Share

Bab 4

Teruntuk Mantan Istri Suamiku 4

Aku mengekor di belakang Mas Andri dengan semangat yang menggebu-gebu. Memasang kuda-kuda bersiap menerima serangan yang tidak terduga. 

"Andri! Tolong!"

Saat membuka pintu, wanita paruh baya langsung menghambur menghampiri suamiku. Dia adalah ibunya Hena–Bu Ria.

Aku yang sedari tadi siap untuk bertempur, seketika berdiri dengan tegak sembari membenarkan letak rok yang tadi aku ikat ke pinggang. Lalu, menatap wajah tua itu dengan lekat.

"Ibu kenapa?" tanya suamiku.

"Tolong Hena, Andri. Tolongin dia, Hena kesurupan, Dri!" 

"Apa?" ucapku dan Mas Andri berbarengan.

Aku dan Mas Andri saling pandang. Sebenarnya tidak sedikit pun aku percaya dengan ucapan wanita paruh baya itu. Aku curiga, jika dia tengah bersandiwara.

"Eeh, Mas mau ke mana?" tanyaku saat Mas Andri akan melangkah mengikuti Bu Ria.

"Mau lihat Hena, Rin. Kamu enggak dengar, Bu Ria tadi bilang apa?"

"Dengar, tapi aku tidak percaya dengan apa yang Bu Ria katakan. Bisa saja dia berbohong, 'kan?" ujarku memegangi lengan Mas Andri.

"Ya Allah, Rin. Di mana letak hatimu, orang butuh pertolongan, malah kamu bilang bohong. Aku tidak berbohong, Arini! Ibu sungguh-sungguh!" sungut Bu Ria dengan melototiku. 

Mas Andri menatapku dengan tajam. Dia tidak suka dengan tindakanku yang melarangnya pergi.

"Aku tidak paham dengan jalan pikiranmu, Rin. Sepertinya kamu sudah tidak memiliki rasa kasihan pada sesama."

Mas Andri masuk ke dalam rumah, mengambil jaket serta kunci motorku. Aku mengekor meninggalkan Bu Ria seorang diri di luar.

"Mas, di sana itu banyak orang. Lagian, ya kalau si Hena kesurupan, panggil ustadz, bukan malah memanggil kamu. Apa hubungannya, coba?" ujarku seraya melipat kedua tangan di perut.

"Ada, ada hubungannya dengan Andri!" 

Aku berbalik dan mengerutkan kening melihat Bu Ria masuk ke dalam rumah tanpa permisi. Dia pun menjawab pertanyaanku tanpa aku minta.

"Apa hubungannya?" tanya Mas Andri.

"Kalau kalian mau tahu apa hubungannya, ayo ikut ke sana sekarang. Di sana pun sudah ada ustadz Zani dan beberapa orang." Bu Ria kembali berucap.

Tanpa mendengarkan saran dariku, Mas Andri langsung pergi keluar dari rumah. Bu Ria pun segera mengikuti langkah suamiku dengan tergesa.

Tidak ingin kalah cepat dari Bu Ria, aku segera mengejar Mas Andri yang sudah duduk di atas motor sembari menstater motor matic milikku. 

Melihat Bu Ria mengangkat roknya hendak naik ke atas motor, segera kutarik tanganya dengan sedikit kencang hingga mantan mertua Mas Andri itu terhuyung ke belakang.

"Ini motorku, Ibu jalan kaki saja biar tambah sehat. Ok!" Aku mengangkat tangan dengan jari telunjuk yang ditempelkan ke ibu jari. Membentuk huruf 'O'. 

Bu Ria mendelikkan mata, tapi aku tidak peduli. Enak saja ingin naik motor, sementara aku harus jalan kaki.

"Ayo, jalan, Mas." Aku menepuk pundak suamiku.

"Loh, Rin. Ibu, bagaimana?" tanya Mas Andri menoleh.

Aku mengedikkan bahu seraya mengerucutkan bibir. 

"Kasihan Ibu, Rin, dia sudah tua," ujar Mas Andri lagi. 

Kulihat Bu Ria berdiri seraya menekuk wajahnya. Aku berpikir sebentar, lalu turun dari motor.

"Mas, turun dulu." Aku menepuk pundak suamiku lagi.

"Mau apa?" Mas Andri kebingungan.

"Turun dulu," ujarku lagi.

Mas Andri menurut, dia turun dari motor dan berdiri di samping Bu Ria. Sedangkan aku, langsung mengambil alih tempat yang tadi diduduki suamiku.

"Mas, jalan kaki saja. Kasihan Bu Ria sendirian. Aku tunggu di rumah Hena, Mas!" Aku berteriak sekencang mungkin sambil tancap gas meninggalkan mereka yang masih berdiri di tempatnya.

"Hey, Rin! Tunggu aku!!" Mas Andri berteriak, tapi tidak aku indahkan.

"Dasar anak durhaka!" sahut Bu Ria tidak mau kalah.

'Durhaka? Tidak mungkin. Aku bukan anak Bu Ria. Kalau kualat, mungkin iya. Tapi, yasudahlah, biar saja.'

Kata Bu Ria, anaknya kesurupan dan ada hubungannya dengan Mas Andri. Apa jangan-jangan, setan yang merasuki tubuh Hena, memiliki hubungan gelap dengan Mas Andri? Atau ... suamiku memiliki perjanjian dengan makhluk halus untuk mendapatkan kekayaan? 

Tiba-tiba bulu kudukku meremang membayangkan segala kemungkinan yang terjalin antara Mas Andri dan setan yang merasuki tubuh Hena.

"Serem juga, ya?" ucapku berbicara sendiri.

