"Katakan, Yuliani! Siapa orang yang sudah merenggut mahkotamu? Merenggut kesucian yang selama ini dijaga dengan baik-baik?" cecar Mark. Wajahnya memerah karena amarah yang tidak bisa diredam. Puteri yang selama ini dibanggakan sudah mengecewakannya.
Yuliani tidak berani menjawab, bahkan sekedar mengangkat kepala juga enggan. Dia takut pada Mark karena menyadari semua adalah salahnya."Ayo jawab, Yuliani? Kenapa kamu diam saja! Siapa yang sudah menodai kamu? Hah?" hardik Mark.Pria itu kehilangan kesabaran karena harus dipermalukan oleh puteri semata wayangnya. Mulai berteriak untuk menghilangkan pikiran yang mulai stres. Kemudian melempar vas bunga ke tembok. Yuliani kaget karena tidak pernah sang Ayah semarah itu padanya."Ayah, tenang. Kendalikan amarahnya," kata Dina lembut. Dari tadi sang Ibu hanya diam, tidak tahu harus berbicara apa. Wanita itu juga ikutan syok dengan apa yang menimpa keluarganya. Bagaimana tidak? Yuliani belum menikah, tapi sudah ditemukan test pack di dalam kamarnya yang menunjukkan hasil positif."Oke! Kalau kamu memang tidak mau memberitahu Ayah, bawa ke sini laki-laki itu!" seru Mark dengan wajah yang masih emosi.Mark membanting pintu kamar Yuliani serta berlalu pergi. Dina terkejut, lalu melihat ke arah sang Anak yang masih duduk di sisi tempat tidur.Dina mendekati Yuliani dan memeluknya dengan erat."Ceritakan pada Ibu, Yuliani? Siapa yang melakukannya?" tanya Dina mengangkat dagu sang Anak yang tengah menunduk.Yuliani hanya bisa menangis sesenggukan sembari memeluk tubuh Dina, dia tidak tahu harus menceritakan semua dari mana. Dia sadar, semua terjadi karena tidak bisa menjaga diri sendiri dengan baik."Ibu akan tetap menunggu sampai kamu siap menceritakan semuanya, lebih baik kamu sekarang istirahat." Dina melepaskan pelukan, lalu menghapus air mata Yuliani yang sudah membasahi pipi.Setelah dipastikan Yuliani lebih tenang, Dina sengaja meninggalkan sendiri di dalam kamar. Mendengar suara pintu ditutup, wanita yang hamil di luar nikah itu pun langsung mengambil handphone untuk menghubungi seseorang. Dia berkali-kali menekan tombol panggilan pada nomor yang sama, tapi tidak ada jawaban. Wanita cantik berpakaian piyama itu pun mengirimkan pesan ke nomor tersebut."Harusnya aku tidak teledor, menaruh benda itu di atas meja rias." Yuliani menggerutu seorang diri.Andai saja dia tidak ke kamar mandi waktu Mark masuk ke kamarnya, mungkin benda tes kehamilan itu bisa disembunyikan. Namun, semua sudah terjadi. Yuliani tidak bisa menutupi lagi tentang kehamilan yang sudah seminggu ini ditutupi dari keluarganya. Sekarang, wanita itu cuma bisa meratapi semuanya sendiri.Sedangkan di ruang keluarga, Mark terlihat tengah menonton televisi. Raganya memang berada di sana, tapi pikirannya melayang entah kemana. Dina menghampiri sang Suami dengan segelas kopi di nampan yang saat ini ada dalam genggamannya."Diminum dulu, Ayah." Dina menaruh secangkir kopi tersebut di atas meja, tepat di depan Mark."Apakah Ibu sudah tahu ini dari awal?" tanya Mark tanpa basa-basi.Dina terdiam sejenak, lalu berkata, "Ibu baru tahu saat Ayah memarahi Yuliani di kamarnya."Mark menghela napas panjang, lalu menghembuskan secara perlahan."Sudah kuduga, bagaimana mungkin Ibu tidak tahu? Sebagai seorang wanita, harusnya kamu tahu kalau dia sedang hamil. Paling tidak bisa dilihat dari perubahan sehari-hari," ujar Mark menahan amarah yang belum redam."Maafkan Ibu, Ayah. Akhir-akhir ini sibuk kerja, jadi tidak begitu memperhatikan Yuliani," dusta Dina agar Mark tidak semakin marah pada Yuliani.Sudah lima hari ini Dina bertanya pada sang Anak, tapi Yuliani selalu menutupi. Ketika mual, wanita itu hanya mengatakan kalau sekedar masuk angin saja. Dina curiga, tapi berusaha menepis pikiran buruk tentang putri