Alisya Halim menurunkan map tebal yang sejak pagi ia bawa dari ruang administrasi. Hari ini ia berkutat dengan laporan data mahasiswa yang menumpuk, revisi dokumen, dan permintaan tanda tangan mendadak dari dosen senior. Pundaknya pegal, jari-jarinya lelah, tapi ia tetap tersenyum pada setiap orang yang lewat di mejanya.
“Semangat Alisya, sebentar lagi beres.” Alisya berusaha menyemangatkan dirinya.
Saat jarum jam menunjukkan pukul setengah lima sore, ia memutuskan keluar sebentar untuk menghirup udara segar untuk sesaat. Ruang kerjanya di lantai dua dan kampus sudah mulai sepi, hanya tersisa suara printer dan mesin fotokopi di ujung lorong yang terus bergema.
Begitu keluar gedung, semilir angin sore tiba-tiba menyapu rambut panjangnya yang tergerai. Ia melangkah ke taman kampus, tempat favoritnya untuk melepas lelah. Taman itu cukup sepi sore ini, hanya ada beberapa mahasiswa yang duduk berkelompok sambil tertawa kecil bercanda gurau.
Langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok yang asing tapi entah kenapa terasa menarik.
Seorang pria berseragam polisi duduk di bangku taman, satu kaki disilangkan di atas kaki lainnya. Di tangannya, segelas kopi kertas masih mengepulkan asap. Sinar matahari sore menyapu wajahnya, memantulkan kilau lencana di dada kiri seragam.
Alisya bukan tipe yang mudah terpesona, tapi ada sesuatu di tatapan pria itu—tajam, penuh percaya diri, namun seolah-olah hanya tertuju padanya.
Tatapan itu membuatnya lupa bernapas sesaat.
Pria itu menyadari keberadaannya, bibirnya terangkat membentuk senyum tipis. “Sendirian aja, Mbak?” suaranya berat tapi hangat, seperti orang yang sudah lama dikenalnya.
Alisya sedikit terkejut, tapi berusaha tenang. “Eh… iya. Nunggu teman,” jawabnya singkat.
Pria itu menaruh gelas kopinya di bangku. “Kerja di sini?” tanyanya sambil melirik map yang Alisya bawa.
“Staf administrasi,” jawabnya sambil mengangguk.
“Pantesan rapi banget,” ujarnya, tatapannya turun sebentar ke tangan Alisya yang memegang map, lalu kembali menatap wajahnya. “Boleh kenalan mbak??”
Alisya hanya mengangguk pelan.
“Dhimas.” Ia mengulurkan tangan. Jemarinya hangat, genggamannya mantap, seperti tak mau melepas.
“Alisya.”
"Nama yang cantik, cantik seperti orangnya."
Alisya senyum tipis. "Namanya juga perempuan, pasti cantik. Kalau ganteng mah laki-laki."
Dhimas kemudian tertawa pelan.
Obrolan mereka terus mengalir. Dhimas bercerita ia sering mendapat tugas mengawal acara kampus, kadang mengatur lalu lintas saat wisuda. Nada bicaranya tenang, namun di baliknya ada aura percaya diri yang membuatnya terdengar berwibawa.
Sesekali, ia melontarkan humor tipis yang membuat Alisya tersenyum.
Namun, di tengah percakapan itu, ponsel Dhimas bergetar di saku kanannya. Gerakannya cepat—terlalu cepat—saat ia merogoh dan menekan tombol matikan. Ia bahkan tak sempat melirik layar.
Alisya mencondongkan tubuh sedikit. “Kenapa nggak diangkat?” tanyanya penasaran.
Dhimas menggeleng, senyumnya tipis tapi matanya tak berkedip. “Tidak terlalu penting. Lagian aku juga lagi ngobrol denganmu.”
Alisya menelan ludah, merasa pipinya menghangat. Ucapan itu terlalu manis untuk ditolak. Namun, ada bisikan kecil di hatinya yang bertanya 'siapa yang menelpon sampai ia buru-buru mematikannya?'
