Dion duduk di sebelah ranjang Venus dengan posisi menyamping. Sementara Venus ikut menyamping menghadapnya.
“Masih sakit?” tanya Dion pada keadaan tangan Venus. Venus mengangguk dan sedikit tersenyum. Dion sedikit berpikir dan bingung harus berbuat apa untuk membantu.
“Apa yang bisa saya lakukan?” Dion mulai pasrah. Ia tak punya ide sama sekali. Venus tersenyum saja dan meminta hal yang lebih aneh.
“Kalau mau, Mas Dion boleh tiupin telapak tanganku!” Venus menyengir lalu menyodorkan telapak tangannya pada Dion langsung di depan wajahnya. Dion sampai terkesiap dan kepalanya mundur ke belakang.
“Huh ...” Venus malah terkekeh dan masih meletakkan tangannya untuk ditiupi oleh Dion.
“Tapi ...”
“Ayo, katanya mau tanggung jawab!” potong Venus cepat. Dion pun dengan polosnya meniup perlahan luka lecet itu agar tak terlalu perih.
“Yang lebih deket dong, Mas! Gak terasa!” protes Venus makin mengerjai Dion. Dion diam sedetik lalu mendekat lagi untuk meniup. Venus menurunkan tangannya ke sisi ranjang agar Dion balik menghadapnya. Dion pun terpaksa meluruskan posisinya untuk meniupi lembut telapak tangan Venus.
Venus sedang terluka dan Dion tak tahu. Beberapa jam sebelumnya, ia mendapati jika tunangannya bermain hati dengan wanita lain. Meskipun Gareth belum mengkonfirmasi tentang hal itu, namun Venus mempercayai instingnya. Gareth begitu dingin selama beberapa bulan belakangan ini. Pasti ada yang sudah mengalihkan perhatiannya.
Venus terus memandang Dion yang mengalirkan perhatiannya dengan meniupi telapak tangannya yang terluka. Wajah Dion terlihat sangat tampan sekarang. Dengan rambut hitam yang tertata rapi, Venus baru menyadari jika pengawalnya itu memiliki wajah di atas rata-rata. Harusnya dia menjadi model saja.
“Mas Dion, Polisi ya?” tanya Venus berbasa-basi pada Dion yang begitu berkonsentrasi meniup lembut. Dion menaikkan pandangannya menatap Venus yang juga menatapnya lembut. Tak ada lagi Venus yang membencinya seperti seminggu lalu.
“Iya,” jawab Dion singkat lalu meniup lagi.
“Pangkatnya apa?” tanya Venus lembut.
“IPTU ...”
“Apa itu IPTU?” Dion menaikkan lengkungan senyumannya. Ia mulai tak tegang dan jauh lebih santai bicara dengan Venus.
“Kepanjangannya Inspektur Tingkat Satu.”
“Tinggi dong?”
“Itu pangkat perwira menengah. Gak terlalu tinggi,” jawab Dion merendah. Venus tersenyum dan matanya mulai mengantuk. Tiupan lembut dan hangat dari Dion membuat rasa perih mereda dan berganti dengan rasa nyaman.
“Apa Mas Dion punya pacar?” tanya Venus lagi mulai sedikit menggeliat tapi masih menyamping memandang Dion.
“Iya. Saya sudah bertunangan dan berencana menikah.” Senyuman Venus sedikit memudar tapi ia kembali tersenyum. Venus mengira jika Dion masih sendiri.
“Kapan Mas Dion akan menikah?” Dion menarik napas dan perlahan mengeluarkannya dengan lembut. Dengusannya terdengar dan sekelebat membuat Venus menggigil.
“Mungkin setelah pulang dari sini. Jadi sekitar dua minggu lagi ...” Venus tertegun memandang Dion dengan pandangan yang tak lagi ceria seperti sebelumnya. Dion berhenti meniup dan ikut memandang mata Venus. Entah Dion menyadari atau tidak, tangannya yang terluka menyentuh pergelangan tangan Venus sambil terus memandang wajahnya.
“Tidurlah ... aku ada di sini,” gumam Dion dengan lembut seolah tengah membuat janji. Tangannya yang lain lalu menarik selimut Venus sampai melewati ujung pundaknya. Venus tak membantah sama sekali. Ia memejamkan matanya perlahan.
Ujung jempol Dion terus membelai lembut ujung pergelangan tangan Venus. Salah satu tempat paling halus dan sensitif dari tubuhnya. Rasa sakit di hati Venus berganti dengan rasa nyaman bisa beristirahat dengan tenang.
