Pagi itu, sinar matahari masuk lewat celah gorden yang baru saja kering semalam. Alisya bangun lebih awal lagi, sebelum azan subuh berkumandang. Tubuhnya pegal, tapi ia memaksa bergerak. Tangannya segera menyiapkan air hangat, menanak nasi, dan memotong sayur. Ia berharap, kali ini ibu mertuanya akan sedikit lebih lunak jika melihat semua sudah rapi sejak pagi.
Namun begitu keluar kamar, suara berat ibu mertuanya terdengar dari ruang tamu. “Lis, kamu kalau masak jangan banyak-banyak minyak. Nanti kolesterol. Orang rumah ini jadi nggak sehat makannya.”
Alisya terhenti. Padahal ia baru saja menumis bawang. “Iya, Bu,” jawabnya pelan. Ia berusaha mengubah cara masaknya dengan cepat, menahan perasaan yang mulai mendidih.
Tak berhenti sampai di situ. Saat ia menyiapkan teh manis, ibu mertua datang mendekat, menyorotkan tatapan tajam. “Tehnya jangan terlalu manis. Gigi bisa rusak. Kamu masih muda nggak ngerti, makanya harus banyak belajar.
Matahari sudah condong ke barat ketika suara motor berhenti di halaman. Alisya yang sejak tadi sibuk mengepel ruang tamu buru-buru menyingkirkan ember dan kain pel. Bajunya basah oleh keringat, rambutnya kusut, wajahnya tampak lelah. Ia menghela napas panjang, berusaha menyiapkan diri.Pintu terbuka, ibu mertua masuk dengan langkah mantap. Senyum lebarnya mengembang, gelang emas di tangannya berkilau di bawah cahaya sore. Di belakangnya, Dhimas tampak biasa saja, meletakkan helm dan langsung menuju kamar tanpa banyak bicara.“Lis! Sini deh,” panggil ibu mertua dari ruang tamu, duduk di kursi sambil membuka jilbabnya.Alisya mendekat dengan hati-hati. “Iya, Bu. Capek, ya? Mau saya ambilkan teh?”“Nggak usah. Duduk aja dulu. Saya mau cerita.”Alisya menunduk sopan, lalu duduk di kursi sebelahnya. Ia berusaha tersenyum, meski tubuhnya masih pegal karena pekerjaan rumah yang tak henti-henti.“Arisan tadi
Minggu pagi itu, matahari baru naik, cahaya lembut masuk lewat jendela ruang makan. Alisya sudah bangun sejak subuh, menyiapkan sarapan, menyapu halaman, dan membereskan kamar. Tubuhnya masih letih setelah semalam tertahan tangis, tapi ia memaksa diri tetap bergerak. Ia tahu, jika terlambat sedikit saja, ibu mertua akan kembali mengomel.Di meja makan, ia menaruh piring berisi nasi uduk, telur balado, dan tahu goreng. Aromanya cukup harum, ia berharap pagi ini suasana bisa sedikit tenang.Namun begitu duduk, ibu mertua langsung bersuara. “Lis, kamu jangan lupa, siang ini saya ada arisan sama keluarga besar. Kamu nanti siapin aja kendaraan biar bisa antar.”Alisya menoleh sekilas, lalu mengangguk. “Baik, Bu. Nanti saya minta Mas Dhimas antar.”Ibu mertua mendengus. “Kalau Dhimas sibuk, kamu yang urus. Pokoknya jangan bikin saya malu. Orang-orang di arisan itu semuanya pada pakai bagus-bagus, jangan sampai saya kelihatan sederh
Pagi itu, setelah menyiapkan sarapan seadanya untuk Dhimas dan ibunya, Alisya berangkat lebih awal ke kampus. Rambutnya digerai sederhana, wajah tanpa riasan berlebihan, hanya bedak tipis dan lipstik pucat. Seragam staf administrasi—blus biru muda dengan celana bahan hitam—terlihat rapi di tubuhnya, meski matanya sembab karena kurang tidur.Di depan gerbang kampus, hiruk pikuk mahasiswa baru mulai terasa. Suara riuh calon mahasiswa yang mengurus berkas, antrean panjang di loket informasi, serta tumpukan map berwarna-warni membuat halaman kampus seperti lautan mahasiswa.Alisya melangkah masuk dengan nafas panjang. Ada rasa lega yang aneh, seolah kampus menjadi ruang pelarian dari tekanan rumah. Ia menatap papan pengumuman yang baru ditempel, lalu menuju ruang administrasi.“Sya! Akhirnya balik juga,” sapa Nisa, rekan kerjanya, sambil tersenyum lega. “Aku pikir cutimu bakal lebih lama.”Alisya berusaha membalas senyum it
