, tapi terasa penuh. Hari itu bukan hari ulang tahun pernikahan mereka, bukan pula perayaan besar. Hari itu adalah hari peresmian ruang belajar baru di panti asuhan tersebut. Ruangan itu dinamai: Ruang Harapan – Persembahan dari Naira & Adrian. Sebuah ruang kecil, penuh buku, meja belajar mungil, dan papan tulis dengan hiasan tangan-tangan kecil anak-anak.

  • Tersandung Cinta Tuan Muda   Bab 110 – Surat Cinta Terakhir

    Langit sore mulai berubah jingga, senja yang hangat menelusup melalui jendela kamar kerja Adrian yang kini sudah menjadi ruang bersama mereka. Meja kayu di dekat balkon tampak rapi, kecuali satu benda yang kini tergeletak di atasnya: sebuah surat, dengan amplop putih sederhana, dan tulisan tangan Naira di bagian depannya. “Untuk Adrian, dari wanita yang memilihmu.” Adrian belum pulang. Tapi Naira duduk di tepi kursi, menatap surat yang baru saja selesai ditulisnya. Tangannya masih gemetar, bukan karena ragu, tapi karena beban emosi yang begitu dalam saat menuliskan tiap kata. Ia menarik napas panjang, sebelum perlahan mulai membaca ulang isi surat yang telah ditulisnya dengan tinta biru tua. --- Adrian yang aku pilih… Aku menulis surat ini bukan karena aku tak mampu mengatakannya secara langsung. Tapi justru karena aku ingin setiap kalimat dalam surat ini bisa kamu baca kembali, kapan pun kamu merasa ragu, atau lelah, atau lupa kenapa kita berjuang sejauh ini. Banyak hal y

  • Tersandung Cinta Tuan Muda   Bab 109 – Hari Baru, Janji Baru

    Hari itu datang tanpa gemuruh. Tidak ada karangan bunga mewah, tidak ada gaun putih panjang, tidak ada sorotan kamera seperti satu tahun yang lalu saat mereka menikah karena kesepakatan bisnis. Tapi di dalam hati Naira, tanggal itu terasa lebih sakral dari apa pun yang pernah ia alami sebelumnya. Ini bukan sekadar hari ulang tahun pernikahan mereka. Ini hari di mana mereka memilih untuk mengulang segalanya, dengan kesadaran penuh dan cinta yang tumbuh dari keberanian untuk memperbaiki. Pagi hari, Adrian datang ke kamar Naira membawa nampan sarapan dan seikat bunga liar dari halaman belakang. “Selamat ulang tahun pernikahan—versi baru,” ucapnya sambil tersenyum. Naira tertawa kecil. “Kita benar-benar mulai dari awal, ya? Bahkan bunganya juga bukan yang mahal.” “Justru itu. Ini bukan tentang harga, tapi tentang niat. Sama seperti kita.” ** Mereka sepakat merayakan hari itu dengan cara paling sederhana: mengadakan syukuran kecil di panti asuhan tempat segalanya berubah. Tem

  • Tersandung Cinta Tuan Muda   Bab 108 – Jalan Tengah

    Udara pagi terasa segar di halaman belakang rumah mereka. Burung-burung mulai berkicau dari balik pepohonan, seolah menyambut awal yang benar-benar baru. Naira berdiri di depan meja kayu kecil, menyeduh dua cangkir teh hangat. Di dadanya, ada ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—bukan karena semuanya sudah sempurna, tapi karena akhirnya ia memilih dengan sepenuh hati. Adrian muncul dari dalam rumah, masih mengenakan baju rumah dan wajah yang tampak tenang. “Mimpi buruk semalam?” tanyanya lembut, melihat wajah Naira sedikit lelah. Naira mengangguk kecil. “Iya, tapi tidak seperti dulu. Dulu aku merasa sendirian setelah bangun. Sekarang tidak.” Adrian duduk di hadapannya, lalu meraih salah satu cangkir. “Mungkin karena kamu sudah memilih untuk tidak berlari lagi.” “Mungkin,” balas Naira pelan. Mereka duduk dalam diam sejenak. Bukan keheningan yang canggung, tapi keheningan yang saling memberi ruang. “Aku tahu ini nggak akan langsung jadi hubungan yang ideal,”

  • Tersandung Cinta Tuan Muda   Bab 107 – Pilihan yang Terbuka

    Senja mulai turun ketika Naira duduk di ruang keluarga. Cahaya oranye temaram menembus jendela, memantulkan bayangan samar di wajahnya yang murung. Tak lama, langkah kaki Adrian terdengar memasuki ruangan, tenang namun penuh beban. "Aku ingin kita bicara… untuk terakhir kalinya, jika memang itu yang kamu inginkan," ucap Adrian, duduk di seberangnya dengan wajah tegas namun lembut. Naira menatapnya. "Kamu bilang kamu mencintaiku. Tapi kenapa kamu seolah siap kehilangan aku begitu saja?" Adrian menarik napas dalam-dalam. "Karena cinta yang memaksa untuk memiliki bukan cinta yang benar, Naira. Aku belajar... bahwa jika aku benar-benar mencintaimu, aku harus membiarkan kamu memilih tanpa beban masa lalu. Tanpa rasa bersalah." Dia berdiri, lalu berjalan menuju meja kecil di sisi ruangan dan meletakkan dua amplop. “Yang satu berisi tiket ke luar kota, lengkap dengan penginapan dan segala keperluan untuk memulai hidup baru. Yang satu lagi... kosong, simbol bahwa kamu memilih untuk te

  • Tersandung Cinta Tuan Muda   Bab 106 – Titik Balik

    Langit sore berwarna jingga saat Naira turun dari taksi di depan rumah besar itu. Udara terasa lebih berat daripada biasanya—seolah tahu bahwa malam ini bukan hanya soal pulang, tapi soal keputusan besar yang akan diambil. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mendorong pintu pagar. Adrian berdiri di teras, seolah menunggu. Tatapan matanya kosong, tapi bahunya tegang. Ketika melihat Naira berjalan mendekat, ia berdiri lebih tegak, siap menghadapi apa pun yang akan datang. "Aku perlu bicara," kata Naira tanpa basa-basi. Adrian mengangguk. "Aku tahu. Aku juga." Mereka duduk di ruang tamu, tak ada teh, tak ada formalitas. Hanya dua hati yang lelah dan jujur. "Aku lelah dengan semua drama ini, Adrian," ucap Naira memulai. "Kalau kamu masih menyimpan kebohongan, lebih baik kita akhiri sekarang. Aku tidak ingin hidup dengan setengah kebenaran." Adrian menunduk, lalu mengangkat kepalanya dengan tatapan yang berbeda. “Aku tak menyimpan apa-apa lagi, Naira. Semuanya sudah kubuka. Pes

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status