**
Brak!
“Apa maksudnya ini?”
Isabella Clark membanting undangan pernikahan di atas meja kafe, sehingga dirinya sontak menjadi pusat perhatian para pengunjung yang berada di sana.
Namun, perempuan cantik itu tak peduli akan itu semua dan fokus pada tunangan dan kakak tiri yang duduk di hadapannya.
Bagaimana bisa mereka akan menikah?
“Apa kau bodoh, Bella?” Tracy, kakak tirinya, menyahut dengan angkuh. “Bukankah sudah sangat jelas tertera dalam undangan itu? Aku dan Andrew akan menikah besok!”
Deg!
Tubuh Bella gemetar. Ia menggeleng tidak percaya. “Kalian bercanda, kan? Tracy, kau tahu Andrew adalah tunanganku! Mengapa–”
“Aku dan Andrew saling mencintai sejak dulu,” potong Tracy cepat. “Daripada mengkhianatimu di kemudian hari setelah kalian menikah, bukankah ini lebih baik?”
“Lebih baik?!”
“Oh, iya. Pernikahannya akan diadakan di Hall Paradise Hotel. Aku berharap kau bisa datang, Bella.”
Belum selesai serangan kejut yang membuat hatinya hancur, sekali lagi Isabella tersentak kaget.
“Paradise Hotel, katamu?”
Tangan Bella mengepal menahan emosi.
Tracy menyebut Paradise Hotel yang merupakan milik mendiang ibu Isabella yang saat ini
masih dikelola oleh keluarganya?
“Aku tidak akan pernah mengizinkan kalian berdua menginjakkan kaki di hotel milikku!”
“Hotelmu?” Tracy terkekeh. Nada suaranya penuh dengan ejekan. “Siapa yang bilang kalau itu adalah hotelmu?”
“Hotel itu milik ibuku, dan aku putri kandungnya! Maka aku yang berhak mewarisinya, dan aku berhak memutuskan siapa yang boleh atau tidak boleh berada di sana!”
“Hanya jika kau menikah sebelum usiamu 25 tahun. Dan, ups … kau tidak jadi menikah padahal minggu depan kau sudah akan 25! Sepertinya, hotel itu justru akan jadi milikku, Bella,” ejek wanita blonde itu puas–seolah dia telah menantikan hari ini.
“Sialan kau Tracy!” Isabella hendak menampar kayak tirinya itu. Namun sebelum hal itu terjadi, Andrew lebih dulu menampik tangan Bella dengan cepat.
“Berhenti bersikap seperti anak kecil, Bella!” hardik Andrew kasar. “Aku tidak mau menikah denganmu karena kau sangat kolot. Seharusnya kau menerima ini dan introspeksi diri. Sekarang pergi dari sini! Kau membuat kami malu!”
Kali ini, Bella benar-benar tidak percaya.
Lima tahun ia bersama pria itu, menemaninya, mencintainya tanpa syarat sekalipun Andrew hanyalah pegawai biasa dan tidak punya banyak harta.
Tapi seperti ini balasan yang Bella terima?
“Aku bersumpah akan membalasmu,” tutur Bella pelan sembari menahan air matanya.
Sayangnya, ia justru ditertawakan oleh keduanya. Bahkan, diusir dengan tidak hormat dari kafe itu dengan disergap oleh security.
.
.
.
“Pria sialan!”
Mengingat kejadian tadi pagi, Isabella kembali dikuasai emosi. Diteguknya kembali alkohol entah untuk yang keberapa kalinya.
Walau dia bersumpah untuk balas dendam, tetapi dirinya tetap saja terpuruk. Dia bahkan merasa dipermainkan oleh takdir!
“Anda tidak akan bisa pulang jika terus seperti ini, Nona. Anda harus berhenti.” Pelayan bar yang baik hati memperingatkan, namun Isabella justru tak mau mendengar.
“Aku tidak akan pulang! Berikan aku satu gelas lagi!” balasnya.
Meski kepalanya pusing dan pandangannya kabur, namun gadis itu belum berniat berhenti.
“Tapi kartu anda sudah melewati limit.” Pria itu mendorong credit card Bella dengan sopan di atas meja.
Hah?
Kali ini, Bella tersentak. Kartu unlimited-nya terkena limit? Ini tidak masuk akal!
Namun sebelum sumpah serapah berhasil ia layangkan, seseorang duduk di sampingnya dan berujar dengan tenang.
“Aku akan membereskannya. Jangan khawatir.”
Pria itu berkata dengan tenang, namun suara baritonnya begitu mendominasi.
