Share

2. Murka

Sepasang suami istri kini tengah duduk di tepi ranjang, saling terdiam dan tidak ada yang berbicara. Hanya ada keheningan serta tangisan dari wanita yang saat ini tengah memegang pipinya yang memar. Alih-alih ingin ke kamar sang Anak diurungkan karena pertengkaran yang terjadi.

"Maafkan Ayah, Bu." Mark berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengatakan hal itu, tapi nyatanya cuma bisa terlintas dalam batinnya saja. Pun Dina yang ingin meluapkan isi hati, namun justru tertahan di tenggorokannya. Lain hal dengan Yuliani yang saat ini tengah gelisah melihat kedua orang tuanya bertengkar karena kesalahan yang diperbuat.

"Aku memang jahat, hingga membuat ayah dan ibu bertengkar." Yuliani bermonolog.

Dia memang melihat secara langsung ketika sang Ayah memarahi ibunya. Dari lubang kecil di pintu, adegan itu terlihat jelas di sorot matanya. Yuliani merebahkan tubuh, mulai melihat ke langit-langit kamar. Kembali ponsel yang ada di atas meja samping tempat tidur diraihnya, mulai berusaha untuk menghubungi pria yang berhasil menghamilinya.

Panggilan yang semula tidak bisa dihubungi, kini sudah bisa dihubungi. Akan tetapi, ditolak berkali-kali. Yuliani mengirimkan pesan, tapi juga tak kunjung mendapatkan sebuah balasan.

[Kamu ke mana, Mas. Kenapa pesan dan panggilanku tidak direspon? Ada hal yang ingin aku bicarakan sama kamu.] Kalimat tersebut yang berhasil dikirim oleh Yuliani. Hingga tidak terasa wanita itu terlelap dalam tidurnya.

***

Yuliani enggan beranjak dari tempat tidurnya, semangat hidup yang selama ini membara sudah pupus begitu saja. Terlebih ketika Mark murka akan kehamilannya. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa selain mengunci diri di dalam kamarnya.

"Yuliani, kita sarapan yuk!" ajak Dina setelah menggedor pintu kamar sang Anak.

Bukan menjawab, Yuliana justru menyumpal telinganya dengan bantal. Untuk hari ini, dia tidak ingin bertemu dengan keluarga karena yakin sang Ayah pasti masih dalam keadaan hati yang sama.

Dina terus berusaha membujuk, tapi tidak ada tanggapan juga. Jadi, wanita tersebut kembali ke ruang makan menemui suaminya.

Mereka berdua belum juga berbaikan, Mark masih gengsi untuk meminta maaf. Sedangkan Dina juga tidak ingin memulai pembicaraan terlebih dulu. Meskipun begitu, wanita itu masih melayani sang Suami seperti biasa.

Dina duduk dan mengambil nasi goreng yang sudah dimasaknya, pun Mark juga melakukan hal yang sama. Mereka berdua makan bersama tanpa kehadiran puteri tercinta mereka.

"Ke mana anak itu?" tanya Mark ketika selesai sarapan.

"Di kamarnya." Dina menjawab singkat.

"Aku mau berangkat kerja dulu, kamu jaga dia. Paksa untuk sarapan, bagaimanapun juga kasihan janin yang ada dalam perutnya." Mark berbicara seolah tidak ada yang terjadi tadi malam.

"Bahkan kamu gak meminta maaf padaku atas sikapmu semalam, Mas. Kenapa hatimu semakin mengeras seperti batu?" cetus Dina karena sudah tidak kuat membatin sendiri.

"Aku lagi malas membahas hal itu, Bu. Aku pergi dulu," kata Mark langsung menyelonong pergi begitu saja.

Tidak terasa air mata berhasil lolos dari wajah Dina.

"Aku gak menyangka kamu akan merubah sikap seperti ini, Mas. Aku kira sifatmu itu akan kamu musnahkan seperti yang pernah dijanjikan padaku." Dina menangis sesenggukan sembari membawa piring kotor ke dapur.

Selesai mencuci piring, Dina kembali ke kamar Yuliani. Berharap pintunya akan dibuka oleh putrinya.

"Yuliani, ini Ibu. Tolong buka pintunya, Ibu mau bicara sebentar. Kamu gak usah takut, ayahmu sudah berangkat kerja," kata Dina setengah berteriak.

