Share

Bab 6: Tawaran Kerja

“Saya tidak sengaja sampai Jogja, Nyonya.” Lantas, mengalirlah cerita dari bibir Seruni dari awal pelarian hingga terdampar bersama Bram di Hotel La Luna.

Tatapan prihatin Kanaya menyapu wajah Seruni. “Aku pernah dengar tentang prostitusi online. Tapi baru kali ini ketemu orangnya.”

“Sa-saya belum pernah melayani satu orang pun pria hidung belang.” Suara Seruni bergetar. Hatinya seperti dibanting ketika mendengar ucapan Kanaya.

“Ehm, sorry. Bukan aku nuduh kamu.” Kanaya menghela napas. “Maksudku, baru kali ini aku ketemu korban pedagangan manusia seperti kamu.” Tangannya terulur lalu menggenggam jemari Seruni yang gemetar. “Sekarang, kamu mau ke mana? Katamu, tidak ada saudara di sini.”

“Saya belum tahu, Nyonya. Tapi semalam Pak Bram bilang kalau ada pekerjaan buat saya. Apa Nyonya butuh pembantu? Saya bisa masak, beres-beres rumah, nyci, setrika, apa saja saya bisa.” Semangat di hati Seruni kembali timbul. Dengan mata berpendar, disebutnya semua pekerjaan rumah tangga seperti rentetan peluru yang melesat dari senapan. Ia lega Kanaya bisa menerimanya. Setidaknya, ia tidak akan diusir dari rumah ini.

“Kalau tentang pekerjaan, aku tidak tahu.”

Bahu Seruni sedikit melorot mendengar ucapan Kanaya.

“Mas Bram yang lebih tahu urusan bisnis. Kalau kerjaan di sini, Mama yang tahu.”

Kanaya berdiri. Ia mengambil stoples berisi campuran daun teh dan buah berry kering kemudian mengambilnya satu sendok teh dan memasukkannya ke dalam gelas. Setelah mengisi dengan air panas, ia membawa cangkir itu ke meja dan kembali duduk di dekat Seruni.

“Oh iya, jangan panggil aku nyonya.”

Bola mata Seruni agak melebar. Digenggamnya cangkir kuat-kuat.

“Aku Kanaya, adik Mas Bram.” Lesung pipit tercetak di ujung senyum Kanaya.

“Oh, ma-maaf, Nona. Saya kira Nona Kanaya istri Pak Bram.” Seruni tertunduk malu.

“Apa aku kelihatan setua itu?” Kanya pura-pura memasang wajah kesal.

“Bu-bukan begitu maksud saya, Non. Ta-tapi, saya kira Pak Bram tinggal dengan istri dan anaknya.”

“Sudah tidak apa-apa.” Kanaya menyesap tehnya. “Aku hanya bercanda.” Ia kembali tersenyum kecil. “Sebentar lagi kami kumpul untuk sarapan. Nanti aku tanyakan pekerjaan apa yang ditawarkan Mas Bram buat kamu.”

Mata Seruni kembali berpendar cerah. “Terima kasih, Non.” Ia tersenyum lega.

“Ehm, panggil aku mbak, aku tidak terlalu suka dipanggil non.” Kanaya menandaskan isi cangkirnya kemudian melihat jam dinding sekilas.

“Baik, Mbak.” Seruni menjawab cepat. Hatinya semakin lega karena sikap Kanaya. “Kalau diizinkan, saya mau bantu-bantu di dapur sambil menunggu keputusan Pak Bram.”

“Terserah kamu saja.” Kanaya berdiri dan membawa cangkir ke wastafel. Dicucinya cangkir kemudian digantung di rak perabot. “Mbok, Seruni mau bantu-bantu di dapur. Tolong Simbok kasih tahu dia apa yang mesti dikerjakan,” ujarnya pada Mbok Asih yang sedang menyiapkan sarapan.

Mbok Asih mengiyakan perintah Kanaya sembari melirik Seruni sekilas. “Sini, Nduk. Bantu Simbok menata piring di meja makan,” panggilnya setelah Kanaya pergi.

“Nggih, Mbok.” Seruni mendekat.

“Ambil piring dan sendok dari lemari. Bawa ke meja makan.”

Seruni bergerak cepat mengerjakan perintah Mbok Asih. Setelah mengambil setumpuk piring, diikutinya langkah perempuan separuh abad itu menuju ruang makan yang cukup luas. Cacing di perutnya mulai berteriak saat hidungnya menghirup uap panas beraroma bumbu dari satu mangkuk besar nasi goreng ampela. Didengarnya baik-baik ucapan Mbok Asih sembari menata piring dan sendok.

“Pagi, Mbok. Sarapan apa kita pagi ini?”