Bella sontak mengangkat kepalanya yang berat dan berusaha mengenali pria yang duduk di sampingnya. Tapi pandangannya buruk sekali. Ia hanya bisa melihat siluetnya yang samar-samar.
“Siapa kau?” racaunya dengan suara parau. “Apa Kau, Andrew?”
Tidak ada jawaban. Perempuan yang hampir berusia dua puluh lima tahun itu berusaha mendorong dirinya mendekat kepada pria di kursi sebelah.
Namun, wangi orang di sebelahnya … lebih maskulin –dengan perpaduan woody flower dan
musk yang kuat– justru membuatnya merasa nyaman?
Entah apa yang merasuki Bella, tiba-tiba saja ia semakin mendekat, menjatuhkan dirinya dalam pelukan, bahkan menempelkan bibirnya pada bibir pria itu!
“Mm ….” Dalam waktu singkat saja, kecupan ringan itu sudah berubah menjadi ciuman dalam yang penuh gairah.
Sayangnya, pria itu kemudian memutus tautan bibir keduanya!
“Kenapa–”
“Kita harus pergi dari sini, Nona.” Akhirnya pria itu bersuara. Vokal bariton dan hangat napasnya membuat kepala Bella kian pening. “Tidak baik jika melakukannya di sini dan menjadi pusat perhatian. Aku yakin kau akan menyesalinya besok.”
Diraihnya pinggang sempit perempuan cantik itu dan memapahnya naik tangga menuju lantai dua bar, di mana kamar-kamar penginapan berada. Sesaat setelah pintu kamar berdebam menutup, keduanya kembali berpelukan erat dengan bibir bertaut.
“Buat aku melupakan semuanya.” Gadis itu berbisik dengan kesadaran yang timbul tenggelam. “Untuk malam ini saja, tolong bantu aku.”
Pria rupawan itu menyapukan bibirnya di sepanjang lekuk leher jenjang Bella. Tangannya bergerak melepas dress yang masih si gadis kenakan, berikut kemejanya sendiri. “Kau tidak akan menyesalinya, Baby. Kau tidak akan pernah melupakan malam ini.”
Suara desahan dua insan seketika memenuhi ruangan itu.
Bella merasa ini salah … tapi mengapa tubuhnya tak mau diajak kerja sama?
Ia justru merasa nyaman dan mendamba sentuhan yang bahkan belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia sama sekali belum pernah melakukan hal seperti ini dengan Andrew.
‘Toh ini hanya mimpi,’ batin Isabella menyangkal akal sehatnya yang tersisa malam itu.
***
**Apa yang bisa Bella katakan untuk menjawab kata-kata bernada memohon itu?Sanggupkah ia mengucapkan sesuatu yang mungkin akan menyakiti wanita seperti malaikat ini?“Aku akan selalu berada di samping Giovanni, Bu. Jangan khawatir.”Maka, itulah yang akhirnya ia katakan.“Kau akan tetap mencintainya apapun yang terjadi, Sayang?”Oh, bukankah itu berat? Bella menghela napas, tapi ia tersenyum.“Tidak ada alasan untuk tidak melakukan itu. Dan bukankah aku adalah satu-satunya gadis yang bisa disentuh oleh Gio? Itu artinya aku akan menjadi yang terakhir untuknya, Bu. Dan dia akan menjadi yang terakhir untukku pula.”Tasha tersenyum damai. Ia mengulurkan tangan untuk meminta pelukan kepada menantu kesayangannya itu.“Bella, seandainya aku bisa sedikit lebih sehat, ingin sekali rasanya mengajakmu berjalan-jalan berdua melihat pantai. Hanya kita berdua. Mungkin sebelum aku mati.”“Kita akan lakukan itu sepulangnya kau dari rumah sakit nanti, Bu. Itu bisa saja besok, kan? Dan kau tidak akan
**St. Angelic Hospital, rumah sakit terbaik di kota San Diego.Bella berjalan dengan cepat, menyesuaikan dengan ritme langkah Giovanni sepanjang koridor ruangan-ruangan rawat yang lengang malam ini. Bella bersyukur tidak banyak pasien yang berada di sana. Ia yakin suara langkahnya dan Giovanni agak mengganggu.“Ruangan 301, Tuan,” kata Felix yang memimpin jalan. “Ada di lantai tiga. Satu-satunya kamar rawat yang berada di sana. Saya akan menelepon anak-anak untuk berjaga di setiap lantai.” Pria itu menepikan diri untuk memberi jalan kepada tuan dan nyonyanya.