Adrian duduk di ruang kerjanya, jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme pelan tapi penuh perhitungan. Matanya menatap layar komputer, tetapi pikirannya tidak sepenuhnya berada di sana. Ia tidak bisa melupakan wajah gadis itu—Naira.
Pertemuan mereka di kafe beberapa waktu lalu masih terpatri jelas di kepalanya. Gadis itu berani menentangnya, sesuatu yang jarang terjadi dalam hidup Adrian. Biasanya, orang akan menundukkan kepala atau menghindari kontak mata jika berhadapan dengannya. Namun, Naira? Dia justru membalas tatapannya dengan keberanian yang nyaris menantang. Adrian mengangkat cangkir kopinya dan menyesap sedikit. "Sial," gumamnya sambil menyandarkan punggung ke kursi. Ia tidak suka ketika ada seseorang yang berani melawannya, apalagi seorang wanita yang baru ia temui. Itu menyakiti egonya, mengusik kesabarannya. Dan sekarang, gadis itu justru bekerja untuk Revan—sepupunya yang juga rivalnya dalam bisnis keluarga. Takdir memang lucu. Namun, ini bukan sekadar kebetulan. Adrian yakin, jika Naira tetap berada di dekat Revan, cepat atau lambat mereka akan sering bertemu. Dan ia tidak akan membiarkan gadis itu lepas begitu saja. Kau akan belajar untuk tidak menantangku, Naira. --- Di Kantor Revan Alexander Hari ini, Naira mencoba fokus dengan pekerjaannya. Setelah kejadian kemarin—di mana ia hampir terseret dalam masalah laporan keuangan—ia sadar bahwa bekerja di bawah Revan bukanlah hal yang mudah. Namun, ia bertekad untuk bertahan. Saat ia sedang mengetik laporan di komputer, sebuah pesan masuk ke ponselnya. "Datang ke lantai 35. Sekarang." Naira mengernyit. Itu bukan pesan dari Revan, tapi dari seseorang yang tidak ia kenal. Ia menatap layar beberapa saat sebelum akhirnya berdiri. Rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Dengan hati-hati, ia melangkah ke lift dan menekan tombol menuju lantai 35—salah satu lantai eksekutif yang jarang ia kunjungi. Saat pintu lift terbuka, udara dingin langsung menyambutnya. Suasana di lantai ini terasa lebih sepi dibanding lantai tempatnya bekerja. "Masuk," suara berat terdengar dari sebuah ruangan di ujung lorong. Naira menelan ludah. Ia mengenali suara itu. Adrian. Perasaan tidak nyaman menyelinap di dadanya. Namun, ia tetap melangkah masuk ke ruangan itu. Di dalam, Adrian duduk di kursinya dengan ekspresi datar, seperti seorang raja yang menunggu audiensi dari rakyatnya. Tatapannya menelusuri sosok Naira, membuat gadis itu merasakan tekanan yang sulit dijelaskan. "Kenapa saya dipanggil ke sini?" tanya Naira, berusaha terdengar tegas. Adrian menyilangkan tangan di dadanya. "Kau masih ingat aku, kan?" Tentu saja, Naira mengingatnya. Pria dengan tatapan tajam dan sikap arogan di kafe itu. "Apa maumu?" tanyanya dengan nada waspada. Adrian tersenyum tipis, tapi senyum itu sama sekali tidak terasa ramah. "Aku hanya ingin memastikan sesuatu." Ia berdiri dan berjalan mendekat, membuat Naira refleks mundur. "Apa hubunganmu dengan Revan?" tanyanya. Naira mengerutkan kening. "Saya hanya asistennya." Adrian tertawa kecil. "Benarkah? Bukan sesuatu yang lebih dari itu?" Nada suaranya menyiratkan sesuatu yang membuat Naira kesal. "Tuan Adrian, kalau Anda hanya ingin bermain kata-kata, saya lebih baik kembali bekerja." Ia berbalik hendak pergi, tapi Adrian dengan cepat meraih pergelangan tangannya. Gerakan itu membuat Naira tersentak. "Kau bukan orang bodoh," kata Adrian dengan nada