Share

Tertawan Gairah Panas sang Penguasa
Tertawan Gairah Panas sang Penguasa
Penulis: Anindya Alfarizi

1. Pengkhianatan

last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-10 11:57:55

**

Brak!

“Apa maksudnya ini?”

Isabella Clark membanting undangan pernikahan di atas meja kafe, sehingga dirinya sontak menjadi pusat perhatian para pengunjung yang berada di sana.

Namun, perempuan cantik itu tak peduli akan itu semua dan fokus pada tunangan dan kakak tiri yang duduk di hadapannya.

Bagaimana bisa mereka akan menikah?

“Apa kau bodoh, Bella?” Tracy, kakak tirinya, menyahut dengan angkuh. “Bukankah sudah sangat jelas tertera dalam undangan itu? Aku dan Andrew akan menikah besok!”

Deg!

Tubuh Bella gemetar. Ia menggeleng tidak percaya. “Kalian bercanda, kan? Tracy, kau tahu Andrew adalah tunanganku! Mengapa–”

“Aku dan Andrew saling mencintai sejak dulu,” potong Tracy cepat. “Daripada mengkhianatimu di kemudian hari setelah kalian menikah, bukankah ini lebih baik?”

“Lebih baik?!”

“Oh, iya. Pernikahannya akan diadakan di Hall Paradise Hotel. Aku berharap kau bisa datang, Bella.”

Belum selesai serangan kejut yang membuat hatinya hancur, sekali lagi Isabella tersentak kaget.

“Paradise Hotel, katamu?”

Tangan Bella mengepal menahan emosi.

Tracy menyebut Paradise Hotel yang merupakan milik mendiang ibu Isabella yang saat ini

masih dikelola oleh keluarganya? 

“Aku tidak akan pernah mengizinkan kalian berdua menginjakkan kaki di hotel milikku!”

“Hotelmu?” Tracy terkekeh. Nada suaranya penuh dengan ejekan. “Siapa yang bilang kalau itu adalah hotelmu?”

“Hotel itu milik ibuku, dan aku putri kandungnya! Maka aku yang berhak mewarisinya, dan aku berhak memutuskan siapa yang boleh atau tidak boleh berada di sana!”

“Hanya jika kau menikah sebelum usiamu 25 tahun. Dan, ups … kau tidak jadi menikah padahal minggu depan kau sudah akan 25! Sepertinya, hotel itu justru akan jadi milikku, Bella,” ejek wanita blonde itu puas–seolah dia telah menantikan hari ini.

“Sialan kau Tracy!” Isabella hendak menampar kayak tirinya itu. Namun sebelum hal itu terjadi, Andrew lebih dulu menampik tangan Bella dengan cepat.

“Berhenti bersikap seperti anak kecil, Bella!” hardik Andrew kasar. “Aku tidak mau menikah denganmu karena kau sangat kolot. Seharusnya kau menerima ini dan introspeksi diri. Sekarang pergi dari sini! Kau membuat kami malu!”

Kali ini, Bella benar-benar tidak percaya.

Lima tahun ia bersama pria itu, menemaninya, mencintainya tanpa syarat sekalipun Andrew hanyalah pegawai biasa dan tidak punya banyak harta.

Tapi seperti ini balasan yang Bella terima?

“Aku bersumpah akan membalasmu,” tutur Bella pelan sembari menahan air matanya.

Sayangnya, ia justru ditertawakan oleh keduanya. Bahkan, diusir dengan tidak hormat dari kafe itu dengan disergap oleh security.

.

.

.

“Pria sialan!”

Mengingat kejadian tadi pagi, Isabella kembali dikuasai emosi. Diteguknya kembali alkohol entah untuk yang keberapa kalinya.

Walau dia bersumpah untuk balas dendam, tetapi dirinya tetap saja terpuruk. Dia bahkan merasa dipermainkan oleh takdir!

“Anda tidak akan bisa pulang jika terus seperti ini, Nona. Anda harus berhenti.” Pelayan bar yang baik hati memperingatkan, namun Isabella justru tak mau mendengar.

“Aku tidak akan pulang! Berikan aku satu gelas lagi!” balasnya.

Meski kepalanya pusing dan pandangannya kabur, namun gadis itu belum berniat berhenti.

“Tapi kartu anda sudah melewati limit.” Pria itu mendorong credit card Bella dengan sopan di atas meja.

Hah?

Kali ini, Bella tersentak. Kartu unlimited-nya terkena limit? Ini tidak masuk akal!

Namun sebelum sumpah serapah berhasil ia layangkan, seseorang duduk di sampingnya dan berujar dengan tenang.

“Aku akan membereskannya. Jangan khawatir.”

Pria itu berkata dengan tenang, namun suara baritonnya begitu mendominasi.

Bella sontak mengangkat kepalanya yang berat dan berusaha mengenali pria yang duduk di sampingnya. Tapi pandangannya buruk sekali. Ia hanya bisa melihat siluetnya yang samar-samar.

