Rapat pertama kepengurusan OSIS berjalan lebih lambat dari yang Alana harapkan. Ia tidak tahu apakah ini karena pikirannya yang terlalu penuh atau karena ruangan ini memang dipenuhi orang-orang yang terlalu sibuk dengan pikiran mereka sendiri.
Ia duduk di kursinya dengan punggung tegang, tangannya menggenggam pulpen yang belum sekalipun ia gunakan untuk mencatat. Suaranya hampir tidak terdengar sepanjang rapat, sementara yang lain mulai membicarakan program kerja dan tanggung jawab masing-masing. Di sisi lain meja, Alfa duduk dengan sikap yang jauh lebih santai. Sikunya bertumpu di atas meja, tangan kirinya menyangga dagu, matanya memperhatikan orang-orang di ruangan itu seolah ia sedang menilai mereka satu per satu. Tidak banyak yang berubah dari Alfa sejak ia resmi menjadi Ketua OSIS. Ia masih dingin, masih sulit ditebak, dan masih… terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja memegang jabatan besar. "Alfa, lo ada tambahan buat rapat hari ini?" Suara sekretaris OSIS membuyarkan lamunan Alana. Semua kepala langsung menoleh ke arah Alfa, menunggu tanggapannya. Alfa mengangkat pandangannya dari berkas di tangannya, lalu menatap orang-orang di sekeliling meja. “Gue cuma mau bilang satu hal.” Ruangan menjadi lebih sunyi. “OSIS bukan tempat buat main-main. Kalau lo udah masuk sini, berarti lo harus komit.” Tatapan matanya tajam. Tidak ada nada tinggi dalam suaranya, tapi setiap kata yang ia ucapkan terdengar penuh tekanan. Alana menelan ludah. Ia tahu Alfa adalah tipe orang yang serius dalam segala hal yang ia lakukan, tapi melihat langsung bagaimana ia berbicara dalam forum resmi seperti ini membuatnya menyadari sesuatu. Alfa bukan sekadar pintar atau populer. Ia punya aura. Dan orang-orang di ruangan ini, termasuk Alana, bisa merasakannya. *** Setelah rapat selesai, satu per satu anggota OSIS mulai meninggalkan ruangan. Alana merapikan catatan seadanya yang ia buat selama pertemuan, lalu beranjak berdiri. Tapi sebelum ia bisa melangkah keluar, suara Alfa menghentikannya. "Alana." Alana menoleh. Alfa masih duduk di kursinya, tapi kali ini, tatapannya terarah langsung padanya. "Lo ada waktu sebentar?" tanyanya. Alana mengerutkan kening. Ia tidak tahu kenapa Alfa tiba-tiba ingin berbicara dengannya, tapi melihat ekspresi serius di wajahnya, ia tidak bisa menolak. Ia mengangguk pelan. "Iya. Kenapa?" Alfa berdiri dan berjalan mendekatinya. Langkahnya santai, tapi ada sesuatu dalam caranya bergerak yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih… berat. "Lo belum jawab pertanyaan gue waktu itu," katanya pelan. Alana mengerjapkan mata. "Pertanyaan apa?" Alfa menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu menatapnya lurus-lurus. "Kenapa lo kaget waktu tahu gue yang nyaranin nama lo?" Alana langsung terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena pertanyaan itu sulit, tetapi karena ia sendiri tidak tahu bagaimana menjawabnya. Ia ingin mengatakan bahwa ia tidak mengerti kenapa Alfa memilihnya. Ia ingin mengatakan bahwa ia tidak merasa pantas untuk posisi ini. Tapi lebih dari itu, ia ingin bertanya sesuatu yang lebih penting. Kenapa gue? Dari semua orang di sekolah ini, kenapa lo milih gue? Tapi pertanyaan itu tidak pernah keluar dari mulutnya. Akhirnya, setelah beberapa detik hening, Alana hanya berkata, "Karena gue nggak nyangka lo bakal peduli." Alfa mengangkat sebelah alisnya. "Maksud lo?" Alana menghela napas. "Selama ini, lo keliatan kayak orang yang nggak tertarik sama hal-hal kayak gini. Jadi gue kaget aja." Alfa diam sebentar, lalu matanya menyipit sedikit, seolah ia sedang mempelajari ekspresi Alana. "Lo pikir gue nggak peduli?" Alana mengangkat bahu, mencoba untuk tetap terlihat santai meskipun ia bisa merasakan hawa panas merayap ke pipinya. "Bukannya