lebih serius. "Kau pasti menyadari kalau Revan tidak hanya sekadar bos biasa. Dunia ini tidak sesederhana yang kau kira, Naira." Naira menatap mata pria itu, mencoba memahami apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan. "Aku hanya ingin memberimu peringatan," lanjutnya. "Jangan terlalu dekat dengan Revan jika kau tidak ingin terlibat dalam sesuatu yang lebih besar dari yang bisa kau tangani." Naira menepis tangannya. "Terima kasih atas peringatannya, Tuan Adrian. Tapi saya bisa menentukan pilihan saya sendiri." Tatapan Adrian menggelap seketika. "Baiklah," gumamnya. "Kita lihat sampai sejauh mana kau bisa bertahan." Naira tak menjawab. Ia hanya membalikkan badan dan melangkah keluar dari ruangan itu. Namun, bahkan setelah pintu tertutup di belakangnya, ia masih bisa merasakan tatapan Adrian yang menembus punggungnya. Pria itu berbahaya. Dan sayangnya, ia tahu bahwa ini bukan akhir dari interaksi mereka. Ini baru permulaan. Naira keluar dari ruangan Adrian dengan langkah cepat. Hatinya masih berdebar akibat interaksi barusan. Pria itu benar-benar menakutkan—bukan hanya karena sikapnya yang dingin dan otoriter, tapi juga karena aura mengancam yang ia pancarkan. Namun, lebih dari itu, ada sesuatu dalam kata-katanya yang mengganggu pikirannya. "Dunia ini tidak sesederhana yang kau kira, Naira." Apa maksud Adrian dengan itu? Ia menghela napas panjang dan masuk ke lift. Namun, begitu pintu hampir menutup, seseorang menahannya. "Naira," suara lembut itu membuatnya mendongak. Revan. Ia mengenakan jas hitam dengan kemeja putih yang kontras. Rambutnya tertata rapi, tetapi ekspresi wajahnya tampak serius. "Aku mencarimu," katanya sambil masuk ke dalam lift bersamanya. Naira menelan ludah. "Ada apa, Pak?" Revan menatapnya sebentar sebelum menjawab, "Adrian memanggilmu barusan?" Naira ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. "Ya, dia ingin bicara sesuatu denganku." "Apa yang dia katakan?" Naira bingung, apakah ia harus jujur atau tidak. Adrian dan Revan tampaknya memiliki hubungan yang rumit. "Dia hanya memperingatkanku untuk tidak terlalu dekat dengan Anda," jawabnya akhirnya. Mata Revan sedikit menyipit, lalu ia mengangguk kecil. "Tentu saja dia akan mengatakan itu." Naira semakin penasaran. "Maaf, Pak, tapi… apa yang sebenarnya terjadi di antara Anda dan Tuan Adrian?" Revan menghela napas. "Itu cerita panjang. Tapi yang jelas, dia tidak suka melihatku mendapatkan sesuatu yang menurutnya seharusnya miliknya." Naira semakin bingung. "Jangan terlalu dipikirkan," lanjut Revan, seakan membaca kebingungannya. "Kalau Adrian mengganggumu lagi, beritahu aku." Lift berbunyi saat mencapai lantai tempat mereka bekerja. Revan melangkah keluar lebih dulu, tetapi sebelum pergi, ia menoleh ke Naira. "Berhati-hatilah," katanya pelan, lalu meninggalkannya di sana dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. --- Di Kediaman Adrian Adrian berdiri di balkon apartemennya, menatap pemandangan kota yang dipenuhi lampu-lampu malam. Satu tangannya memegang gelas anggur, sementara pikirannya kembali pada pertemuannya dengan Naira tadi siang. Gadis itu keras kepala. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang menarik perhatian Adrian. Dia berbeda dari kebanyakan wanita yang ia temui—bukan hanya karena keberaniannya, tapi juga karena caranya berbicara dan menatapnya seakan-akan dia tidak takut. Itu membuatnya semakin tertarik. Namun, di saat yang sama, ada perasaan lain yang muncul—perasaan yang sudah lama ia pendam. Dendam. Baginya, Revan bukan hanya sekadar sepupu. Dia adalah rival, seseorang yang selalu dianggap lebih baik dari dirinya dalam segala hal. Dan sekarang, gadis yang berhasil mengusik pikirannya justru berada di sisi Revan. Adrian mengencangkan genggamannya pada gelas anggur. "Kalau kau pikir aku akan diam saja, kau salah besar, Revan," gumamnya pelan. Dia sudah memutuskan. Naira tidak akan berada di sisi Revan untuk waktu yang lama. Adrian akan memastikan hal itu. --- Keesokan Harinya Naira baru saja tiba di kantor ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya. "Datang ke hotel La Royale pukul tujuh malam. Jangan terlambat." Pengirimnya: Adrian. Naira menatap layar dengan alis berkerut. Apa lagi yang diinginkan pria itu?Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan Naira dengan Lamia di kafe kecil itu. Dan sejak hari itu pula, pikirannya dipenuhi kalimat-kalimat ambigu yang terus berputar. Lamia memang tak lagi terlihat seperti ancaman, tapi tetap saja—masa lalu tak pernah benar-benar pergi. Naira ingin percaya. Ia sudah melihat perubahan Adrian dengan matanya sendiri. Tapi kepercayaan, sekali retak, sulit menyatu kembali tanpa bekas. Pagi itu, Naira sedang membersihkan ruang kerja kecil di rumahnya. Rak buku dirapikan, dokumen-dokumen disortir ulang. Di antara tumpukan buku, ia menemukan tablet tua milik Adrian—perangkat yang dulu sering digunakan saat mereka masih tinggal bersama sebagai pasangan kontrak. Tablet itu terkunci. Tapi entah bagaimana, saat disentuh, layar menyala dan langsung masuk ke layar utama. Tidak ada kata sandi. Mungkin karena Adrian sudah tak menggunakannya lagi, atau mungkin... karena ia tak merasa perlu menyembunyikan apa pun. Dengan jari yang ragu, Naira membuka galeri dan
Langit mendung menggantung di atas taman yang hampir sepi. Pepohonan bergoyang pelan diterpa angin, dedaunan jatuh satu per satu, menambah suasana sunyi yang menyusup hingga ke dada. Di salah satu bangku kayu taman itu, Adrian duduk menunggu, mengenakan jaket gelap dan celana jeans yang mulai basah karena embun malam. Ia menatap jam tangannya. Sudah hampir satu jam sejak ia duduk di sana, namun Naira belum juga muncul. Lalu terdengar langkah. Pelan tapi pasti. Adrian mendongak dan melihat sosok yang begitu dikenalnya. Naira berdiri di depan bangku taman, mengenakan kerudung tipis dan jaket krem. Wajahnya tenang, tapi tatapannya tajam—seolah menyimpan banyak pertanyaan yang tak ingin diulang dua kali. “Aku baca suratmu,” ucapnya langsung. Adrian berdiri, gugup tapi mencoba tenang. “Terima kasih… karena sudah datang.” “Aku datang bukan karena aku sudah memaafkan, Adrian. Tapi karena aku ingin dengar langsung, tanpa gangguan, tanpa perantara. Aku ingin tahu: apa benar kamu me
Langit sore itu berwarna jingga pucat, seperti hati Naira yang sedang belajar tenang. Setelah semuanya—kontrak, luka, dan pengakuan jujur—ia dan Adrian sepakat memulai dari awal. Tak ada lagi perjanjian, hanya cinta yang mereka pilih bangun bersama. Namun, sekuat apapun seseorang ingin melupakan masa lalu, seringkali masa lalu itu sendiri tak pernah benar-benar pergi. Sore itu, mereka berjalan berdampingan di taman kota. Adrian menggenggam tangan Naira dengan tenang, sesekali melirik wajah perempuan yang kini tak lagi rapuh, tapi tetap memancarkan kelembutan yang menyentuh. “Aku masih belum percaya,” gumam Adrian, “kamu mau memberiku kesempatan kedua.” Naira tersenyum samar. “Kamu tidak sedang kuberi kesempatan, Adrian. Kita sedang memulainya bersama.” Namun kebahagiaan yang baru saja bersemi itu goyah, saat suara perempuan terdengar dari belakang mereka—tajam, familiar, dan menyelusupkan hawa dingin di udara hangat sore itu. “Adrian?” Mereka berdua menoleh. Seorang wa