Perlahan rasa bersalah mulai menyelimuti hati Dion. Ia tahu jika dirinya mulai menyukai Venus tapi bukankah itu tak seharusnya terjadi? Bagaimana jika yang dilakukannya malah berujung pada pengkhianatan?
Dion memejamkan matanya dan menggelengkan kepalanya. Ia tahu jika menjaga Venus adalah bagian dari janji dan kewajiban dalam pekerjaannya.
Namun ia ingin bisa membelai rambut dan kepala Venus. Dion bisa melihat jika Venus sedang bersedih. Harusnya kekasihnya datang di saat seperti ini. Tapi hanya ada Dion di sana memandang Venus sambil berjaga.
***
Detektif Brooke menghubungi Dion keesokan harinya. Ia memberitahukan jika penjahat yang diserahkan oleh anggotanya kemarin adalah orang yang sama yang menusuk Edgar Luther. Dion pun segera membawa Venus ke kantor polisi setelah keluar dari rumah sakit. Tujuannya adalah untuk mengkonfirmasi penjahat tersebut.
Venus dimasukkan ke dalam sebuah ruangan khusus. Dion masih terus mendampinginya. Di depannya ada dinding kaca tempat pria yang sesuai dengan ciri-ciri yang diberikan Venus tentang pembunuh Edgar Luther. Pria itu tengah ditanyai dan Venus bisa menyaksikan wajahnya dengan jelas.
“Nona Harristian, apa benar dia adalah pembunuhnya?” tanya Detektif Brooke pada Venus. Venus terpaku dan mencoba mengingatnya.
Di saat yang bersamaan, pria itu menoleh dan menatap dinding kaca yang tak tembus ke arah Venus. Venus terkesiap dan langsung takut. Tanpa peringatan, ia memegang lengan Dion sekaligus separuh memeluknya.
“Dia ... iya ... dia yang sudah menusuk Edgar Luther!” ucap Venus dengan nada bergetar dan napas tercekat. Venus langsung bergidik ngeri dan ketakutan setengah mati. Dion langsung membalikkan Venus jadi menghadapnya.
“Nona, gak apa? Ada apa?” tanya Dion terdengar cemas. Venus sesak dan sangat ingin menangis. Detektif Brooke ikut menatap heran pada Venus.
“Nona Harristian, aku memerlukan keteranganmu ...”
“Tunggu sebentar!” potong Dion dengan tegas pada detektif itu. Ia sedikit menunduk lagi menatap Venus untuk menenangkannya.
“Sebenarnya ada apa, Nona? Apa Nona takut?” tanya Dion dengan lembut. Venus langsung mengangguk.
“Aku gak berani ... aku gak berani! Aku gak berani!” gumam Venus meneteskan air mata dan malah memeluk Dion. Dion jadi ikut bingung tapi mau tak ia mau ia harus menenangkan Venus. Sedangkan Venus terisak ketakutan karena ia jadi mengingat lagi peristiwa traumatis kala ia lari ke dalam lift.
“Ada apa ini?” tukas det. Brooke lagi.
“Berikan kami waktu, tolong ...” pinta Dion masih dipeluk Venus erat sambil menangis.
“Apa? Tapi dia harus memberikan keterangan!” bantah det. Brooke lagi.
“Aku tahu, tolong berikan dia waktu untuk tenang. Aku akan kembali, oke!” Dion pun merangkul Venus untuk membawanya pergi dari ruangan itu.
“Ayo kita keluar dulu. Kita hirup udara segar, oke?” Venus mengangguk saja tapi tak melepaskan rangkulannya pada pinggang Dion.
Dion pun membawa Venus ke taman samping kantor polisi yang dekat dengan parkiran mobilnya. Beberapa pengawal kemudian mengawasi dan mengitari tempat itu sementara Dion akan menemani Venus.
Elon salah satu pengawal kemudian datang berlari membawa minuman panas untuk Venus atas perintah Dion. Sementara Dion berlutut di depan Venus agar bisa melihat keadaannya lebih jelas.
“Jika Nona gak nyaman, Nona bisa cerita sama saya. Saya akan lakukan seperti apa yang Nona mau,” ujar Dion menawarkan diri. Venus tak tersenyum dan hanya menunduk saja. Wajahnya masih pucat. Dion pun menaikkan tangannya agar ia menyesap minumannya sehingga lebih tenang.
“Mas, aku takut memberikan keterangan. Apa aku boleh menarik kesaksianku saja?”