Dari kejauhan, aku sudah melihat rumah Hena yang ramai dengan beberapa orang di sana. Juga, ada suara yang berteriak memanggil-manggil nama suamiku.

Aku tidak langsung ke sana, melainkan berhenti di luar pagar rumah Hena, menunggu kedatangan Mas Andri. Setelah beberapa saat menunggu, Mas Andri sampai dengan keringat memenuhi pelipisnya. 

"Kenapa tidak masuk?" tanyanya seraya mengatur napas yang ngos-ngosan.

"Aku takut," jawabku cepat.

"Hallaaah, penakut." Mas Andri masuk meninggalkan aku begitu saja. 

Aku segera memasukkan motor matic ke dalam pagar dan turun untuk menyusul Mas Andri yang sudah terlebih dahulu ke sana.

"Andri! Mana Andri!!" teriak Hena dengan meronta serta mata yang melotot.

"Ini, di sini. Andri sudah datang. Apa yang ingin kau sampaikan pada Andri?" tanya Ustadz Zani.

"A–aku di sini." Mas Andri berucap dengan wajah takut.

"Dengar!" Hena kembali berteriak memekikkan telinga yang hadir di rumahnya ini. 

Suasana menjadi hening, semua orang menunggu apa yang akan dikatakan Hena.

"Kalau kalian semua mau aku keluar dari tubuh wanita ini ...." Hena kembali berhenti berucap. 

Kini mata dan telunjuknya memindai wajah-wajah yang ada di ruangan ini satu persatu. Dan akhirnya, jatuh pada satu orang pria yang duduk tepat di depannya.

"Nikahkan dia dengan pria ini!" ujar Hena dengan lantang.

"Apa?!" Mataku melotot tajam. "Tidak bisa, tidak bisa! Apa-apaan, nih? Masa mau maen nikahin suami orang sama wanita lain. Enggak bisa, aku tidak terima!" kataku. 

Semua orang kini beralih melihat ke arahku. Tak terkecuali Hena yang matanya masih melotot dan tambah melotot saat aku menatapnya dengan tidak suka.

"Untuk sementara saja, Rin, setelah jin yang ada di tubuh Hena keluar, Andri dan Hena bisa kembali bercerai. Ini hanya untuk membebaskan Hena. Kasihan Hena, Rin. Tolonglah." Ibu Ria memohon, menangkupkan kedua tangannya di dada.

Itu hanya sebuah tipuan semata. Dan aku, tidak percaya sedikit pun. Kutatap satu persatu wajah orang-orang yang ada di sini. Semuanya menunggu jawaban dariku. 

"Iya, Nak Arini. Tolonglah, saudara seagama kita ini. Dia sedang kesulitan, raganya terpenjara oleh jin yang merasuki tubuhnya." Aku mendelik, saat Ustaz Zani berbicara dengan begitu lembut.

"Tidak! Pokoknya aku tidak mau. Aku tidak peduli kalau jin, setan atau demit apa pun yang kini merasuki Hena, tidak mau keluar dari sana. Aku tidak peduli!" ujarku lagi seraya berkacak pinggang.

Orang-orang beristigfar, menyayangkan sikapku.

Lagipula, mana percaya aku sama Ustaz Zani itu. Lagian, yang jadi ustadz di kampung ini, itu kakaknya, dia cuma ikut-ikutan saja karena ingin dihormati seperti Ustadz Zaki. 

"Rin, Sayang ...."

Aku menepis tangan Mas Andri yang hendak mengambil tanganku. Kemudian keluar dari sana dan memilih untuk pergi. Namun, aku terdiam saat akan menghampiri motor. 

'Jika aku pulang, mereka pasti akan menikahkan suamiku dengan wanita itu. Dan Itu akan membuat Hena merasa besar kepala.'

Aku balik kanan dan hendak masuk lagi ke dalam rumah Hena. Yang di mana, kini dia kembali berteriak histeris.

Saat akan masuk, mataku menangkap sesuatu yang sepertinya akan sangat bisa membantuku untuk mengusir jin berwujud manusia. Aku tersenyum licik seraya berkata, "Keranda ...."

Meski susah dan berat, tapi aku tidak akan menyerah. Aku menggeser keranda dari samping rumah, sampai ke depan pintu.

"Hey, Jin! Aku ingin menantangmu, sebelum kita menikahkan suamiku dengan wanita itu!" ujarku berteriak.

Semua orang menoleh padaku. Tidak terkecuali Hena yang matanya langsung tertuju pada keranda di depanku. 

"Kalau kamu sanggup membawa wanita itu masuk dan diam di dalam keranda ini selama tiga puluh menit dengan ditutupi kain di atas kerandanya, maka aku akan ikhlas suamiku menikah dengan dia. Gimana?" tantangku. 

Hena terlihat meneguk saliva dengan mata yang mengerjap beberapa kali.

'Eh, kok sekarang dia tidak melotot lagi, ya? Hem ... dasar pembohong.'

"Ini keranda bersih banget, cuma .... Ini bekas orang yang mati akibat pembantaian. Kepalanya putus! Matanya keluar! Lidahnya menjulur ke samping. Kekk!" Aku memegangi leherku dengan mata yang melotot serta lidah yang sengaja aku julurkan. "Jika kamu, Jin, keluar dari sini sebelum tiga puluh menit, maka wanita itu akan tewas di tempat!" ujarku lagi membuat semua orang bergidik ngeri.

"Tidak, tidak, tidaaaaakk ...!!"

Bersambung

Komen (3)
goodnovel comment avatar
wieanton
hahahaha mampus si hena niat ngerjain malah di kerjain sm arini hahaha ngakak
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
......... Arini .........
goodnovel comment avatar
Embun Pagi
lucu bgd, akuh tertawa sampai suamiku, kenapa ketawa sendiri hahahaha............
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status