“Itu bukannya Mas Rendra?”
Leandra menghentikan motornya di lampu merah, ketika jalanan sedang padat-padatnya karena bertepatan dengan jam pulang pegawai kantor.Tanpa sengaja mata Leandra menangkap satu sosok yang dikenalnya sebagai Rendra, suaminya sendiri.Rendra terlihat baru saja keluar dari sebuah klinik ibu hamil bersama seorang perempuan yang tidak Leandra kenal.Sebelum Leandra sempat mengamati perempuan itu lebih jauh lagi, lampu lalu lintas berubah hijau dan dia terpaksa melajukan motornya dengan kecepatan sedang.Selama dalam perjalanan menuju rumah mertuanya, hati Leandra sama sekali tidak bisa tenang.“Siapa perempuan itu?” tanya Leandra dalam hati seraya mengemudikan motornya dengan gelisah.Kok bisa Mas Rendra keluar dari klinik ibu hamil bersama perempuan itu?Atau dia hanya salah lihat saja karena pandangannya berjarak cukup jauh dari klinik?Banyak sekali pertanyaan yang berdesakan di kepala Leandra hingga membuatnya nyaris lupa kalau dia sedang mengemudi di jalan raya.Leandra berusaha fokus mengendarai motor matic-nya. Meskipun begitu, dia asal melaju dengan perasaan yang tidak menentu, tidak memperhatikan arah jalan, rambu lalu lintas, hingga dia berbelok dan terlambat sadar ketika ada mobil putih bersih yang muncul di hadapannya ....Brakk!Leandra tidak sempat menghindari senggolan dengan bodi mobil dan dia pun terjatuh bersama motornya ke aspal.“Aduhhh ...” rintih Leandra sambil meringis kesakitan.Untungnya, mobil putih itu tidak kabur dan pengemudinya turun tepat ketika beberapa orang mulai berbondong-bondong datang untuk memberikan pertolongan kepada Leandra.“Tanggung jawab, Pak!”“Dia yang tiba-tiba muncul di depan mobil!”Beberapa orang menepikan motor dan sebagian lagi membantu Leandra duduk di depan toko kelontong yang tutup.“Lain kali hati-hati kalau bawa motor.”Leandra mendongak dan tatapannya tertumbuk kepada seorang pria berpostur tinggi tegap dan memiliki garis mata tajam. “Kamu perlu ke rumah sakit?”“Tidak usah,” geleng Leandra kepada pengemudi mobil itu. “Saya minta maaf, saya yang salah ....”Pria itu tidak menjawab, dia mengalihkan pandangannya ke arah motor Leandra yang sudah diparkirkan orang-orang di dekat mobilnya.Leandra yang wajahnya masih shock, hanya terduduk bisu sambil mengusap-usap lututnya yang terbentur saat jatuh tadi. Ketika dia menoleh, dilihatnya pria itu sedang mencoba menyalakan mesin motor matic-nya.“Kamu tidak menelepon orang rumah saja supaya jemput kamu?”Leandra bergeming ketika pria tegap itu mendatanginya setelah mematikan mesin motor.“Saya masih bisa naik motor kok,” jawab Leandra sambil menggeleng.Pria itu mengangguk dan kembali ke mobilnya, tidak berapa lama kemudian dia muncul lagi dengan membawa sesuatu di tangannya.“Bukannya saya tidak mau bertanggung jawab, tapi saya sedang ada urusan penting.” Dia mengulurkan beberapa lembar uang kertas merah ke tangan Leandra. “Ini sekadar untuk jaga-jaga kalau kamu terluka atau motor kamu perlu diservis. Sekalian ini kartu nama saya kalau ada apa-apa.”Leandra terpaku sejenak. Bukan dia menolak rejeki, tapi pengemudi mobil itu memang tidak sepenuhnya salah. Karena itulah Leandra lebih memilih untuk mengambil kartu nama pria itu saja dan tidak menerima uangnya.“Terima kasih, ... seharusnya malah saya yang memberi Bapak ganti rugi karena mobil Bapak jadi lecet ...” ucap Leandra terbata, dia melirik nama yang tertera di kartu.Nama pria itu adalah Tian Rafael.