Perselingkuhan tidak melulu terjadi pada pasangan dan orang yang baru, ada juga perselingkuhan yang terjadi dengan seseorang di masa lalu. Itu jugalah yang terjadi dalam rumah tangga Arini dan Andri. Di mana, Arini harus mendapati suaminya yang masih memiliki hubungan tidak wajar dengan mantan istrinya yang bernama Hena. Semua itu berawal dari sebuah pesan yang dikirimkan Hena pada Andri, yang tidak sengaja dibaca Arini. Dari sanalah, Arini memulai permainannya. Dari mulai mengirimkan keranda mayat untuk Hena, Arini terus melakukan pembalasan yang tidak pernah dibayangkan oleh semua orang. Bahkan, Arini pun sampai menghancurkan rumahnya yang ditinggali Andri dan keluarganya. Semua Arini lakukan untuk memberikan pelajaran, serta pembalasan atas sakit hatinya.
view moreTeruntuk Mantan Istri Suamiku
[Mas, aku butuh kendaraan buat nganterin ibu, kontrol ke dokter. Kamu bisa, 'kan belikan aku kendaraan? Roda dua, atau roda empat, aku enggak keberatan, Mas.]
Dadaku berdenyut tidak biasa, saat membaca pesan yang masuk ke ponsel suamiku. Sejak menikah dengan Mas Andri enam bulan yang lalu, ini kali pertama aku memegang dan membuka ponsel miliknya.
Tidak sopan memang, tapi aku sangat penasaran. Apalagi, akhir-akhir ini ada kontak bernama Hena, yang sering menghubungi Mas Andri. Tidak lain adalah mantan istri dari suamiku.
Sebuah ide muncul dari dalam otakku setelah membaca pesan dari Hena. Langsung saja aku mengetik, dan mengirim pesan balasan untuk sang mantan istri.
[Iya, nanti akan aku belikan. Kamu tenang saja. Asal, kamu jangan lagi menghubungiku dan mengirimiku pesan. Aku takut istriku curiga.]
Terkirim, dan langsung centang biru.
[Beneran, ya, Mas? Ok, aku enggak akan mengirim pesan maupun meneleponmu lagi. Tapi, kapan kamu akan mengirimkan kendaraan itu untukku?]
[Minggu depan!] balasku cepat.
[Janji, Mas?]
Aku memutar bola mata malas membaca pesan dari mantan istri suamiku itu. Jika bukan untuk mengerjainya, tidak sudi rasanya bertukar pesan dengan wanita itu.
[Janji, sumpah, suwer takewer-kewer!] balasku dengan emoticon dua jari.
[Makasih, Mas. Kamu baik banget sama aku. Ah ... makin lope-lope, deh sama kamu.]
Aku membulatkan mata melihat pesan yang diakhiri emoticon cium serta bentuk hati yang lebih dari lima biji.
'Apa jangan-jangan, selama ini di belakangku, mereka sering berkirim pesan seperti ini?'
Keterlaluan jika dugaanku benar adanya.
Setelah selesai berkirim pesan dengan mantan istri dari suamiku, aku langsung menghapus semua pesan percakapan dengannya. Aku tidak ingin Mas Andri melihat pesan yang dikirimkan Hena untukku. Biarkan kendaraan yang diminta Hena, menjadi urusanku. Aku yang akan mengirimkannya untuk dia.
Kutatap wajah lelah Mas Andri yang tengah tertidur pulas. Dia baru saja pulang dan langsung tidur setelah makan pagi.
Mas Andri adalah seorang nelayan. Dia akan pergi melaut di malam hari, dan akan pulang pagi sampai siang hari.
"Kenapa liatin aku kayak gitu?" Dengan suara parau, Mas Andri bertanya.
Segera aku menyimpan ponsel miliknya ke tempat semula, sebelum dia mencurigaiku.
"Tidak, Mas. Aku hanya kasihan saja, kamu pasti ngantuk sekali, ya?" ujarku berbasa-basi.
"Iya, Sayang. Mataku berat sekali untuk dibuka."
"Yaudah, tidur aja lagi, aku mau keliling buat nganterin pesanan ikan ke pelanggan."