Dion akhirnya pindah untuk duduk di sebelah Venus usai ia bicara seperti itu. Dion mulai khawatir dengan keadaan Venus. Selain jika dia akan mendapatkan banyak kesulitan dengan makin lamanya bergulir kasus karena ia menarik kesaksiannya, Dion juga tak bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik jika itu terjadi. “Nona, dengarkan saya. Jika Nona tidak bicara dan malah menarik kesaksian itu maka kebenaran tidak akan terungkap. Sebaliknya, kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi sebenarnya,” ujar Dion sambil memegang tangan Venus. Venus terus menatap Dion dan terpaku hanya padanya. Dion pun tak lagi membuat jarak kali ini. Ia membujuk Venus sepenuh hati. “Tapi aku takut, Mas. Bagaimana jika dia marah dan balik menyerang? Atau dia kabur?” rengek Venus masih meneteskan air matanya. Venus terlihat sangat ketakutan karena ini kali pertama ia akan bersaksi. “Nona, saya ada di sini. Saya akan selalu melindungi Nona 24 jam tanpa jeda. Tidak akan ada lagi insid
“Mas kok nanya-nanya terus, piye toh Mas? Mas Rico itu kan temenmu!” tegur Laras mulai menaikkan nada bicaranya. “Iya, aku tahu. Aku kan cuma nanya kamu ngapain saja!” jawab Dion dengan suara memelas. Ia jadi agak menyesal menanyakan perihal kekasihnya yang pergi bersama Rico, sahabatnya. Tak ada maksud Dion untuk curiga. Tapi kejadian yang terjadi pada Venus membuatnya sedikit was-was. “Tapi nada bicaramu itu lho! Curiga sama aku! Mas pikir aku bakalan selingkuh?” “Bukan begitu, Sayang. Aku gak nuduh kamu kayak begitu. Aku cuma gak mau Rico jadi kebeban harus nganterin kamu,” sahut Dion memberikan alasannya. “Ya Mas Rico-nya baik-baik saja toh!” bantah Laras masih sengit. “Ya sudah, aku minta maaf. Aku gak bermaksud sama sekali curiga sama kamu, enggak! Aku tahu kamu setia sama aku dari dulu. Kita sudah pacaran dari SMA, masa kamu mengkhianati aku. Kan ga mungkin!” sahut Dion meyakinkan lagi. “Ya gak mungkin toh, Mas. Aku tuh cinta sa
“Dasar pengawal bodoh! Ini bukan urusanmu!” bentak Gareth makin marah. Dion yang juga marah tapi tak menyalak lebih memilih untuk menepikan Venus terlebih dahulu. “Kyle, tolong antar Nona Harristian kembali ke kamar!” perintah Dion dengan nada dingin. “Apa-apaan ini! Aku sedang bicara dengan calon istriku!” hardik Gareth menunjuk marah pada Dion. Dion tak peduli. Ia mengawasi Kyle yang mengantarkan Venus kembali ke kamarnya. Gareth mencoba mencegah dengan ikut tapi Dion dengan cepat menghalangi dengan berdiri di depannya. “Apa yang sedang kau lakukan?!” “Silahkan keluar, Tuan Moultens ...” “Felipe, tolong tunjukkan pintu keluar pada Tuan Moultens!” perintah Dion menyambungkan kalimatnya. Gareth benar-benar mendelik keras pada Dion yang ikut campur pada masalahnya dan Venus. “Silahkan, Tuan Moultens!” tukas Felipe makin menimpali. “Kau pikir aku tidak tahu di mana pintu keluar?! Dasar bodoh!” umpat Gareth begitu kesal da
“Aku pacaran sama Laras semenjak SMA. Kami sama-sama kuliah di Surabaya dan setelah aku lulus di Kepolisian, kami masih bersama. Sebelum aku naik pangkat dan pindah ke Jakarta, kami bertunangan. Kebetulan Laras juga harus pindah kerja di salah satu cabang bank di Jakarta juga,” ujar Dion bercerita dengan santai soal kehidupan asmaranya. Dengan senyuman dan raut bahagia, Dion seperti tengah bercerita pada temannya sendiri.Venus tersenyum dan mengangguk. Dion masih bercerita beberapa hal dan Venus hanya mendengarkan.“Dia wanita yang beruntung,” puji Venus masih tersenyum. Dion mengulum senyumannya dan menundukkan kepala.“Kapan Mas Dion akan menikah?” tanya Venus lagi beberapa saat kemudian.“Aku harap secepatnya.” Dion lalu menoleh pada Venus yang juga ikut tersenyum manis padanya.“Aku juga ingin menikah, Mas. Punya anak, jadi ibu rumah tangga. Rasanya seperti life goals yang sulit untuk aku d