Tetap saja tidak ada jawaban dari Yuliani meskipun Dina menggedor pintunya beberapa kali.

"Kamu harus makan, Yuliani. Kasihan janin yang ada dalam perutmu." Dina terus membujuk meskipun tidak terdengar respon.

Wanita itu kembali ke dapur untuk mengambil piring yang sudah ada nasi goreng, juga membawakan roti dan segelas susu di atas nampan.

"Semoga saja Yuliani mau keluar untuk mengambil makanan ini." Dina bermonolog.

Sang Ibu memang selalu memanjakannya dari dulu, jadi hal itu biasa dilakukan ketika Yuliani sedang ngambek dan gak mau keluar dari kamar. Dina melangkahkan kaki ke kamar sang Anak, lalu meletakkan nampan yang berisi makan dan susu itu di atas meja tepat di samping pintu kamar.

"Ibu taruh makanannya di meja, jangan lupa makan ya!" teriak Dina.

Mendengar langkah kaki yang sudah pergi, Yuliani keluar untuk mengambil sarapan tersebut. Perutnya sudah keroncongan dari tadi, tapi tidak berani keluar kamar untuk menghindari seribu pertanyaan yang mungkin diberikan oleh Dina.

"Maafkan aku, Ibu. Aku belum bisa menemui ibu karena belum siap untuk memberitahu siapa ayah dari janin yang aku kandung saat ini. Sebisa mungkin, aku akan meminta pertanggung jawaban sendiri pada pria yang sudah menghamili ku," gumam Yuliani sembari mengelus perutnya yang masih terlihat rata.

Dia menghabiskan sarapan dan juga segelas susu hingga tidak tersisa, lalu menaruh kembali nampan tersebut di meja depan kamar. Setelah mendapatkan tenaga, Yuliani kembali mengirim pesan dan berusaha untuk menghubungi pria yang dicintainya. Akhirnya ada balasan juga dari pria tersebut, dia mengaku kalau sedang sibuk.

Yuliani meradang dengan sikap pria yang selama ini dipujanya, bahkan setelah apa yang terjadi. Dia malah dengan seenak jidat mengatakan sibuk dan gak bisa diganggu.

"Apa aku kasih tahu lewat pesan saja ya, kalau aku sedang hamil?" pikir Yuliani saat menemukan jalan buntu.

Beberapa kali dia mengetik untuk mengatakan apa yang terjadi, tapi lagi-lagi dihapus. Hingga pesan terakhir berhasil dikirim oleh wanita yang masih memakai piyama tersebut.

"Yuliani, kamu gak mau keluar dari kamar?" Suara Dina mengagetkan Yuliani.

"Setidaknya kamu jangan mengunci diri di dalam kamar. Ceritakan semua pada Ibu, siapa tahu saja kita bisa mencari solusinya bersama-sama." Dina tetap berusaha membujuk, meskipun tidak ada respon.

Wanita itu mengambil nampan yang berisi piring kotor dan gelas sisa air susu. Hari ini, Dina sengaja tidak pergi bekerja karena ingin membujuk Yuliani agar menceritakan semua yang terjadi. Bahkan berharap bahwa testpack yang ditemukan di dalam kamarnya bukan milik sang Anak.

Bolak-balik Dina berusaha membujuk Yuliani, tapi tidak membuahkan hasil. Padahal dia harus mengetahui semua cerita sebelum Mark pulang, tapi nyatanya tidak mudah untuk membujuk sang Anak.

"Kenapa aku tidak kepikiran dari tadi? Di rumah ini 'kan, masih ada kunci cadangan yang aku pegang dari setiap pintu. Kenapa aku gak paksa buka saja dengan bantuan kunci cadangan itu?" pikir Dina di tengah putus asa.

Wanita itu pun melangkahkan kaki ke kamar untuk mengambil kunci cadangan yang disimpan rapi dalam lemarinya.

"Ini dia kunci yang akan membantuku hari ini," kata Dina ketika kunci kamar Yuliani ada di genggaman tangannya.

Dengan langkah cepat, Dina segera membuka pintu. Namun, dia terkejut saat melihat tidak ada orang di dalam kamar anaknya.

"Di mana kamu, Yuliani?" teriak Dina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status