Home / Rumah Tangga / Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi / Bab 2 – Perjalanan Pulang

Share

Bab 2 – Perjalanan Pulang

last update Last Updated: 2025-07-29 11:20:50

Suara mesin motor menyala, memecah sunyi sore di parkiran kampus. Alisya ragu sejenak sebelum naik ke jok belakang. Ia belum pernah dibonceng pria berseragam polisi sebelumnya, apalagi baru kenal beberapa jam. Tapi tatapan Dhimas saat tadi mengulurkan helm itu begitu yakin, seakan mengatakan bahwa bersama dia, semuanya akan baik-baik saja.

“Pegangan, ya,” ujarnya santai.

Alisya mengangguk pelan. Ia memilih memegang bagian besi di belakang jok motor, menjaga jarak. Dhimas sempat melirik ke spion, melihat posisi tangannya, lalu tersenyum tipis.

“Kalau pegang di belakang gitu, nanti kalau aku ngerem mendadak, kamu bisa jatuh,” katanya, nada suaranya seperti setengah bercanda, setengah menguji.

“Kan aku percaya sama kamu nggak bakal ngerem mendadak,” jawab Alisya cepat.

Dhimas tertawa receh. “Pinter juga jawabnya.”

Motor melaju pelan, keluar dari gerbang kampus, melewati jalanan kota yang mulai ramai. Angin sore menyapu wajah Alisya, membawa aroma bensin bercampur asap bakaran dari pedagang kaki lima. Sesekali ia mencuri pandang ke pundak Dhimas yang tegap, seragamnya tampak rapi sekali.

“Rumah kamu jauh nggak dari sini?” tanya Dhimas di tengah suara angin.

“Lumayan. Sekitar lima belas menit naik motor.”

“Bagus, berarti aku punya waktu lima belas menit buat bikin kamu tambah nyaman sama aku.”

Alisya menahan tawa. “Kamu percaya diri banget.”

“Percaya diri itu kuncinya. Lagian…,” Dhimas menurunkan sedikit kecepatan saat melewati tikungan, “…kalau aku nggak mulai dari sekarang, nanti keburu kamu diambil orang.”

Ucapan itu membuat pipi Alisya menghangat. Ia membuang pandang ke arah jalan, mencoba mengabaikan degup jantung yang mulai tak teratur.

Mereka melewati deretan toko dan kafe. Lampu-lampu mulai menyala, memberi cahaya keemasan di trotoar. Dhimas tampak sesekali melirik ke spion, memastikan Alisya baik-baik saja. Tapi setiap kali mata mereka bertemu lewat pantulan kaca kecil itu, Alisya cepat-cepat mengalihkan pandangannya.

Beberapa menit kemudian, ponsel Dhimas yang terselip di holder stang motor bergetar. Layarnya menyala, menampilkan nama kontak: Ayu.

Refleks Alisya membaca nama itu, tapi sebelum sempat bertanya, Dhimas menekan tombol merah untuk menolak panggilan. Wajahnya tetap datar, seolah tak terjadi apa-apa.

“Kok nggak diangkat?” Alisya memberanikan diri bertanya.

Dhimas menjawab santai, “Ah, itu teman lama. Nggak penting. Kalau penting, dia pasti chat. Aku lagi fokus antar kamu pulang.”

Nada suaranya tenang, tapi ada sesuatu di ujung kalimat itu yang membuat Alisya diam. Entah kenapa, ia merasa Dhimas terlalu cepat menutup topik.

Motor akhirnya berhenti di depan gang rumah Alisya. Dhimas mematikan mesin, lalu menoleh sambil membuka helmnya.

“Kalau aku bilang, aku mau ketemu kamu lagi besok… kamu mau?”

Alisya tersenyum samar. “Lihat nanti, deh.”

Dhimas tertawa kecil, lalu menyerahkan helm. “Oke, berarti aku harus mikirin cara biar kamu bilang ‘iya’.”