“Tidak usah dipikirkan, anggap saja musibah.” Tian menyahut. “Lain kali hati-hati.”Leandra mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi, baginya dia sudah sangat beruntung karena Tian tidak menuntut ganti rugi atas tabrakan yang tidak disengaja tadi.Kasih tahu Mas Rendra nggak ya, batin Leandra dalam hati. Kebetulan orang-orang sudah fokus kepada urusannya sendiri-sendiri setelah kejadian yang dialaminya tadi berhasil diselesaikan secara damai antara dua belah pihak.Nggak usah deh, batin Leandra lagi. Dia berdiri dan berjalan sedikit tertatih karena lututnya yang nyeri.Leandra memutuskan untuk kembali ke rumah mertuanya, kali ini dia mengemudi motornya dengan sangat hati-hati.***“Bu, Mas Rendra belum pulang, ya?” tanya Leandra ketika dia tiba di rumah mertuanya. “Tadi aku seperti lihat Mas Rendra di jalan, aku pikir dia sudah pulang duluan ke rumah dan pergi lagi.”Ibu mertua yang sedang menyeduh teh lantas menoleh ke arah Leandra.“Mana mungkin jam segini Rendra sudah pulang,” bantah sang mertua. “Dia itu banting tulang buat kamu, juga buat anak kalian nanti. Makanya kamu cepat hamil, biar Rendra bisa langsung pulang kalau habis kerja dan tidak perlu keluyuran dulu.”Jawaban ibu mertua yang ketus membuat Leandra mengangguk saja dan bergegas pergi ke kamarnya untuk melepas penat.Hari itu ternyata Rendra terlambat tiba di rumah dengan alasan lembur.“Aku siapkan baju kamu di tempat biasa,” ucap Leandra ketika Rendra melangkah pergi menuju kamar mandi.Dia kemudian membuka lemari dan menyiapkan satu setel baju bersih untuk suaminya.Ketika itulah Leandra mendengar ponsel suaminya berdering nyaring. Dia yang biasanya bersikap biasa saja dan cenderung tidak mau tahu, kali ini muncul rasa penasaran yang menggelitik hatinya.Dering ponsel Rendra terhenti ketika Leandra meletakkan baju bersih di atas tempat tidur. Hampir saja rasa penasaran itu hilang dari pikirannya ketika dia mendengar ponsel sang suami berdering lagi.Dengan ragu-ragu, tangan Leandra terulur untuk menjangkau tas kerja Rendra yang ternyata sudah setengah terbuka.“Nggak apa-apa kan kalau aku lihat siapa yang menghubungi Mas Rendra?” gumam Leandra seraya mengambil ponsel suaminya yang terus berdering. Dia merasakan jantungnya berdegup kencang meski tidak tahu apa sebabnya, lalu deringan itu tiba-tiba berhenti tepat ketika ponsel Rendra berhasil ditarik keluar.“Mungkin rekan bisnisnya,” batin Leandra lagi yang lantas memasukkan ponsel itu kembali ke dalam tas.Ketika itulah ujung jemari Leandra menyentuh sebuah benda pipih panjang yang memantik rasa ingin tahunya lagi.Refleks Leandra meletakkan ponsel Renda di samping tas, kemudian dia tarik keluar benda pipih itu dan ....Kedua mata Leandra terbelalak lebar ketika tangannya menggenggam sebuah testpack yang hasilnya positif.“Astaga! Testpack siapa ini?” batin Leandra sambil membekap mulutnya dengan telapak tangan. Dia tahu betul bahwa para pria tidak mungkin menggunakan testpack itu, lalu kenapa benda pipih ini bisa berada di dalam tas kerja Rendra?Belum hilang rasa terkejut di hati Leandra, tiba-tiba ponsel Rendra menyala dan menampilkan pesan terbaru yang muncul di layar.[Mas, terima kasih ya tadi kamu sudah nganterin aku ... Besok mampir lagi]Leandra mampu membaca pesan itu dengan jelas tanpa perlu menyentuh ponsel Rendra.“Lea, bikinkan kopi!”Rendra tiba-tiba muncul dari kamar mandi dan Leandra buru-buru memasukkan ponsel suaminya ke dalam tas.“Tadi kamu pergi ke mana saja sih, Mas?” tanya Leandra ingin tahu saat Rendra mengeringkan rambutnya.“Biasa, lembur di kantor,” jawab Rendra sambil menyisiri rambutnya dengan jari tangan.Leandra menggigit bibirnya dan meraih satu setel pakaian bersih sembari menggenggam testpack temuannya tadi menggunakan tangannya.