Rendra sontak terdiam.
“Testpack? Maksud kamu?” Dia bertanya dengan kening berkerut.Leandra meraih tas kerja Rendra dan mengeluarkan testpack yang tadi dia temukan.“Ini bukan testpack aku,” kata Leandra sambil menunjukkan benda pipih itu. “Hasilnya positif—testpack siapa ini, Mas?”Leandra menatap lurus ke arah Rendra yang berdiri membeku di depannya.“Lea, itu ...”Leandra berusaha untuk tetap tenang dan menunggu apa yang akan Rendra jelaskan kepadanya. Namun, terlihat jelas kalau suaminya begitu kesulitan dalam merangkai kata-kata yang tepat.“Testpack ini milik siapa, Mas?” tanya Leandra lagi dengan nada mendesak. “Kamu tahu sendiri kalau hasil testpack aku selalu negatif ... tapi yang ini positif—bisa kamu jelaskan?”Rendra tidak segera menjawab.“Kenapa kamu diam, Mas?” tuntut Leandra lagi.“Itu punya rekan kerja aku, Lea!” jawab Rendra buru-buru. “Sepertinya nggak sengaja kebawa saat aku beres-beres meja.”Dengan menahan rasa curiga yang memuncak, Leandra mengambil ponsel Rendra dan menunjukkan pesan baru yang dilihatnya.“Silvi itu siapa?” tanya Leandra, dia menoleh dan melihat ekspresi wajah Rendra yang langsung berubah drastis.“Lea, kamu salah paham!” kata Rendra sambil meraih testpack itu, tapi Leandra sengaja menjauhkannya dari jangkauan.“Siapa dia?” tanya Leandra dengan mata menyipit. “Jawab, Mas!”“Rekan kerja,” jawab Rendra akhirnya. “Mana ponsel aku, Lea? Kamu nggak bisa pegang ponsel aku tanpa izin.”Leandra menggeleng.“Jelaskan dulu Silvi itu siapa!”Rendra berusaha meraih bahu Leandra, tapi istrinya itu menjauh dengan segera.“Lea, ini nggak seperti yang kamu pikirkan!” sergah Rendra saat Leandra melangkah keluar dari kamar mereka. “Dengar dulu penjelasan aku!”Leandra tidak mendengar, dengan langkah-langkah cepat dia segera pergi menuju kamar mertuanya.“Bu, maaf! Aku mau bicara sebentar!” ucap Leandra sambil mengetuk pintu dengan sedikit keras karena dia tidak bisa mengendalikan diri. “Bu?”Rendra berhasil menyusul Leandra sebelum pintu kamar orang tuanya terbuka.“Lea, kita selesaikan masalah kita di dalam.” Dia menarik tangan Leandra tegas.“Aku nggak mau kamu bohongi lagi, Mas!” tukas Leandra sambil mengibas tangannya.“Kamu khawatir kalau orang tua kamu tahu soal Silvi? Memangnya siapa dia? Terus testpack positif ini milik siapa?”Rendra menghela napas kasar, kesabarannya mulai terkikis karena Leandra tidak juga menurut kata-katanya.“Aku akan jelaskan semua, tapi nggak di sini.” Rendra berkeras. “Ini masalah rumah tangga kita, jadi kita nggak perlu bawa-bawa orang tua.”“Jangan-jangan testpack yang aku temukan ini adalah milik Silvi?” tebak Leandra sambil menatap tajam suaminya.“Aku jelaskan di kamar, oke?” bujuk Rendra lagi.“Jawab dulu testpack ini milik siapa?” tanya Leandra berulang-ulang.“Kalian ini ngapain ribut-ribut di depan kamar?” sela ibu mertua yang muncul di pertengahan tangga.“Nggak apa-apa, Bu.” Rendra menyahut.Ibu Rendra meneruskan langkah dan kedua matanya terarah ke tangan Leandra.“Itu kamu bawa apa, Lea?”Rendra menatap ibunya dengan pandangan yang menyiratkan sesuatu.“Mas Rendra bawa testpack yang hasilnya positif, Bu.” Leandra tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mengadu.“Oh ya, bagus! Kamu akhirnya hamil?” sahut mertua, agak kebingungan ketika dia menangkap pandangan Rendra yang menyiratkan sesuatu. “Tapi ....”“Ini bukan hasil testpack aku, Bu.” Leandra menggeleng. “Aku dapat testpack ini di tas kerjanya Mas Rendra.”Rendra sontak bungkam.