nggak peduli. Cuma… lo lebih sering keliatan sibuk sama urusan lo sendiri." Alfa tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Alana beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat bahunya sedikit. "Mungkin lo belum cukup memperhatikan." Kata-kata itu terdengar ringan, tapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Alana merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Seolah ada makna lain yang tersembunyi di balik ucapan itu. Dan saat Alfa berjalan melewatinya, meninggalkannya sendirian di ruangan itu, Alana menyadari satu hal. Alfa Raynard bukan hanya seseorang yang sulit ditebak. Ia adalah seseorang yang berbahaya untuk pikirannya. Dan itu membuat segalanya jadi lebih rumit. *** Hari-hari setelah rapat pertama OSIS terasa berbeda bagi Alana. Bukan hanya karena tanggung jawab baru yang tiba-tiba ia emban, tapi juga karena satu hal yang lebih mengganggu pikirannya: Alfa Raynard. Cowok itu masih sama—masih tenang, masih sulit ditebak, dan masih berbicara seperlunya. Tapi Alana mulai memperhatikan sesuatu yang berbeda. Alfa mulai lebih sering muncul di sekitarnya. Bukan dalam arti yang mencolok atau dramatis, tapi dalam bentuk kehadiran yang sulit untuk diabaikan. Seperti pagi ini, misalnya. Saat Alana memasuki ruang OSIS untuk memeriksa beberapa dokumen yang harus ia pelajari, ia mendapati Alfa sudah ada di sana lebih dulu. Ia duduk di kursinya, dengan satu tangan menyangga dagu dan mata yang fokus membaca beberapa berkas. Alana menghela napas pelan, mencoba mengabaikan fakta bahwa ruangan ini hanya diisi oleh mereka berdua. Ia berjalan menuju meja lain dan mulai membuka dokumennya, berusaha untuk tidak terlalu memperhatikan keberadaan Alfa. Tapi itu sulit. Karena untuk pertama kalinya sejak ia mengenal Alfa, cowok itu tidak hanya mengabaikannya begitu saja. "Lo udah baca rundown acara bulan depan?" Suara berat Alfa membuat Alana menoleh. Cowok itu masih fokus menatap berkasnya, tapi Alana bisa melihat bahwa pertanyaan itu benar-benar ditujukan untuknya. Alana mengangguk, lalu menjawab, "Udah, tapi masih ada beberapa bagian yang gue kurang paham." Alfa menggeser kursinya sedikit, lalu menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Apa yang lo nggak ngerti?" Alana terdiam. Bukan karena ia tidak tahu harus menjawab apa, tapi karena… sejak kapan Alfa jadi sepeduli ini? Selama ini, ia mengira cowok itu hanya akan membiarkannya belajar sendiri. Tapi sekarang, Alfa justru bertanya, menawarkan bantuan tanpa diminta. "Eh… ini," Alana akhirnya menunjuk salah satu bagian dalam dokumen. "Gue nggak ngerti cara nyusun anggaran buat acara ini. Gue nggak punya pengalaman ngurusin hal kayak gini sebelumnya." Alfa menatap dokumen itu selama beberapa detik, lalu—yang lebih mengejutkan—ia berdiri dan berjalan mendekat. Alana membeku di tempatnya saat Alfa menarik kursi dan duduk di sebelahnya. Jarak mereka terlalu dekat. Begitu dekat hingga Alana bisa merasakan kehangatan samar dari tubuhnya. "Anggaran itu dasarnya sederhana," kata Alfa, nadanya tetap datar, tapi ada sedikit kesabaran di dalamnya. "Lo tinggal bagi per kategori. Misalnya, biaya konsumsi, sewa tempat, peralatan, dan lain-lain." Alana mencoba untuk tetap fokus pada dokumen di depannya, tapi sulit. Bukan hanya karena otaknya sedang bekerja keras memahami penjelasan Alfa, tapi juga karena fakta bahwa cowok ini sekarang ada di sisinya, lebih dekat dari sebelumnya. Dan lebih dari itu—untuk pertama kalinya, Alfa terlihat benar-benar memperhatikannya. *** Hari berlalu dengan lebih banyak interaksi kecil yang tidak biasa antara mereka. Seperti saat Alfa tanpa banyak bicara mengambilkan botol air dari meja lain dan meletakkannya di depan Alana, seolah tahu ia lupa membawa minum. Atau saat Alfa sekilas melirik jam