Bisikan itu, sayangnya, terkubur oleh tatapan Dhimas yang membuatnya ingin bertahan lebih lama di bangku taman itu.
Angin sore membawa aroma bunga kamboja dari sudut taman. Beberapa helai daun flamboyan berjatuhan, ada yang menempel di bahu Alisya. Refleks, Dhimas berdiri dan mengambilnya.
“Kalau ada lomba senyum tercantik di kampus ini, aku yakin kamu menang,” ucapnya sambil tersenyum kecil.
Alisya tertawa pelan, mencoba menutupi gugupnya. “Baru ketemu udah muji. Semua perempuan kamu gombalin gitu, ya?”
Dhimas mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. “Enggak. Hanya yang bikin aku penasaran.”
Tatapan mata mereka bertemu lagi. Ada ketenangan aneh yang Dhimas pancarkan, membuat Alisya merasa diperhatikan, seperti hanya dia satu-satunya yang ada di taman itu.
Di sela obrolan, Dhimas mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak biasa untuk ukuran orang yang baru kenal.
“Kamu tinggal di mana?”
“Sudah lama kerja di sini?” “Punya pacar?”Pertanyaan terakhir membuat Alisya tersedak udara. “Kok nanyanya langsung ke situ?”
Dhimas menyandarkan tubuh ke sandaran bangku, satu kakinya terentang santai. “Biar aku tahu, peluangku besar atau nggak.”
Alisya menggeleng sambil tertawa kecil. “Kamu percaya diri banget, ya.”
“Percaya diri itu perlu. Apalagi kalau yang aku lihat, orangnya sepadan buat diperjuangkan.”
Ucapan itu seperti anak panah yang tepat menancap di hati Alisya. Jarang ada pria yang berbicara lugas begitu, apalagi dengan tatapan mata yang seperti menyimpan janji.
Mereka berbincang cukup lama. Tentang pekerjaan Alisya di bagian administrasi yang membosankan tapi stabil. Tentang kesibukan Dhimas sebagai polisi yang katanya sering membuatnya susah punya waktu untuk bersantai. Tentang hal-hal remeh seperti makanan favorit, lagu kesukaan, sampai film terakhir yang mereka tonton.
Di tengah percakapan itu, ponsel Dhimas kembali bergetar lagi. Ia melirik sekilas layar, lalu cepat-cepat membaliknya menghadap ke bawah di bangku.
“Kamu nggak angkat lagi?” tanya Alisya, mencoba terdengar santai.
Dhimas tersenyum, tapi senyum itu kali ini singkat saja. “Bukan siapa-siapa. Kalau penting, dia pasti hubungi lagi. Aku nggak mau ngobrol sama kamu setengah-setengah.”
Kalimat itu lagi-lagi menenangkan Alisya. Namun, di kepalanya, benih rasa penasaran mulai tumbuh.
Langit sore mulai berwarna jingga. Cahaya matahari yang menurun membuat seragam Dhimas tampak semakin kontras. Alisya memperhatikan detailnya — nametag di dada, badge kecil di pundak, dan lipatan rapi di lengan bajunya.
“Kamu sering ke sini?” tanya Alisya.
“Kalau lagi tugas jaga acara, iya. Tapi kalau besok-besok kamu mau, aku bisa sering-sering nongkrong di sini.”
“Kenapa?”
“Supaya bisa ketemu kamu.”
Obrolan itu membuat waktu terasa berjalan lebih cepat. Mahasiswa yang tadi duduk berkelompok mulai meninggalkan taman. Suara azan magrib terdengar sayup dari masjid kampus.
“Sudah sore, aku pulang dulu,” kata Alisya sambil berdiri.
Dhimas ikut bangkit. “Kamu bawa motor?”
“Nggak, naik ojek.”
Dhimas menggeleng pelan. “Sekali ini aja, biar aku antar. Calon pacar masa naik ojek.”
Alisya memiringkan kepala. “Calon pacar?”
“Ya, kan kita baru kenal. Tapi aku yakin, besok-besok aku bisa bikin kamu setuju jadi pacar aku.”
