Share

Bab 2

Teruntuk Mantan Istri Suamiku 2

"Kok, keranda mayat? Ternyata bukan motor?" 

Hena sangat syok mendapatkan kendaraan dariku. Dia berdiri dengan memundurkan kakinya perlahan. Tangannya menutup mulut seraya kepala yang dia geleng-gelengkan.

"Tidaaaaakk!"

Brugh ...! Hena langsung jatuh pingsan!

Di sini, di depan toko Bu Haji, aku tertawa cekikikan. Menyoraki kesialan Hena. 

'Rasain!'

Siapa suruh dia minta-minta pada suamiku. Dulu, Mas Andri adalah suaminya. Itu dulu, beda lagi dengan sekarang. Lelaki itu sekarang sudah menjadi suamiku. Dan tidak mudah untuk Hena, mendapatkan uang darinya. 

Melihat si mantan istri tumbang, aku pun memutuskan untuk pulang. Merayakan pesta kecil-kecilan di rumahku. 

Aku menyalakan motor, lalu tancap gas menuju rumah. Sampai di rumah, suamiku masih tertidur pulas. Maklum, dia baru pulang pagi hari. Dia akan bangun jika aku membangunkannya.

"Sekarang waktunya pesta," ucapku seraya masuk ke dapur. 

Kuambil mangkuk beserta sendok dan garpu. Membuka plastik dan menuangkan bakso mercon yang tadi aku beli pada saat jalan pulang.

[Ya, halo!]

Saat akan menyuapkan kuah bakso, telingaku mendengar suara Mas Andri dari dalam kamar. 

Sepertinya dia tengah berbincang di telepon. Penasaran dengan siapa dia berbicara, aku pun mengintip dan menguping dari balik pintu kamar yang tidak tertutup rapat.

[Kamu ini ngomong apa, sih? Aku enggak pernah kirim apa-apa.]

Oh, sepertinya Hena yang menelpon suamiku. Dia ngadu pada Mas Andri tentang hadiah yang aku kirimkan tadi.

[Aku bahkan tidak tahu, kalau kamu meminta itu padaku, Hen,] ujar Mas Andri lagi.

Ia diam sejenak, mungkin tengah mendengarkan ucapan orang yang ada di sebrang telepon.

[Sebentar, aku lihat dulu.] Mas Andri mengotak-atik ponselnya, lalu dia kembali menempelkan ponsel ke telinga.

[Tidak ada. Enggak ada pesan darimu,] tukas Mas Andri.

Memang tidak akan ada, karena aku sudah menghapusnya. Ingin sekali aku berteriak, tapi biarkan saja mereka berdebat. 

[Apa jangan-jangan ....] 

Mas Andri tidak melanjutkan kata-katanya, dia menoleh ke arah pintu. Dan aku langsung menarik diri, segera pergi lagi ke dapur. 

Dia pasti sudah mencurigaiku kalau aku yang mengirimkan keranda mayat untuk mantan istrinya. Kita lihat, apa yang akan Mas Andri lakukan padaku.

"Arini!" 

Mas Andri berteriak, dengan langkah tergesa dia datang padaku. Aku melihatnya dengan wajah sepolos mungkin. 

"Ada apa, Mas? Pake teriak-teriak segala? Mau minta duit buat pulang ke Jawa?" tanyaku seraya menyuapkan bakso mercon yang berlumuran cabai ke dalam mulut. "Atau ... mau bubuk cabe?" lanjutku lagi seraya menusuk bakso dengan kekuatan ekstra. Hingga membuat kuah bakso berhamburan jatuh dari mangkuk.

Kulihat Mas Andri meneguk ludahnya sendiri. Terlihat dari jakunnya yang naik turun.

"E–enggak apa-apa. Aku, mau bakso juga, Rin. Lapar."

"Tuh, masih ada satu. Makan saja." Aku menunjuk bungkusan plastik dengan dagu.

Mas Andri mengambil mangkuk dan duduk di kursi meja makan. Ia menuangkan bakso yang tadi aku beli.

Matanya langsung terbelalak setelah melihat kuah yang didominan oleh air serta bubuk cabai.

"Rin."

"Kalau makan jangan mengeluarkan suara, nanti tersedak," kataku.

"Ini cabe semua, Rin. Mana tahan aku dengan pedasnya." Mas Andri meringis. 

"Sama! Aku juga tidak akan tahan dengan pengkhianatan dan kebohongan yang kamu ciptakan, Mas!" Aku menggebrak meja membuat dia terlonjak kaget.

Mas Andri tidak terima dengan sikapku. Dia berdiri dan melakukan hal yang sama.

"Maksud kamu apa, Rin? Kamu makin ke sini makin kurang ajar sama suami. Tidak ada adab!" ujarnya dengan telunjuk mengarah ke wajahku.

Aku menyeringai melihat dia melotot. Dia pikir aku takut dengannya. 