tangannya sebelum berkata, "Lo udah makan belum?" dengan nada santai yang sama sekali tidak terlihat seperti perhatian, tapi tetap saja terdengar seperti perhatian di telinga Alana. Alana mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanya kebetulan. Tapi saat mereka keluar dari ruang OSIS di sore hari, sesuatu terjadi. Saat Alana berjalan di koridor, seseorang tiba-tiba memanggilnya dengan nada mengejek. "Eh, Alana! Gimana rasanya tiba-tiba jadi wakil ketua?" Alana berhenti, menoleh ke arah suara itu. Sekelompok siswa dari kelas sebelah berdiri di ujung koridor, dengan salah satu dari mereka—cowok bernama Juno—menatapnya dengan senyum sinis. Alana mengernyit. Ia tidak terlalu mengenal Juno, tapi dari cara cowok itu berbicara, ia tahu ada sesuatu yang tidak beres. "Maksud lo apa?" tanya Alana, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. Juno tertawa kecil. "Ya, lo nggak daftar, kan? Tapi tiba-tiba nama lo ada di daftar kepengurusan. Kayak… ada seseorang yang sengaja masukin nama lo." Alana merasakan otot-ototnya menegang. Ia tahu apa yang akan Juno katakan selanjutnya. "Jangan-jangan lo punya hubungan spesial sama Alfa, makanya lo dipilih?" Sekelompok siswa itu mulai tertawa kecil, sementara Alana mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya. Ia ingin membantah. Ia ingin mengatakan bahwa ia sendiri bahkan tidak tahu kenapa Alfa memilihnya. Tapi sebelum ia bisa membuka mulutnya, suara lain terdengar. Dingin. Datang dari arah belakangnya. "Kalau lo nggak ada urusan penting, mending lo tutup mulut." Semua orang langsung terdiam. Alana menoleh, dan di sana, berdiri Alfa dengan tatapan tajam yang tidak menyisakan ruang untuk perdebatan. Juno tampak sedikit terkejut, tapi ia masih mencoba tersenyum santai. "Santai, bro. Gue cuma bercanda." Alfa tidak mengubah ekspresinya sedikit pun. "Bercanda atau enggak, jangan sok tahu." Suasana di koridor terasa jauh lebih dingin dibanding beberapa menit yang lalu. Juno mengangkat tangan seolah menyerah, lalu menoleh ke teman-temannya. "Udah, yuk. Nggak seru kalau ada si ketua di sini." Satu per satu mereka pergi, meninggalkan Alana dan Alfa dalam keheningan yang canggung. Alana menatap Alfa, tapi cowok itu hanya menatap lurus ke depan seolah tidak terjadi apa-apa. "Lo nggak perlu belain gue," kata Alana akhirnya. Alfa menoleh sedikit. "Gue nggak ngebelain lo." Alana mengernyit. "Terus?" Alfa menghela napas, lalu memasukkan tangan ke saku celananya. "Gue cuma nggak suka orang sok tahu." Itu jawaban yang khas Alfa—terdengar dingin, tapi entah kenapa, Alana merasa ada sesuatu di baliknya. Dan saat mereka akhirnya berjalan keluar dari sekolah, Alana menyadari satu hal. Alfa mungkin masih dingin. Tapi ia juga mulai menunjukkan celah di balik kedinginannya. Dan itu membuat Alana semakin bingung tentang apa yang sebenarnya Alfa pikirkan. *** Langit sore menggelayut di atas gedung sekolah, menciptakan semburat jingga yang perlahan merambat di jendela kelas-kelas yang mulai kosong. Bayangan pohon-pohon di halaman bergetar pelan diterpa angin, menciptakan bisikan samar yang entah mengapa terasa lebih mendalam dari biasanya. Di antara lorong-lorong yang semakin lengang, langkah Alana terdengar berirama. Tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat. Ada sesuatu yang memenuhi pikirannya sejak insiden di koridor tadi. Alfa. Cowok itu mungkin tidak menganggap ucapannya tadi sebagai sesuatu yang berarti. Dengan sikapnya yang selalu stabil, dingin, dan sulit diterka, Alfa seolah menepis anggapan bahwa dirinya sedang ‘membela’ seseorang. Tapi bagi Alana, itu lebih dari sekadar kata-kata singkat. Itu adalah bentuk kepedulian yang tak tersurat. Tindakan kecil yang, entah bagaimana, membuat perasaannya semakin sulit dikendalikan. Tanpa sadar, Alana