“Siapa kau?” racaunya dengan suara parau. “Apa Kau, Andrew?”

Tidak ada jawaban. Perempuan yang hampir berusia dua puluh lima tahun itu berusaha mendorong dirinya mendekat kepada pria di kursi sebelah.

Namun, wangi orang di sebelahnya … lebih maskulin –dengan perpaduan woody flower dan

musk yang kuat– justru membuatnya merasa nyaman?

Entah apa yang merasuki Bella, tiba-tiba saja ia semakin mendekat, menjatuhkan dirinya dalam pelukan, bahkan menempelkan bibirnya pada bibir pria itu!

“Mm ….” Dalam waktu singkat saja, kecupan ringan itu sudah berubah menjadi ciuman dalam yang penuh gairah.

Sayangnya, pria itu kemudian memutus tautan bibir keduanya!

“Kenapa–”

“Kita harus pergi dari sini, Nona.” Akhirnya pria itu bersuara. Vokal bariton dan hangat napasnya membuat kepala Bella kian pening. “Tidak baik jika melakukannya di sini dan menjadi pusat perhatian. Aku yakin kau akan menyesalinya besok.”

Diraihnya pinggang sempit perempuan cantik itu dan memapahnya naik tangga menuju lantai dua bar, di mana kamar-kamar penginapan berada. Sesaat setelah pintu kamar berdebam menutup, keduanya kembali berpelukan erat dengan bibir bertaut.

“Buat aku melupakan semuanya.” Gadis itu berbisik dengan kesadaran yang timbul tenggelam. “Untuk malam ini saja, tolong bantu aku.”

Pria rupawan itu menyapukan bibirnya di sepanjang lekuk leher jenjang Bella. Tangannya bergerak melepas dress yang masih si gadis kenakan, berikut kemejanya sendiri. “Kau tidak akan menyesalinya, Baby. Kau tidak akan pernah melupakan malam ini.”

Suara desahan dua insan seketika memenuhi ruangan itu.

Bella merasa ini salah … tapi mengapa tubuhnya tak mau diajak kerja sama?

Ia justru merasa nyaman dan mendamba sentuhan yang bahkan belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia sama sekali belum pernah melakukan hal seperti ini dengan Andrew.

Toh ini hanya mimpi,’ batin Isabella menyangkal akal sehatnya yang tersisa malam itu.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tertawan Gairah Panas sang Penguasa   89. Membuat Perhitungan

    **Giovanni akhirnya kembali ke rumah setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Keputusan itu bukan karena izin dokter, melainkan paksaan dari dirinya sendiri. Ia tidak tahan dengan suasana rumah sakit yang membatasi gerak, membatasi waktunya, dan terutama membatasi pikirannya. Dengan alasan merasa sudah cukup kuat, ia bersikeras keluar meskipun dokter berulang kali mengingatkan bahwa luka yang ia derita belum sepenuhnya pulih. tulang selangkanya yang retak belum sepenuhnya sembuh.“Tubuhmu belum siap. Kalau kau memaksa, risikonya bisa fatal, Tuan,” kata dokter dengan nada keras waktu itu.Namun Giovanni hanya menanggapi dengan senyum kaku. “Aku lebih baik mati di rumah sendiri daripada terkurung di ruangan ini,” ujarnya singkat, lalu menandatangani surat pernyataan pulang atas tanggungannya sendiri. “Jangan mengatur-aturku, Dokter!”“Kau adalah pasien kami. Bagaimana mungkin kami membiarkanmu bersikap seenaknya seperti itu? Kau harus menurut sampai setidaknya kami memiliki catat

  • Tertawan Gairah Panas sang Penguasa   88. Jangan Khawatir

    **Malam di San Diego General Hospital terasa panjang. Lampu kamar perawatan menyala temaram, menimbulkan suasana tenang sekaligus penuh kecemasan. Bella duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Giovanni yang masih terbaring tidak sadar akibat anestesi.Felix berdiri di sudut ruangan, matanya awas mengamati setiap pergerakan perawat yang masuk dan keluar. Namun Bella menoleh kepadanya dengan tatapan tegas.“Felix, kau harus beristirahat. Kau sudah menemaninya sejak pagi. Biarkan aku yang menjaganya sekarang.”“Tapi, Nyonya—”“Aku istrinya,” Bella memotong dengan suara yang lembut namun penuh penekanan. “Tidak ada yang lebih berhak berada di sisinya selain aku. Pergilah, tidurlah sebentar. Aku berjanji tidak akan meninggalkan Giovanni sedetik pun. Kau juga harus memikirkan dirimu, Felix.”Felix menahan napas, menatap Bella beberapa saat. Wajah perempuan itu pucat, tetapi sorot matanya menunjukkan keteguhan yang tidak bisa digoyahkan. Akhirnya Felix mengangguk pelan. “Baiklah. Jika ada

