Naira masih bisa merasakan jantungnya berdebar keras setelah pertemuannya dengan Revan Alexander di ruangannya tadi. Pria itu begitu dingin dan mendominasi, tetapi ia berhasil menahan diri dan tidak menunjukkan kelemahannya.
Saat ini, ia tengah duduk di meja kerja barunya, mencoba memahami tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Selembar agenda dengan jadwal rapat dan daftar tugas Revan tergeletak di hadapannya. Tangannya menggenggam pulpen erat-erat, berusaha mencerna setiap detail tanpa melewatkan apa pun. Namun, ketenangan yang baru saja ia rasakan buyar ketika suara langkah kaki berat bergema di ruangan itu. Suara sepatu menginjak lantai marmer terdengar tegas dan penuh otoritas. Naira mengangkat wajahnya, dan detik itu juga ia merasakan hawa dingin yang lebih menusuk dibandingkan sebelumnya. Seorang pria dengan jas abu-abu berdiri di depan meja kerjanya, menatapnya dengan ekspresi tak bersahabat. Matanya yang tajam dan gelap menelusuri wajah Naira seolah sedang menilai sesuatu. “Siapa kau?” tanyanya dengan nada datar, tapi tajam. Naira berusaha tetap tenang, meskipun ada ketegangan yang menjalar di tubuhnya. “Saya Naira, asisten pribadi Tuan Revan,” jawabnya, berusaha mempertahankan nada suaranya tetap stabil. Pria itu mengangkat alisnya sedikit, lalu menghela napas pendek seolah tidak puas dengan jawaban tersebut. “Jadi ini keputusan Revan?” gumamnya, sebelum tatapannya kembali terkunci pada Naira. “Apa kau yakin bisa menangani pekerjaan ini?” Nada suaranya mengandung tantangan, seolah ia meragukan kemampuannya. Naira menegakkan bahunya. “Saya akan melakukan yang terbaik.” Pria itu mendekat, menyandarkan satu tangan di meja, membuat jarak mereka semakin dekat. Tatapan tajamnya membuat Naira menahan napas. “Aku tidak percaya pada orang yang mudah membuat kesalahan,” katanya dengan nada rendah. “Dan aku benci kelalaian.” Naira semakin bingung. Apa maksud pria ini? Apa yang sudah ia lakukan hingga dianggap lalai? Seolah membaca pikirannya, pria itu menambahkan, “Revan tidak pernah sembarangan memilih orang, tapi aku tidak yakin kau memenuhi standarnya.” Detik itu juga, Naira menyadari siapa pria ini. Adrian. Nama yang disebut Revan saat di ruangan tadi. Dari cara bicaranya, jelas bahwa ia adalah seseorang yang cukup berpengaruh. Entah sebagai tangan kanan Revan atau seseorang yang memiliki posisi tinggi di perusahaan ini. Namun, bukan berarti ia akan mundur hanya karena tatapan mematikan itu. Naira menarik napas dalam, lalu membalas tatapan Adrian dengan penuh tekad. “Saya memang baru di sini, tapi saya akan bekerja keras untuk membuktikan kemampuan saya.” Sebuah senyum tipis—atau lebih tepatnya, seringai sinis—terbentuk di bibir Adrian. “Kita lihat saja.” Sebelum Naira bisa menjawab, pintu ruang kerja terbuka dan Revan masuk dengan ekspresi dinginnya seperti biasa. Tatapan pria itu langsung mengarah pada Adrian dan Naira. “Ada masalah?” tanyanya, suaranya datar tapi penuh kewibawaan. Adrian menarik diri dari meja kerja Naira, lalu menggeleng pelan. “Tidak. Aku hanya ingin memastikan apakah asisten barumu benar-benar bisa diandalkan.” Revan tidak memberikan reaksi berlebihan. Ia hanya menatap Naira sesaat sebelum akhirnya beralih pada Adrian. “Dia sudah kuputuskan.” Adrian menghela napas pelan, lalu tersenyum tipis. “Baiklah. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti ada masalah.” Revan tidak menanggapi. Ia berjalan menuju mejanya, sementara Adrian melirik Naira sekilas sebelum akhirnya melangkah keluar dari ruangan. Setelah Adrian pergi, Naira menghembuskan napas yang tidak ia sadari telah ia tahan sejak tadi. Pria itu benar-benar mengintimidasi. Namun, ia tidak akan membiarkan dirinya takut. Ini adalah awal dari pekerjaannya di sini, dan ia akan membuktikan bahwa ia pantas berada di posisi ini. Tanpa ia sadari, Revan masih berdiri di dekatnya, memperhatikannya dalam diam. “Jangan biarkan Adrian mengintimidasi dirimu,” ucap Revan tiba-tiba. Naira menoleh, sedikit terkejut. “Dia hanya tidak percaya pada orang baru,” lanjutnya, sebelum akhirnya kembali fokus pada berkas-berkasnya. Naira mengangguk pelan. Mungkin benar, tetapi ia bisa merasakan bahwa ini bukan hanya soal kepercayaan. Adrian jelas bukan tipe orang yang mudah ditaklukkan, dan ia merasa ini bukan pertemuan terakhir mereka dengan ketegangan seperti tadi. Namun, ia siap. Apapun yang terjadi, ia tidak akan mundur. Setelah Adrian pergi, ruangan kembali sunyi. Namun, efek dari pertemuan itu masih tertinggal di dada Naira. Ia merasakan ketegangan yang begitu nyata dari pria itu. Adrian jelas bukan orang yang mudah diprediksi, dan dari cara ia berbicara, Naira bisa menebak bahwa pria itu sangat melindungi Revan. Naira masih berdiri di tempatnya, mencoba mengatur kembali pikirannya. Tapi suara Revan yang terdengar dingin memecah lamunannya. "Kembali bekerja," perintahnya tanpa menoleh. Naira segera duduk kembali di kursinya dan mulai memeriksa dokumen yang ada di mejanya. Namun, pikirannya tidak bisa sepenuhnya fokus. Satu hal yang ia sadari sejak masuk ke perusahaan ini adalah bahwa dunia ini jauh lebih keras daripada yang ia bayangkan. Aku harus bisa bertahan. Saat Naira sedang mencoba memahami isi dokumen di depannya, tiba-tiba telepon kantornya berbunyi. Ia segera mengangkatnya. "Ya, ini asisten Tuan Revan," ucapnya dengan nada profesional. "Nona Naira, saya dari departemen keuangan. Ada beberapa dokumen yang harus segera ditandatangani oleh Tuan Revan. Bisa Anda antar ke ruangannya sekarang?" Naira menoleh ke arah pria yang masih sibuk membaca berkas di mejanya. Ia ragu sejenak, tapi akhirnya menjawab, "Baik, saya akan segera membawanya." Setelah menutup telepon, ia segera mengumpulkan dokumen yang disebutkan dan berdiri. Namun, sebelum ia sempat melangkah, suara berat Revan menghentikannya. "Mau ke mana?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari berkas yang sedang ia baca. Naira menelan ludah. "Saya diminta mengantar dokumen dari departemen keuangan untuk ditandatangani oleh Anda, Tuan." Revan mengangguk kecil. "Bawa ke sini." Naira berjalan dengan hati-hati ke mejanya, meletakkan dokumen itu di hadapannya. Revan mengambil berkas tersebut dan mulai membacanya. Namun, Naira tidak langsung pergi. Ia menunggu di tempatnya, mengamati ekspresi pria itu. Seketika, tatapan Revan berubah dingin. Ia meletakkan dokumen itu di atas meja dengan sedikit tekanan. "Ada yang tidak beres," gumamnya. Naira mengernyit, tidak mengerti. "Maaf, Tuan?" Revan menunjuk angka yang tertera di lembar