“Lebih baik kamu jelaskan sekalian di depan Ibu,” ucap Leandra seraya melirik Rendra. “Testpack ini milik siapa, kenapa bisa ada di tas kamu, dan juga siapa itu Silvi?”Sang mertua yang mendengar pertanyaan beruntun dari Leandra, ikut memandang ke arah Rendra.“Tolong jelaskan sekarang, aku mau semuanya selesai malam ini juga.” Leandra mendesak.“Tidak perlu dibesar-besarkan,” sela ibu Rendra dengan ekspresi angkuh. “Itu kan cuma testpack.”“Tapi Bu, aku harus tahu siapa pemilik testpack ini!” ucap Leandra gusar.“Tidak ada gunanya kamu tahu,” tukas mertua. “Yang harus kamu pikirkan adalah bagaimana caranya biar hasil testpack kamu selanjutnya bisa positif seperti itu, saya juga kepingin gendong cucu.”Leandra merasa kalau ibu mertua cenderung membela putranya sendiri, padahal dia masih ingin mengusut tuntas kasus ini dengan barang bukti testpack yang dia temukan.“Kamu nggak percaya sama aku?” Rendra meraih tangan Leandra yang masih menggenggam alat bukti. “Testpack itu milik rekan kerja aku, Lea. Dia memang orangnya ceroboh, suka meletakkan benda-benda pribadinya sembarangan.”Namun, Leandra dengan tegas mengibaskan tangannya.“Jelaskan dulu siapa itu Silvi!” kata Leandra sambil memandang tegas suaminya.Rendra terdiam sebentar, kemudian dia merebut paksa benda pipih yang digenggam Leandra dan langsung menaruhnya di saku celana“Jelaskan saja semuanya sama istri kamu sekarang,” suruh ibu mertua sambil berdiri di depan pintu kamarnya.“Bu!” tegur Rendra.“Ada apa, Mas?” tanya Leandra seraya memandang suami dan ibu mertuanya bergantian.“Kamu atau ibu yang harus menjelaskannya?” ucap mertua yang tampak memendam sesuatu. “Tidak perlu kamu sembunyikan lagi kalau memang istri kamu mau tahu.”“Ibu bicara apa sih, Mas?” Leandra semakin dibuat bingung.“Nggak usah kamu dengarkan ibu,” tukas Rendra, yang justru semakin memancing rasa ingin tahu Leandra.“Kamu sama ibu pasti menyembunyikan sesuatu,” kata Leandra curiga. “Kamu jujur sekarang, atau aku akan cari tahu semuanya sendiri?”Rendra masih membisu, dia melirik ibunya yang balas menatapnya tajam.“Oke, aku akan cari tahu sendiri.” Leandra mengancam, sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi di rumah ini.“Sebenarnya aku ... sudah menikah sama Silvi,” kata Rendra akhirnya, membuat Leandra seakan tersambar petir. “Dan testpack itu betul punya dia.”“Kamu menikah lagi, Mas?” ucap Leandra tak percaya. “Dan Ibu tahu ...?”Dia memandang ibu mertuanya dengan tak percaya, setelah itu dia langsung masuk ke kamarnya.Tidak kuat lagi menahan kepedihan hati.“Ibu sakit keras, darah tingginya suka kambuh kalau dia banyak pikiran,” kata Rendra lirih, berusaha membujuk sang istri yang menangis tanpa suara di kamar mereka. “Sudah lama ibu menginginkan cucu dari kita, Lea.”Leandra memejamkan mata, tidak menyangka pengkhianatan itu sungguh-sungguh terjadi di dalam rumah tangganya yang semula dia kira baik-baik saja.Selama ini Rendra tidak pernah mengeluh, biarpun lebih dari dua tahun pernikahan sudah mereka lewati tanpa tangis nyaring seorang bayi.“Ibu suruh Mas Rendra menikah lagi?” tanya Leandra kecewa saat dia bertemu ibu mertua esok paginya.“Ya, itu karena kamu tidak bisa kasih anak untuk Rendra,” jawab mertuanya tanpa beban.“Tapi bukan begini caranya, Bu. Ini sama saja selingkuh,” kata Leandra keberatan.