"Bikin kopi buat siapa kamu?" tanya Ujang melihat Jevran memasak air panas.
"Pak Direktur."
"Oh, kalau buat Pak Direktur mah gulanya jangan banyak-banyak. Gak suka manis."
"Siap." Jevran menyiapkan gelas dan kopi yang ditambah sedikit gula. Belum sempat di aduk, perutnya tiba-tiba mulas. "Jang, saya titip sebentar, ya. Mau ke kamar mandi dulu," kata Jevran.
"Sok atuh. Jangan lama-lama, nanti kopinya dingin."
"Iya."
Jevran berjalan cepat ke toilet. Karen takut kopinya menjadi dingin, pria itu bergegas kembali ke pantry. Sampai di sana Ujang sudah tidak ada, padahal ia menitipkan kopi padanya. Untung saja kopi itu masih ada di tempatnya semula.
Tanpa menunggu lama Jevran membawa kopi dengan nampan ke ruang direktur. Syukurlah sekarang sudah bisa menggunakan lift, tidak seperti kemarin. Sudah jalannya harus cepat karena takut dingin, belum lagi banyak anak tangga membuat mereka harus hati-hati juga. Bergoyang sedikit sudah tumpah kopinya.
Sampai di depan ruangan direktur, Jevran mengetuknya beberapa kali.
Tok...tok..tok...
"Masuk!"
Di dalam sana ternyata Pak direktur tidak sendiri. Ada Jerry yang juga berada di sana. Sepertinya pria itu sudah pulang dari perjalanan bisnisnya ke luar kota.
"Ini, Pak, kopinya."
"Terimakasih."
"Bapak mau sekalian saya buatkan kopi?" tanya Jevran pada Jerry.
"Tidak usah." Jerry mencoba tidak menatap Jevran. Pasalnya, setiap dia menatap pria itu dengan penampilan barunya, Jerry tidak bisa menahan senyum.
Pak direktur mulai meneguk kopinya. Tapi... Pftt!
Dengan cepat pria itu mengambil tisu di atas meja dan mengelap mulutnya. Hampir saja ia menyemburkan kopi di hadapan Pak Jerry, asisten Bos. Bisa dipecat dia jika dibilang tidak sopan.
"Ada apa, Pak?" tanya Jerry. Jevran masih ada di sana menatap tanya.
"Maaf Pak Jerry sebelumnya." Direktur itu menatap Jevran dengan mata melotot. "Kopi apa yang kamu buat?!"
Jevran membenarkan kacamatanya. "Kopi biasa. Cuman kata Ujang, bapak gak terlalu suka manis. Jadi saya kurangi takaran gulanya."
"Mending kalau manis. Ini rasanya asin. Kamu mau bunuh saya?"
"Tenang dulu, Pak," kata Jerry.
"Tapi ini keterlaluan. Pak Jerry tau kalau dia ini OB baru? Masa kerjanya seperti ini."
Jerry memejamkan matanya erat. Ia menghela nafas kasar sebelum menatap dingin Jevran. "Biar saya yang urus dia. Kamu, ikut saya keruang."
Jevran sedikit membungkuk lalu mengikuti Jerry dari belakang. Sementara Pak Direktur mendengus kesal saat kopi pesanannya tidak bisa diminum. Dasar OB tidak becus!
Mereka berdua sampai di ruangan. Jerry menutup pintunya rapat. Di sisi lain Jevran bersedekap dada menantang Jerry.
"Mau marah sama gue?"
Jerry meringis. "Mana berani gue marah sama Lo?"
"Bagus."
"Tapi, Lo serius ngasih garam di kopi tadi?"
"Enggak lah. Gue yakin tadi yang gue masukin itu gula, bukan garam. Makanya gue bingung waktu dia bilang rasanya asin."
"Terus kenapa bisa begitu?"
Jevran berdecak pinggang. "Jangan-jangan ada orang iseng sama gue."
****
Jevran menghampiri Ujang yang sedang mengelap kaca. "Kamu ngerjain saya?"
"Ngerjain apa ai kamu teh?" Ujang melirik sekilas Jevran lalu kembali menyemprotkan cairan sabun.