kesayangannya."Sebagai suami, aku kecewa padamu. Ngurus anak satu saja gak becus," kata Mark melirik tajam. Selama menikah, baru kali ini Mark berkata hal yang menyakitkan hati bagi Dina."Seharusnya Ayah tidak hanya menyalahkan aku saja. Kita sebagai kedua orang tua, wajib mengurus anak kita bersama-sama. Jangan hanya Ibu saja yang mengurusnya," keluh Dina. Ingin rasanya semua keluhan yang ada dalam hati ditumpahkan saat ini juga."Dimana-mana anak itu tergantung Ibunya, tugasku hanya mencari nafkah!" elak Mark tidak mau kalah."Bukan begitu konsepnya, Ayah. Ibu bekerja juga karena Ayah gak pernah mau jujur tentang penghasilan Ayah. Sedangkan kebutuhan dapur selalu saja kurang, makanya aku bantu mencari nafkah untuk keluarga ini. Jangan egois seperti ini!" pekik Dina dengan nada suara sedikit tinggi.Mark mengembuskan napas secara kasar, lalu menyeduh kopi yang sudah disediakan sang Istri. Pikirannya benar-benar kacau sekarang, tidak tahu harus berbuat apa pada anak semata wayangnya itu."Aku tak pernah memintamu untuk bekerja, jelas semua kesalahan ada padamu. Kamu itu ibunya! Kamu yang punya kewajiban lebih besar menjaganya dari pada aku. Apakah Ibu tahu siapa yang melakukan semua ini pada kita?" tanya Mark dengan emosi yang masih sama.Dina menggelengkan kepala, sebab Yuliani juga enggan untuk bercerita siapa yang sudah menodainya.Mark semakin marah dengan jawaban yang diterima, lalu pria itu berdiri hendak berjalan ke kamar Yuliani."Ayah mau ke mana?" tanya Dina merasakan firasat yang tidak enak."Aku akan menanyakan sendiri pada Yuliani, siapa pria yang berani menodainya!" sahut Mark. Terlihat sekali dari raut wajahnya kalau emosi kembali dan tidak bisa ditahan lagi."Biarkan Ibu yang menanyakan padanya, Ayah." Dina berusaha untuk mencegah Mark pergi ke kamar Yuliani."Aku tadi sudah memberikan kesempatan padamu, tapi kamu tidak juga mengetahui pria itu! Mungkin, jika aku yang bertanya, dia akan memberitahu," kata Mark melangkahkan kaki. Tidak peduli dengan Dina yang berdiri di hadapannya."Yuliani sudah tidur, Ayah. Percuma juga Ayah ke kamarnya," kata Dina. Mungkin saja Mark tidak meneruskan langkah kaki. Akan tetapi, justru sang Suami semakin mempercepat jalannya.Dina spontan menyusul Mark, tidak ingin sesuatu terjadi pada Yuliani. Kalau dilihat dari sorot mata pria itu, emosinya saat ini lebih menakutkan."Biarkan saja Yuliani istirahat, Ayah. Jangan ganggu dulu, nanti kita bicarakan lagi kalau pikirannya tenang," kata Dina menarik tangan Mark."Kali ini jangan halangi aku lagi, Bu. Sudah cukup, aku tidak ingin nama baik keluarga ini tercoreng hanya gara-gara dia. Aku tidak ingin orang lain tahu kalau dia hamil, sementara dia belum menikah. Aku harus tahu pria itu sekarang juga, mereka harus menikah sebelum perutnya semakin membesar!" hardik Mark dengan sorot mata memerah."Tenangkan dulu hatimu, Ayah. Biarkan Ibu yang tanya padanya. Ibu berjanji akan beritahu Ayah siapa orangnya." Dina bersikeras untuk menahan Mark agar tidak bertemu Yuliani.Pria yang kini memakai kemeja warna hitam itu tidak bisa mengendalikan amarahnya. Dia melampiaskan pada Dina."Terserah Ibu saja, urus saja anak kesayanganmu itu!" hardik Mark setelah berhasil melayangkan tangan ke pipi sebelah kanan Dina.Sepasang suami istri kini tengah duduk di tepi ranjang, saling terdiam dan tidak ada yang berbicara. Hanya ada keheningan serta tangisan dari wanita yang saat ini tengah memegang pipinya yang memar. Alih-alih ingin ke kamar sang Anak diurungkan karena pertengkaran yang terjadi."Maafkan Ayah, Bu." Mark berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengatakan hal itu, tapi nyatanya cuma bisa terlintas dalam batinnya saja. Pun Dina yang ingin meluapkan isi hati, namun justru tertahan di tenggorokannya. Lain hal dengan Yuliani yang saat ini tengah gelisah melihat kedua orang tuanya bertengkar karena kesalahan yang diperbuat."Aku memang jahat, hingga membuat ayah dan ibu bertengkar." Yuliani bermonolog. Dia memang melihat secara langsung ketika sang Ayah memarahi ibunya. Dari lubang kecil di pintu, adegan itu terlihat jelas di sorot matanya. Yuliani merebahkan tubuh, mulai melihat ke langit-langit kamar. Kembali ponsel yang ada di atas meja samping tempat tidur diraihnya, mulai berusaha untuk
