**
“Hentikan mobilnya!”
Giovanni mendadak berseru ketika tampak olehnya di kejauhan, seorang perempuan terlempar ke trotoar jalan setelah terserempet mobil. Dan mobil yang menyerempet terus melaju kencang alih-alih berhenti.
“Tuan, apakah harus? Sebaiknya kita tidak ikut campur.”
Meski tidak ada jawaban dari atasannya itu, sang sopir tahu tidak ada yang bisa menghalangi keinginan sang tuan. Maka, ia bergegas menepikan mobil.
“Maaf Tuan,” ucapnya lalu menuruti perintah.
Setelahnya, Giovanni pun keluar dari mobil untuk memeriksa perempuan yang tidak sadarkan diri itu. Keningnya berkerut kala ia menyadari siapa yang sedang ia hadapi. Segera ia angkat tubuh lemah itu tanpa berkata apapun.
“Isabella Clark.” Pria itu bergumam lirih sementara mobilnya melaju kencang menuju rumah sakit.
Tentu saja Giovanni masih menyimpan data yang dikirim para bawahannya tadi pagi. Isabella Clark, 24 tahun, dan putri seorang pengusaha akomodasi. Ibunya sudah meninggal, dan ayahnya menikah lagi.
Ia memiliki seorang kakak tiri yang berusia satu tahun lebih tua darinya. Dan sudah memiliki tunangan.
Giovanni memang berniat mencari gadis ini, namun tidak menyangka akan bertemu secepat ini dengannya dalam keadaan yang begitu dramatis.
Untungnya, penanganan terbaik dari ‘bawahannya’ telah diberikan untuk Isabella.
“Dia baik-baik saja, Tuan. Tidak ada cedera dalam yang serius. Kami sudah melakukan CT-Scan lengkap," tutur dokter yang menangani, beberapa saat kemudian. Dokter itu mendekati Giovanni yang duduk dengan gusar di samping Bella.
“Meski demikian, bisa saja benturannya mengakibatkan rasa shock. Anda harus menungguinya dan memastikan keadaannya ketika dia sadar. Saya akan berada di ruang dokter jika Tuan memerlukan sesuatu.”
Pria itu hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun. Ia masih sibuk memandangi gadis yang belum sadarkan diri itu.
“Mom ….”
Giovanni tersentak ketika suara lirih terdengar dari sekitar Bella. Gadis itu bergerak pelan sambil terus merintih.
“Mom ….”
Gadis itu perlahan membuka mata. Iris birunya bertatapan dengan mata gelap Giovanni yang masih duduk di sampingnya. Ia mengerjap, seperti memastikan dirinya tidak salah lihat.
“Ka-kau?” sebutnya parau kepada Giovanni. Gadis itu meringis kesakitan saat memaksakan diri bergerak.
“Sebaiknya kau tetap berada di tempatmu, Nona.”
“Bagaimana … bagaimana aku bisa berada di sini bersamamu? Aku sudah meninggalkanmu di dalam kamar bar, kan?” tanya Bella cemas.
“Aku menemukanmu pingsan di tepi jalan.”
Bella mengernyit. Yang terakhir ia ingat adalah, ia sedang berjalan sendirian sembari menyeret koper.
“Koperku ….”
“Sudah diamankan.” Giovanni memandang baik-baik gadis itu. “Mengapa kau berjalan sambil menyeret koper begitu? Apa kau kurang kerjaan?”
Bella melayangkan pandangan sengit kepada pria di hadapannya. Giovanni sangat tampan, tapi mulutnya pedas sekali.
“Bukan urusanmu, Tuan!”
“Okay. Kalau begitu aku harus pergi. Tagihan rumah sakitmu akan diantar kemari.”
Kepala Bella berdenyut sakit ketika mendengar itu. Saat ini kartu kreditnya tidak bisa digunakan, ia diusir dari rumah dan tidak memiliki cukup harta untuk membayar rumah sakit. Betapa menyedihkan. Maka gadis itu kembali berseru pelan kepada pria yang sudah berjalan menjauh beberapa langkah darinya.
"Tu-Tuan, tunggu sebentar. Aku minta maaf, tapi bisakah kau menolongku?”
Giovanni menyeringai di balik punggung. Namun saat ia menoleh, wajahnya sudah kembali datar seperti biasanya.
“Ada apa?”
“Bisakah … bisakah kau meminjamkanku uang untuk membayar tagihan rumah sakit? Aku berjanji akan mengembalikannya setelah keluar dari sini.”
Itu mengejutkan. Giovanni memandang Bella dengan satu alis terangkat. “Kau bisa membayarku untuk semalam, tapi sekarang kau mau meminjam uang untuk membayar rumah sakit?”
“Itu … ceritanya panjang.” Astaga, Bella malu sekali mendengar itu. Ia sibuk menyembunyikan wajahnya yang merona.