"Gak usah bohong. Tadi saya dimarahin sama Pak Jerry soal kopi yang saya bikin buat Pak direktur. Katanya asin, padahal saya udah kasih gula. Sebelumnya juga saya titip kopi ke kamu, tapi waktu saya datang kamu gak ada."
Ujang menggaruk kepalanya. "Ya emang bukan saya atuh."
"Terus siapa?"
"Oh iya saya ingat!" Ujang menjentikan jarinya. "Jadi, waktu saya jagain kopi, ada karyawan yang masuk ke pantry. Kalau gak salah namanya teh pak Arga. Dia ngasih saya berkas buat di fotocopy. Terus Pak Arga juga mau bikin kopi, jadi saya bilang aja kalau kamu teh lagi nitip kopi sama saya. Dia bilang mau jagain sampai kamu datang."
"Tapi waktu saya datang, gak ada orang di pantry. Atau jangan-jangan...." Jevran menatap Jerry seolah memberi sinyal.
"Ini teh ulahnya Pak Arga?"
"Mungkin."
Ujang menggeleng membayangkan yang tidak-tidak. "Tapi kayaknya mah gak mungkin. Buat apa coba dia lakuin itu sama kamu? Memangnya kalian teh saling kenal?" tanya Ujang yang dibalas Jevran dengan mengangkat kedua bahunya acuh.
****
"Kak Naura, knapa dia harus nginap, sih?" Ajun mendengus.
Jevran mengulum senyum kaku, tapi hatinya menggerutu. Siapa juga yang mau menjaga bocah licik itu? Yang ada, dia dikerjai habis-habisan selama di sini."Cuma dua hari. Kamu kalau gak dijaga bisa keluyuran sama teman kamu malam-malam.""Aku udah besar, kak.""Besar apanya? Kamu itu masih SMP!"tin.. tin...Mobil hitam berhenti di depan rumah Naura. Dari jendela mobil, menyembul kepala perempuan yang melambaikan tangannya. Itu adalah teman kerja Naura di kafe.Niatnya mereka akan pergi besok pagi, tapi menurut salah satu dari mereka, lebih baik berangkat di malam hari. Lagipula mereka menyewa orang untuk membawa mobil."Temen kakak udah datang. Kakak berangkat, ya. Kamu harus nurut sama Kak Joko." Naura beralih menatap Jevran. "Kalau adik aku gak mau nurut, kamu bilang aja sama aku.""I-iya.""Dah..." Naura mengecup kening sang adik sekilas sebelum berlari ke mobil temannya. Gadis itu melambaikan tangan pada kedua laki-laki di depan rumahnya. Naura percaya Jevran orang baik. Dia akan membantunya menjaga Ajun.Diluar ekspektasi, Ajun menatap orang di depannya jengkel. Anak itu melengos masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan sepatah katapun. Jevran menggaruk kepalanya sesaat sebelum memilih ikut masuk menyusul Ajun. Di mana dia tidur?Jevran berdiri menatap Ajun yang duduk di sofa menonton tv. Dirinya terlihat seperti anak kehilangan orang tuanya, menyedihkan. Dimana harga dirinya sekarang?"Kamarnya di sebelah sana. Itu kamar bang Rival, jadi jangan berantakan." Ajun menunjuk sebuah pintu cokelat tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi.Tanpa banyak bicara Jevran melangkah ke kamar yang dimaksud. Dia juga malas menanggapi ucapan anak itu. Tubuhnya terseok membawa tas berisi satu dua baju untuknya berganti. Walaupun rumahnya dekat, itu pasti merepotkan."Ahh.." Jevran merebahkan tubuhnya di atas kasur. Semua perlengkapan yang mengganggu wajahnya dilepas.Ia merasa butuh istirahat sekarang. Pekerjaannya hari ini lebih banyak dari hari pertama ia bekerja. Belum lagi hatinya masih kesal dengan pria bernama Arga itu. Bisa-bisanya dia dikerjai.Jevran berniat mencuci wajahnya yang diberi make up gelap. Untunglah di dalam kamar ini ada kamar mandi, jadi memudahkannya