Bram menghela napas. Tangan kanannya memegang kemudi kuat-kuat sementara jemari kiri menggenggam ponsel. Urusan pegawai ada di tangannya, bukan Aditya. Laki-laki itu selalu ingin ikut campur di luar kewenangannya. “Nanti aku bicara pada Om Adit, Kai.” Suara Bram rendah dan berat. “Tapi seingatku, kemarin kita sudah sepakat kalau butuh tambahan asisten chef selama tiga bulan ke depan. Kamu sendiri yang mengajukan tambahan orang ke HRD karena bakal ada event dan ada asisten yang cuti.” Dada Seruni mendadak berdebar. Pembicaraan Bram seperti magnet yang membuatnya menoleh hingga matanya menangkap paras tampan Bram sedikit berkerut. Dari kalimat-kalimat Bram, Seruni tahu jika lelaki itu pasti sedang membicarakannya. “HRD sudah setuju dapur nambah tiga orang. Om Adit juga tahu itu.” Jejak rasa kesal terdengar jelas di balik ucapan Bram. “Soal Om Adit biar aku urus nanti. Dia tidak bisa seenaknya ngubah keputusan.” Seperti motor yang tiba-tiba berbelok tanpa menyalakan lampu sein, Bram m
“Nggak usah diterima.” Bram menjawab santai. Seruni melongo. Hatinya kebat-kebit. Sepertinya dia memang harus memeras otak mencari kemungkinan pekerjaan lain. “Oke.” Kai menjentikkan jari. “Aku pergi dulu.” Bram menepuk lengan lalu meninggalkan dapur tanpa berkata apa pun pada Seruni. Sesaat gadis itu mematung, mendadak ia merasa seperti anak ayam ditinggalkan induknya. “Ikut saya.” Ucapan Kai menyentak kesadaran Seruni. Segera diikutinya lelaki berperawakan sedang itu menuju ruangan kecil di belakang dapur. “Silakan duduk.” Kai memberi isyarat dengan dagu sementara tubuhnya bersandar di dinding dengan tangan bersedekap. Kepala Seruni tertunduk sesaat. Tatapan dari mata cokelat milik Kai membuat Seruni seperti kaki seribu disentuh manusia. “Mungkin Bram sudah memberitahu kalau ada tiga pos yang bisa kamu tempati.” Suara Kai agak kaku, tetapi terdengar jernih. Melibas rasa takut di hati, Seruni memberanikan diri mendongak hingga ia bertemu pandangan dengan Kai. Jemarinya salin
“Saya akan serahkan lamarannya besok, Bu.” Tidak hanya perutnya yang mulas, sekarang tubuh Seruni pun gemetar. Ya, Tuhan, bisakan dia tidak melihatku seperti itu? Seruni benar-benar merasa terpojok oleh tatapan Nina. Detik itu, ia berharap Bram datang. Nina pasti tidak akan semena-mena di depan Bram.“Jangan panggil saya “bu”. Saya belum setua itu,” ujar Nina ketus.“Ma-maaf, Bu. Eh, Mbak.”“Dengar, saya tidak tahu seberapa istimewa kamu di mata Mas Bram sampai tanpa lamaran diterima.”“Saya hanya pegawai rendahan. Cuma kang cuci piring.” Seruni memberanikan diri menyanggah. Perempuan di hadapannya makin menjadi dan keberanian di hati Seruni mulai terbit.“Semua pegawai di sini tidak boleh asal masuk. Apa pun posisinya. Kami profesional.” Nina menggerak-gerakkan bolpoin ke kiri dan kanan.“Tadi saya sudah ketemu Pak Kai dan dia mengizinkan saya bekerja.”Mengabaikan ucapan Seruni, Nina meraih gagang telepon. “Apa benar Seruni kamu terima di dapur?” ujarnya setelah menyapa Kai. “Kamu
“Masa, sih? Aku, kok, nggak percaya Pak Bram punya simpenan?”“Ada buktinya, Mbak.”“Kalau simpenan duit, pastilah.”“Diih. Coba Mbak cek grup. Ada, kok, foto Pak Bram gandengan sama cewek yang gitu, deh.”Telinga Seruni seperti digelitik dengan kawat. Sakit dan perih. Rasa sakitnya terasa sampai ke hati. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana tanggapan karyawan hotel kalau tahu dialah perempuan dengan baju tidak pantas yang digandeng Bram.“Bisa saja itu editan, Mei.”“Sudah ada yang ngecek. Foto itu asli, Mbak. Sumpah samber geledek.”“Hus, jangan ngomong sembarangan. Beneran disamber geledek baru tahu rasa.”“Aku ngomong gitu karena yakin itu bener.”Seruni menyandarkan tubuh di dinding. Diabaikannya tatapan heran pegawai hotel yang mendorong keranjang besar berisi piring dan gelas kotor. Kedua telapak tangan Seruni berkeringat hebat dan perutnya sangat mulas, lebih mulas ketimbang saat berhadapan dengan Nina. Ternyata, begini rasanya jadi bahan gunjingan orang.“Mending pastikan du