Sebelum pergi, ia sempat menatap Alisya lebih lama dari biasanya. Tatapan itu membuat dada Alisya bergetar, campuran antara nyaman dan waspada — perasaan yang saat itu belum ia pahami.

Motor Dhimas baru saja berbelok di ujung jalan, meninggalkan bau asap tipis yang cepat menghilang. Alisya masih berdiri di depan gang, memandangi punggungnya yang semakin mengecil. Ia tidak tahu kenapa, tapi rasanya seperti baru saja keluar dari sebuah adegan film yang belum selesai.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah masuk ke gang. Langkahnya pelan, seolah ingin memperpanjang sisa momen tadi. Begitu sampai di depan rumah, ia melepas sepatu dan menyapa ibunya yang sedang menjemur pakaian di teras.

“Kok pulangnya bareng polisi?” tanya ibunya sambil melirik cepat. Nada suaranya seperti setengah bercanda, setengah ingin tahu.

Alisya tersenyum tipis. “Teman baru, Bu. Kebetulan tadi ketemu di kampus.”

Ibunya mengangguk tanpa banyak komentar. Tapi tatapan itu sempat membuat Alisya merasa seperti remaja yang baru pulang dari kencan pertama. Ia buru-buru masuk ke kamar, meletakkan tas, dan duduk di tepi ranjang.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor baru:

“Aku udah sampai… Dhimas.”

Alisya menatap layar beberapa detik sebelum membalas. Ia memegang handphonenya erat-erat di dada. Sembari mengigit bibir bawahnya.

“Oh syukurlah. Oh iya makasih udah nganter tadi yah...”

Balasannya cepat masuk:

“Besok aku jemput ya. Kita makan siang bareng. Ada tempat enak yang mau aku kenalin.”

Alisya tersenyum tipis. Ia ingin menolak, tapi jarinya justru mengetik:

“Oke.”

Ia meletakkan ponsel di meja samping ranjang, lalu berbaring sambil menatap langit-langit. Di kepalanya, ia memutar ulang semua obrolan di motor tadi. Nada suara Dhimas, cara dia melirik lewat spion, dan kalimatnya yang selalu terdengar seperti menggoda tapi penuh keyakinan.

Entah mengapa, itu membuatnya merasa istimewa.

Tapi sesekali, bayangan nama “Ayu” di layar ponsel Dhimas kembali muncul. Siapa Ayu? Dan kenapa dia menolak panggilan itu begitu cepat?

Alisya mencoba mengusir pikirannya. Jangan suudzon, katanya pada diri sendiri. “Baru juga kenal. Lagian, dia udah jelasin kalau itu cuma teman lama.”

Namun, rasa ingin tahunya justru makin kuat.

**

Malam itu, saat makan malam, ayahnya sempat menanyakan kabar pekerjaan di kampus. Alisya menjawab singkat, pikirannya melayang. Ia jarang seperti ini — biasanya ia bisa fokus pada obrolan keluarga. Tapi sekarang, sebagian besar perhatiannya tersedot pada satu sosok yang baru saja masuk ke hidupnya.

Usai makan, ia kembali ke kamar. Ponselnya kembali bergetar. Kali ini Dhimas mengirim foto secangkir kopi dengan caption:

“Lagi lembur. Tapi mikirin kamu bikin capeknya hilang.”

Kalimat itu membuat senyum Alisya mengembang, meski hatinya sedikit mencelos. Baru kenal beberapa jam, tapi rasanya Dhimas sudah tahu cara membuatnya merasa spesial.

Ia membalas, “Kerjanya jangan lupa istirahat.”

Tak lama kemudian, balasan datang:

“Kalau ada kamu di sini, aku pasti istirahatnya nyenyak.”

Alisya terdiam. Pesan itu membuat pipinya memanas. Ia mengetik balasan singkat, lalu mematikan layar ponsel.

“Gombal terus. Aku istirahat dulu yah.”