“Terima kasih, Felix,” ucap Bella, karena ia tahu Giovanni tidak akan melakukan itu.“Don’t mention it, Maam. Saya ada di bawah jika anda membutuhkan sesuatu.”“Aku akan menghubungimu nanti.”Melewati Felix, Bella kemudian menghela napas sebelum mengikuti sang suami yang sudah lebih dulu membuka pintu dan memasuki satu-satunya ruangan. Seketika indera penciumannya disambut oleh harum room freshener beraroma lemon. Dua orang mai
**“Ada apa? Ada apa dengan Ibu?” Bella merangsek mendekat. Ada semacam sinyal buruk ketika Giovanni menyebut kata ibu tadi. Perempuan itu menunggu jawabannya dengan cemas.“Ibu masuk rumah sakit. Salah satu perawatnya baru saja menghubungiku.”“Rumah sakit?” Bella tercengang. “Kita pergi lihat Ibu sekarang, Giovanni!”“Kau masih sakit–”“Aku baik-baik saja! Ayo pergi lihat Ibu sekarang! Atau kau ingin aku saja yang pergi dan kau tinggal di sini? Aku akan melakukannya!”“Apa kau gila?”Maka kemudian Giovanni segera mengayun langkah menuruni tangga rooftop dengan diikuti Bella di belakangnya. Dalam waktu sekejap saja, kedua insan itu melupakan perseteruan yang baru saja keduanya alami demi satu tujuan.“Sebaiknya kita pergi dengan Felix, Gio. Aku khawatir terjadi sesuatu jika kau mengemudi mobil sendirian dalam keadaan panik seperti ini,” saran Bella sementara keduanya melangkah cepat menuju basement.“Kau benar.” Sang tuan mengangguk setuju. Langkahnya otomatis melambat untuk menghubu
**Bella terkesiap. Ia sudah mengantisipasi hal ini akan terjadi, namun tetap saja sentakan rasa tegang membuatnya tidak bisa bergerak. Dalam posisi agak terlalu dekat dengan Damian, perempuan itu bisa melihat sorot kemarahan yang membara dari sepasang netra serigala Giovanni di puncak tangga menuju rooftop.“Apa yang kau lakukan dengan istriku, bajingan?” Geraman rendah Giovanni terdengar seperti suara binatang buas yang mengancam. Damian jujur saja gentar karenanya, namun pria yang lebih muda lima tahun dari Giovanni itu tetap bersikap santai.“Kebetulan aku melihatnya naik ke sini sendirian. Maka aku berinisiatif menemani. Bukankah niatku sangat baik?”“Jika kau terus membualkan omong kosong seperti itu, aku akan merobek mulutmu, Damian!”“Dan bagaimana dengan kau yang mengaku sebagai suami, tapi kau membiarkan wanitamu sendirian pada malam seperti ini? Jika aku tidak salah lihat, Bella sedang menangis tadi.”Bella sontak melebarkan mata ke arah Damian. Saking kagetnya mendengar k
**“Gio, kau tidak memakai kondom!”Bella meraih selimut untuk menutupi tubuhnya. Ia menatap ngeri kepada sang Don yang tampaknya tidaklah seterkejut satu yang lain.“Bisa-bisanya kita melupakan hal sepenting ini, Giovanni!”“Apakah sepenting itu untukmu?”“Apa maksudmu sepenting itu untukku? Kau sengaja? Apakah aku terlihat mudah untukmu, ha?”Giovanni sama sekali tidak mengira Bella akan semarah itu hanya karena ia tidak memakai kondom ketika berhubungan.Yah … kalau dipikir-pikir, justru aneh kalau Bella tidak kaget dan marah. Giovanni sudah menumpahkan sebanyak yang ia bisa di dalam perempuan itu. Ini tidak termasuk dalam perjanjian kontrak pernikahan mereka, kan?“Baiklah, maksudku–”“Minggir! Aku mau pergi!”“Bella, hei!”Sungguh, Giovanni tidak mengira akan terjadi hal seperti itu. Wanitanya pergi begitu saja ke dalam kamar mandi sembari meraih pakaiannya yang semula bertebaran di lantai kamar.“Bella! Kau duluan yang tadi memprovokasiku, kan? Kenapa sekarang kau yang marah? Ah
**Tidak adanya pergerakan dari sosok di belakangnya, membuat Bella penasaran dan tidak bisa menahan diri untuk menengok. Kala perempuan itu akhirnya menoleh, ia mendapati sang suami sedang diam dan memandangnya lekat-lekat.