Home / Rumah Tangga / Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi / Bab 20 – Kata-Kata yang Menyakitkan

Share

Bab 20 – Kata-Kata yang Menyakitkan

last update Last Updated: 2025-09-02 19:00:20

Hari itu, kampus lebih ramai dari biasanya. Penerimaan mahasiswa baru memang membuat seluruh staf administrasi sibuk luar biasa. Alisya hampir tak punya waktu untuk sekadar duduk tenang. Tumpukan berkas di mejanya terus berdatangan, telepon berdering tak henti, dan pertanyaan-pertanyaan mahasiswa baru datang silih berganti.

“Bu, ini formulirnya harus ditandatangani dulu atau langsung diserahkan?”

“Mbak, saya sudah transfer uang daftar ulang, bisa dicek sekarang?”

Alisya menjawab satu per satu dengan sabar. Sesekali ia tersenyum, meski tubuhnya terasa remuk. Sejak pagi ia belum sempat makan, bahkan minum pun hanya seteguk. Tapi ia menahan diri, mencoba bekerja sebaik mungkin. Dalam hati, ia berharap Dhimas bisa mengerti kalau belakangan ini dirinya benar-benar kelelahan.

Sore hari, setelah berkas terakhir dibereskan, Alisya menghela napas panjang. Pukul lima lewat, dan ia baru bisa pulang. Ia mengirim pesan ke Dhimas:

&ldqu

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 22 – Aroma yang Tidak Pernah Ada

    Malam itu udara terasa lembab. Hujan baru saja reda, meninggalkan sisa rintik di atap rumah dan aroma tanah basah yang samar masuk lewat celah jendela. Alisya duduk di ruang tamu dengan lampu temaram, memandangi jam dinding yang sudah lewat pukul sebelas.Sejak beberapa hari terakhir, pola ini berulang: Dhimas pulang larut malam tanpa kabar jelas. Dan setiap kali Alisya bertanya, jawabannya selalu sama: tugas mendadak, lembur, patroli.Alisya menarik napas panjang, meneguk air putih dari gelas yang sudah dingin. Di meja, piring makan malam masih tersisa, sup ayam yang ia masak sore tadi sudah kehilangan panasnya. Ia sempat menaruh piring itu kembali ke panci agar tidak basi, tapi perasaan kosong di dada membuatnya kehilangan nafsu.Suara motor berhenti di depan rumah. Alisya segera berdiri, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia buru-buru membuka pintu, berharap kali ini Dhimas datang dengan wajah lelah tapi tetap ramah, bukan dengan sikap dingin seperti malam-malam sebelumnya.Pintu ter

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 21 – Membayar dengan Kesungguhan

    Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar yang setengah terbuka. Burung-burung berkicau, menyambut hari baru, tapi suasana hati Alisya justru muram. Ia membuka matanya perlahan, mendapati punggung Dhimas masih membelakangi dirinya. Selimut menutupi tubuh pria itu, napasnya berat dan teratur.Alisya terdiam cukup lama. Rasa sakit di dada dari semalam belum hilang, tapi ia mencoba menyingkirkan itu semua. Mungkin memang aku yang salah. Mungkin aku terlalu sibuk, terlalu cuek… pikirnya. Ia ingin membuktikan pada suaminya bahwa ia bisa jadi istri yang lebih baik, lebih perhatian, lebih hangat.Dengan hati-hati ia bangkit dari ranjang, melangkah ke dapur. Suara piring dan sendok terdengar ketika ia mulai menyiapkan sarapan. Tangan kecilnya sibuk memotong bawang, menggoreng telur, menanak nasi, dan membuat kopi favorit Dhimas. Ia bahkan menambahkan sambal terasi—yang biasanya jarang ia buat—hanya demi melihat senyum suaminya pagi ini.S

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 20 – Kata-Kata yang Menyakitkan

