**
“Astaga!”
Perlu beberapa waktu bagi Isabella Clark menyadari di mana dirinya berada saat ini. Semalam ia mabuk berat, kemudian pergi bersama seseorang, dan … mengira dirinya bermimpi.
Tapi siapa sangka, kini ada pria tampan tak dikenal di atas ranjang yang sama dengannya. Dalam keadaan tanpa busana pula! Berarti apa yang terjadi semalam itu sama sekali bukan mimpi.
“Sial, apa yang aku lakukan? Kenapa aku begitu bodoh?”
Tanpa banyak berpikir, Perempuan itu menyingkirkan lengan si pria yang masih memeluknya dan beringsut bangkit diam-diam.
Ia meringis kesakitan ketika melangkah, sebab bagian bawahnya terasa nyeri. Tak bisa dipungkiri, sebab ini adalah pertama kalinya ia melakukan hal ini.
Sembari terus merutuki diri, Bella memunguti pakaiannya yang tercecer di lantai kamar.
Tak lupa, ia meninggalkan beberapa lembar uang tunai di atas meja rias sebagai ‘kompensasi’ atas tindakannya semalam. Ia merasa bersalah karena sudah sembarangan mengajak tidur seorang pria tak dikenal.
“Mari lupakan semua ini dan anggap saja tidak pernah terjadi, Tuan. Maafkan aku,” lirih Bella sebelum terseok-seok berjalan keluar kamar. Ia bertekad pergi sebelum si pria melihatnya.
Hanya saja, Bella tidak tahu bahwa pria tampan itu sudah terbangun dan mengawasi gerak-geriknya sejak tadi!
Giovanni Estes bangun dari ranjang dengan perasaan kesal.
Terlebih saat ia memandang tumpukan uang yang baru saja Bella tinggalkan.
“Apa dia pikir aku ini gigolo atau semacam itu? Seharusnya aku yang membayarnya!”
Namun belum sempat melampiaskan emosinya, pria rupawan itu tak sengaja melihat
noda merah yang sudah mulai mengering–mengotori bagian tengah seprai.
“Gadis itu pasti sudah gila,” gerutu Giovanni sembari menggelengkan kepala.
Tanpa basa-basi, ia lalu meraih ponsel di atas nakas untuk menghubungi bawahannya,
“Cari tahu siapa wanita yang menghabiskan malam bersamaku dan kirimkan data secepatnya!"
Tut!
Pria 30 tahun itu segera memutus sambungan telepon. Netra hitamnya menggelap memandang hamparan lanskap kota San Diego yang terlihat dari dinding kaca kamar. Ini pertama kalinya dalam hidup Giovanni: alerginya tidak kambuh saat menyentuh perempuan.
Sementara itu di tempat lain, Bella melamun dalam taksi sepanjang jalan pulang.
Setelah ia sadar dari mabuk, kenyataan itu semakin terasa menyakitkan.
Tunangannya telah berkhianat dengan kakak tirinya.
Padahal dengan tulus Bella menemaninya dan mencintainya. Sejak Andrew menjadi pegawai magang hotel milik ibunya, hingga sekarang pria itu menjadi manager di sana.
Belum lagi, ia telah melepas keperawanannya dengan pria asing!
Semua fakta yang campur aduk ini membuat kepala Bella semakin pening.
“Sial! Aku tidak akan pernah memaafkan kalian.” Dua tetes air mata meluncur turun, membasahi pipi gadis bersurai cokelat itu.
Ketika menyadari taksi yang ditumpangi telah berhenti di depan rumah, Bella mengusapnya dengan cepat dan segera turun dari mobil. Ia lalu melangkah menuju bangunan mewah itu meski hatinya sungguh tidak nyaman.
“Pulang juga kau, jalang kecil!”
Bella tersentak saat suara keras terdengar menghardiknya. Ia mengangkat wajah dan mendapati Marita –ibu tirinya– berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang. Tak hanya itu, ada sebuah koper besar berdiri di dekat kakinya.
“Apa maksudnya, Ma?”
“Ck! Mulai sekarang, rumah ini bukan lagi rumahmu. Terserah kau mau tinggal di mana. Jadi, pergi segera!”
“Tunggu! Ini rumah ibuku! Kau tidak bisa mengusirku begitu saja!”
Marita menuruni tangga teras, melangkah angkuh menuju Bella yang masih terpaku. Wanita itu mendorong gagang koper ke arah si gadis dengan kasar.
“Kau tidak lagi berhak atas apapun yang ditinggalkan ibumu sekarang. Termasuk rumah ini.”
“Apa yang kau katakan? Jangan sembarangan!”