“Kembalikan uangku ditambah ganti rugi seratus persen.” Telepon kedua pagi ini dari penyewa Seruni, dengan tuntutan yang sama. Si tato kalajengkin menyandarkan tubuh di bahu sofa berwarna kelabu di ruang tamu rumah utama yang menjadi tempatnya mengatur bisnis gelap. Kaburnya Seruni membuatnya harus menanggung malu sekaligus amarah pelanggan. Malu karena ia harus kalah dari perempuan. Bertahun-tahun menjalani bisnis kotor ini, ia belum pernah gagal menjerat gadis-gadis belia dan memerangkap mereka dalam lingkaran setan perdagangan manusia. “Aku tidak suka transaksiku gagal. Jangan membuatku semakin kesal. Kamu tahu, apa yang akan terjadi kalau aku sudah jengkel.” Kepulan asap rokok keluar dari mulut si tato kalajengking. Raut wajah lelaki berusia 35 tahun itu sekeruh air selokan Mataram setelah turun hujan. Ditahannya agar segala sumpah serapah tidak sampai lolos di antara kedua bibir gelapnya. Pelanggan yang dihadapinya bukan orang sembarangan. Tuan Kepala Batu, begitu ia biasa mem
Mati, aku! Seruni berseru dalam hati seraya tersenyum gugup. Bisa jadi ada yang memergokinya semalam ketika berjalan dengan Bram di hotel ini lalu mengambil foto mereka.“Bentar, ya, aku liatin fotonya. Beneran, kok, kamu mirip sama simpenan Pak Bram.”“Mungkin cuma mirip, Mbak.” Seruni meringis, pura-pura santai demi menutupi debar jantungnya yang menghebat. Diteguknya es teh cepat-cepat. Mendadak tenggorokannya terasa kering dan tubuhnya panas. “Banyak orang di dunia yang mirip, tapi nggak ada hubungan sama sekali, kan?”Ya, Tuhan, tolong jangan sampai mereka tahu kalau aku semalam memang pergi dengan Pak Bram. Batin Seruni menggemakan doa.“Bener kata Seruni, Mei.” Reni yang sejak awal hanya diam angkat bicara. Ditatapnya perempuan bertubuh mungil, tetapi cukup menarik itu sembari mencuil sepotong ayam goreng madu. “Kamu juga pernah mirip sama perempuan yang kapan hari dibawa bapak-bapak ganteng yang katanya pengusaha terkenal.”“Kalau itu memang beneran bukan aku, Mbak.” Raut muk
“Mbak Mei, duluan saja. Aku mau ke toilet dulu.”Seruni berbalik tanpa memedulikan tatapan heran Mei. Ia berlari melewati jalan semula lalu duduk di musala. Seruni berpikir, pria botak itu tidak akan mencarinya sampai ke belakang dapur La Luna.Waktu terlipat dengan lambat. Seruni bisa merasakan degup jantungnya seirama detak jam dinding. Gadis itu hanya duduk, menatap ke arah ujung jalan setapak dengan telapak tangan lembab karena berkeringat.“Belum pulang, Run?”Seruni terlonjak kaget. Refleks ia berdiri dan menatap gugup Kai. Gadis itu bahkan tidak menyadari kehadiran si kepala dapur.“Belum, Pak.” Seruni menghela napas,. Jemarinya saling bertaut sementara kepalanya sedikit tertunduk sebelum kembali menatap Kai. “Nunggu seseorang?” Tatapan curiga Kai menyapu wajah pucat Seruni.“Enggak, Pak. Ini mau pulang, kok.” Seruni buru-buru mengangguk hormat. Setelah itu, setengah berlari ia meninggalkan Kai setelah berpamitan. Dalam hati Seruni berdoa semoga pria botak itu sudah tidak ad
“Dasar munafik! Luarnya saja baik, dalemnya bejat.” Sebuah pesan masuk ke ponsel Kai ketika ia baru saja selesai salat Asar. Wajahnya berkerut. Apa yang sudah diperbuatnya sehingga orang tak dikenal tiba-tiba mengirim sumpah serapah? Ah, paling hanya orang iseng. Kai menutup chat room dan meletakkan ponsel di atas meja. Ia masih harus mengecek menu satu pekan ke depan dan ketersediaan bahan pangan di gudang sebelum mengajukan daftar belanja ke bagian finance. Ia tidak punya waktu untuk mengurus hal remeh seperti itu. Namun, rasa ingin tahu Kai sepertinya jauh lebih besar ketimbang dorongan untuk segera menyelesaikan pekerjaan. Sehingga, ketika lampu di ujung atas ponselnya menyala, Kai buru-buru menyambar. Jantungnya berpacu ketika notifikasi dari nomor tak dikenal terpampang di layar. “Beritahu kakakmu agar berhenti jadi orang munafik.” Jika hanya pesan itu, Kai tidak akan ambil pusing. Kali ini, si pengirim juga menyertakan sebuah foto yang cukup membuat Kai seperti disengat lis