Share

Bab 3

Teruntuk Mantan Istri Suamiku 3

Biarkan saja jagad maya heboh oleh postinganku. Aku tidak peduli kalau setelah ini aku akan terkenal seantero desa karena status f******k yang aku bagikan.

Meskipun Hena datang melabrak dengan membawa pasukan, aku hadapin. Tidak akan mundur meski hanya satu centimeter.

'Aku tidak akan takut dengan dia,' jerit batinku seraya meremas seprai.

Ponselku berbunyi tanda ada notifikasi yang masuk. Aku mengambil ponsel yang baru aku letakkan, dan langsung masuk lagi ke aplikasi biru tadi.

Benar saja, kolom komentar sudah ramai oleh beberapa akun yang mengomentari postinganku. Aku tersenyum puas membaca komentar-komentar mereka yang kini berbalik menyudutkan Hena.

[Pantas saja dikirimi keranda, lah dianya yang ganjen.]

[Sadar, woy! Situ KUMAN, ukur mantan,] tulis salah satu akun dengan menandai akun f******k milik Hena.

[Oh, ternyata ini awal mula adanya keranda di rumah tetangga sebelah?] Dan masih banyak lagi komentar-komentar yang akan membuat Hena mengalami anemia jika membacanya satu persatu.

Namun, dari sekian banyak orang yang memberikan komentar, ada satu yang mencuri perhatianku. 

[Serapat apa pun menyimpan bangkai, lama-lama, pasti baunya akan tercium juga.]

Komentar itu ditulis salah satu akun yang memang aku kenal. Rumahnya dekat dengan rumah Hena. Apa mungkin dia mengetahui sesuatu tentang Hena dan Mas Andri? 

'Bangkai apa yang disembunyikan? Atau cuma hanya sekedar tulisan tanpa makna?'

Seketika rasa curiga sekaligus penasaranku kian bertambah. Aku akan mencari tahu tentang keduanya. 

"Arin!"

Aku terlonjak kaget saat Mas Andri masuk membuka pintu dengan sangat keras. Aku langsung terduduk melihat ke arahnya yang datang dengan mengepalkan kedua tangan.

"Apaan teriak-teriak? Aku, enggak budeg, Mas!"

"Hapus statusmu di f******k! Bikin malu!" ujarnya sambil melotot.

"Kalau aku tidak mau? Aku tidak malu, tuh bikin status kayak gitu. Ngapain malu, aku enggak salah."

Mas Andri semakin mendekat. Rahangnya terlihat mengeras sekeras batu karang di lautan. Namun, aku tidak takut sedikit pun. Jika nanti dia berani memukulku, akan aku laporkan dia ke polisi. 

"Jangan ngebantah, Rin, atau aku akan—"

"Akan apa?" Aku memotong ucapannya. "Akan mukul? Silahkan, pukul!" ujarku menantang.

Aku turun dari ranjang, berjalan ke arah lemari pakaian. Kuambil dan aku keluarkan semua pakaian Mas Andri dalam sana hingga berjatuhan dan berserakan di lantai. 

Selanjutnya, aku mengambil karung dan memasukkan pakaian Mas Andri ke dalam karung tersebut.

"Rin, kamu apa-apaan, Rin?" tanyanya dengan wajah yang mulai melunak.

"Aku ingin mengantarkan ini ke rumah Hena. Sekalian mengantarkanmu ke sana. Aku yang jadi istrimu, tapi selalu dia yang kamu bela! Maka dari itu, aku pulangkan lagi kamu ke sana. Ingat tidak, bagiamana kehidupan kamu bersama dia dulu? Ingat, bagaimana kamu pusing karena setiap hari selalu ada kurir yang datang mengantar paket dan meminta uang? Ingin terulang lagi? Ingin makan cuma sama sambal doang, sampai kamu sakit perut? AKU IKHLASIN!!" Aku berteriak tepat di depan wajahnya.

Mas Andri menggeleng dengan cepat. Dia mendekatiku dan memegangi kedua tanganku. Meminta maaf dan mengatakan telah salah. Pastinya dia tidak mau kembali ke masa penjajahan. Di mana dia yang bekerja, tapi tidak bisa menikmati hasil kerjanya. 

Menurut cerita Mas Andri dan kesaksian beberapa orang yang rumahnya berdekatan dengan Hena. Hena memang sangat boros. Dia selalu membeli barang yang dia mau, bukan yang dibutuhkan. Dia pun selalu mementingkan perutnya sendiri, daripada suaminya. 