  • Tertawan Gairah Panas sang Penguasa   87. Air Mata

    **Malam sudah tiba dalam waktu yang begitu singkat.Lorong Unit Gawat Darurat San Diego General Hospital malam itu terasa begitu panjang dan sunyi. Hanya bunyi langkah kaki perawat serta dengungan mesin pendingin udara yang menemani Felix. Ia duduk di kursi tunggu, tubuhnya condong ke depan, kedua tangannya menggenggam erat hingga buku jarinya memutih.Matanya tak pernah lepas dari pintu ruang operasi yang tertutup rapat. Lampu merah di atasnya menyala, tanda operasi sedang berlangsung. Waktu berjalan lambat, seolah setiap menit adalah ujian kesabaran.Felix mengusap wajahnya kasar, napasnya berat. Berkali-kali ia merogoh saku untuk mengambil ponsel, berniat menekan nomor Bella. Namun setiap kali jempolnya menyentuh layar, ia ragu dan membatalkan niatnya itu.“Jika aku mengabarkannya sekarang ....” gumamnya dalam hati, “Nyonya Bella pasti panik. Ia bisa hancur sebelum tahu hasilnya. Tidak ... aku tidak boleh membuatnya lebih cemas.”Felix mengembuskan napas panjang, kembali menatap p

  • Tertawan Gairah Panas sang Penguasa   86. Emergency Moment

    **“Kita harus segera ke rumah sakit,Tuan!” Felix menginjak pedal gas dalam-dalam sementara melirik sesekali melalui kaca spion. Gurat kecemasan tergambar jelas pada raut wajahnya, mematai sang tuan yang tampak mengernyit. Jalanan hening, tidak ada kendaraan lain yang melintas. Mungkin karena tempat itu agak terpencil.Giovanni menggenggam bahu kirinya. Jelas sekali, darah merembes melalui sela-sela jemari besarnya. menetes hingga membasahi manset jas.“Aku baik-baik saja.” Namun sang tuan masih sempat berkilah. “Bawa aku pulang saja.”“Tidak. Kita harus ke rumah sakit dulu.”Kali ini, Felix mengambil resiko dengan tidak menurut. Ia tak peduli sekalipun sang tuan akan murka. Baginya, keselamatan Giovanni jauh lebih penting. Dan ternyata Giovanni tidak lagi membantah. Entah karena ia terlalu kesakitan, atau memang berpikir sang bawahan ada benarnya. Pria itu hanya melirik ke luar jendela dengan kesal, mengabaikan kucuran darah yang kian deras.Felix mempercepat laju mobilnya ketika me

  • Tertawan Gairah Panas sang Penguasa   85. War Is Begin

    **Damian menyeringai lebar ketika mendengar ancaman itu. Alih-alih merasa terancam, ia semakin senang. Bukankah Giovanni justru menunjukkan titik lemahnya dengan berkata seperti itu? Dan titik lemah itu, bernama Bella."Aku sedang tidak mengajakmu bercanda!" geram Giovanni lagi. "Memangnya apa yang kau pikir lucu sehingga kau tersenyum lebar seperti keledai begitu?""Aku suka temperamenmu," tukas Damian, "Kau tahu, Giovanni? Sepotong kayu akan segera menjadi arang akibat bara api yang dia sebabkan oleh gesekan-gesekannya sendiri."Giovanni mengatupkan rahang. Murka benar-benar hampir melahapnya seperti bara api yang dikatakan Damian barusan. Ia diam, namun sepasang mata serigalanya berkilat. Giovanni sedang menahan diri untuk tidak menerkam adik sepupunya saat iru juga."Ini adalah peringatan terakhir untukmu, Damian ...." ujar Giovanni akhirnya. "JIka sekali lagi kau membuat perkara denganku, akan kuhancurkan kau beserta semua antek-antekmu.""Apa menurutmu aku akan berhenti dengan

  • Tertawan Gairah Panas sang Penguasa   84. Sambutan Dingin

    **Di ruang kendali yang dipenuhi cahaya remang-remang, hanya diterangi nyala biru dari layar monitor, Damian Estes duduk tegak di kursinya. Tatapannya terarah pada satu layar besar di hadapannya, menyorot sebuah sedan hitam yang berhenti tepat di depan gerbang kastil. Mesin mobil itu masih menyala, lampu depannya memancarkan sinar dingin yang membelah pekatnya pagi di tengah hutan yang basah berembun.“Sudah berapa lama dia di sana?” tanya Damian tanpa mengalihkan pandangannya.Matteo, lelaki berpostur tegap dengan tatapan tajam, berdiri di belakang Damian. Ia melipat tangannya di dada, menatap layar yang sama. “Baru sepuluh menit. Tapi aku rasa dia tidak berniat pergi begitu saja.”Damian menghela napas panjang, lalu bersandar sedikit ke kursinya. Senyum tipis terbit di wajahnya, senyum yang mengandung arti lebih dalam daripada sekadar keramahtamahan.Matteo mengerutkan kening. “Apakah kau akan membiarkan hal itu? Kau tahu siapa yang ada di dalam mobil itu, bukan?”Damian menoleh se

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status