laporan. "Jumlah ini tidak sesuai dengan perhitungan yang seharusnya. Ada selisih yang cukup mencurigakan." Naira merasa sedikit gugup. Ini adalah pertama kalinya ia berhadapan dengan masalah di pekerjaannya, dan ia tidak ingin terlihat tidak kompeten. "Apa saya perlu menghubungi departemen keuangan untuk mengonfirmasinya?" tanyanya hati-hati. Revan mengangguk. "Ya. Dan pastikan mereka segera memberikan klarifikasi." Naira segera kembali ke mejanya, mengambil telepon, dan menghubungi departemen keuangan. Namun, belum sempat ia menyampaikan masalahnya, suara langkah kaki terdengar mendekat ke arah ruangan Revan. Pintu terbuka, dan Adrian kembali muncul. Tatapannya masih tajam, bahkan lebih tajam daripada sebelumnya. Namun, kali ini, sorot matanya tidak hanya ditujukan pada Naira—melainkan juga pada Revan. "Ada sesuatu yang mencurigakan," kata Adrian tanpa basa-basi. Revan menatapnya dengan tenang. "Aku juga berpikir begitu." Naira merasa udara di ruangan ini semakin dingin. Ia bisa melihat bagaimana dua pria ini saling bertukar tatapan seolah sedang berkomunikasi tanpa kata. "Aku baru saja mengecek beberapa dokumen tambahan," lanjut Adrian. "Dan ada indikasi manipulasi keuangan dalam laporan terbaru." Naira tersentak. Ini bukan masalah kecil. Revan mengetukkan jarinya di meja, ekspresinya masih tetap dingin. "Siapa yang bertanggung jawab atas laporan ini?" "Bagian keuangan," jawab Adrian. "Tapi aku curiga ada seseorang di dalam yang bermain kotor." Naira merasa sedikit tegang. Baru sehari bekerja di sini, dan ia sudah dihadapkan dengan situasi yang serius. "Siapa yang menghubungimu tadi?" Revan tiba-tiba bertanya pada Naira. Naira menelan ludah. "Seorang staf dari departemen keuangan, Tuan. Dia meminta saya mengantar dokumen ini." Revan menyipitkan matanya, lalu melirik Adrian. "Sepertinya seseorang mencoba menutupi sesuatu," kata Adrian. Revan mengangguk pelan, lalu mengambil ponselnya dan menelepon seseorang. "Saya ingin laporan keuangan lengkap dikirim ke meja saya dalam sepuluh menit. Tidak ada alasan," katanya dingin sebelum menutup panggilan. Naira bisa merasakan ketegangan di ruangan ini semakin meningkat. Ia mencoba tetap tenang, tetapi jelas bahwa ada sesuatu yang serius sedang terjadi. Setelah beberapa saat, seorang pegawai dari departemen keuangan datang membawa dokumen tambahan. Revan menerima berkas itu, membuka lembar demi lembar dengan mata yang tajam. Tiba-tiba, ia tertawa kecil. Namun, bukan tawa bahagia. Ini adalah tawa penuh ironi. Adrian meliriknya. "Apa yang kau temukan?" Revan melemparkan dokumen itu ke meja, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. "Seseorang mencoba bermain di belakangku." Naira menahan napas. Adrian mengambil dokumen itu dan memeriksanya. Setelah beberapa detik, matanya menyipit. "Brengsek," gumamnya. Naira tidak berani bertanya lebih lanjut, tetapi jelas bahwa ada manipulasi keuangan yang cukup besar sedang terjadi. Revan mengalihkan tatapannya pada Naira. "Mulai sekarang, kau harus lebih berhati-hati dalam menerima dokumen," katanya dengan suara tegas. "Perhatikan setiap detail. Jangan sampai kau menjadi bagian dari permainan mereka." Naira mengangguk cepat. "Saya mengerti, Tuan." Revan menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengalihkan perhatiannya kembali ke Adrian. "Kita perlu menyelidiki ini lebih dalam," katanya. Adrian mengangguk. "Aku akan menangani bagian keuangan." Dengan itu, Adrian berbalik dan keluar dari ruangan dengan langkah cepat. Naira menghela napas panjang. Baru sehari bekerja, dan ia sudah terseret dalam sebuah intrik perusahaan yang tidak ia pahami sepenuhnya. Namun, satu hal yang ia tahu dengan pasti: Dunia Revan Alexander bukan hanya sekadar bisnis biasa. Dan jika ia ingin bertahan, ia harus lebih dari sekadar asisten biasa.Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan Naira dengan Lamia di kafe kecil itu. Dan sejak hari itu pula, pikirannya dipenuhi kalimat-kalimat ambigu yang terus berputar. Lamia memang tak lagi terlihat seperti ancaman, tapi tetap saja—masa lalu tak pernah benar-benar pergi. Naira ingin percaya. Ia sudah melihat perubahan Adrian dengan matanya sendiri. Tapi kepercayaan, sekali retak, sulit menyatu kembali tanpa bekas. Pagi itu, Naira sedang membersihkan ruang kerja kecil di rumahnya. Rak buku dirapikan, dokumen-dokumen disortir ulang. Di antara tumpukan buku, ia menemukan tablet tua milik Adrian—perangkat yang dulu sering digunakan saat mereka masih tinggal bersama sebagai pasangan kontrak. Tablet itu terkunci. Tapi entah bagaimana, saat disentuh, layar menyala dan langsung masuk ke layar utama. Tidak ada kata sandi. Mungkin karena Adrian sudah tak menggunakannya lagi, atau mungkin... karena ia tak merasa perlu menyembunyikan apa pun. Dengan jari yang ragu, Naira membuka galeri dan
Langit mendung menggantung di atas taman yang hampir sepi. Pepohonan bergoyang pelan diterpa angin, dedaunan jatuh satu per satu, menambah suasana sunyi yang menyusup hingga ke dada. Di salah satu bangku kayu taman itu, Adrian duduk menunggu, mengenakan jaket gelap dan celana jeans yang mulai basah karena embun malam. Ia menatap jam tangannya. Sudah hampir satu jam sejak ia duduk di sana, namun Naira belum juga muncul. Lalu terdengar langkah. Pelan tapi pasti. Adrian mendongak dan melihat sosok yang begitu dikenalnya. Naira berdiri di depan bangku taman, mengenakan kerudung tipis dan jaket krem. Wajahnya tenang, tapi tatapannya tajam—seolah menyimpan banyak pertanyaan yang tak ingin diulang dua kali. “Aku baca suratmu,” ucapnya langsung. Adrian berdiri, gugup tapi mencoba tenang. “Terima kasih… karena sudah datang.” “Aku datang bukan karena aku sudah memaafkan, Adrian. Tapi karena aku ingin dengar langsung, tanpa gangguan, tanpa perantara. Aku ingin tahu: apa benar kamu me
Langit sore itu berwarna jingga pucat, seperti hati Naira yang sedang belajar tenang. Setelah semuanya—kontrak, luka, dan pengakuan jujur—ia dan Adrian sepakat memulai dari awal. Tak ada lagi perjanjian, hanya cinta yang mereka pilih bangun bersama. Namun, sekuat apapun seseorang ingin melupakan masa lalu, seringkali masa lalu itu sendiri tak pernah benar-benar pergi. Sore itu, mereka berjalan berdampingan di taman kota. Adrian menggenggam tangan Naira dengan tenang, sesekali melirik wajah perempuan yang kini tak lagi rapuh, tapi tetap memancarkan kelembutan yang menyentuh. “Aku masih belum percaya,” gumam Adrian, “kamu mau memberiku kesempatan kedua.” Naira tersenyum samar. “Kamu tidak sedang kuberi kesempatan, Adrian. Kita sedang memulainya bersama.” Namun kebahagiaan yang baru saja bersemi itu goyah, saat suara perempuan terdengar dari belakang mereka—tajam, familiar, dan menyelusupkan hawa dingin di udara hangat sore itu. “Adrian?” Mereka berdua menoleh. Seorang wa