“Aku punya banyak waktu, Isabella. Jadi, sepanjang apa ceritamu?”
Bella meremas selimutnya.
Haruskah ia menceritakannya?
Namun, netra hitam Giovanni yang tajam membuatnya terpaksa menceritakan apa yang ibu, kakak tiri, dan tunangannya lakukan.
Rasanya lebih menyakitkan ketika ia harus kembali mengulang semua kisah itu.
Giovanni yang hanya diam dan menyimak cerita itu dari awal, perlahan menghembuskan napas kasar. “Jadi, ke mana rencanamu akan pergi setelah ini? Kau sudah tidak punya uang, tempat tinggal, dan orang yang akan kau tuju.”
Bella memandang pria rupawan itu dengan gamang. Ia menggeleng dengan putus asa. “Entahlah, Tuan. Aku juga tidak tahu.”
Giovanni membalas pandangan Bella. Mata gelapnya bersinar penuh intrik. Ia mengangkat wajah dan kembali melayangkan seringai andalannya yang membuat parasnya berkali-kali lipat lebih tampan.
“Aku punya tawaran kerjasama yang mungkin menguntungkan untukmu, Isabella.”
“Ker-kerjasama?”
Giovanni mengulurkan tangan dan menyentuh pipi Isabella yang merona. Ia tersenyum saat merasakan hangat tubuh gadis itu merambat ke telapak tangannya yang dingin.
“Aku akan membantumu merebut kembali apa yang seharusnya menjadi hakmu dengan satu syarat.”
“Syarat?”
Pria tampan itu mengangguk. “Menikah denganku, Isabella.”
Tentu saja Bella ternganga.
Ia baru saja mengenal pria ini dalam waktu kurang dari 24 jam. Bahkan, Bella belum tahu siapa nama orang ini. Lalu, ditawari pernikahan? Apa pria ini sedang bercanda?
“Aku bahkan belum mengenalmu, Tuan. Bagaimana bisa kita menikah?” jujur wanita itu akhirnya.
Tapi teringat harta warisan ibunya yang kini dikuasai orang-orang tidak bertanggung jawab, Bella menjadi ragu.
Seolah menyadari kebimbangannya, pria itu kembali berbicara. “Namaku Giovanni Estes dan kupastikan membantumu jika kau bersedia menjadi istriku.”
Deg!
Bella kembali memandang baik-baik Giovanni, menelusuri garis wajah tegas dan netra hitam yang setajam mata belati.
Bella sangat yakin, pria ini bukanlah orang sembarangan.
“Giovanni, siapa sebenarnya kau ini?” tanyanya memberanikan diri.
***
**Giovanni akhirnya kembali ke rumah setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Keputusan itu bukan karena izin dokter, melainkan paksaan dari dirinya sendiri. Ia tidak tahan dengan suasana rumah sakit yang membatasi gerak, membatasi waktunya, dan terutama membatasi pikirannya. Dengan alasan merasa sudah cukup kuat, ia bersikeras keluar meskipun dokter berulang kali mengingatkan bahwa luka yang ia derita belum sepenuhnya pulih. tulang selangkanya yang retak belum sepenuhnya sembuh.“Tubuhmu belum siap. Kalau kau memaksa, risikonya bisa fatal, Tuan,” kata dokter dengan nada keras waktu itu.Namun Giovanni hanya menanggapi dengan senyum kaku. “Aku lebih baik mati di rumah sendiri daripada terkurung di ruangan ini,” ujarnya singkat, lalu menandatangani surat pernyataan pulang atas tanggungannya sendiri. “Jangan mengatur-aturku, Dokter!”“Kau adalah pasien kami. Bagaimana mungkin kami membiarkanmu bersikap seenaknya seperti itu? Kau harus menurut sampai setidaknya kami memiliki catat
**Malam di San Diego General Hospital terasa panjang. Lampu kamar perawatan menyala temaram, menimbulkan suasana tenang sekaligus penuh kecemasan. Bella duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Giovanni yang masih terbaring tidak sadar akibat anestesi.Felix berdiri di sudut ruangan, matanya awas mengamati setiap pergerakan perawat yang masuk dan keluar. Namun Bella menoleh kepadanya dengan tatapan tegas.“Felix, kau harus beristirahat. Kau sudah menemaninya sejak pagi. Biarkan aku yang menjaganya sekarang.”