Yuliani berhasil keluar dari rumah untuk menemui kekasih hati yang sedari tadi memberikan kabar pasti. Tidak lupa dia membawa alat tes kehamilan sebagai bukti dari apa yang sudah diucapkan. Dia dan kekasihnya sudah janjian untuk bertemu di taman kota yang jaraknya lumayan jauh dari rumah Yuliani. Dengan penampilan seadanya, dia akan menemui pria yang sudah menghamilinya. Wajahnya terlihat pucat karena tidak memakai pewarna bibir seperti biasa. Dia buru-buru pergi agar tidak ketahuan oleh Dina.Bermodalkan uang yang pas untuk memesan ojek online sebelumnya, Yuliani berangkat ke taman itu. Berharap ada jalan dari masalah yang saat ini dihadapinya. "Bang, lebih cepat!" seru Yuliani ketika duduk di jok sepeda motor bagian belakang. Dia sengaja meminta cepat agar bisa menunggu pria yang dicintai serta menenangkan diri karena pikirannya sedang tidak menentu. Segala macam pikiran negatif terbersit begitu saja, meskipun pikiran positif sesekali ada dalam benaknya."Iya, Mbak. Ini saja suda
Yuliani berusaha untuk menguatkan diri, tidak mau berhenti begitu saja. Bagaimanapun, dia harus mendapatkan pertanggung jawaban atas janin yang saat ini ada dalam perutnya."Kamu gak boleh lemah seperti ini, Yuliani! Kamu harus kuat, Anton harus menikah denganmu, anak ini harus punya ayah saat lahir nanti," monolog Yuliani sembari memegang perutnya yang masih rata. Air matanya segera dihapus, lalu berdiri dan mengejar pria yang meninggalkan seorang diri."Anton! Tunggu!" teriak Yuliani sehingga langkah kaki Anton berhenti.Pria itu menoleh ke arah wanita yang telah kusut wajahnya."Ada apa lagi?" tanya Anton kesal. Yuliani mendekati Anton yang berdiri dengan jarak 10 meter darinya."Aku mau kamu bertanggung jawab atas janin yang ada dalam kandunganku. Aku tidak mungkin melahirkan anak ini tanpa seorang ayah." Yuliani menyahut dengan nada pelan. Dia tidak ingin obrolannya terdengar oleh orang sekitar taman."Kalau aku gak mau gimana? Aku gak yakin itu darah dagingku!" cetus Anton meng
Yuliani dan Anton menoleh ke sumber suara. Mark dengan cepat melangkahkan kaki dengan amarah yang semakin tidak bisa terkendali."Lebih baik kamu pergi dari sini sekarang juga, Anton!" pinta Yuliani panik, dia tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kekasih yang sudah berjanji menikahinya.Anton menganggukkan kepala, lalu naik ke atas sepeda motornya. Perasaan gugup dan takut bercampur jadi satu, hingga sulit untuknya menghidupkan sepeda motornya."Jangan kabur kamu!" hardik Mark bagian belakang sepeda motor Anton."Sudah, Ayah. Biarkan dia pergi, jangan sakiti dia!" cegah Yuliani. Wanita itu tidak sendiri, sebab Dina juga mendukung serta membantu menarik tangan Mark."Tenangkan hatimu dulu, Ayah. Jangan bersikap gegabah. Gak enak juga dilihat tetangga," kata Dina mengingatkan kalau aib keluarganya jangan sampai diketahui orang lain. Anton berhasil kabur ketika Mark mulai lengah. "Kenapa kalian berdua mencegah Ayah? Harusnya pria tidak tahu diri itu mendapatkan pelajaran atas a