“Putriku akan menikah besok, jadi hak waris semua harta Alice akan jatuh kepadanya. Sesuai kesepakatan, kau gagal menjadi ahli waris jika tidak menikah sampai usiamu 25 tahun.”
“Apa-apaan kalian ini?” Bella menghentak kaki. “Kau dan Tracy bahkan tak ada hubungannya dengan ibuku?!”
“Tapi, ayahmu telah setuju dengan kesepakatan itu. Tracy menikah lebih dulu, dan dia mendapatkan semuanya!” Wanita separuh baya dengan wajah penuh make up itu menyeringai penuh kemenangan. “Sekarang kau harus meninggalkan rumah ini.”
“Aku harus bicara dengan Dad!”
“Silakan. Ayahmu berada di Florida saat ini. Kau bisa menyusulnya ke sana kalau mau.” Marita berbalik menaiki undakan teras, membawa langkah kakinya dengan jumawa. Sebelum mencapai pintu, wanita itu berbalik lagi.
“Ah, dan satu lagi. Aku akan melaporkanmu ke polisi atas tuduhan pencurian jika kau nekat memasuki rumah ini. Selamat pagi, Isabella Sayang. Jangan lupa hadir ke pernikahan Tracy dan Andrew besok, ya.”
Bella berdiri di tengah halaman rumah megahnya dengan hati yang tidak hanya remuk redam, tapi sudah terasa nyaris kosong. Air mata kembali berderai membasahi pipi.
Gadis itu tidak memiliki apapun untuk dikatakan. Ia meraih pegangan kopernya dan melangkah menjauh dari rumahnya sendiri.
“Mom ….” bisiknya serak, “Aku harus bagaimana? Hidup ini sulit sekali tanpa kau ada di sini. Aku harus pergi ke mana sekarang?”
Bella berjalan dengan linglung tak tentu arah. Kendaraan lalu lalang di dekatnya, namun tak ada satu pun yang mempedulikannya.
Ditambah matahari yang bersinar terik di atas kepala, gadis itu merasa tubuhnya hampir limbung.
Sampai kemudian suara klakson panjang membuat Bella tersadar.
Ia menoleh, dan sepertinya terlambat.
BRAK!
Tubuhnya tersambar hingga jatuh tersungkur di tepi jalan–membuat seorang pria tampan yang kebetulan berada tak jauh dari sana menjadi terperanjat, terkejut.
***
**Di pinggiran kota San Diego, jauh dari gemerlapnya kota cantik itu, tersembunyi di balik hutan pinus yang lebat, berdiri sebuah rumah megah berarsitektur klasik Eropa. Bangunan itu nyaris tak terlihat dari jalan raya, tertutup pepohonan dan tembok tinggi bercat abu-abu gelap. Tak seorang pun mengira bahwa rumah itu bukan sekadar hunian—melainkan markas rahasia milik Damian Estes.Malam telah jatuh sempurna. Hujan gerimis menetes pelan di atap kaca rumah itu, menciptakan irama monoton yang bergema di seluruh ruangan. Di sebuah ruang kerja luas berlampu temaram, Damian duduk sendiri di kursi kulit hitamnya yang megah, menghadap deretan layar monitor yang menampilkan rekaman dari berbagai kamera pengintai. Foto-foto bertebaran di atas meja di hadapannya.Salah satu layar memperlihatkan tangkapan gambar CCTV—sebuah adegan dari lobi Paradise Hotel. Seorang pria berjas hitam berdiri mematung di depan resepsionis, menatap lurus ke arah kamera. Wajahnya tegas, matanya tajam. Itu adalah dir
**Pada malam harinya, lampu kamar hanya menyala temaram. Bella duduk di tepi ranjang dengan tangan mengusap pelipisnya, ponsel diletakkan terbalik di meja kecil. Beberapa jam lalu, Damian kembali mengiriminya pesan. Tidak mengancam secara langsung, tapi cukup membuat pikirannya tidak tenang."Kau masih memilih diam. Tapi diam bisa jadi mematikan, Bella."Bella tahu, jika Giovanni sampai tahu bahwa Damian terus mengganggunya — bukan hanya lewat kata-kata, tetapi lewat tatapan, kunjungan mendadak, dan kehadiran yang menyusup di sela-sela hidupnya — maka akan ada pertumpahan darah. Bella tidak ingin menjadi penyebab perpecahan keluarga, yang dari sebelumnya memang sudah retak itu."Aku harus menyembunyikan semua ini," gumam Bella pelan, "bahkan jika itu berarti menyembunyikan sebagian kebenaran. Aku tidak bisa membiarkan Giovanni tahu bahwa Damian terus mengirimiku pesan-pesan seperti ini."Bella mulai menghapus pesan-pesan dari Damian, mengganti jalur keamanan hotel, dan meminta staffn
**Paradise Hotel, Lobi Utama — Pukul 11.42 SiangLangit San Diego