menghela napas panjang. Udara sore yang mulai menipis terasa memenuhi paru-parunya, menyisakan sensasi ringan yang kontras dengan pikirannya yang semakin berat. Saat melewati taman belakang sekolah, langkahnya terhenti. Di sana, berdiri seseorang yang tampaknya sama sekali tidak terganggu dengan dunia di sekitarnya. Alfa. Cowok itu bersandar pada pagar besi tua yang setengah tertutup oleh tanaman merambat, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, sementara tatapannya kosong menatap ke arah langit. Alana tidak tahu kenapa ia berhenti. Mungkin karena selama ini, Alfa selalu terlihat sibuk. Terus berjalan maju, terus berlari ke depan, seperti seseorang yang tidak punya waktu untuk berhenti dan melihat sekelilingnya. Tapi sekarang, di bawah cahaya temaram sore, ia terlihat berbeda. Lebih manusiawi. Alana ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah mendekat. “Lo ngapain di sini?” Suara itu membuat Alfa menoleh sedikit, tapi tidak sepenuhnya menatapnya. “Gue harus jawab?” Alana mendesah pelan. “Gue cuma nanya.” Alfa tidak langsung menjawab. Ia menggeser posisi berdirinya, kali ini benar-benar menatap Alana dengan ekspresi datar khasnya. “Gue bisa balik nanya, lo juga ngapain di sini?” Alana mengerjap. Ia tidak punya alasan jelas. “Gue… lewat.” Alfa menatapnya lama, seolah menimbang kebenaran di balik kata-kata itu. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia kembali mengalihkan pandangannya ke langit. Hening. Hanya ada suara angin yang meniup ranting-ranting kecil dan desiran dedaunan yang berbisik di antara ketenangan. Alana ikut menyandarkan tubuhnya ke pagar, mengikuti arah pandangan Alfa. “Kadang gue mikir,” kata Alfa tiba-tiba, suaranya nyaris tenggelam di antara suara angin. Alana menoleh, sedikit terkejut mendengar nada suaranya yang terdengar lebih… reflektif. “Mikir apa?” tanyanya pelan. Alfa menghela napas, masih tidak menatapnya. “Gimana rasanya hidup tanpa tujuan?” Alana mengerutkan kening. “Maksud lo?” Alfa tetap diam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Dari dulu gue selalu tahu apa yang harus gue lakuin. Semua hal udah jelas. Belajar, menang, maju. Tapi belakangan gue mulai ngerasa… mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar itu.” Alana menatapnya lama. Itu adalah pertama kalinya ia mendengar Alfa bicara tentang dirinya sendiri tanpa terdengar seperti pernyataan fakta. Ada sesuatu di balik kata-kata itu—sesuatu yang tidak bisa didefinisikan dengan mudah. “Lo nyari sesuatu?” tanya Alana hati-hati. Alfa tersenyum tipis—senyum yang lebih menyerupai kilatan samar yang langsung menghilang sebelum bisa benar-benar ditangkap. “Mungkin.” Hening kembali mengisi celah di antara mereka. Tapi kali ini, itu bukan hening yang canggung. Itu adalah hening yang berbicara. Seolah ada sesuatu yang tersampaikan tanpa harus diucapkan. Dan saat akhirnya matahari benar-benar tenggelam di balik horizon, Alana tahu satu hal. Alfa bukan sekadar dingin. Ia adalah teka-teki yang bahkan dirinya sendiri belum bisa pecahkan. Dan itu membuatnya semakin tenggelam dalam perasaan yang selama ini ia sembunyikan. Alana menatap Alfa dengan sorot mata yang sulit diartikan. Pertanyaan yang baru saja Alfa lontarkan bukanlah pertanyaan sederhana. Itu bukan sekadar renungan iseng seorang siswa SMA yang kelelahan karena rutinitas. Itu adalah pertanyaan mendalam—sebuah pertanyaan yang bahkan mungkin tidak Alfa sadari betapa besarnya. Dan Alana tahu, pertanyaan seperti itu bukan hanya bisa dijawab dengan kalimat-kalimat biasa. Ia menarik napas pelan sebelum akhirnya membuka suara. “Lo tahu, Alfa?” katanya sambil melipat tangan di dada. “Pertanyaan lo itu udah jadi bahan perdebatan manusia selama ribuan tahun. Lo bukan orang pertama yang bertanya, ‘apa arti hidup?’ atau ‘gimana rasanya hidup tanpa tujuan?’” Alfa menoleh. Tatapannya tajam, tapi di dalamnya ada sesuatu yang samar—rasa ingin tahu. “Dulu, ada seorang filsuf namanya Albert Camus. Dia punya teori yang disebut ‘Absurdism.’” Alana mengangkat alisnya sedikit, memastikan Alfa masih memperhatikannya. “Menurut Camus, hidup itu nggak punya makna yang pasti. Kita lahir, tumbuh, berusaha mencari arti, tapi pada akhirnya, dunia ini nggak menawarkan jawaban mutlak. Itu yang disebut absurditas.” Alfa masih diam, tapi sorot matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda. “Tapi, Camus juga bilang, justru di situlah letak kebebasan kita,” lanjut Alana. “Karena kalau dunia nggak punya makna yang pasti, kita bebas menciptakan makna kita sendiri.” Alfa menyandarkan tubuhnya ke pagar, ekspresinya masih sulit ditebak. “Jadi lo percaya hidup itu absurd?” Alana tersenyum tipis. “Nggak sepenuhnya. Gue lebih suka cara pandang Viktor Frankl.” “Siapa?” “Seorang psikolog yang pernah ditahan di kamp konsentrasi Nazi. Dia bilang, manusia nggak bisa hidup tanpa makna. Tapi bedanya sama Camus, dia percaya kalau makna itu bukan sesuatu yang kita cari-cari dari luar, tapi sesuatu yang kita temukan dari dalam diri sendiri.” Alfa menatap Alana lama. “Jadi menurut lo, gue harus nyari makna hidup dari dalam diri sendiri?” Alana mengangkat bahu. “Bisa dibilang begitu. Tapi yang lebih penting, lo sendiri yang harus nemuin jawabannya.” Angin sore bertiup lebih kencang, membuat beberapa helai rambut Alana berayun pelan. Alfa masih diam, matanya menatap Alana seakan mencoba membaca sesuatu yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya. “Gue nggak nyangka lo tahu hal-hal kayak gini,” katanya akhirnya. Alana tersenyum miring. “Lo kira gue cuma tahu soal tugas sekolah dan drama SMA?” Alfa tidak langsung menjawab. Tapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang berubah—seperti seseorang yang baru saja melihat sesuatu dari sudut pandang yang belum pernah ia perhatikan sebelumnya. Dan untuk pertama kalinya sejak mereka berbicara, Alfa tersenyum kecil. Bukan senyum sinis atau mengejek, tapi senyum yang lebih halus. Senyum yang seolah mengakui sesuatu. Mungkin, untuk pertama kalinya, ia menemukan seseorang yang bisa menanggapinya di level yang berbeda. Dan Alana tahu, sejak percakapan ini, sesuatu telah berubah di antara mereka. Alana menatap Alfa yang masih terdiam setelah percakapan mereka tadi. Cowok itu, yang selama ini ia kenal sebagai sosok dingin dan tak banyak bicara, kini tampak berbeda. Ada sesuatu dalam tatapannya—seperti seseorang yang baru saja menemukan celah kecil di dinding yang selama ini ia bangun begitu kokoh. Tapi tentu saja, Alfa tetaplah Alfa. "Jadi, lo sering baca filsafat?" tanyanya akhirnya, suaranya terdengar lebih santai dari biasanya. Alana tersenyum tipis, menyandarkan dirinya pada pagar di sebelah Alfa. "Kadang. Gue suka baca hal-hal yang bikin gue mikir. Lo sendiri, pernah nggak kepikiran buat baca filsafat?" Alfa menghela napas pelan, lalu menatap langit. "Gue lebih suka hal yang konkret. Sesuatu yang punya jawaban pasti." Alana tertawa kecil. "Itu berarti lo lebih cocok sama filsafat Stoikisme." Alfa menoleh, menatapnya dengan ekspresi penuh tanya. "Stoikisme ngajarin buat fokus sama hal-hal yang bisa lo kendalikan. Emosi, pikiran, tindakan lo sendiri. Mereka percaya kalau kebahagiaan itu datang dari menerima kenyataan dan nggak terlalu terikat sama hal-hal di luar kendali kita." Alfa diam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Kedengarannya masuk akal." Alana tersenyum. "Gue tahu lo bakal bilang gitu." Hening mengisi udara di antara mereka. Tapi kali ini, itu bukanlah keheningan yang canggung atau penuh jarak. Ada sesuatu yang berbeda—seperti aliran energi yang bergerak