"Apa kamu pikir, kamu punya adab dengan terus berkirim pesan dengan mantan istrimu, Mas?"

"Hey, justru karena aku punya adab, makanya aku menjalin silaturahim sama Hena, meskipun dia sudah menjadi mantan istri, tapi apa salahnya kalau aku berhubungan baik dengannya? Kamu itu terlalu pencemburu, Rin. Kamu cemburu buta!"

Aku berdecak seraya pergi meninggalkan dapur. Memilih menonton tv daripada melihat Mas Andri yang marah-marah. 

'Cemburu dia bilang? Aku bukan cemburu, tapi marah, murka, dan teraniaya. Hatiku tersiksa mengetahui dia ada hubungan yang tidak wajar dengan mantan istrinya.'

Istri mana yang tidak marah mengetahui suaminya masih menjalin hubungan dengan mantan. Istri mana yang tidak akan murka melihat permintaan mantan istri yang di luar batas wajar. Kalau sekedar minta maaf, aku bisa terima. Itu artinya, dia pernah memiliki dosa selama menjadi pasangan suami istri di masa dulu. 

Namun, kalau sudah meminta barang dengan nominal harga yang mahal, pastinya aku tidak terima. 

Jangankan untuk memberikan Hena motor atau mobil, membeli untukku saja belum pernah dia lakukan. Motor yang sekarang aku pakai pun, itu pemberian abah, pada saat aku gadis. Bukan dari Mas Andri.

"Rini, tunggu! Tidak sopan kamu, pergi begitu saja saat suami sedang bicara!" Mas Andri mengambil remote tv, lalu mematikannya begitu saja.

Matanya terus menatapku dengan tajam. Kilatan amarah begitu terpancar kedua sorot netranya.

"Pasti kamu, 'kan yang mengirimkan keranda ke rumah Hena?" tuduh Mas Andri padaku.

"Iya, memang aku yang mengirimkannya," kataku membalas tatapannya.

"Tujuannya apa, Rin? Kamu tahu tidak, kalau itu membuat Hena syok dan ibunya semakin sakit?"

"Bagus, biar dia tahu diri, kalau kamu itu bukan siapa-siapanya lagi. Siapa suruh dia minta-minta sama suami orang? Oh, jangan-jangan ... kalau kamu yang menerima pesan itu, kamu akan mengabulkannya begitu? Iya, Mas?" tuduhku menyudutkannya. 

Mas Andri bungkam, hanya dadanya yang terlihat naik turun. Kediamannya membenarkan prasangkaku. 

"Kenapa diam? Jawab! Kamu masih sering berkomunikasi, 'kan sama dia? Ingat, ya Mas, semua yang kamu miliki sekarang, tidak lepas dari bantuan tangan abah. Jadi, aku tidak ikhlas kamu memberikan sepeser pun, uang untuk Hena. Apalagi barang mahal!" tukasku langsung pergi ke kamar dengan membanting pintu.

Biarlah aku sombong di depan Mas Andri. Agar dia sadar dan tahu, kalau aku tidak ridho dia memberikan apa pun untuk Hena.

Di dalam kamar, aku mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja kecil di samping kasur. Membuka sosial media untuk mencari hiburan yang akan membuat hati dan pikiranku menjadi tenang kembali.

Namun, bukannya tenang, ubun-ubunku malah semakin terbakar melihat status F******k yang Hena bagikan.

[Astaghfirullahaladzim, ternyata dia memang menyimpan dendam padaku. Padahal, selama ini aku selalu bersikap baik pada dia, meskipun dia sudah merebut kebahagiaanku. Ya Allah, tega-teganya dia mengirimkan santet lewat keranda ini. Pantas saja, akhir-akhir ini hati dan raga aku selalu terasa panas. Ternyata dia yang mengirimkan guna-guna. Dia adalah AN,] tulisnya serta gambar keranda yang aku kirim buat dia.

Kolom komentarnya langsung diserbu orang-orang yang penasaran dengan inisial yang dia tuliskan. 

Ada yang bertanya, ada juga yang menebak-nebak dengan menuliskan beberapa nama. Termasuk namaku.

[Mungkinkah, Arini Nurahmadina?] tulis salah satu akun yang tidak lain adalah temanku sendiri. Komentarnya pun langsung disukai oleh Hena si pembuat status. 

Sontak saja akun yang berteman denganku langsung menulis namaku dalam kolom komentar status yang dibagikan Hena.

[Sejak kapan, Arini Nurahmadina jadi dukun?]ujar salah satu akun. Dan masih banyak komentar lainnya di sana. 

Tidak tahan dengan ocehan mereka yang kebanyakan menyalahkan aku, akhirnya aku pun membuat status dengan foto screenshot pesan dari Hena untuk Mas Andri yang waktu itu sempat aku kirimkan ke ponsel milikku.

"Hem, rasain. Gelud-gelud, deh sekalian," kataku lalu meng-klik tulisan 'posting'.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status