Sendok di tangan Seruni terjatuh hingga menimbulkan bunyi cukup nyaring saat membentur lantai. Jantung gadis itu serasa mau copot ketika mendengar suara Bram yang sepertinya sudah berdiri tidak jauh darinya.

“Ma-maaf, Mbok. Saya nggak sengaja.” Seruni menggigit bibir. Bola matanya bergerak-gerak gelisah.

Ndak apa-apa, Nduk. Mas Bram memang sering ngagetin gitu. Kamu ambil dan ganti sendoknya dengan yang baru, ya.”

Nggih, Mbok.” Seruni berjongkok. Tangannya terulur hendak meraih sendok yang terlihat mengilap di atas lantai putih bersih itu.

Tanpa disadari Seruni, rupanya Bram sudah berada di dekatnya. Lelaki itu melakukan hal yang sama sehingga tangannya berada di atas jemari Seruni yang lebih dulu memegang sendok.

Terkejut, Seruni kembali menjatuhkan sendok ke lantai. Selama beberapa detik manik matanya bertemu pandang dengan Bram hingga jantungnya berdetak cepat dan perutnya mendadak mulas..

“Kamu grogian banget.” Lelaki yang pagi itu mengenakan kaus dan celana selutut berdecak seraya menyugar rambut. Ia memutus kontak dengan Seruni. “Ambilkan sendok yang baru.” Ia mengulurkan benda itu pada Seruni kemudian mengambil teko berisi jus jeruk dan menuangnya ke dalam gelas.

“Ma-maaf, Pak.” Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, ia memelesat pergi dan segera kembali dengan sendok yang baru. Setelah itu, ditatanya sendok dan garpu di samping piring.

“Aku tunggu kamu di ruang tengah setelah sarapan.” Tiba-tiba Bram bersuara. 

Seruni berjengit. Beruntung pekerjaannya sudah selesai sehingga tidak perlu menjatuhkan sendok untuk ketiga kalinya hanya karena kaget. Duh, bisa nggak, sih, nggak ngagetin terus? Seruni membatin.

“Baik, Pak.” Seruni menjawab tanpa berani menatap Bram. Kemudian, ia pergi ke dapur dan membantu Mbok Asih membersihkan peralatan memasak.

“Ini Nduk sarapanmu.” Mbok Asih mengambilkan sepiring nasi goreng dan meletakkannya di meja. “Makan dulu kalau sudah selesai bersih-bersih.”

“Iya, Mbok. Matur nuwun.” Seruni menatap Mbok Asih yang tersenyum tulus padanya. Hatinya menghangat karena seperti bertemu ibu yang menyayanginya. Usai beres-beres, bersama Mbok Asih, ia menghabiskan sarapan dengan cepat karena perutnya benar-benar lapar.

Seruni mengeringkan tangan. Ia telah menyelesaikan semua tugas yang diberikan Mbok Asih. Sarapan sudah selesai dan ruang makan serta dapur kembali bersih. Dalam hati, Seruni mengagumi Mbok Asih. Meski sudah cukup berumur, tetapi perempuan itu masih sangat cekatan dalam bekerja sehingga Seruni malu kalau sampai lebih lambat dalam bergerak.

Teringat dengan perintah Bram, ia meminta izin pada Mbok Asih untuk ke ruang tengah. Langkah kakinya terhenti di dekat lemari buku berukuran besar. Dilihatnya Bram sedang duduk membaca. Sebuah kacamata berbingkai kotak bertengger di atas hidungnya yang bangir. Seruni merasa seperti sedang melihat artis. Mulutnya sedikit terbuka. Tubuhnya terpaku. Lalu, dehaman Bram menyadarkannya untuk segera mengatupkan bibir.

“Duduk.” Bram memberi isyarat dengan dagu. Ia mengembalikan buku ke dalam lemari kemudian menggeser pintu kacanya hingga menimbulkan bunyi berderak.

Menuruti perintah Bram, Seruni berjalan ke salah satu sudut sofa yang ditata membentuk huruf L. Tangannya meraba tempat duduk yang terasa lembut. Dihirupnya oksigen dalam-dalam sembari merasai wangi bunga lily yang manis dari pengharum ruang tengah.

“Bener kamu bisa masak?” Bram melepas kacamata dan menyimpannya di dalam saku. Ditatapnya Seruni lekat-lekat.

“Iya, Pak. Saya bisa masak macem-macem.” Bola mata Seruni berpendar cerah. “Masakan Jawa, Cina, saya bisa, Pak.” Selama membantu bibinya, ia sudah pernah memasak berbagai menu.

“Eropa?”

Seruni mengerjap. Jangankan memasak, merasakannya pun ia belum pernah. Seruni disergap ragu, haruskah ia berkata jujur atau berpura-pura bisa agar diterima bekerja?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status