di antara mereka tanpa perlu kata-kata. Alfa akhirnya berdeham pelan. "Jadi, lo percaya kalau semua orang bisa nemuin makna hidup mereka masing-masing?" Alana menatapnya, lalu mengangguk. "Iya. Tapi nggak semua orang mau nyari. Beberapa orang cuma ngikutin arus tanpa pernah bener-bener mikirin mereka hidup buat apa." Alfa menatapnya lama, seolah sedang mencoba membaca sesuatu dalam dirinya. "Lo sendiri, udah nemuin makna lo?" Pertanyaan itu membuat Alana terdiam sejenak. Ia tidak menyangka Alfa akan bertanya sejauh itu. "Gue masih nyari," katanya akhirnya. "Tapi gue percaya kalau makna itu bukan sesuatu yang harus dicari dengan tergesa-gesa. Kadang, dia datang sendiri di waktu yang tepat." Alfa mengangguk pelan, seolah memahami sesuatu yang sebelumnya tak pernah ia pikirkan. "Lo bikin gue mikir, Alana," gumamnya pelan. Alana menoleh cepat. "Apa?" Alfa menatapnya sekilas, lalu menatap ke depan lagi. "Gue nggak nyangka lo punya pemikiran kayak gini. Biasanya orang-orang cuma peduli sama hal-hal sepele. Tapi lo... beda." Alana merasakan sesuatu bergetar di dadanya. Entah karena kata-kata Alfa, atau karena cara cowok itu mengatakannya—seakan itu adalah sebuah pengakuan yang tidak mudah ia lontarkan. Dan untuk pertama kalinya, Alana melihat sesuatu yang samar di mata Alfa. Sebuah ketertarikan. Bukan ketertarikan yang dangkal, bukan ketertarikan karena penampilan atau hal-hal sepele lainnya. Tapi ketertarikan yang datang dari rasa ingin tahu—keinginan untuk memahami seseorang lebih dalam. Dan entah kenapa, itu cukup untuk membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Mungkin, tanpa mereka sadari, sesuatu telah berubah di antara mereka. Dan perubahan itu, sekecil apa pun, adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Hujan turun dengan lembut, membasahi jalanan sekolah yang kini mulai sepi. Aroma tanah basah bercampur dengan udara dingin yang menyelinap melalui celah jendela kelas. Di luar, butiran air jatuh perlahan dari dedaunan, menciptakan ritme alami yang menenangkan. Di dalam kelas yang tinggal beberapa orang, Alana duduk di bangkunya sambil menatap layar ponsel. Namun, pikirannya tidak benar-benar ada di sana. Sejak percakapannya dengan Alfa kemarin, ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya. Bukan hanya karena pertanyaan yang mereka bahas, tetapi juga bagaimana Alfa bereaksi terhadapnya. Alana tidak pernah menyangka cowok itu akan menunjukkan ketertarikan terhadap filsafat—atau lebih tepatnya, ketertarikan terhadap cara pikirnya. Dan yang lebih mengejutkan, Alfa mengaku kalau dia membuatnya berpikir. Alana tersenyum kecil, mengingat ekspresi Alfa saat itu. Tidak ada nada sarkas atau sinis dalam suaranya. Hanya kejujuran yang terdengar jelas. "Ngapain senyum-senyum sendiri?" Sebuah suara familiar membuyarkan lamunannya. Alana menoleh dan menemukan Alfa berdiri di dekat mejanya, satu tangan di saku celana, yang lain membawa botol minum. Tatapannya datar seperti biasa, tapi ada sesuatu dalam caranya menatap Alana yang membuat suasana di antara mereka terasa berbeda. "Gue nggak senyum," elak Alana cepat. Alfa mengangkat alis, lalu menarik kursi di depan Alana dan duduk. "Keliatan banget kok." Alana pura-pura sibuk menekan layar ponselnya, berusaha mengabaikan tatapan Alfa. Hening sesaat. Hanya suara hujan yang terdengar, menciptakan ritme menenangkan di antara mereka. "Jadi," Alfa membuka suara, "lo beneran percaya kalau semua orang bisa nemuin makna hidup mereka masing-masing?" Alana mendongak, sedikit terkejut dengan pertanyaannya. "Masih kepikiran soal itu?" tanyanya, mencoba menahan senyum. Alfa mengangkat bahu. "Mungkin." Alana menatap cowok itu sejenak, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Gue percaya kalau setiap orang punya caranya sendiri