membersihkan make-up. Baru saja sampai di pintu kamar mandi, terdengar suara Ajun memanggil namanya."Kak Joko!"Dengan cepat Jevran memasang kembali penyamarannya. Bisa repot dia kalau sudah mencuci muka."Ada apa?" Jevran menatap Ajun yang bersedekap dada."Buatin makan! Aku laper.""Hah?""Kenapa? Aku belum makan. Mau aku bilangin kak Naura kalau kakak gak ngurusin aku?"Jevran mendengus pelan. Bukanya dia cuma disuruh menjaga bocah ini saja? Jevran saja tidak bisa masak. Mau buat apa dia?"Cepet!""Iya-iya."*****Pagi ini Jevran bangun lebih awal. Dia membuat nasi goreng untuk sarapan. Pria itu duduk di salah satu kursi meja makan sambil menunggu Ajun yang sedang bersiap di kamarnya."Nasi goreng lagi?" tanya Ajun yang melihat ke meja makan. Tatapan tak minaat pada masakan yang dibuat Jevran. "Semalam bikin nasi goreng keasinan."Jevran meringis mengingat semalam. "Sekarang enak, kok. Aku juga udah coba.""Gak mau! Aku mau makan di luar aja.""Tapi ini nasi gorengnya banyak. Gimana?""Ajun! Kamu dimana?" suara dari depan membuat Ajun menyaut, mengabaikan pertanyaan Jevran."Di ruang makan, kak!"Tak lama terlihat sosok Arga. "Kak Arga ngapain ke sini? Kak Naura gak ada di rumah.""Iya tau, kok. Makanya kakak ke sini mau ngajak kamu berangkat bareng. Sekalian kakak ke kantor."Mata Ajun bersinar. "Naik mobil?""Iya.""Wah, ayo!""Sebentar. Kenapa dia ada di sini?" tanya Arga yang baru menyadari kehadiran Jevran."Tau, deh. Kak Naura minta dia jagain aku. Padahal Ajun kan udah gede."'Dasar bocah! Kalau sudah besar kenapa semalam minta dibuatkan makanan? Buat saja sendiri," batin Jevran."Padahal kan dia orang baru di sini. Kok Naura bisa percaya sama dia?"Ajun mengangkat kedua bahunya acuh. "Ayo berangkat sekarang aja.""Tapi kamu belum sarapan," kata Jevran menatap polos."Dia sarapan sama gue di luar. Tenang aja, makanannya dijamin enak."Mereka berdua pergi berangkat bersama. Sebelumnya Arga sempat menatap Jevran dengan tatapan mengejek. Dengan kasar, Jevran pun memasukan sesendok nasi ke dalam mulutnya."Bocah gendeng!" batinnya dalam hati.Sementara itu, Jerry kini masuk ke pantry dengan lebam di beberapa bagian wajahnya. Ia mengabaikan karyawan yang beberapa kali menanyakan kondisinya. Terserahlah mau dianggap cuek, dia tidak mau berbicara dengan orang saat ini, kecuali satu.
"Pak Jerry teh kenapa?" Ujang melongo melihat wajah Jerry yang biru-biru."Gak apa-apa. Tolong ambilin es batu.""Siap, Pak. Saya ambilin kain kompres juga."Ujang mengambil beberapa es batu yang dililit kain kompres. Ia memberikannya kepada Jerry. "Ini, Pak."Jerry meringis saat lukanya menyentuh kain. "Shh... Ngomong-ngomong OB baru itu mana?""Joko? Saya juga gak tau, Pak. Kayaknya mah telat.""Telat?"Ujang tertunduk. Dia tau orang di depannya tidak menyukai ada pegawai yang telat. Semuanya harus disiplin tanpa terkecuali. Kalau seperti ini, habis Jevran dimarahi Pak Jerry.Dari arah lain, terlihat Jevran yang baru keluar dari pintu loker. Ia sudah lengkap dengan pakaian seragamnya. Jerry melihat itu langsung memanggilnya ke pantry."Hey... Hey... Sini kamu!""A-ada apa, Pak?" bingung Jevran melihat atasannya."Kamu telat? Di sini saya gak mentoleransi orang yang telat.""Maaf, Pak. Saya-""Gak usah ngomong! Ujang, kamu bisa balik kerja," potong sang atasan cepat."Siap, Pak." Ujang melirik