“Rendra berhak punya anak, Lea. Karena kamu tidak hamil-hamil juga, tidak ada salahnya dia menikah lagi.” Ibu mertua menyela. “Buktinya Silvi bisa hamil, itu artinya rahim kamu yang bermasalah.”“Tapi bukan berarti aku mandul,” bantah Leandra.“Terus kenapa sampai sekarang kamu tidak juga hamil?” tanya mertua, nadanya menekan. “Memangnya kamu berani tes kesuburan untuk membuktikan kamu ini mandul atau tidak?”Bersambung—Untuk membuktikan bahwa dirinya tidak mandul, Leandra berkeras untuk mengajak Rendra mengantarnya tes kesuburan di rumah sakit. “Aku minta maaf, Lea.” Rendra berulang kali mengatakan hal yang bagi Leandra sudah tidak lagi penting. Permintaan maaf itu ibarat nasi basi yang sudah tidak mungkin untuk dikonsumsi lagi. Ketika memutuskan untuk menikah diam-diam, tidakkah Rendra dalam keadaan sadar? Kenapa tidak ada setitik pun rasa bersalah dalam dirinya ketika dia akan membagi cinta dengan Silvi? “Lea?” panggil Rendra, membuat Leandra tersentak dari lamunannya. “Aku janji kalau aku nggak akan mengabaikan kamu, bagiku kamu tetap istri aku.” Leandra menyeka kedua matanya, saat itu dia dan Rendra sedang antre di rumah sakit untuk menunggu giliran. “Aku sedang nggak mau bicara soal itu, Mas.” Dia menggeleng. “Aku mau fokus, aku harus ikut tes kesuburan ini untuk membuktikan sama ibu kalau aku bukan perempuan mandul ....” Rendra bisa merasakan kekecewaan yang dipikul Leandra saat ini, kare
Ketika pagi datang, kedua kaki Leandra terasa begitu berat untuk meninggalkan tempat tidurnya. Dia merasakan ketakutan yang teramat besar, bagaimana kalau dia bertemu ibu mertua dan ditanyai soal hasil tes kesuburan itu? Leandra tidak akan sanggup menjawabnya. “Sayang, kamu nggak bangun?” lirih Rendra dengan mata setengah terpejam. “Tumben ....” Leandra tidak segera menjawab, andai saja dia memiliki kemampuan untuk menjelaskan suasana hatinya sekarang tanpa perlu bersuara—tentu akan dilakukannya saat ini juga. “Aku ... jujur aku nggak siap bertemu sama ibu kamu, Mas.” Leandra membuka mulutnya dan sukses membuat kedua mata Rendra terbuka sepenuhnya. “Kenapa?” tanya Rendra dengan suara serak. “Aku takut ibu marah karena hasil tes aku yang menyatakan kemandulanku,” jawab Leandra pelan. “Kita pindah saja yuk, Mas? Siapa tahu kalau kita tinggal sendiri, aku bisa lebih cepat hamil?” Rendra tertegun mendengar kalimat terakhir Leandra. “Maksud aku—kemungkinan hamil itu masih ada kan?”
“Aku nggak bisa,” desis Rendra untuk menimbulkan kesan di depan Leandra bahwa sebenarnya dia tidak menyukai interupsi ini. “Mual-mual itu kan biasa saat hamil ....” “Kok kamu bilang begitu sama aku sih, Mas?” protes Silvi. “Ini anak juga anak siapa? Anak kamu!” Rendra memegang keningnya, kenapa semuanya jadi terasa begitu rumit sejak Leandra mengetahui pernikahan keduanya ini? “Ya aku tahu, tapi sekarang aku nggak bisa!” bisik Rendra, meskipun Leandra masih bisa mendengarnya dengan sangat baik. “Kamu sengaja pilih istri pertama kamu daripada aku?” protes Silvi dengan nada merengek. “Memangnya dari awal siapa yang memilih kamu?” tukas Rendra. “Kita juga sudah sepakat kalau aku akan tetap menomorsatukan Lea apa pun yang terjadi, ingat?” “Tapi, Mas ... aku ini sedang hamil ...” ucap Silvi, nadanya seperti menahan tangis. “Aku juga butuh kamu di samping aku ....” Rendra menghela napas panjang, dia mengusap rambutnya dengan jemari sebelum akhirnya berkata, “Nanti kita bicara lagi.”