Pukul sebelas malam, suara deru motor berhenti di depan rumah. Alisya yang masih duduk di kamar, menatap kosong ke arah pintu, mendengar suara gerendel pagar dibuka. Dhimas pulang.Belum sempat ia bangkit, suara ibunya terdengar lebih dulu dari ruang tamu, lantang dan penuh nada mengadu.“Mas, kamu harus ngomong sama istrimu ini. Dari tadi pagi kerjaannya lambat, masakannya gosong, baju kamu disetrika asal-asalan. Ibu bakal malu kalau ada tamu yang datang ke rumah. Gimana mau jadi istri polisi kalau ngurus rumah aja nggak bisa rapi?”Alisya berdiri di ambang pintu kamar, tubuhnya kaku. Matanya menatap Dhimas yang baru saja melepas helm dan meletakkan jaketnya. Lelaki itu menghela napas, tatapannya langsung jatuh ke arah Alisya yang berdiri dengan wajah pucat.“Sya, kamu denger sendiri kan apa kata Ibu?” suara Dhimas datar, tapi nadanya mengandung tekanan.Alisya menunduk. “Aku sudah berusaha, Mas. Dari pagi sampai mala
Pagi itu, sinar matahari masuk lewat celah gorden yang baru saja kering semalam. Alisya bangun lebih awal lagi, sebelum azan subuh berkumandang. Tubuhnya pegal, tapi ia memaksa bergerak. Tangannya segera menyiapkan air hangat, menanak nasi, dan memotong sayur. Ia berharap, kali ini ibu mertuanya akan sedikit lebih lunak jika melihat semua sudah rapi sejak pagi.Namun begitu keluar kamar, suara berat ibu mertuanya terdengar dari ruang tamu. “Lis, kamu kalau masak jangan banyak-banyak minyak. Nanti kolesterol. Orang rumah ini jadi nggak sehat makannya.”Alisya terhenti. Padahal ia baru saja menumis bawang. “Iya, Bu,” jawabnya pelan. Ia berusaha mengubah cara masaknya dengan cepat, menahan perasaan yang mulai mendidih.Tak berhenti sampai di situ. Saat ia menyiapkan teh manis, ibu mertua datang mendekat, menyorotkan tatapan tajam. “Tehnya jangan terlalu manis. Gigi bisa rusak. Kamu masih muda nggak ngerti, makanya harus banyak belajar.
Subuh masih gelap ketika alarm ponsel bergetar di sisi ranjang. Alisya membuka mata dengan berat. Malam tadi ia nyaris tidak tidur, pikirannya gelisah memikirkan apa yang akan terjadi pagi ini. Bayangan wajah tegas ibu mertua, kritik demi kritik yang masih terngiang di telinganya, membuat perutnya mulas.Tapi ia memaksa diri bangkit. Aku harus buktikan kalau aku bisa. Aku nggak boleh salah lagi.Dengan langkah pelan, ia menuju dapur. Lampu neon menyala, menyingkap ruang yang masih berantakan sisa semalam. Ia segera merapikan meja, lalu menyalakan kompor. Tangannya bergerak cepat menyiapkan sarapan: bubur ayam, telur dadar, sambal terasi yang sudah ia buat semalam, dan teh tawar hangat sesuai permintaan ibu mertua.Sesekali ia berhenti, menegakkan tubuh untuk menarik napas. Kepalanya berdenyut, tapi tekadnya lebih kuat. Sambil mengaduk bubur, ia berdoa lirih, “Ya Allah, mudahkan aku. Jangan biarkan aku salah lagi.”Ketika jarum jam men