Wangi parfum yang lembut khas Dior membelai ujung penciuman Dion. Ia mencoba melawan tapi kedua tangan lembut itu memeluk pinggangnya.“Jangan pergi, Mas,” gumam suara lembut itu membujuknya agar tak meninggalkannya. Napas Dion mulai tercekat. Pipinya menekan punggung belakangnya dengan lembut. Wangi bunga khas Dior adalah pelecut gairah Dion saat ini.Tekuknya meremang, tangannya dingin. Mungkin AC di kamar terlalu kencang. Tapi lebih dari itu, Dion merasakan kehangatan di hatinya. Lama ia tak bergetar seperti itu. Lama ia tak merasakan dicintai begitu besar.Dion menyentuh dua tangan cantik dengan kulit yang lembut bagai bayi. Rasanya membelainya pun jadi segan. Dion takut tangannya yang kekar dan biasa memegang hal keras malah melukainya.Dion berbalik perlahan dan wangi lembut itu makin jelas masuk ke dalam otaknya. Ia memproses satu kondisi, rasa panas yang membahagiakan. Mata cantik itu berkaca-kaca menatap Dion. Bibirnya yang sens
HOTEL BORDEAUX, DUA JAM SEBELUMNYAVenus berjalan masuk ke dalam kamar presidential suite untuk memenuhi permintaan tunangannya Gerald Moultens. Ia merasa mungkin bisa bicara untuk melihat ke mana arah hubungan mereka selanjutnya.Venus terkejut saat masuk dan melihat meja untuk makan malam romantis telah ditata Gareth di dekat balkon kamar.“Apa ini?” Venus berbalik dan Gareth tersenyum manis.“Kejutan untuk kamu,” jawab Gareth dengan sikap yang berbeda. Ia seperti Gareth yang dulu, manis, penuh kejutan dan menyenangkan. Venus tak bereaksi. Ia hanya melihat saja dan Gareth mendekat untuk membujuknya duduk.“Aku tahu kamu marah. Tapi aku bersumpah, jika pria di dalam video itu bukan aku. Sungguh, aku tidak mungkin melakukan itu padamu,” bujuk Gareth dengan nada memelas. Venus hanya diam saja memperhatikan. Hatinya sudah terlanjur sakit dan sadar jika Gareth menyakitinya.“Kamu bisa tanyakan pada sekr
Setelah pagi menjelang, Dion baru bisa menemui Venus. Rei menginap dan tidur di kamar adiknya. Sementara Dion berjaga sampai pagi di depan kamar Venus. Ia merasa bersalah sudah meninggalkan Venus di hotel dan mungkin ia sudah melapor pada kakaknya. Rei adalah yang pertama keluar kamar.“Eh, Mas Dion. Jaga di sini?” tanya Rei sambil mengusap rambutnya yang basah. Dion hanya tersenyum mengangguk.“Iya, selamat pagi.” Dion menyapa singkat.“Pagi. Mas, aku mau ngomong sedikit. Uhm, soal Venus, jangan terlalu ketat. Sesekali kasih dia ruang. Aku takut dia stres,” tegur Rei pelan pada Dion. Dion terpaku sejenak dan mengatupkan bibirnya.“Tapi Tuan Harristian minta agar pengawalan Nona Harristian diperketat sampai pengadilan nanti. Oh iya, Jum’at ini sidang akan dimulai. Nona Harristian akan datang bersaksi.”“Oh ya?”“Iya saya sudah kirimkan jadwalnya ke email kamu ...”
Dengan geram, Gareth melewati satu persatu foto di iPad miliknya. Di sana terpampang foto Venus dengan seorang pria bernama Jupiter King. Siapa yang tak kenal Jupiter, kembaran Ares King itu adalah salah satu pemilik sekaligus CEO King Enterprise. Dan Venus terlihat begitu mesra dengannya. “Sudah kuduga! Dia berselingkuh di belakangku!” geram Gareth makin kesal. Ia sampai melempar tablet itu ke sofa. Mata-mata yang datang untuk melaporkan padanya kemudian memungut iPad itu lagi. “Dia tidak mungkin meminta putus begitu saja!” sambungnya lagi berkacak pinggang dengan kesal. “Apa yang harus aku lakukan, Tuan?” tanya pria yang menjadi mata-mata itu. “Aku ingin Jupiter King dihancurkan!” Gareth berbalik dengan tangan mengepal rasanya ingin meninju sesuatu. “Tapi itu akan sangat sulit. Terlebih videomu dan Nyonya Ackerman ...” Gareth langsung berbalik mendelik pada mata-matanya itu. Pria itu diam dan balik meminta maaf. “Maaf Tuan!”