Alisya tersenyum, setengah tak percaya pada keberanian pria ini. “Kamu nggak takut aku malah ilfeel?”
“Kalau sama kamu? Enggak. Soalnya dari tadi kamu nggak berhenti tersenyum.”
Sebelum Alisya bisa membalas, Dhimas sudah berjalan menuju parkiran. Langkahnya tenang, tapi ada aura kepemilikan yang terasa jelas. Tanpa sadar, Alisya mengikutinya.
Di dekat motor dinasnya, Dhimas menoleh. “Yuk, aku antar sampai depan rumah. Aku janji nggak akan ngebut.”
Alisya ragu sebentar, tapi lalu mengangguk. Entah kenapa, ia merasa aman bersama pria ini.
Yang ia tidak tahu… pertemuan sore itu akan menjadi awal dari cerita panjang dari kisahnya.
Langit sore itu berwarna jingga pucat, seperti permen kapas yang memudar. Alisya berdiri di depan gerbang universitas, menunggu ojek online yang sudah ia pesan. Ia tak mengira Dhimas tiba-tiba muncul dengan motornya, menghentikan laju tepat di depannya.“Naik. Aku jemput,” ucapnya singkat, melepas helm dan menyodorkannya.Alisya sempat ragu. “Aku udah pesen ojek, Mas.”“Cancel. Aku mau antar kamu sendiri.” Nada suaranya tegas, tapi bibirnya tersungging senyum tipis.Alisya menghela napas, lalu mengeluarkan ponselnya untuk membatalkan pesanan. “Ya udah…”Begitu ia duduk di jok belakang, Dhimas segera memacu motor keluar dari halaman kampus. Angin sore menyapu wajah Alisya, tapi tak cukup untuk menghilangkan rasa heran yang menggelayut.“Kok tiba-tiba jemput? Kan biasanya kamu lagi dinas jam segini.”“Aku ada waktu. Lagian, aku nggak tenang kalau kamu pulang sendir
Sore itu, rumah Alisya terasa lebih hangat dari biasanya. Bau masakan ibunya masih menggantung di udara, bercampur aroma kopi yang baru saja diseduh. Ia duduk di ruang tamu, memandangi jam dinding yang jarumnya seolah bergerak lebih lambat dari biasanya.Dhimas bilang akan datang pukul empat, tapi sejak pukul tiga Alisya sudah gelisah. Bukan karena takut, melainkan perasaan aneh yang muncul setiap kali ia memikirkan pertemuan ini. Hari ini, Dhimas akan bicara dengan orang tuanya soal lamaran.Suara ketukan pintu memecah lamunannya. Ayahnya yang baru saja keluar dari kamar menghampiri pintu dan membukanya.“Assalamualaikum, Pak,” sapa Dhimas dengan senyum lebar, seragam polisinya rapi, rambutnya tersisir licin.“Waalaikumussalam,” jawab ayahnya sambil menyambut hangat. “Masuk, Mas Dhimas.”Alisya berdiri dari sofa, menatapnya sejenak. Dhimas melirik, senyum itu seolah langsung terarah padanya. “Sya,” panggilnya pelan.Ia membalas senyum tipis, lalu mempersilakan duduk. Ibunya datang me
Suara sendok beradu pelan dengan gelas es lemon tea di hadapanku, bercampur dengan denting musik jazz yang mengalun lembut di kafe kecil ini. Aroma kopi dan roti bakar menguar, membuat suasana sore terasa hangat. Dhimas duduk di seberang, masih dengan seragam polisinya yang rapi. Ia memang sengaja menjemputku sepulang kerja tadi, katanya ingin “menghabiskan waktu berdua tanpa gangguan”.Alisya tersenyum tipis sambil mengaduk minumannya. “Kamu mau pesan lagi? Kayaknya tadi kamu cuma makan setengah porsi.”“Nggak usah. Aku lebih kenyang lihat kamu,” jawabnya santai, seperti biasa dengan tatapan yang membuat pipiku terasa hangat.Alisya memutar bola mata, pura-pura tak terpengaruh. “Gombal.”Kami berbicara ringan, membahas pekerjaan Alisya di bagian administrasi universitas dan tugas-tugas Dhimas di lapangan. Obrolan terasa mengalir, sampai perutku memberi sinyal. “Eh, aku ke toilet sebentar, ya,” kata Alisya sambil menaruh ponsel di meja, di sebelah gelas minumannya.Dhimas hanya mengan
