Share

Bab 11. Luka Di Hati, Luka Di Jiwa

Dion duduk di sebelah ranjang Venus dengan posisi menyamping. Sementara Venus ikut menyamping menghadapnya.

“Masih sakit?” tanya Dion pada keadaan tangan Venus. Venus mengangguk dan sedikit tersenyum. Dion sedikit berpikir dan bingung harus berbuat apa untuk membantu.

“Apa yang bisa saya lakukan?” Dion mulai pasrah. Ia tak punya ide sama sekali. Venus tersenyum saja dan meminta hal yang lebih aneh.

“Kalau mau, Mas Dion boleh tiupin telapak tanganku!” Venus menyengir lalu menyodorkan telapak tangannya pada Dion langsung di depan wajahnya. Dion sampai terkesiap dan kepalanya mundur ke belakang.

“Huh ...” Venus malah terkekeh dan masih meletakkan tangannya untuk ditiupi oleh Dion.

“Tapi ...”

“Ayo, katanya mau tanggung jawab!” potong Venus cepat. Dion pun dengan polosnya meniup perlahan luka lecet itu agar tak terlalu perih.

“Yang lebih deket dong, Mas! Gak terasa!” protes Venus makin mengerjai Dion. Dion diam sedetik lalu mendekat lagi untuk meniup. Venus menurunkan tangannya ke sisi ranjang agar Dion balik menghadapnya. Dion pun terpaksa meluruskan posisinya untuk meniupi lembut telapak tangan Venus.

Venus sedang terluka dan Dion tak tahu. Beberapa jam sebelumnya, ia mendapati jika tunangannya bermain hati dengan wanita lain. Meskipun Gareth belum mengkonfirmasi tentang hal itu, namun Venus mempercayai instingnya. Gareth begitu dingin selama beberapa bulan belakangan ini. Pasti ada yang sudah mengalihkan perhatiannya.

Venus terus memandang Dion yang mengalirkan perhatiannya dengan meniupi telapak tangannya yang terluka. Wajah Dion terlihat sangat tampan sekarang. Dengan rambut hitam yang tertata rapi, Venus baru menyadari jika pengawalnya itu memiliki wajah di atas rata-rata. Harusnya dia menjadi model saja.

“Mas Dion, Polisi ya?” tanya Venus berbasa-basi pada Dion yang begitu berkonsentrasi meniup lembut. Dion menaikkan pandangannya menatap Venus yang juga menatapnya lembut. Tak ada lagi Venus yang membencinya seperti seminggu lalu.

“Iya,” jawab Dion singkat lalu meniup lagi.

“Pangkatnya apa?” tanya Venus lembut.

“IPTU ...”

“Apa itu IPTU?” Dion menaikkan lengkungan senyumannya. Ia mulai tak tegang dan jauh lebih santai bicara dengan Venus.

“Kepanjangannya Inspektur Tingkat Satu.”

“Tinggi dong?”

“Itu pangkat perwira menengah. Gak terlalu tinggi,” jawab Dion merendah. Venus tersenyum dan matanya mulai mengantuk. Tiupan lembut dan hangat dari Dion membuat rasa perih mereda dan berganti dengan rasa nyaman.

“Apa Mas Dion punya pacar?” tanya Venus lagi mulai sedikit menggeliat tapi masih menyamping memandang Dion.

“Iya. Saya sudah bertunangan dan berencana menikah.” Senyuman Venus sedikit memudar tapi ia kembali tersenyum. Venus mengira jika Dion masih sendiri.

“Kapan Mas Dion akan menikah?” Dion menarik napas dan perlahan mengeluarkannya dengan lembut. Dengusannya terdengar dan sekelebat membuat Venus menggigil.

“Mungkin setelah pulang dari sini. Jadi sekitar dua minggu lagi ...” Venus tertegun memandang Dion dengan pandangan yang tak lagi ceria seperti sebelumnya. Dion berhenti meniup dan ikut memandang mata Venus. Entah Dion menyadari atau tidak, tangannya yang terluka menyentuh pergelangan tangan Venus sambil terus memandang wajahnya.

“Tidurlah ... aku ada di sini,” gumam Dion dengan lembut seolah tengah membuat janji. Tangannya yang lain lalu menarik selimut Venus sampai melewati ujung pundaknya. Venus tak membantah sama sekali. Ia memejamkan matanya perlahan.

Ujung jempol Dion terus membelai lembut ujung pergelangan tangan Venus. Salah satu tempat paling halus dan sensitif dari tubuhnya. Rasa sakit di hati Venus berganti dengan rasa nyaman bisa beristirahat dengan tenang.