Meski dengan malas dan mata yang berat, Mas Andri mengangguk memberikan izin untuk aku pergi.
Mumpung hari masih pagi, aku pun segera berangkat untuk menjajakan hasil melaut suamiku semalam.
Tidak setiap hari aku berjualan ikan. Karena ikan hasil melaut sering langsung dijual di tempat penampungan. Sekarang, Mas Andri hanya membawa beberapa kilo saja untuk pembeli yang sudah pesan kemarin.
"Assalamualaikum, Bu Haji!" Aku berteriak di depan sebuah toko oleh-oleh.
"Waalaikumsalam. Eh, Arini sudah datang rupanya. Jadi berapa semuanya, Rin?" tanya Bu Haji.
"Jadi seratus ribu, Bu Haji."
Wanita yang memiliki badan subur itu, mengeluarkan satu lembar uang dari saku gamisnya. Lalu, ia berikan padaku.
"Terima kasih, Bu Haji."
"Sama-sama," ucapnya seraya mengusap lenganku, tapi terasa seperti remasan untuk ukuran lenganku yang size M.
Saat aku akan kembali menjalankan sepeda motor, seorang perempuan memanggilku dari arah belakang.
Aku berbalik, dan tiba-tiba dadaku berdenyut melihat siapa yang datang menghampiriku. Dia adalah pelaku pengirim pesan permintaan kendaraan pada suamiku tadi.
"Ada apa, Na?" tanyaku dengan senyum yang dibuat-buat.
"Emm ... ada ikan, enggak?" tanyanya seraya melirik keranjang yang aku bawa.
"Ada di laut," jawabku cepat.
"Eh, bukan di laut. Tapi di sini," ujarnya nyengir memperlihatkan giginya yang dipagari kawat.
"Tidak ada, habis. Aku cuma bawa yang sudah buat pesanan saja. Mungkin besok, kalau kamu mau."
"Oooohh ...." Hena membulatkan mulutnya.
Astaga, rasanya aku ingin menyumpal mulut itu dengan kepala ikan. Tapi sayangnya ikannya pun sudah tidak ada. Tinggal bau amisnya saja yang masih menempel.
"Mau pesan, enggak? Aku mau segera pulang, nih. Bayiku belum dikasih mimi." Aku mulai menghidupkan motor.
"Bayi? Emang kamu sudah punya bayi?"
"Punya, bayi gede!" kataku.
Kulihat Hena memutar bola mata dengan tangan dilipat di perut.
'Eh, kenapa itu mata bisa jungkir balik seperti itu, ya?'
"Aku mau pesan ikan, banyak. Lima kilo." Hena mengangkat sebelah tangan dengan lima jari lengkap.
"Siap!" ujarku semangat.
"Eh, tapi bukan buat besok, buat minggu depan."
'Minggu depan?'
Seketika ingatanku tertuju pada pesan yang aku kirimkan ke dia.
'Jangan-jangan untuk pesta bakar-bakaran ikan bersama suamiku? Aku jabanin. Yang penting ikanku laris manis.'
"Siap juga!" ujarku tambah semangat.
Kusuguhkan senyum paling indah dan paling manis pada wanita gatal yang tidak tahu diri itu. Biarkan saja sekarang dia merasa paling hebat karena sudah berhasil membuat suamiku menuruti keinginan dia.
"Eh, emang akan ada acara apa minggu depan, Na? Mau nikah atau lamaran?" tanyaku lagi.
"Untuk syukuran kecil-kecilan. Rencananya, minggu depan itu, aku mau beli kendaraan. Jadi, ya ... buat syukuran aja."
Rona bahagia begitu terlihat jelas saat Hena mengatakan akan memiliki kendaraan. Aku pun jadi tidak sabar ingin segera bertemu dengan minggu depan. Sepertinya akan sangat menyenangkan.
Aku membalas ucapan Hena dengan hanya berkata 'oh'.
*
Setelah lama menunggu, akhirnya aku dipertemukan juga dengan pekan. Dan pagi ini, aku akan pergi mengantarkan pesanan ikan untuk Hena.