“Itu testpack milik siapa, Mas?” tanya Leandra tanpa berbelit-belit. “Yang ada di tas kamu?”Bersambung—Rendra sontak terdiam. “Testpack? Maksud kamu?” Dia bertanya dengan kening berkerut. Leandra meraih tas kerja Rendra dan mengeluarkan testpack yang tadi dia temukan. “Ini bukan testpack aku,” kata Leandra sambil menunjukkan benda pipih itu. “Hasilnya positif—testpack siapa ini, Mas?” Leandra menatap lurus ke arah Rendra yang berdiri membeku di depannya. “Lea, itu ...” Leandra berusaha untuk tetap tenang dan menunggu apa yang akan Rendra jelaskan kepadanya. Namun, terlihat jelas kalau suaminya begitu kesulitan dalam merangkai kata-kata yang tepat. “Testpack ini milik siapa, Mas?” tanya Leandra lagi dengan nada mendesak. “Kamu tahu sendiri kalau hasil testpack aku selalu negatif ... tapi yang ini positif—bisa kamu jelaskan?” Rendra tidak segera menjawab. “Kenapa kamu diam, Mas?” tuntut Leandra lagi. “Itu punya rekan kerja aku, Lea!” jawab Rendra buru-buru. “Sepertinya nggak sengaja kebawa saat aku beres-beres meja.” Dengan menahan rasa curiga yang memuncak, Leandra mengambil p
Untuk membuktikan bahwa dirinya tidak mandul, Leandra berkeras untuk mengajak Rendra mengantarnya tes kesuburan di rumah sakit. “Aku minta maaf, Lea.” Rendra berulang kali mengatakan hal yang bagi Leandra sudah tidak lagi penting. Permintaan maaf itu ibarat nasi basi yang sudah tidak mungkin untuk dikonsumsi lagi. Ketika memutuskan untuk menikah diam-diam, tidakkah Rendra dalam keadaan sadar? Kenapa tidak ada setitik pun rasa bersalah dalam dirinya ketika dia akan membagi cinta dengan Silvi? “Lea?” panggil Rendra, membuat Leandra tersentak dari lamunannya. “Aku janji kalau aku nggak akan mengabaikan kamu, bagiku kamu tetap istri aku.” Leandra menyeka kedua matanya, saat itu dia dan Rendra sedang antre di rumah sakit untuk menunggu giliran. “Aku sedang nggak mau bicara soal itu, Mas.” Dia menggeleng. “Aku mau fokus, aku harus ikut tes kesuburan ini untuk membuktikan sama ibu kalau aku bukan perempuan mandul ....” Rendra bisa merasakan kekecewaan yang dipikul Leandra saat ini, kare
Ketika pagi datang, kedua kaki Leandra terasa begitu berat untuk meninggalkan tempat tidurnya. Dia merasakan ketakutan yang teramat besar, bagaimana kalau dia bertemu ibu mertua dan ditanyai soal hasil tes kesuburan itu? Leandra tidak akan sanggup menjawabnya. “Sayang, kamu nggak bangun?” lirih Rendra dengan mata setengah terpejam. “Tumben ....” Leandra tidak segera menjawab, andai saja dia memiliki kemampuan untuk menjelaskan suasana hatinya sekarang tanpa perlu bersuara—tentu akan dilakukannya saat ini juga. “Aku ... jujur aku nggak siap bertemu sama ibu kamu, Mas.” Leandra membuka mulutnya dan sukses membuat kedua mata Rendra terbuka sepenuhnya. “Kenapa?” tanya Rendra dengan suara serak. “Aku takut ibu marah karena hasil tes aku yang menyatakan kemandulanku,” jawab Leandra pelan. “Kita pindah saja yuk, Mas? Siapa tahu kalau kita tinggal sendiri, aku bisa lebih cepat hamil?” Rendra tertegun mendengar kalimat terakhir Leandra. “Maksud aku—kemungkinan hamil itu masih ada kan?”
“Aku nggak bisa,” desis Rendra untuk menimbulkan kesan di depan Leandra bahwa sebenarnya dia tidak menyukai interupsi ini. “Mual-mual itu kan biasa saat hamil ....” “Kok kamu bilang begitu sama aku sih, Mas?” protes Silvi. “Ini anak juga anak siapa? Anak kamu!” Rendra memegang keningnya, kenapa semuanya jadi terasa begitu rumit sejak Leandra mengetahui pernikahan keduanya ini? “Ya aku tahu, tapi sekarang aku nggak bisa!” bisik Rendra, meskipun Leandra masih bisa mendengarnya dengan sangat baik. “Kamu sengaja pilih istri pertama kamu daripada aku?” protes Silvi dengan nada merengek. “Memangnya dari awal siapa yang memilih kamu?” tukas Rendra. “Kita juga sudah sepakat kalau aku akan tetap menomorsatukan Lea apa pun yang terjadi, ingat?” “Tapi, Mas ... aku ini sedang hamil ...” ucap Silvi, nadanya seperti menahan tangis. “Aku juga butuh kamu di samping aku ....” Rendra menghela napas panjang, dia mengusap rambutnya dengan jemari sebelum akhirnya berkata, “Nanti kita bicara lagi.”
Leandra tidak sempat menghindari senggolan dengan bodi mobil dan dia pun terjatuh bersama motornya ke aspal.Untungnya, mobil putih itu berhenti dan pengemudinya turun saat beberapa orang mulai datang untuk memberikan pertolongan kepada Leandra.Sempat heboh sebentar sebelum akhirnya pengemudi mobil itu berjanji akan bertanggung jawab terhadap Leandra meski faktanya dia tidak sepenuhnya bersalah.“Kamu mau ke rumah sakit?”Leandra mendongak dan memandang pria yang mengemudi mobil tadi.“Tidak usah,” geleng Leandra kepada pengemudi mobil itu. “Saya minta maaf, saya yang salah ....”Pria itu tidak menjawab, dia mengalihkan pandangannya ke arah motor Leandra yang terparkir di dekat mobilnya. Dia mendekati motor itu dan mengamatinya sebentar.Leandra yang wajahnya masih shock, hanya terduduk bisu sambil mengusap-usap lututnya yang terbentur saat jatuh tadi. Ketika dia menoleh, dilihatnya pria itu sedang mencoba menyalakan mesin motor matic-nya.“Kamu tidak menelepon orang rumah sa
“Kamu masih marah sama aku?” tanya Rendra sambil menatap Leandra.“Entahlah, Mas ... Menurutku itu pertanyaan yang nggak membutuhkan jawaban,” ucap Leandra, dengan sengaja memutus kontak matanya dengan Rendra.“Lea, justru aku sedang berusaha memperbaiki hubungan kita.” Rendra berjongkok di depan Leandra dan menatapnya sungguh-sungguh. “Aku mengerti kalau kamu masih merasa berat menerima semua ini, tapi aku percaya kalau kamu adalah istri yang bijak.”Leandra masih menolak memandang Rendra, sekalipun sang suami berusaha meluluhkan hatinya dengan menggenggam tangannya erat.Bagi Leandra, sentuhan sekecil apa pun dari Rendra kini tak lagi membuatnya bergelora seperti dulu. Yang ada justru perasaan muak setiap kali dia mengingat kalau suaminya sudah setega itu membagi benihnya dengan wanita lain.“Kita ke sana yuk, nonton tivi.” Rendra berdiri kemudian membimbing Leandra menuju tempat tidur mereka.Masih dengan bibir terkunci, Leandra membaringkan diri di samping Rendra tanpa has
Langkah Rendra sontak terhenti ketika dia mendengar namanya dipanggil.“Ren, ibu mau bicara!”Tanpa berpikir dua kali, Rendra langsung membelokkan langkahnya ke dapur.“Kamu sama Lea jadi periksa ke dokter?” tanya Widi tanpa basa-basi bahkan sebelum Rendra duduk di kursinya.“Aku sama Lea ...” Rendra menggantung ucapannya. “Kenapa memangnya, Bu?”“Kenapa, kamu bilang?” tukas Widi sambil mendelik. “Ibu mau tahu apakah Lea itu mandul atau tidak.”Rendra terperanjat.“Bu, jangan seperti ini. Kasihan Lea, kasihan aku juga ...” katanya diselingi helaan napas berat. “Dia adalah orang yang paling terpukul dibandingkan kita.”Widi menarik napas panjang.“Kamu tahu seberapa terpukulnya ibu juga kalau dia mandul kan?” tanya Widi sambil menghembuskan napas berat.“Tapi Lea akan lebih terpukul, Bu,” elak Rendra dengan wajah lelah. “Aku ke kamar dulu, capek.”“Jadwal kamu ke tempat Silvi jangan lupa,” sahut Widi mengingatkan. “Jangan sampai kamu mengabaikan dia, beda hal sama Lea—dia ka
Rendra mengeratkan dekapannya pada bahu Leandra.“Enggak lah,” sahut Rendra. “Tapi aku butuh pengertian kamu—kalau nantinya aku sering ke tempat Silvi, itu semata-mata cuma untuk melihat bayi itu.”Leandra diam saja.“Atau kalau kamu nggak keberatan, kita bisa asuh bayi itu berdua saja.” Rendra mengusulkan.“Terus Silvi gimana?” tanya Leandra dengan kening berkerut. “Kamu akan memisahkan bayi itu dari ibunya?”Rendra berpikir sejenak.“Bukan memisahkan juga sih,” katanya membantah. “Kan bayi itu bisa kamu rawat, Silvi juga bebas kalau mau lihat anaknya.”Leandra terpaku, menurutnya usul Rendra terlalu dipaksakan. Selain itu dia tidak yakin kalau Widi akan setuju jika Silvi dipisahkan dari bayinya nanti.Pekan itu sesuai jadwal, Rendra harus bermalam di tempat Silvi dan itu artinya Leandra akan ditinggal sendirian.“Atau kamu mau aku antar ke tempat Tante Ivana dulu?” tanya Rendra menawari ketika melihat wajah Leandra yang muram.“Tan