Suara deru angkot yang berlalu meninggalkan debu tipis di udara. Alisya turun pelan-pelan, merapikan tas kerjanya yang tergantung di bahu. Sore itu, tubuhnya terasa letih setelah seharian berkutat di meja administrasi kampus, mengurus dokumen-dokumen yang seolah tak pernah habis. Ia sudah membayangkan duduk santai di kamarnya sambil menyeruput hot chocolate kesukaannya.Namun langkahnya terhenti di depan gerbang rumah. Di halaman, terparkir mobil hitam mengilap yang jelas bukan milik siapa pun di keluarganya. Mobil itu tampak mahal, modelnya terbaru, dengan pelat nomor luar kota.Alisya mengerutkan dahi. Siapa tamu ini?Pagar rumah setengah terbuka. Ia melangkah pelan, tapi belum berani masuk. Saat ia mendekat, samar-samar terdengar suara tawa ayahnya dari ruang tamu. Disusul suara ibunya, lebih lembut daripada biasanya.Dan lalu—suara pria asing. Suara yang berat, tenang, namun entah kenapa terdengar akrab di telinganya.“Ayah dan Ibu sudah tahu alasan saya datang. Saya ingin melamar
Langit sore mulai berwarna oranye keemasan ketika Alisya berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan rambutnya untuk kesekian kali. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena udara yang dingin, tapi karena jantungnya berdebar terlalu kencang.Hari ini, untuk pertama kalinya, Dhimas akan datang ke rumahnya. Bukan sekadar menjemput atau mengantar pulang, tapi benar-benar masuk, duduk, dan berbicara langsung dengan orang tuanya.Ia memilih blus putih sederhana dipadu celana kain biru tua. Riasannya tipis, hanya sedikit bedak dan lipstik nude. Ia ingin terlihat rapi tapi tidak berlebihan.Dari jendela kamar, ia bisa melihat halaman rumahnya yang mungil. Ayahnya sudah pulang dari kantor, duduk di kursi teras sambil menyeruput teh. Ibunya mondar-mandir dari dapur, membawa piring dan gelas ke ruang tamu.Suara motor berhenti di depan pagar membuat Alisya refleks menoleh. Dari balik kaca jendela, ia melihat Dhimas turun dari motornya dengan kemeja biru lengan panjang yang digulung rapi sampai si
Warung makan sederhana di sudut jalan itu penuh dengan aroma gurih tumisan bawang dan wangi sate yang baru dibakar. Lampu kuning remang-remang membuat suasana terasa hangat.Alisya duduk di kursi kayu, jemarinya memainkan sendok sambil menunggu pesanan. Di depannya, Dhimas sedang meneliti menu, meski ia sebenarnya sudah memesan sejak tadi.“Aku suka tempat ini,” kata Dhimas sambil meliriknya. “Nggak terlalu ramai, tapi makanannya enak banget. Cocok buat kita yang mau ngobrol lama-lama.”Alisya tersenyum tipis. “Kamu sering ke sini?”“Sering. Biasanya sama teman kerja. Tapi kali ini spesial, soalnya aku bawa calon istriku,” jawabnya sambil terkekeh.Pipi Alisya terasa panas. “Belum jadi calon istri juga…”“Ah, nanti juga jadi,” potong Dhimas santai. “Tinggal tunggu waktunya.”Pelayan datang membawa dua porsi nasi goreng kambing dan segelas es jeruk untuk Alisya. Mereka mulai makan, sambil sesekali berbagi cerita tentang hari itu.Suara riuh pedagang sate di luar berpadu dengan obrolan