“Kau tidak mau pergi?” tanya Bella polos. Giovanni terkekeh pelan. Ia mendekat dan menepuk puncak kepala Bella dengan gemas. “Kau yang bilang tidak mau aku tinggalkan, kan? Maka aku di sini untuk menemanimu.”“Benarkah?”Pria itu mendesis. Ia sungguh tidak tahan melihat tingkah Bella yang polos namun separuh menantang itu.“Tolong jangan memprovokasiku, Bella. Kau masih sakit, ingat!”“Memprovokasi apa? Kupikir aku tidak melakukan apapun. Bahkan bergerak pun tidak, kan? Aku hanya mengedipkan mata.”“That’s the point,” tandas Giovanni kesal. “Kau masih sakit.”“Aku sama sekali tidak merasa sakit, kau tahu.”Memang begitulah adanya. Bella tanpa ragu-ragu memejamkan mata ketika Giovanni mendekat ke arahnya. Jadi bagaimana mungkin sang Don tidak tergoda?“Oh, sial! S
**Tidak. Giovanni menggeleng dengan gusar, berusaha menepis pemikirannya sendiri.Ini bukan gayanya. Selama ini, ia menjalani segala sesuatu dengan berbasiskan bisnis. Semua pihak saling mendapat keuntungan selama kerja sama berlangsung, dan ketika selesai, tidak ada hubungan apapun yang mengendap. Sejak kapan ia menggunakan perasaan ketika bertindak? Jika ia menikmati permainan ranjang dengan Bella. maka itu salah satu bonus saja.“Sekarang kau harus istirahat, Bella. Pulihkan dirimu dulu. Jangan khawatir dengan keamananmu, karena bawahanku akan berjaga selama dua puluh empat jam di sini.”“Apa kau sudah akan pergi lagi?”Pertanyaan itu membuat Giovanni tertegun. Tentu saja ia harus pergi lagi. Ia bukan pengangguran yang memiliki waktu luang sepanjang hari. Para klien atau bahkan lawan bisnis menunggunya di luar sana. Namun dengan tatapan memohon dari sepasang netra biru yang cantik itu, apakah ia bisa menolaknya?“Tidak. Aku akan menemanimu di sini sampai kau tidur. Jika kau terban
**Bagaimana Bella bisa menikmati ciuman dalam keadaan demikian?Ia terlalu sibuk terkejut mendengar kabar yang baru saja didengarnya, kendati Giovanni mengucapkan dengan datar-datar saja. Perempuan itu menatap sang suami dengan kedua mata membola.“A-ayah … ayahku? Apa maksudmu, Gio? Aku tidak mengerti!”“Bukankah kata-kataku sudah sangat jelas? Ayahmu yang membayar orang untuk mencoba membunuhmu. Karena kau tidak mati dalam kecelakaan itu, maka orang-orang suruhan itu berinisiatif menenggelamkanmu di laut lepas Tijuana. Aku membunuh mereka, sayang sekali, padahal orang-orang itu sepertinya memiliki dedikasi yang tinggi terhadap pekerjaan. Orang seperti itu cocok denganku.”Bella masih ternganga dan berusaha mencerna informasi. “Ayah … ayahku? Maksudmu Matthew?”“Kau punya berapa banyak ayah, memangnya?”Seketika kepala Bella seperti dihantam benda keras hingga ia merasa pening. Bella tahu, hubungannya dengan sang ayah tidaklah terlalu baik. Ia juga tahu, orang-orang itu tidak begitu
**Pada akhirnya, peluru dalam pistol itu tidak pernah mengenai baik Matthew, Marita, maupun Tracy. Bukan karena Giovanni tidak tega membunuh orang-orang ini. Namun sebab ia ingin mereka lebih dulu memohon maaf secara langsung kepada Bella. Jika perlu sampai bersujud. Ia pikir sayang sekali jika dibunuh begitu saja tanpa membuat pengakuan.Giovanni memilih mengutus anak buahnya mengirim tiga manusia itu ke balik jeruji besi, berikut semua bukti percobaan pembunuhan yang berhasil didapatkan Giovanni dengan sangat mudah.“Aku akan membalasmu!” Marita masih menjerit-jerit dengan kalap sampai para Sheriff memborgol tangannya dan memasukkannya dalam van polisi. “Aku bersumpah akan membalasmu, sialan! Lihat saja nanti!”Sementara Matthew terlihat seperti patung batu yang jelek, dan Tracy tak henti-henti menangis berurai air mata.“Haruskah saya membunuhnya saja, Tuan? Wanita itu berisik!” tutur Felix, yang segera menyusul datang ke tempat kejadian perkara bersama satu batalyon bawahannya se