sekilas Jevran memberi semangat. Semoga saja, dia tidak dipecat.Setelah memastikan Ujang pergi, Jerry berbalik sesaat. "Lo tau kenapa muka gue bisa kayak gini?" tanyanya setelah Ujang pergi.Jevran tidak langsung menjawabnya.Ia memberi kode Jerry dengan melirik ke arah kamera cctv di ujung ruangan. Untuk beberapa saat, Jerry baru mengetahuinya."Kamar mandi," bisik Jerry.Ia pun berjalan lebih dulu dan disusul Jevran. Mereka pergi ke kamar mandi dan mulai memeriksa setiap bilik. Memastikan tidak ada orang selain mereka berdua."Kenapa muka Lo?" tanya Jevran."Di jalan, gue dikeroyok sama orang."Jevran menaikkan alisnya. "Kok bisa?"Tok.. tok.. tok...Naura yang baru saja mengganti pakaian pergi ke depan untuk membuka pintu. Ternyata yang datang adalah Jevran. Pria itu merentangkan tangannya."Jevran?" Naura memeluknya dan disambut dengan hangat."Tadi aku ke toko ternyata kamu udah tutup. Jadi langsung ke sini.""Ayo masuk."Naura mengajak Jevran masuk dan kembali menutup pintunya. Jevran menatap ke sekeliling. "Ajun mana?""Baru aja pergi. Katanya mau nginep di rumah temen dua hari."Jevran mengikuti Naura yang berjalan menuju dapur. Sepertinya Naura akan membuat kue, terlihat dari bahan-bahan yang sudah disiapkan. Apakah gadis ini tidak lelah membuat kue sepanjang hari? Pria tersebut melihat-lihat belanjaan di atas meja. "Mau buat keu, ya?""Iya pesenan Jerry, katanya buat temennya. Tapi jujur ini pertama kali aku buat kue yang tinggi kayak gini," kata Naura terdengar ragu."Kamu bisa, kok. Oh iya, Ra. Besok aku mau ajak kamu makan malam. Nanti aku jemput, ya?""Makan malam di rumah kamu?" tanya Naura."Di lu
Hari demi hari berlalu. Hari ini Jevran melakukan pelepasan gips pada tangannya. Dokter sendiri yang datang ke rumah. Karena ini hari Minggu ada Naura dan Ajun juga yang menemani. Seperti kata Jevran sesibuk apapun mereka berdua setidaknya luangkan satu hari untuk bersama dan itu adalah akhir pekan.Begitu benda tersebut dilepaskan Jevran mulai merasa lega. Akhirnya hari ini tiba dimana ia bisa beraktivitas seperti biasa. Tidak perlu kesusahan lagi untuk melakukannya."Silahkan pelan-pelan digerakkan tangannya. Pelan aja biar gak kaget," ucap sang dokter.Jevran mengatur nafasnya sesaat. Ia meluruskan tangan kanannya dan bergerak sesuatu arah. Kanan, kiri, atas, bawah, dan berputar sesuai arah jarum jam."Bagaimana?""Gak sakit," jawab Jevran."Kalau begitu tangannya sudah sembuh dan kembali seperti semula. Selamat, ya.""Terimakasih, dok."Nilam mengusap punggung Jevran. "Syukurlah kalau sudah sembuh total.""Kalau begitu tugas saya selesai, Pak, Bu. Saya pamit kembali ke rumah sakit
Kemarin Jevran mengeluarkan banyak uang untuk belanja es krim anak-anak di taman. Tapi dia menikmati waktunya yang menghabiskan sebagian harinya dengan anak kecil. Semua itu menyenangkan apalagi jika ada Naura di sampingnya.Karena semakin hari semakin membaik, Jevran berusaha mencari ide agar dirinya tidak merasa bosan. Tangannya juga semakin pulih dan saat pagi tadi pemeriksaan, dokter bilang beberapa hari lagi gips sudah boleh dilepas. Itu membuatnya tenang.Setelah pulang dari rumah sakit untuk mengecek keadaannya, Jevran langsung ke tempat Naura. Ya, di toko kue tempat Naura mendapat kesibukannya. Gadis itu juga belum tau kalau Jevran akan datang ke sini sekarang. "Permisi, saya mau pesan kue.""Silahkan ma-" saat menoleh Naura terkejut melihat kehadiran Jevran. "Kamu kok di sini? Sama siapa? Kenapa gak bilang mau ke sini?""Stttt...."Jevran menempelkan telunjuknya pada mulut Naura. "Aku gak disuruh masuk?""Oh, iya. Ayo masuk."Pria itu masuk ke dalam dan melihat sekitar. Bagu