“Yah udah Sya, aku lanjut lembur dulu… sampai jumpa besok.” Balas Dhimas sebagai penutup pesan keduanya.

Di luar, suara hujan mulai turun, menepuk-nepuk genteng rumah. Alisya menarik selimut, membiarkan pikirannya terhanyut pada sosok pria berseragam itu. Ada bagian dirinya yang ingin tahu lebih dalam. Tapi ada juga bagian kecil yang berkata: Hati-hati.

Sayangnya, bagian kecil itu terlalu pelan suaranya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 58. Berduaan

    POV DhimasSiang itu, setelah memastikan ibunya naik kereta dengan selamat, Dhimas tidak langsung menuju kantor. Ia menarik napas panjang, menyalakan motor, lalu tersenyum kecil. Hari ini akan jadi milikku dan Susi.Bukan rahasia lagi, sejak awal ia sudah tertarik pada anak dari sahabat mamanya itu. Bukan karena kebaikan hati atau sikapnya, tapi karena tubuh Susi yang montok, wajah manis yang selalu dihiasi make-up tipis, dan sikap manja yang sulit diabaikan.Begitu sampai di rumah, Dhimas langsung menjatuhkan tubuh ke sofa, lalu mengirim pesan singkat ke atasannya: Pak, izin nggak masuk. Lagi drop, kepala pusing banget.Tak lama, Susi keluar dari kamarnya, masih dengan kaus ketat berwarna biru muda dan celana pendek. Rambutnya diikat tinggi, membuat wajahnya semakin segar.“Mas Dhimas, kok udah pulang? Bukannya tadi bilang mau langsung ke kantor?” tanyanya sambil berjalan mendekat, suaranya terdengar lembut namun penuh nada manja.Dhimas menghela napas panjang, sengaja terdengar lema

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 57 – Senyum di Balik Sarapan

    Pov : DhimasPagi itu, aroma sayur asem dan gorengan hangat memenuhi ruang makan. Dhimas duduk dengan santai di kursi ujung meja, seragam polisinya sudah rapi, siap berangkat tugas setelah sarapan. Sementara ibunya duduk di samping kanan, wajahnya terlihat sedikit cemas namun tetap tegas. Susi, dengan gaun rumah berwarna pastel yang melekat manis pada tubuhnya, mondar-mandir membawa piring tambahan ke meja.“Mas Dhimas, tambah tempe goreng?” tanya Susi dengan suara lembut, senyum tipis tersungging di bibirnya.Dhimas melirik sekilas. “Boleh,” jawabnya singkat, namun pandangannya sempat menahan detik lebih lama pada wajah Susi. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapan matanya pagi ini, lebih hidup, lebih berani.Ibunya berdeham, menarik perhatian. “Mas…,” panggilnya, lalu meletakkan sendok di atas piring. “Hari ini ibu harus pulang ke kampung dulu. Adikmu yang bungsu sakit. Ibu ng

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 56 – Pertemuan yang Tak Terduga

    Pagi itu, Alisya mengenakan blazer khaki dan kemeja putih rapi. Di ruang pertemuan kampus Jakarta, ia duduk bersama para staf yang menyambutnya dengan hangat. Berkas-berkas kerja sama ditumpuk rapi di meja. Meskipun dadanya sempat ciut, Alisya berusaha menampilkan wajah profesional.“Terima kasih sudah datang jauh-jauh ke sini, Bu Alisya,” ujar seorang dosen senior. “Kami percaya kerja sama ini akan berjalan lancar dengan bantuan Anda.”Alisya tersenyum sopan. “Sama-sama, Pak. Saya juga akan berusaha maksimal.”Pertemuan itu berlangsung lebih dari dua jam. Begitu selesai, Alisya menghela napas panjang. Ada rasa lega, tapi juga lelah. Saat menatap ponselnya, Alisya menghela nafas panjang. Sebuah pesan voice note dari Susi sejak malam belum ia play.Alisya mengumpulkan keberaniannya lagi, “Oke Alisya… jangan khawatir, paling Susi hanya nanya barang-barang yang dia butuhkan atau hal sepele lainnya… uhhh oke aku akan play sekarang.” Lirih Alisya kemudian menekan gambar play.“Aahh... mas,