Taman itu masih sama. Rumput yang pernah diinjak oleh langkah marah, kursi kayu yang menjadi saksi pertengkaran hebat mereka, dan angin sore yang kini bertiup lembut, seakan menghapus jejak luka lama. Naira berdiri beberapa langkah di depan, mengenakan gaun sederhana berwarna putih gading. Tangannya menggenggam undangan dari Adrian—undangan tanpa agenda bisnis, tanpa tekanan keluarga, tanpa kewajiban kontrak. Ia menoleh saat suara langkah pelan mendekat. Adrian datang dengan kemeja abu-abu dan celana panjang santai. Tak ada dasi, tak ada aura dingin seorang CEO. Hanya lelaki dengan tatapan penuh penyesalan dan harapan baru. "Aku sempat berpikir kau tidak akan datang," ucap Adrian pelan. Naira tersenyum tipis. "Aku juga sempat berpikir tak akan pernah menginjakkan kaki di taman ini lagi." Keduanya tertawa kecil. Suara mereka menyatu dengan desiran angin dan kicau burung yang kembali ke sarangnya. Adrian menarik napas panjang. "Di tempat ini… kita pernah berkata hal-hal yang
Hujan sore itu turun ringan, mengiringi langkah Naira yang ragu saat menatap amplop undangan berwarna biru lembut di genggamannya. Nama pengirimnya jelas tertulis di pojok kanan atas: Adrian Alexander. Hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setelah malam emosional di mana Adrian memintanya memilih dengan bebas, Naira mencoba menjauh untuk menata pikirannya. Namun undangan ini—mengajaknya ke panti asuhan tempat mereka pertama kali bertemu—seolah menjadi jembatan halus yang ditawarkan Adrian tanpa memaksa. Dengan balutan dress sederhana dan scarf putih, Naira melangkah ke halaman panti asuhan yang kini lebih tertata dan cerah. Senyum anak-anak menyambutnya, membuat hatinya hangat. Tapi pandangannya langsung tertuju pada sosok pria yang berdiri di depan panggung kecil, mengenakan kemeja putih yang digulung di bagian lengan, tampak bersahaja namun tetap karismatik. Adrian. Saat mata mereka bertemu, waktu seakan berhenti. Adrian tersenyum tipis, lalu melangkah maju. “Terima ka
Hujan gerimis turun perlahan di halaman belakang rumah, mengiringi suasana hati Naira yang tak menentu. Di tangannya tergenggam secarik kertas—salinan kontrak pernikahan mereka, yang kini tinggal menghitung hari sebelum resmi berakhir. Ia duduk sendiri di kursi rotan tua yang biasa mereka gunakan untuk menikmati sore bersama. Tapi sore ini berbeda. Tidak ada Adrian. Tidak ada percakapan. Hanya diam, dan pikiran yang terus menuntut jawaban. "Aku seharusnya lega..." gumamnya pelan. "Tapi kenapa terasa justru lebih menyakitkan sekarang?" Di dalam rumah, Adrian berdiri di balik jendela, memperhatikan Naira dalam diam. Ia tahu waktunya hampir habis, dan kali ini ia tidak berniat memohon atau memaksa. Semua sudah ia serahkan kepada keputusan Naira. Beberapa hari terakhir, ia memilih menjauh secara perlahan. Bukan karena menyerah, tapi karena ingin memberikan Naira ruang—ruang untuk benar-benar mendengar suara hatinya sendiri. --- Naira membuka kembali jurnal kecil yang berisi su