Leandra tidak sempat menghindari senggolan dengan bodi mobil dan dia pun terjatuh bersama motornya ke aspal.Untungnya, mobil putih itu berhenti dan pengemudinya turun saat beberapa orang mulai datang untuk memberikan pertolongan kepada Leandra.Sempat heboh sebentar sebelum akhirnya pengemudi mobil itu berjanji akan bertanggung jawab terhadap Leandra meski faktanya dia tidak sepenuhnya bersalah.“Kamu mau ke rumah sakit?”Leandra mendongak dan memandang pria yang mengemudi mobil tadi.“Tidak usah,” geleng Leandra kepada pengemudi mobil itu. “Saya minta maaf, saya yang salah ....”Pria itu tidak menjawab, dia mengalihkan pandangannya ke arah motor Leandra yang terparkir di dekat mobilnya. Dia mendekati motor itu dan mengamatinya sebentar.Leandra yang wajahnya masih shock, hanya terduduk bisu sambil mengusap-usap lututnya yang terbentur saat jatuh tadi. Ketika dia menoleh, dilihatnya pria itu sedang mencoba menyalakan mesin motor matic-nya.“Kamu tidak menelepon orang rumah sa
“Kamu masih marah sama aku?” tanya Rendra sambil menatap Leandra.“Entahlah, Mas ... Menurutku itu pertanyaan yang nggak membutuhkan jawaban,” ucap Leandra, dengan sengaja memutus kontak matanya dengan Rendra.“Lea, justru aku sedang berusaha memperbaiki hubungan kita.” Rendra berjongkok di depan Leandra dan menatapnya sungguh-sungguh. “Aku mengerti kalau kamu masih merasa berat menerima semua ini, tapi aku percaya kalau kamu adalah istri yang bijak.”Leandra masih menolak memandang Rendra, sekalipun sang suami berusaha meluluhkan hatinya dengan menggenggam tangannya erat.Bagi Leandra, sentuhan sekecil apa pun dari Rendra kini tak lagi membuatnya bergelora seperti dulu. Yang ada justru perasaan muak setiap kali dia mengingat kalau suaminya sudah setega itu membagi benihnya dengan wanita lain.“Kita ke sana yuk, nonton tivi.” Rendra berdiri kemudian membimbing Leandra menuju tempat tidur mereka.Masih dengan bibir terkunci, Leandra membaringkan diri di samping Rendra tanpa has
Langkah Rendra sontak terhenti ketika dia mendengar namanya dipanggil.“Ren, ibu mau bicara!”Tanpa berpikir dua kali, Rendra langsung membelokkan langkahnya ke dapur.“Kamu sama Lea jadi periksa ke dokter?” tanya Widi tanpa basa-basi bahkan sebelum Rendra duduk di kursinya.“Aku sama Lea ...” Rendra menggantung ucapannya. “Kenapa memangnya, Bu?”“Kenapa, kamu bilang?” tukas Widi sambil mendelik. “Ibu mau tahu apakah Lea itu mandul atau tidak.”Rendra terperanjat.“Bu, jangan seperti ini. Kasihan Lea, kasihan aku juga ...” katanya diselingi helaan napas berat. “Dia adalah orang yang paling terpukul dibandingkan kita.”Widi menarik napas panjang.“Kamu tahu seberapa terpukulnya ibu juga kalau dia mandul kan?” tanya Widi sambil menghembuskan napas berat.“Tapi Lea akan lebih terpukul, Bu,” elak Rendra dengan wajah lelah. “Aku ke kamar dulu, capek.”“Jadwal kamu ke tempat Silvi jangan lupa,” sahut Widi mengingatkan. “Jangan sampai kamu mengabaikan dia, beda hal sama Lea—dia ka
Rendra mengeratkan dekapannya pada bahu Leandra.“Enggak lah,” sahut Rendra. “Tapi aku butuh pengertian kamu—kalau nantinya aku sering ke tempat Silvi, itu semata-mata cuma untuk melihat bayi itu.”Leandra diam saja.“Atau kalau kamu nggak keberatan, kita bisa asuh bayi itu berdua saja.” Rendra mengusulkan.“Terus Silvi gimana?” tanya Leandra dengan kening berkerut. “Kamu akan memisahkan bayi itu dari ibunya?”Rendra berpikir sejenak.“Bukan memisahkan juga sih,” katanya membantah. “Kan bayi itu bisa kamu rawat, Silvi juga bebas kalau mau lihat anaknya.”Leandra terpaku, menurutnya usul Rendra terlalu dipaksakan. Selain itu dia tidak yakin kalau Widi akan setuju jika Silvi dipisahkan dari bayinya nanti.Pekan itu sesuai jadwal, Rendra harus bermalam di tempat Silvi dan itu artinya Leandra akan ditinggal sendirian.“Atau kamu mau aku antar ke tempat Tante Ivana dulu?” tanya Rendra menawari ketika melihat wajah Leandra yang muram.“Tan
Leandra menghela napas. “Kalau begitu, biar aku ikut kerja.” Dia memutuskan karena tidak tahan dengan tuduhan boros yang disematkan kepadanya.Rendra malah tersenyum geli.“Mau kerja apa?” tanya Rendra dengan kening berkerut. “Perusahaan mana yang mau menerima calon pegawai yang belum punya pengalaman seperti kamu?”Kali ini Leandra merasa kalau Rendra terlalu meremehkannya.“Kalau nggak dicoba, mana aku tahu?” ucap Leandra seraya memasukkan kembali surat kendaraannya ke dalam laci. “Tapi aku serius, aku akan mulai cari kerja besok.”“Jangan ngawur,” tegur Rendra. “Kalau kamu kerja, memangnya kamu masih bisa mengurus keperluan aku?”Leandra mengangguk.“Seharusnya bisa, itu bukan sesuatu yang sulit kan?” kata Leandra optimis.Rendra menghela napas panjang.“Terserah kamu,” sahutnya, enggan berdebat. “Yang penting, jangan sampai urusan rumah kamu tinggalkan cuma karena kamu kepingin kerja.”Jujur saja jawaban Rendra membuat Leandra ingin tertawa.“Mas, Mas, jangan bersika