"Aku tidak tahan dengan sikap dan sifat Hena yang menganggapku sapi perahnya. Aku tidak boleh lelah, tidak boleh istirahat walau cuma semalam, harus tetap melaut meski dalam keadaan badan kurang sehat," ujar Mas Andri dulu.

Sebagai orang yang bekerja pada abah, Mas Andri sering datang ke rumah dan mengeluhkan rumah tangga dia bersama Hena.

"Istriku selalu marah, kalau pulang tidak bawa uang. Jangankan melayani, nasi pun dia sembunyikan kalau hasil melaut lagi sepi," tuturnya lagi.

Aku yang kala itu mendengarkan dia dari dalam kamar, merasa iba saat dia menceritakan bahwa rumah tangganya sudah berakhir dengan Hena. Sejak itu, Mas Andri sering datang ke rumah abah bersama para nelayan yang lain, yang selama ini memakai perahu milik abah. 

Abah yang sudah menganggap semua rekan kerja adalah saudara, akhirnya menjodohkan aku dan Mas Andri setelah satu tahun dia menduda. 

Awalnya aku menolak, karena memang tidak sama sekali tertarik pada pria Jawa Tengah, yang tiba-tiba nyasar dan tinggal di tanah Sunda, bernama Andri itu. Namun, abah memaksa. 

"Usiamu sudah dua puluh enam tahun, Neng. Abah tidak mau, kamu jadi bahan omongan orang. Katanya kamu perawan tua, katanya kamu kena kutukan tidak akan nikah-nikah, kamu ini, kamu itu. Abah ingin melihat kamu jadi pengantin," tutur abah saat itu.

Hidup di pedesaan yang belum maju dan terkenal, menikah di usia matang selalu dibilang perawan tua. Karena rata-rata, wanita di desaku menikah pada usia dibawah dua puluh lima tahunan. Ada juga yang menikah setelah satu minggu memiliki KTP. Setelah lulus sekolah, dan lain sebagainya. 

Maka dari itu, aku yang di usia matang belum juga menikah, menjadi sebuah objek untuk bahan gibah orang-orang sekitarku. Menyedihkan.

"Aku minta maaf, mungkin kata-kataku menyakiti kamu, Rin. Aku tidak membela Hena, aku hanya tidak mau aib rumah tangga kita sampai jadi tontonan dan pembicaraan orang-orang," tutur Mas Andri.

Aku terbangun dari lamunan saat Mas Andri kembali berucap.

"Mantan istrimu duluan yang ngajak ribut, Mas."

"Iya, Sayang. Mas tahu, tapi jangan kamu ladeni. Jangan kamu tanggapi, biarkan saja dia mengoceh sendiri. Semakin kamu layani, dia akan semakin menjadi. Aku tidak ada hubungan apa-apa lagi sama dia." Mas Andri mencoba meyakinkan.

Aku diam mengamati wajah gelap Mas Andri. Meyakinkan, tapi tidak meluluhkan kecurigaanku. Aku harus tetap waspada dan siaga dalam menghadapi kemungkinan akan adanya serangan balik dari Hena. Secara tidak langsung, sebenarnya Mas Andri membela Hena. Namun, dia tutupi dengan kepura-puraannya.

"Ya sudah, aku maafin. Tapi awas kalau sampai ada bukti kamu masih berhubungan dengan mantan istrimu itu, aku akan bertindak lebih dari ini," ujarku mengancam.

"Tidak akan, nanti akan, Mas bilangin ke Hena. Supaya tidak lagi mengganggu rumah tangga kita. Kamu harus percaya sama, Mas."

Aku mengangguk meski ragu.

Setelah drama pengusiran yang gagal, Mas Andri mulai bersiap untuk kembali pergi ke laut. Biasanya, setelah isya dia akan turun ke laut.

"Rin, itu siapa yang ngetuk pintu kenceng banget?" tanya Mas Andri. 

Aku mengedikkan bahu seraya menyuapkan lagi nasi ke dalam mulut. Saat ini, aku dan Mas Andri sedang menikmati makan bersama sebelum Mas Andri berangkat.

"Andri! Arini!"

Aku dan Mas Andri saling pandang mendengar perempuan yang berteriak dari luar.

"Sepertinya aku kenal suara itu. Lihat, yuk, Mas!"

Mas Andri mengangguk dan kita berjalan bersamaan ke pintu depan.

Aku menggulung lengan bajuku sampai ke sikut. Mengikatkan rok plisket yang aku pakai ke pinggang, menyisakan celana legging berwarna cokelat. 

'Gelud, oy gelud!'

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yosta Yusfiani
semangat Yo gelud... dukung aku mah .........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status