“Tapi, Nyonya—”“Aku istrinya,” Bella memotong dengan suara yang lembut namun penuh penekanan. “Tidak ada yang lebih berhak berada di sisinya selain aku. Pergilah, tidurlah sebentar. Aku berjanji tidak akan meninggalkan Giovanni sedetik pun. Kau juga harus memikirkan dirimu, Felix.”Felix menahan napas, menatap Bella beberapa saat. Wajah perempuan itu pucat, tetapi sorot matanya menunjukkan keteguhan yang tidak bisa digoyahkan. Akhirnya Felix mengangguk pelan. “Baiklah. Jika ada
**Malam sudah tiba dalam waktu yang begitu singkat.Lorong Unit Gawat Darurat San Diego General Hospital malam itu terasa begitu panjang dan sunyi. Hanya bunyi langkah kaki perawat serta dengungan mesin pendingin udara yang menemani Felix. Ia duduk di kursi tunggu, tubuhnya condong ke depan, kedua tangannya menggenggam erat hingga buku jarinya memutih.Matanya tak pernah lepas dari pintu ruang operasi yang tertutup rapat. Lampu merah di atasnya menyala, tanda operasi sedang berlangsung. Waktu berjalan lambat, seolah setiap menit adalah ujian kesabaran.Felix mengusap wajahnya kasar, napasnya berat. Berkali-kali ia merogoh saku untuk mengambil ponsel, berniat menekan nomor Bella. Namun setiap kali jempolnya menyentuh layar, ia ragu dan membatalkan niatnya itu.“Jika aku mengabarkannya sekarang ....” gumamnya dalam hati, “Nyonya Bella pasti panik. Ia bisa hancur sebelum tahu hasilnya. Tidak ... aku tidak boleh membuatnya lebih cemas.”Felix mengembuskan napas panjang, kembali menatap p
**“Kita harus segera ke rumah sakit,Tuan!” Felix menginjak pedal gas dalam-dalam sementara melirik sesekali melalui kaca spion. Gurat kecemasan tergambar jelas pada raut wajahnya, mematai sang tuan yang tampak mengernyit. Jalanan hening, tidak ada kendaraan lain yang melintas. Mungkin karena tempat itu agak terpencil.Giovanni menggenggam bahu kirinya. Jelas sekali, darah merembes melalui sela-sela jemari besarnya. menetes hingga membasahi manset jas.“Aku baik-baik saja.” Namun sang tuan masih sempat berkilah. “Bawa aku pulang saja.”“Tidak. Kita harus ke rumah sakit dulu.”Kali ini, Felix mengambil resiko dengan tidak menurut. Ia tak peduli sekalipun sang tuan akan murka. Baginya, keselamatan Giovanni jauh lebih penting. Dan ternyata Giovanni tidak lagi membantah. Entah karena ia terlalu kesakitan, atau memang berpikir sang bawahan ada benarnya. Pria itu hanya melirik ke luar jendela dengan kesal, mengabaikan kucuran darah yang kian deras.Felix mempercepat laju mobilnya ketika me
**Damian menyeringai lebar ketika mendengar ancaman itu. Alih-alih merasa terancam, ia semakin senang. Bukankah Giovanni justru menunjukkan titik lemahnya dengan berkata seperti itu? Dan titik lemah itu, bernama Bella."Aku sedang tidak mengajakmu bercanda!" geram Giovanni lagi. "Memangnya apa yang kau pikir lucu sehingga kau tersenyum lebar seperti keledai begitu?""Aku suka temperamenmu," tukas Damian, "Kau tahu, Giovanni? Sepotong kayu akan segera menjadi arang akibat bara api yang dia sebabkan oleh gesekan-gesekannya sendiri."Giovanni mengatupkan rahang. Murka benar-benar hampir melahapnya seperti bara api yang dikatakan Damian barusan. Ia diam, namun sepasang mata serigalanya berkilat. Giovanni sedang menahan diri untuk tidak menerkam adik sepupunya saat iru juga."Ini adalah peringatan terakhir untukmu, Damian ...." ujar Giovanni akhirnya. "JIka sekali lagi kau membuat perkara denganku, akan kuhancurkan kau beserta semua antek-antekmu.""Apa menurutmu aku akan berhenti dengan
**Di ruang kendali yang dipenuhi cahaya remang-remang, hanya diterangi nyala biru dari layar monitor, Damian Estes duduk tegak di kursinya. Tatapannya terarah pada satu layar besar di hadapannya, menyorot sebuah sedan hitam yang berhenti tepat di depan gerbang kastil. Mesin mobil itu masih menyala, lampu depannya memancarkan sinar dingin yang membelah pekatnya pagi di tengah hutan yang basah berembun.“Sudah berapa lama dia di sana?” tanya Damian tanpa mengalihkan pandangannya.Matteo, lelaki berpostur tegap dengan tatapan tajam, berdiri di belakang Damian. Ia melipat tangannya di dada, menatap layar yang sama. “Baru sepuluh menit. Tapi aku rasa dia tidak berniat pergi begitu saja.”Damian menghela napas panjang, lalu bersandar sedikit ke kursinya. Senyum tipis terbit di wajahnya, senyum yang mengandung arti lebih dalam daripada sekadar keramahtamahan.Matteo mengerutkan kening. “Apakah kau akan membiarkan hal itu? Kau tahu siapa yang ada di dalam mobil itu, bukan?”Damian menoleh se