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 55 – Malam Pertama di Jakarta

    Koper beroda kecil berderit mengikuti langkah Alisya begitu ia melangkah keluar dari gerbang stasiun Gambir. Lampu-lampu kota Jakarta menyilaukan matanya, lalu lintas padat membuatnya sejenak terdiam. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantung yang masih belum reda sejak meninggalkan rumah tadi pagi.“Jakarta…” bisiknya, seakan meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia benar-benar ada di sini.Sebuah taksi berhenti di hadapannya. Sopir membuka kaca jendela. “Mau ke mana, Mbak?”“Hotel Bintang Utama, Pak,” jawab Alisya pelan sambil memasukkan kopernya ke bagasi.Sepanjang perjalanan, Alisya hanya diam. Matanya menatap keluar jendela, melihat gedung-gedung tinggi menjulang, papan reklame berkelap-kelip, dan orang-orang berjalan cepat di trotoar. Semuanya terasa asing, berbeda jauh dengan kota kecil tempat ia biasa tinggal.Pikirannya melayang ke rumah—ke Dhimas, ke ibu mertua, dan terutama ke pesan Susi yang masuk terakhir sebelum kereta berangkat. “Aku di sini bakal neme

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 54. Keberangkatan

    Pagi itu rumah masih sunyi ketika Alisya menarik koper kecilnya keluar kamar. Jantungnya berdetak kencang, seakan setiap langkah menuju pintu membawa beban yang semakin berat. Tangannya menggenggam gagang koper erat-erat, sementara matanya melirik ke arah ruang tamu, tempat ibu mertua sudah duduk sejak subuh, dengan wajah masam dan tatapan yang sulit ditebak.“Sya, jadi kamu tetap berangkat ke Jakarta?” suara ibu mertua terdengar tajam.Alisya berhenti sejenak, lalu menoleh. “Iya, Bu. Saya harus berangkat hari ini, tiket sudah dibelikan pihak kampus.”Ibu mertua menghela napas panjang, seolah setiap hembusan adalah bentuk protes. “Hmmm… kalau istri orang lain, pasti mikir seribu kali sebelum ninggalin suaminya. Tapi kamu? Baru juga nikah, udah sibuk kerja ke luar kota.”Alisya menunduk, mencoba menahan gejolak di dadanya. “Saya sudah bicara dengan Mas Dhimas, Bu. Beliau sudah izinkan…”“Ya, kamu sudah bilang kemarin, tapi tetap saja Dhimas itu terlalu nurut sama kamu! Nanti kalau ada

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 53. Persiapan Keberangkatan

    Pagi itu udara kampus masih terasa sejuk. Langit biru terang membentang, dihiasi awan tipis yang bergerak pelan. Alisya melangkah masuk ke gedung administrasi dengan langkah mantap, meski dalam hati ada kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia baru saja mendapat izin dari Dhimas untuk pergi ke Jakarta, dan kini saatnya menyampaikan keputusan itu kepada rektor.Di depan ruang rektor, ia sempat berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sambil merapikan kerah bajunya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena kesadaran bahwa keberangkatan ini akan mengubah ritme hidupnya untuk sementara waktu.Ia mengetuk pintu. “Masuk,” suara berat rektor terdengar dari dalam.Alisya membuka pintu pelan. Rektor, pria paruh baya dengan kacamata bulat, menoleh sambil tersenyum kecil. “Silakan duduk, Alisya. Jadi bagaimana keputusanmu?”Alisya duduk, merapatkan tangannya di pangkuan. “Pak, saya sudah berbicara dengan suami saya. Beliau setuju k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status