    Hari itu, kampus lebih ramai dari biasanya. Penerimaan mahasiswa baru memang membuat seluruh staf administrasi sibuk luar biasa. Alisya hampir tak punya waktu untuk sekadar duduk tenang. Tumpukan berkas di mejanya terus berdatangan, telepon berdering tak henti, dan pertanyaan-pertanyaan mahasiswa baru datang silih berganti.“Bu, ini formulirnya harus ditandatangani dulu atau langsung diserahkan?”“Mbak, saya sudah transfer uang daftar ulang, bisa dicek sekarang?”Alisya menjawab satu per satu dengan sabar. Sesekali ia tersenyum, meski tubuhnya terasa remuk. Sejak pagi ia belum sempat makan, bahkan minum pun hanya seteguk. Tapi ia menahan diri, mencoba bekerja sebaik mungkin. Dalam hati, ia berharap Dhimas bisa mengerti kalau belakangan ini dirinya benar-benar kelelahan.Sore hari, setelah berkas terakhir dibereskan, Alisya menghela napas panjang. Pukul lima lewat, dan ia baru bisa pulang. Ia mengirim pesan ke Dhimas:&ldqu

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 19 – Senyum yang Dipaksakan

    Minggu siang itu, Alisya duduk di ruang tamu rumah orang tuanya. Tangannya sibuk merapikan kerah blus yang dikenakannya, padahal tidak ada yang salah dengan blus itu. Hanya saja, ia butuh sesuatu untuk mengalihkan rasa gugup. Di meja, ibunya sudah menyiapkan teh hangat dan kue basah. Suasana rumah begitu akrab, penuh kehangatan yang berbeda dari rumah barunya bersama Dhimas.“Lis, kamu kelihatan capek sekali. Kerjaan di kampus padat, ya?” tanya ibunya sambil menuangkan teh ke gelas.Alisya tersenyum samar. “Iya, Bu. Lagi musim penerimaan mahasiswa baru, jadi agak repot.”Ibunya mengangguk, lalu menatap lebih dalam, seolah berusaha membaca hal lain dari wajah anak perempuannya. “Tapi kamu bahagia, kan, nak? Setelah menikah, harusnya makin tenang. Dhimas orangnya perhatian, ya?”Pertanyaan itu membuat Alisya tercekat. Ingatannya melayang pada malam-malam panjang ketika ia menunggu Dhimas pulang. Pada suara pintu yang tak

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 18 – Retakan yang Mulai Terlihat

    Dua bulan setelah pernikahan, kehidupan rumah tangga Alisya dan Dhimas tampak berjalan wajar di permukaan. Orang-orang di sekitar mereka menganggap keduanya pasangan bahagia: istri cantik, suami gagah dengan seragam kebanggaannya. Namun di balik pintu rumah sederhana itu, sesuatu yang tak terlihat mulai merambat pelan—retakan kecil yang tak disadari oleh banyak orang.Hari-hari Alisya semakin padat. Kampus tempatnya bekerja sedang sibuk dengan penerimaan mahasiswa baru. Tumpukan berkas memenuhi mejanya; formulir pendaftaran, data calon mahasiswa, hingga jadwal ujian. Pagi hingga sore, bahkan sering sampai menjelang malam, Alisya tenggelam dalam pekerjaan yang seolah tak ada habisnya.Sore itu, ia baru tiba di rumah ketika langit sudah gelap. Tubuhnya lelah, bahunya terasa kaku setelah seharian duduk menunduk di depan komputer. Begitu masuk, ia melihat Dhimas sudah duduk di ruang tamu, masih mengenakan seragam lengkap, wajahnya tanpa senyum.“Kamu pul

  • Tertipu Rayuan Maut Pak Polisi   Bab 17 – Tatapan yang Mengikat

    Sebulan kemudian.Hari itu, Alisya pulang sedikit lebih sore dari biasanya. Ada rapat kecil di kampus mengenai acara penerimaan mahasiswa baru yang membuat pekerjaannya bertambah. Ia berjalan keluar gerbang dengan langkah terburu, berharap Dhimas masih menunggunya.Dan benar saja, di bawah pohon besar dekat gerbang, motor Dhimas sudah terparkir rapi. Seragam polisinya masih melekat, lengan tangannya di gulung memberi kesan sedikit santai. Ia menyandarkan tubuhnya di motor, tangan terlipat di dada, dan tatapannya langsung menangkap sosok Alisya.“Lama banget, Sya,” ucapnya begitu Alisya mendekat, suaranya setengah menggoda, setengah menuntut.“Maaf, Mas. Ada rapat dadakan, jadi baru bisa keluar sekarang.”Dhimas menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Yaudah, yang penting kamu nggak pulang sendiri.” Ia meraih tas Alisya tanpa diminta, lalu memasukkannya ke bagasi motor. “Aku tungguin dari tadi, semua mata mah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status