Perlahan rasa bersalah mulai menyelimuti hati Dion. Ia tahu jika dirinya mulai menyukai Venus tapi bukankah itu tak seharusnya terjadi? Bagaimana jika yang dilakukannya malah berujung pada pengkhianatan?

Dion memejamkan matanya dan menggelengkan kepalanya. Ia tahu jika menjaga Venus adalah bagian dari janji dan kewajiban dalam pekerjaannya.

Namun ia ingin bisa membelai rambut dan kepala Venus. Dion bisa melihat jika Venus sedang bersedih. Harusnya kekasihnya datang di saat seperti ini. Tapi hanya ada Dion di sana memandang Venus sambil berjaga.

***

Detektif Brooke menghubungi Dion keesokan harinya. Ia memberitahukan jika penjahat yang diserahkan oleh anggotanya kemarin adalah orang yang sama yang menusuk Edgar Luther. Dion pun segera membawa Venus ke kantor polisi setelah keluar dari rumah sakit. Tujuannya adalah untuk mengkonfirmasi penjahat tersebut.

Venus dimasukkan ke dalam sebuah ruangan khusus. Dion masih terus mendampinginya. Di depannya ada dinding kaca tempat pria yang sesuai dengan ciri-ciri yang diberikan Venus tentang pembunuh Edgar Luther. Pria itu tengah ditanyai dan Venus bisa menyaksikan wajahnya dengan jelas.

“Nona Harristian, apa benar dia adalah pembunuhnya?” tanya Detektif Brooke pada Venus. Venus terpaku dan mencoba mengingatnya.

Di saat yang bersamaan, pria itu menoleh dan menatap dinding kaca yang tak tembus ke arah Venus. Venus terkesiap dan langsung takut. Tanpa peringatan, ia memegang lengan Dion sekaligus separuh memeluknya.

“Dia ... iya ... dia yang sudah menusuk Edgar Luther!” ucap Venus dengan nada bergetar dan napas tercekat. Venus langsung bergidik ngeri dan ketakutan setengah mati. Dion langsung membalikkan Venus jadi menghadapnya.

“Nona, gak apa? Ada apa?” tanya Dion terdengar cemas. Venus sesak dan sangat ingin menangis. Detektif Brooke ikut menatap heran pada Venus.

“Nona Harristian, aku memerlukan keteranganmu ...”

“Tunggu sebentar!” potong Dion dengan tegas pada detektif itu. Ia sedikit menunduk lagi menatap Venus untuk menenangkannya.

“Sebenarnya ada apa, Nona? Apa Nona takut?” tanya Dion dengan lembut. Venus langsung mengangguk.

“Aku gak berani ... aku gak berani! Aku gak berani!” gumam Venus meneteskan air mata dan malah memeluk Dion. Dion jadi ikut bingung tapi mau tak ia mau ia harus menenangkan Venus. Sedangkan Venus terisak ketakutan karena ia jadi mengingat lagi peristiwa traumatis kala ia lari ke dalam lift.

“Ada apa ini?” tukas det. Brooke lagi.

“Berikan kami waktu, tolong ...” pinta Dion masih dipeluk Venus erat sambil menangis.

“Apa? Tapi dia harus memberikan keterangan!” bantah det. Brooke lagi.

“Aku tahu, tolong berikan dia waktu untuk tenang. Aku akan kembali, oke!” Dion pun merangkul Venus untuk membawanya pergi dari ruangan itu.

“Ayo kita keluar dulu. Kita hirup udara segar, oke?” Venus mengangguk saja tapi tak melepaskan rangkulannya pada pinggang Dion.

Dion pun membawa Venus ke taman samping kantor polisi yang dekat dengan parkiran mobilnya. Beberapa pengawal kemudian mengawasi dan mengitari tempat itu sementara Dion akan menemani Venus.

Elon salah satu pengawal kemudian datang berlari membawa minuman panas untuk Venus atas perintah Dion. Sementara Dion berlutut di depan Venus agar bisa melihat keadaannya lebih jelas.

“Jika Nona gak nyaman, Nona bisa cerita sama saya. Saya akan lakukan seperti apa yang Nona mau,” ujar Dion menawarkan diri. Venus tak tersenyum dan hanya menunduk saja. Wajahnya masih pucat. Dion pun menaikkan tangannya agar ia menyesap minumannya sehingga lebih tenang.

“Mas, aku takut memberikan keterangan. Apa aku boleh menarik kesaksianku saja?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status