"Mau nganter ikan ke mana, Rin?" tanya Mas Andri.
"Ke rumah pelanggan. Sudah, ya aku segera berangkat, takut ditungguin." Tanpa menunggu jawaban dari Mas Andri, aku pun berlalu pergi dari hadapannya.
Aku tidak ingin mengatakan ke rumah siapa aku pergi. Kalau dia tahu aku pergi ke rumah Hena, pasti dia akan ikut. Membuat alasan, kalau aku takut kecapekan. Padahal hanya alibi supaya bisa bertemu mantan.
Sampai di depan rumah Hena, ternyata dia sudah menunggu di teras rumahnya. Tanpa ingin basa-basi, aku segera memberikan ikan yang dia pesan. Lalu, aku kembali pulang setelah mendapatkan uang dari Hena.
Saat aku pulang, Mas Andri sedang tidur. Ini saatnya aku mulai memberikan kejutan untuk mantan istri suamiku.
Aku menghubungi seseorang lewat sambungan telepon.
"Gimana? Sudah siap?" tanyaku bersemangat.
"Siap, dong. Ini sudah mau di angkut," tutur suara dari sebrang sana.
Pukul sebelas siang, aku keluar dari rumah menuju rumah Hena. Aku menyamarkan penampilanku dengan kacamata serta masker. Setelah sampai, aku duduk di atas motor di depan toko Bu Haji.
"Pakeeeet!"
Supir mobil pickup berteriak, lalu menghentikan laju mobilnya. Dia turun dari mobil dan berbincang sebentar dengan Hena. Kemudian, beberapa orang yang sudah berkumpul di rumah Hena, mereka membantu menurunkan kendaraan untuk Hena dari atas mobil.
"Langsung buka saja," ujar Hena dengan semangat dan gembira, "Eh, video-in, ya?" ujarnya lagi.
Pertama, Hena membuka tutup plastik hitam yang membungkus barang besar di depannya.
Aku salut sama orang yang membungkus barang itu, sangat rapi dan bagus. Tidak ada yang mengira jika isi dari bungkusan besar itu adalah ....
"Aaaaaaahhhhh!"
"Astaghfirullahaladzim!"
Bersambung
Pukul setengah lima sore, aku sudah berdiri di depan pagar. Menanti kepulangan gadisku dari menuntut ilmu."Huhu .... Hu hu ...!" Seorang anak laki-laki menangis berjalan melewatiku."Dek, kenapa?" tanyaku menghentikan anak itu."Dijahatin, Bi.""Dijahatin sama siapa?" tanyaku lagi.Anak yang berusia sebaya dengan Aish itu mengusap matanya yang sudah merah karena air mata."Sama Aisha. Huhu ...." Dia kembali menangis seraya menunduk. Kemudian, berjalan meninggalkanku.Ya Allah, apa yang dilakukan Aisha?Aku melihat ke arah mesjid, tidak ada tanda-tanda Aisha berjalan dari sana. Hatiku mulai cemas, mungkin dia tidak mau pulang karena takut aku marahi. Aku pun berniat untuk ke sana, menjemput Aisha ke tempat dia mengaji.Namun, baru satu langkah ka
ENAM TAHUN KEMUDIAN"Aisha!"Aku keluar dari dalam rumah dengan piring di tangan. Sepagi ini, anak itu sudah tidak ada di dalam rumah.Yusuf pun sama. Pasti mereka sekarang sedang bersama saat ini. Tapi, di mana?Di restoran? Atau di kolam?Aku berjalan menyusuri jalanan setapak menuju kawasan kolam renang. Setelah barusan ke restoran, ternyata mereka tidak ada di sana, kini kakiku melangkah masuk ke wisata kolam renang yang kami buat tiga tahun yang lalu.Rame? Alhamdulilah. Banyak sekali pengunjung yang datang setiap harinya.Bukan hanya ada kolam renang saja, ada juga tempat bersua foto yang cocok sekali bagi anak muda yang suka berselfi ria.Kehadiran Aisha laksana magnet rezeki bagi kami. Dari mulai dia di dalam perut sampai dia lahir, rezekinya tak hent