berwarna biru pekat di luar kaca tinggi Paradise Hotel. Gedung bertingkat itu berdiri megah di tengah hiruk-pikuk kota, namun tetap tenang dengan arsitektur elegan bergaya Mediterania modern. Di dalam lobi, aroma parfum mawar putih menyambut setiap tamu, bercampur dengan suara piano lembut yang mengalun dari sudut ruangan.Bella berdiri di dekat meja resepsionis, mengenakan setelan kerja berwarna krem dan sepatu hak rendah. Rambutnya disanggul rapi, dan wajahnya menunjukkan profesionalisme mutlak — setidaknya, hingga suara langkah itu kembali terdengar.Langkah yang tidak asing. Berat. Percaya diri."Aku rasa aku mulai jatuh cinta pada desain interior tempat ini," suara bariton itu terdengar dari arah belakang.Bella menegakkan tubuhnya seketika. Bahunya menegang. Ia tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa yang baru saja datang. Ia sudah sangat mengenal suara itu, walau efeknya membuat perasaan menjadi sangat tidak
**Sepuluh tahun yang lalu, sebelum Giovanni memegang tampuk kekuasaan sebagai Don kelompok bawah tanah Casa Nero, ia dan Damian tumbuh bersama di bawah bayang-bayang kekejaman sang kepala keluarga, Don Vittorio Estes— kakek mereka. Yah, seperti yang sudah menjadi rahasia umum, Luigi Estes selaku keturunan langsung dari Vittorio memilih membelot, sehingga pria tua bertangan besi itu memutuskan menghapus nama Luigi dari silsilah keluarga dan lebih fokus menggembleng Giovanni dan Damian saja.Don Vittorio mendidik keduanya dengan tangan besi, menyamaratakan rasa sakit dan kekuasaan sebagai bekal hidup di dunia mafia. Tapi bahkan dalam kekejaman yang dibagikan sama rata, favoritisme tidak bisa disembunyikan.Giovanni, anak dari putra sulung keluarga, selalu dianggap pewaris sah. Sejak kecil, ia dilatih untuk berpikir tajam, memimpin pasukan, dan tidak menunjukkan kelemahan. Damian, anak dari adik Don Vittorio yang dibunuh karena pengkhianatan, diangkat kembali ke dalam keluarga karena ra
**Langkah Giovanni mantap, namun tangannya menggenggam lengan Bella seolah ia sesuatu yang bisa hilang kapan saja jika tidak dijaga erat. Bella berusaha menyesuaikan langkah, meski lututnya masih terasa lemas. Setiap inci kulitnya terasa seperti terbakar oleh tatapan Damian yang tadi — dan lebih dari itu, oleh kemarahan yang mendidih di balik wajah tenang sang suami.Mereka tiba di balkon pribadi Giovanni, yang menghadap langsung ke laut. Jujur saja, Bella jarang mengunjungi tempat ini. Angin laut meniup lembut helaian rambut Bella yang terurai. Giovanni melepaskan genggaman tangannya, namun tetap berdiri di hadapan perempuan itu.Sejenak, keduanya saling hening, tak ada yang bicara. Hanya suara debur ombak dan helaan napas mereka yang timbul tenggelam.Lalu Giovanni mengambil suara. Pelan, namun terdengar tajam. Ia memandang sang istri lurus, nyaris penuh tuntutan."Apa kau takut padanya, Bella? Katakan."Bella menunduk. Suaranya nyaris tak terdengar. "Aku hanya takut dia akan memb
**Ruang makan utama, Mansion Casa Nero, San Diego — Pagi hari yang sedikit berawan.Cahaya redup matahari pagi menembus jendela-jendela kaca besar yang menghadap langsung ke lautan Pasifik. Riak ombak terlihat dari kejauhan, berkilauan disinari mentari. Aroma kopi hitam yang pekat bercampur dengan harum roti panggang dan bacon memenuhi ruangan makan yang luas dan mewah itu. Marmer putih membentang di lantai, dan chandelier kristal menggantung di atas meja makan panjang yang hanya diduduki oleh dua orang pagi itu — Giovanni dan Bella.Bella duduk tegak di kursinya, mengenakan gaun rumah sutra berwarna lembut. Tangannya menggenggam cangkir teh dengan hati-hati, seolah khawatir getaran halus dari jemarinya akan membuat porselen itu pecah. Ia sesekali melirik Giovanni, pria di hadapannya yang sedang memotong daging sarapan dengan tenang, penuh presisi. Realistis, perfeksionis, dan sangat tampan pagi ini.Giovanni — dengan kemeja putih bergaris halus, lengan tergulung sampai siku, dan ram