buat nemuin makna hidup. Tapi ada juga yang nggak pernah nyari, dan ada yang berhenti nyari di tengah jalan." Alfa menyimak dalam diam. "Nietzsche bilang, ‘He who has a why to live can bear almost any how.’" Alfa menyipitkan mata. "Itu artinya?" "Siapa pun yang punya alasan buat hidup, dia bakal bisa menghadapi gimana pun caranya. Intinya, kalau lo punya tujuan yang kuat, seberat apa pun hidup, lo bakal tetep jalan." Alfa mengetuk botol minumnya dengan pelan di meja, seolah memproses kata-kata Alana. "Jadi lo percaya kalau orang yang nggak punya tujuan bakal lebih gampang nyerah?" tanyanya akhirnya. Alana mengangguk. "Kebanyakan orang yang ngerasa hidupnya nggak berarti itu karena mereka kehilangan tujuan. Kayak Viktor Frankl bilang, manusia butuh sesuatu buat dipegang. Entah itu mimpi, cinta, atau bahkan rasa tanggung jawab." Alfa terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata, "Lo banyak tahu soal ginian." Alana tersenyum tipis. "Gue cuma suka mikir. Lo juga bisa kalau mau." Alfa menatapnya lama. Ada sesuatu dalam sorot matanya—sesuatu yang membuat Alana merasa seolah dia sedang dilihat lebih dalam daripada sebelumnya. Dan untuk pertama kalinya, Alfa tidak membalas dengan nada dingin atau sarkas. Sebaliknya, dia berkata pelan, hampir seperti gumaman, "Mungkin gue bakal mulai nyari juga." Alana tidak tahu apa maksudnya, tapi satu hal yang ia sadari—ada sesuatu yang berubah dalam cara Alfa menatapnya. Dan itu membuat dadanya berdebar lebih kencang.Sejak percakapan itu, Alfa berubah. Tidak lagi sekadar dingin dan misterius, tapi lebih dari itu—ia menjadi seseorang yang selalu ada di sekitar Alana, dalam jarak yang cukup dekat untuk membuatnya sadar, tapi cukup jauh untuk tetap terasa asing.Pagi itu, Alana baru saja tiba di sekolah saat Bianca menepuk pundaknya dengan ekspresi penuh arti.“Kayaknya lo harus denger sesuatu,” ujar Bianca sambil menarik Alana ke bangku taman sekolah.Alana menghela napas. “Tentang apa?”“Alfa.”Jantung Alana berdegup sedikit lebih cepat. “Kenapa dengan dia?”Bianca melirik ke arah lapangan, di mana Alfa berdiri dengan posisi santai, tangannya di saku celana, sementara matanya mengamati sesuatu.Atau lebih tepatnya, mengamati seseorang.Darel.Alana mengikuti arah pandangan Bianca dan baru menyadari betapa intensnya tatapan Alfa. Darel yang berdiri bersama beberapa teman sekelasnya tampak tidak menyadari keberadaan Alfa, tapi ada sesuatu dalam cara Alfa menatap yang membuat bulu kuduk Alana berdiri.
Alana selalu percaya bahwa perasaan adalah sesuatu yang bisa dikendalikan. Bahwa jika ia memutuskan untuk tidak peduli, maka seharusnya semuanya akan baik-baik saja. Namun, kenyataan tidak pernah sesederhana itu.Sejak pertemuan di mal beberapa hari lalu, sejak tatapan mereka bertemu dan ia memilih untuk berbalik tanpa satu kata pun, ada sesuatu yang berubah. Tidak hanya dalam dirinya, tetapi juga dalam cara ia menghadapi Alfa.Ia mulai menjaga jarak.Bukan dalam bentuk sikap yang mencolok, melainkan dalam hal-hal kecil yang mungkin tidak disadari orang lain.Jika biasanya ia akan mencari sosok Alfa di antara kerumunan tanpa sadar, kini ia menahan diri. Jika biasanya ia akan membiarkan pandangan mereka bertemu meski hanya sepersekian detik, kini ia memilih untuk mengalihkan mata lebih cepat.Ia tidak ingin lagi terjebak dalam kebingungan yang sama. Tidak ingin mencari jawaban yang mungkin tidak pernah ada.Dan yang paling penting, ia tidak ingin merasakan perasaan yang sama setiap kal