Sementara itu di atas sana kini Jevran berdiri di depan jendela. Dia sedang mencoba menghubungi Naura karena hari ini belum mendengar kabar darinya. "Kamu lagi dimana? Aku pulang hari ini kenapa gak ikut jemput aku?"'Loh, kamu udah pulang? Aku lagi di toko. Tadinya aku mau ke rumah sakit nanti sore. Tapi ternyata kamu udah pulang.'"Yaudah, gak usah."'Maaf, ya. Beneran deh hari ini ada pesanan. Sayang kalau aku tolak. Kamu gak marah, kan?' tanya Naura terdengar menyesal. Jevran terkekeh pelan. "Gak apa-apa, aku ngerti kok. Tapi besok ke sini, ya."'siap, bos.'"Papa kamu udah berangkat, Ra?"'Papa sama Bang Rival udah berangkat. Terus mereka titip salam buat kamu semoga cepet sembuh. Mereka gak sempet jenguk kamu lagi.'Naura sudah tau jika Papanya memberi restu pada hubungan Jevran dan Naura. Dia benar-benar senang dan tidak bisa mengatakan apapun lagi selain mengatakan jika dirinya bahagia. Perjuangan Jevran ternyata tidak sia-sia.Sebelum pergi Bahar juga bilang oada Naura jika
Ajun keluar dari kamarnya dengan tubuh yang lebih fresh. Karena sudah mandi setelah seharian menggunakan seragam sekolah sampai tidur di rumah sakit. Dia sudah kembali pulang hari ini.Pemuda itu berjalan menuju dapur untuk minum namun ia mengurungkan niatnya. Di sana ada Bahar, Rival, dan Naura. Ajun sedang kesal dan dia belum mau bertemu dengan mereka. Apalagi Abangnya."Mau kemana? Sini makan sama-sama," kata Naura melihat Ajun yang hendak pergi."Gak laper.""Sini, Jun. Papa mau bicara sama kamu."Ajun berdecak pelan dan kembali berbalik menghampiri mereka. Dia berdiri di samping Papanya dan tepat dihadapan Rival dan Naura. "Kenapa?""Abang kamu udah cerita sama Papa."Rival yang sedang makan menghentikan makanannya. Ia mengambil minum dan fokus pada pembicaraan. Dia juga tidak bisa menjelaskan pada Ajun sendiri jadi Rival harap dengan Papanya tau masalah ini mereka bisa sama-sama berubah.Sesaat Ajun membuang muka ke samping. Dia tak mau membicarakan masalah ini sebenarnya. "Teru
"Maafin aku.""Liat sini." Jevran meminta Naura menatapnya. "Apapun keputusan Papa kamu. Aku bakal terima itu, kok. Tapi bukan berarti aku berhenti buat perjuangin kamu.""Tapi bagi aku kamu berhasil."Gadis itu mendongak menahan air matanya agar tak terus keluar. Naura memeluk Jevran dari samping dan menyandarkan kepalanya di bahu kiri. Namun Jevran tersentak saat Naura melakukan itu.Jevran menahan nafasnya karena sebenarnya bahu yang kiri juga sakit, meski tak separah yang kanan. Tapi dia tak mau Naura melepaskan pelukannya. Jadi Jevran tetap membiarkan gadis itu di sana."Jangan nangis lagi. Aku gak bisa peluk kamu," ucap Jevran hanya menggenggam tangan Naura.Gadis itu terkekeh. Seketika ia duduk tegap dan menghapus air matanya. "Gak nangis, kok.""Bagus.""Eumm... Kamu lagi makan tadi? Aku ganggu dong? Aku bantuin, ya." Naura mengambil semangkuk bubur ke pangkuannya namun Jevran menahan."Aku bisa sendiri.""Tangan kamu lagi sakit. Aku suapin aja, ya."Jevran menggeleng. Sungguh