Taman itu masih sama. Rumput yang pernah diinjak oleh langkah marah, kursi kayu yang menjadi saksi pertengkaran hebat mereka, dan angin sore yang kini bertiup lembut, seakan menghapus jejak luka lama. Naira berdiri beberapa langkah di depan, mengenakan gaun sederhana berwarna putih gading. Tangannya menggenggam undangan dari Adrian—undangan tanpa agenda bisnis, tanpa tekanan keluarga, tanpa kewajiban kontrak. Ia menoleh saat suara langkah pelan mendekat. Adrian datang dengan kemeja abu-abu dan celana panjang santai. Tak ada dasi, tak ada aura dingin seorang CEO. Hanya lelaki dengan tatapan penuh penyesalan dan harapan baru. "Aku sempat berpikir kau tidak akan datang," ucap Adrian pelan. Naira tersenyum tipis. "Aku juga sempat berpikir tak akan pernah menginjakkan kaki di taman ini lagi." Keduanya tertawa kecil. Suara mereka menyatu dengan desiran angin dan kicau burung yang kembali ke sarangnya. Adrian menarik napas panjang. "Di tempat ini… kita pernah berkata hal-hal yang
Hujan sore itu turun ringan, mengiringi langkah Naira yang ragu saat menatap amplop undangan berwarna biru lembut di genggamannya. Nama pengirimnya jelas tertulis di pojok kanan atas: Adrian Alexander. Hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setelah malam emosional di mana Adrian memintanya memilih dengan bebas, Naira mencoba menjauh untuk menata pikirannya. Namun undangan ini—mengajaknya ke panti asuhan tempat mereka pertama kali bertemu—seolah menjadi jembatan halus yang ditawarkan Adrian tanpa memaksa. Dengan balutan dress sederhana dan scarf putih, Naira melangkah ke halaman panti asuhan yang kini lebih tertata dan cerah. Senyum anak-anak menyambutnya, membuat hatinya hangat. Tapi pandangannya langsung tertuju pada sosok pria yang berdiri di depan panggung kecil, mengenakan kemeja putih yang digulung di bagian lengan, tampak bersahaja namun tetap karismatik. Adrian. Saat mata mereka bertemu, waktu seakan berhenti. Adrian tersenyum tipis, lalu melangkah maju. “Terima ka
Hujan gerimis turun perlahan di halaman belakang rumah, mengiringi suasana hati Naira yang tak menentu. Di tangannya tergenggam secarik kertas—salinan kontrak pernikahan mereka, yang kini tinggal menghitung hari sebelum resmi berakhir. Ia duduk sendiri di kursi rotan tua yang biasa mereka gunakan untuk menikmati sore bersama. Tapi sore ini berbeda. Tidak ada Adrian. Tidak ada percakapan. Hanya diam, dan pikiran yang terus menuntut jawaban. "Aku seharusnya lega..." gumamnya pelan. "Tapi kenapa terasa justru lebih menyakitkan sekarang?" Di dalam rumah, Adrian berdiri di balik jendela, memperhatikan Naira dalam diam. Ia tahu waktunya hampir habis, dan kali ini ia tidak berniat memohon atau memaksa. Semua sudah ia serahkan kepada keputusan Naira. Beberapa hari terakhir, ia memilih menjauh secara perlahan. Bukan karena menyerah, tapi karena ingin memberikan Naira ruang—ruang untuk benar-benar mendengar suara hatinya sendiri. --- Naira membuka kembali jurnal kecil yang berisi su