Langit sore mulai berwarna jingga keemasan ketika bel pulang sekolah berbunyi, menandakan akhir dari hari yang panjang. Alana mengemasi buku-bukunya dengan gerakan santai, menikmati suara gaduh khas kelas yang mulai kosong. Beberapa teman sekelasnya sudah berhamburan keluar, meninggalkan deretan meja yang mulai lengang.Saat ia hendak memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebuah suara yang familiar menghentikan gerakannya."Alana, bentar."Alana menoleh dan menemukan Darel—salah satu teman sekelasnya—berdiri di dekat mejanya dengan ekspresi santai. Rambutnya sedikit berantakan, tapi senyumnya tetap terukir jelas di wajahnya."Lo sibuk nggak nanti sore?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Alana mengernyit, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Kenapa?"Darel mengangkat bahunya dengan ringan. "Gue butuh bantuan lo buat ngerjain tugas Matematika. Lo kan jago di pelajaran itu. Kalau lo ada waktu, mungkin kita bisa ngerjain bareng di kafe depan sekolah?"Alana berpikir sejenak. Ia memang
Hujan telah reda, meninggalkan jejak embun di jendela dan aroma tanah basah yang masih tertinggal di udara. Matahari sore mengintip malu-malu dari balik awan, seakan ragu untuk kembali bersinar penuh.Di sudut perpustakaan yang sepi, Alana duduk dengan buku terbuka di depannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya berada di halaman yang ia baca. Matanya sesekali melirik ke arah sosok yang duduk di seberangnya—Alfa.Cowok itu jarang sekali terlihat di perpustakaan. Tapi hari ini, entah mengapa, dia ada di sini.Lebih mengejutkan lagi, dia yang lebih dulu menarik kursi di depannya, meletakkan bukunya di meja, lalu tanpa basa-basi mulai membaca. Seolah ini adalah hal biasa bagi mereka berdua.Padahal tidak.Alana mencoba mengabaikan perasaan aneh yang menyelusup di dadanya dan kembali fokus pada buku. Tapi, keheningan ini terasa berbeda.Biasanya, kehadiran Alfa di dekatnya akan dipenuhi dengan ketidakpedulian. Tapi kali ini, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih halus, lebih tak kasat
Rapat pertama kepengurusan OSIS berjalan lebih lambat dari yang Alana harapkan. Ia tidak tahu apakah ini karena pikirannya yang terlalu penuh atau karena ruangan ini memang dipenuhi orang-orang yang terlalu sibuk dengan pikiran mereka sendiri.Ia duduk di kursinya dengan punggung tegang, tangannya menggenggam pulpen yang belum sekalipun ia gunakan untuk mencatat. Suaranya hampir tidak terdengar sepanjang rapat, sementara yang lain mulai membicarakan program kerja dan tanggung jawab masing-masing.Di sisi lain meja, Alfa duduk dengan sikap yang jauh lebih santai. Sikunya bertumpu di atas meja, tangan kirinya menyangga dagu, matanya memperhatikan orang-orang di ruangan itu seolah ia sedang menilai mereka satu per satu.Tidak banyak yang berubah dari Alfa sejak ia resmi menjadi Ketua OSIS. Ia masih dingin, masih sulit ditebak, dan masih… terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja memegang jabatan besar."Alfa, lo ada tambahan buat rapat hari ini?"Suara sekretaris OSIS membuyarkan lam
Pagi menjelma dalam pendar keemasan, menyeruak melalui tirai yang sedikit terbuka. Udara dingin masih membekas di dinding kamar, menyisakan jejak malam yang belum sepenuhnya pergi. Seperti biasa, alarm berbunyi nyaring, tetapi Alana hanya menatapnya tanpa niat untuk segera bangun.Pagi datang terlalu cepat. Atau mungkin, ia yang terlalu enggan menghadapi hari.Dengan gerakan malas, ia meraih ponsel di meja kecil di samping tempat tidur. Layarnya menyala, menampilkan notifikasi grup kelas yang hanya berisi diskusi tugas dan candaan receh. Tidak ada pesan istimewa, tidak ada sesuatu yang benar-benar ia tunggu.Ia meletakkan kembali ponselnya, lalu menatap langit-langit kamar. Sekali lagi, ia terjebak dalam rutinitas yang sama.Hari yang sama. Sekolah yang sama. Perasaan yang… masih tetap sama.***Langkah kaki Alana bergema pelan di lorong sekolah. Sepatu hitamnya menyentuh lantai dengan ritme yang tak berubah, seirama dengan debaran jantungnya yang sejak tadi terasa lebih kencang dari