Hari yang ditunggu akhirnya tiba, Yuliani sudah tidak sabar menyambut Anton bersama dengan keluarganya. Setelah mendapatkan pesan yang membahagiakan, wanita itu semakin semangat untuk menjalani hari. Membayangkan hidup berbahagia dengan pria yang dicintai."Kamu terlihat cantik sekali, Yuliani." Dina memuji Yuliani setelah merias diri."Terima kasih, Bu. Aku bahagia karena tidak menyangka kalau keluarga Anton merestui dan meminta untuk melangsungkan pernikahan sekarang juga," ujar Yuliani terharu. Pesan yang diterima kemarin selalu diingat, tidak dihapus bahkan semalam dibaca berulang-ulang ketika sulit memejamkan mata."Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu," kata Dina memeluk tubuh Yuliani. "Aamiin, terima kasih do'anya Bu." Yuliani membalas pelukan Dina.Melihat sinar kebahagiaan yang terpancar dari netra Yuliani membuat Dina juga merasakan kebahagiaan yang sama. Akhirnya, putri kesayangannya menikah juga dan akan menjalani bahtera rumah tangga.Semua sudah dipersiapkan dengan seb
"Kamu ke mana sih, Anton. Kenapa nomornya tidak aktif?" pikir Yuliani masih berusaha untuk menghubungi Anton. "Bagaimana? Apa sudah ada jawaban darinya?" tanya Dina tampak gelisah. Firasatnya sudah mengatakan yang tidak-tidak. Akan tetapi, dia masih terus berusaha untuk berpikir positif."Nomornya sudah tidak aktif, Bu." Yuliani berbicara terbata-bata."Ibu sudah menduga dari awal, pria itu pasti gak mau bertanggung jawab." Dina mulai meyakini firasatnya."Gak mungkin, Bu. Dia sendiri yang sudah berjanji untuk menikahi ku. Mungkin saja kehabisan baterai, atau kehilangan signal. Bisa saja seperti itu 'kan, Bu?" cetus Yuliani berusaha meyakinkan diri sendiri juga."Sudah, Yuliani. Jangan berharap lagi sama pria itu, dia mungkin tidak akan datang. Jangan buang-buang waktu lagi. Di luar para tamu sudah menunggu. Alasan apa yang akan kita katakan pada mereka? Ibu malu, Yuliani!" hardik Dina. Wanita yang semula selalu sabar, kini tidak tahan juga dengan permasalahan yang terjadi.Yuliani m
Dengan langkah sempoyongan Mark berlari menemui Dina, sedangkan para tamu dan juga keluarga mulai kebingungan dengan apa yang terjadi sebenarnya. "Ada apa, Bu?" tanya Mark memegang pundak Dina."Yuliani, Ayah. Dia tdiak ada di dalam kamarnya." Dina menyahut sembari menunjuk kamar Yuliani yang sudah kosong. Jendela kamarnya juga terbuka, wanita itu sudah pergi melarikan diri lewat sana.Mark langsung masuk untuk mengecek keadaan lebih lanjut, ternyata memang benar puteri kesayangannya tidak ada. "Ibu tenang dulu di sini ya, Ayah coba mengejarnya. Mungkin saja dia tidak jauh dari sini." Mark membantu Dina untuk duduk di tepi ranjang kamar Yuliani. Pria itu tidak peduli dengan sorot mata semua orang, yang ada dalam benaknya saat ini hanya satu. Yuliani harus segera ditemukan sebelum calon mempelai pria pilihan Mark kecewa dengan peristiwa ini."Apa aku bilang, Jeng. Calon mempelai pria tidak datang, makanya sekarang Yuliani tidak ada di kamarnya." Mawar dengan bangga berpendapat setel
"Ayah gak salah memilih calon suami untukku?" tanya Yuliani melihat pria yang ada di hadapannya. Wajah yang dimiliki sudah tidak lagi muda, bagaimana mungkin Mark tega memilihkan calon suami seperti itu?"Kamu gak punya pilihan lain, Yuliani. Sudah beruntung Pak Bandit mau menerimamu dengan kondisimu saat ini." Mark berbicara tegas agar Yuliani menyadari dengan kondisinya sekarang yang bukan lagi seorang wanita perawan."Sampai kapan pun, Yuliani tidak mau menikah dengan pria yang sudah tua seperti dia, Ayah." Yuliani tetap pada pendiriannya. Meskipun Mark sudah mengingatkan akan aib yang saat ini sedang ditanggungnya.Wanita mana yang akan mau menikah dengan pria yang memiliki umur terpaut jauh, bisa dibilang pria itu lebih pantas menjadi kakek Yuliani. Jika dibandingkan dengan Anton, lebih baik pria yang sudah menghamilinya dibandingkan dengan pria yang tulus menerima apa adanya. Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, wanita yang masih mengenakan gaun pengantin itu harus tahu diri juga