"Bertepatan dengan tujuh bulan kehamilan istri saya, khusus hari ini, saya akan menggratiskan seluruh pelanggan yang makan di restoran kami ini. Silahkan nikmati hidangan kami, dengan suka cita."Tepuk tangan dan suara orang-orang yang mengucapkan terima kasih, begitu riuh terdengar oleh kami. Aku yang berdiri tepat di samping suamiku ikut merasakan senang dengan apa yang disampaikan Yusuf barusan.Kita sedang berbahagia, apa salahnya kita juga memberikan kebahagiaan kepada orang-orang yang berada di sekitar kita. Contohnya kepada pelanggan setia yang selalu datang dan makan di restoran kami."Kita lihat yang di rumah, yuk!"Yusuf mengangguk. Dengan hati-hati, ia menuntunku untuk keluar dari restoran. Perutku yang semakin besar, membuatku tidak bisa berjalan dengan cepat seperti sebelum hamil. Dan Yusuf, dia semakin protektif dengan melarangku mel
"Masya Allah, Abah ...," ucap Yusuf menggelengkan kepala."Besarkan suaranya, A!"Yusuf pun menekan tombol di samping ponsel untuk menambah volume suara."PENGUMUMAN! Dengarkan semuanya!" Dengan melambaikan tangan ke atas, Abah berkata dengan begitu lantang.Aku masih fokus untuk mendengarkan apa yang Abah sampaikan."Dikarenakan hari ini saya sedang berbahagia atas kepulangan menantu saya, juga atas adanya kabar jika sebentar lagi saya akan menjadi seorang kakek, jadi ... khusus malam ini semua nelayan yang memakai perahu saya, saya bebaskan dari setoran harian! Semua ikan yang kalian dapatkan dari hasil melaut malam ini, semuanya untuk kalian! Tidak perlu kalian menyetorkan hasil tangkapan pada saya! Aku bersedekah pada kalian!"Aku menutup mulut dengan rasa haru. Sebahagia itu Abah saat mengetahui kehamilanku. Bahkan ia sampai mensedekahkan penghasilan yang selama ini jadi sumber keuangannya. 
Tidak berapa lama, mereka pun pergi menuju rumah Aki Sanip. Dasar mereka, dengan alasan tidak ingin mengganggu bulan madu kedua kami, mereka sampai pergi ke rumah orang tuanya. Padahal hari sudah mulai gelap, adzan maghrib pun sudah terdengar diserukan dari mesjid."Kita salat dulu, ya? Nanti setelahnya, kita makan."Aku mengangguk mengiyakan ajakan Yusuf.Makan malam kali ini begitu sempurna menurutku. Yang biasanya aku sendiri, kini sudah ada temannya lagi.Pria itu, selalu bisa membuatku beruntung bisa menjadi istrinya. Bagaimana tidak, dari awal makan, dia terus menyuapiku sampai ke suapan terakhir.Alhamdulilah, aku diperlakukan seperti ratu olehnya."Aku akan menembus hari-harimu tanpa aku. Melakukan apa yang telah aku lewatkan sebagai suami," ucapnya kala aku
"Yusuf, kenapa pertanyaannya seperti itu?" ujar Mama Salma."Mama bayangin aja, sebulan lebih Yusuf pergi, dan sekarang ada berita kalau Arini, hamil. Ya, jelas aku bertanya-tanya lah."Aku menggelengkan kepala seraya menutup mulut. Aku tidak percaya, jika suamiku telah mencurigaiku."Ini anak kamu, A. Aku tidak mungkin berkhianat," kataku sembari tersedu."Anakku? Benar itu anakku? Bukan .... anak Aki Sanip?"Aku membulatkan mata mendengarkan ucapan dari Yusuf. Wajah Yusuf semakin memerah dengan kedua pipi mengembang menahan tawa."Hahaha! Wajahmu lucu sekali, Rin!" Tawa Yusuf pecah. Dia tergelak sembari memegangi perutnya.Aku mengusap mata yang tadi sempat mengeluarkan air dari sana.Plak!Ak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments