Share

Nasibmu, Joko....

Seorang remaja laki-laki duduk di atas dahan pohon yang berada di halaman rumah tetangganya. Dia memetik buah mangga yang terlihat kuning dan memasukannya ke dalam kantung kresek, yang diikat di pinggang. Saat melihat sang pemilik pohon datang, dia langsung loncat turun ke bawah dan menepuk-nepuk telapak tangannya.

"Ajun?" Jevran terbengong melihat halaman rumahnya berantakan dengan daun dan ranting pohon mangga.

"Eh, kak Joko."

"Kamu metik buah mangga?"

"Iya."

Jevran mencoba untuk memasang senyum terbaiknya meski sulit. "Ini kan pohonnya di depan rumahku. Kalau bisa jangan sampe berantakan. Boleh kok ngambil buahnya, tapi-"

"Bilang aja gak boleh. Dasar pelit!"

Lah?

"Bukan gitu..."

"Ajun! Ngapain kamu di sana?"

"Aku aduin kak Naura, loh." Ajun berlari menghampiri Naura yang baru saja turun dari motor ojek. Gadis itu baru saja pulang kerja dari kafe. Melihat Ajun yang berlari, Jevran ikut berlari mengejarnya.

"Kak, masa aku gak boleh ngambil buah di pohonnya."

Jevran menutup mulutnya rapat-rapat. Maksud dia kan bukan begitu. Mau pohon mangga itu di bawa ke rumah mereka juga masa bodoh, masalahnya Jevran tidak suka halamannya kotor dengan daun, ranting, dan mangga busuk yang berjatuhan. Masa harus disapu lagi dan lagi?

"Parah banget kamu. Pohon itu udah ada dari leluhur sebelumnya. Kamu tau kalau buah dari pohon itu gak diambil? Pohonnya marah, loh. Dia merasa kalau orang-orang gak memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Terus pohonnya mau balas dendam sama pemiliknya. Tau gak balas dendamnya pake apa?"

Jevran menggeleng. Dia mengikuti cerita Naura seolah itu nyata. "Apa?"

"Ulat bulu!"

Pria itu menekan ludahnya susah payah. Ulat bulu? Membayangkannya saja membuat tubuhnya merinding.

"Itu ada ulat bulu!" teriak Ajun yang mengagetkan Jevran.

"Waaa!" Dia meloncat-loncat dan mengibaskan tubuhnya. Dengan tangan dingin ia berlari ke dalam rumah. Untuk kedua kalinya Jevran ditakut-takuti oleh ulat bulu.

Naura terkekeh dan menatap adiknya. "Dapet berapa?"

"Banyak."

"Bagus. Nanti kita buat rujak, ya!"

Entah mengapa, Jevran tersenyum dan menuruti kemauan perempuan di depannya itu. "Oke!"

Pagi ini, pria itu merasa tubuhnya pegal-pegal. Mungkin karena kemarin ia banyak naik turun tangga. Tapi seharusnya hari ini para OB sudah boleh menggunakan lift, karena Jevran juga sudah mengatakan itu pada Jerry. Mungkin benar, Jevran tidak sedekat itu dengan orang yang bekerja dengannya dulu. Sampai hal seperti itu saja dia tidak tau.

Setelah siap dengan pakaian kerjanya, Jevran keluar rumah dan mengunci pintunya. Ia duduk di kursi luar dan menggunakan sepatu hitam yang terlihat buruk. Seperti terlihat usang untuk dipakai.

"Joko! Kamu mau kemana?" Terdengar suara Naura berteriak di halaman rumahnya. Gadis itu terduduk di atas motor. Mungkin sedang menunggu adiknya, untuk mengantar sekolah bocah itu.

"Berangkat kerja," balas Jevran ikut berteriak. Wajahnya masih menunduk menatap sepatu yang masih diikat talinya.

"Wah, kamu di terima? Selamat, ya."

Jevran hanya membalasnya dengan anggukan. Saat Jevran berjalan menuju jalan, Naura kembali berteriak. "Eh, Jevran tunggu sebentar!"

Naura berlari menghampiri Jevran. Pria itu mendengus kesal melihatnya. Haduh, apa lagi ini? Bisa telat dia datang ke kantor.

"Ada apa?"

"Aku mau minta tolong, boleh, ya? Besok aku sama temen-temen kerja di kafe itu mau pergi ke luar kota. Mungkin sekitar dua hari. Bos kita itu mau menikah. Nah, aku kan selama ini gak pernah ninggalin Ajun semalaman sendiri. Kamu bisa jagain dia?"

"Gimana?" Jevran mengedipkan matanya beberapa kali. Mana mau dia menjaga anak rese itu.

"Selama aku pergi, kamu nginep di rumah aku, ya. Jagain Ajun. Dia kalau gak dijagain suka pergi malem-malem sama temennya. Mau aku bawa, tapi dia harus sekolah."

"Tapi.."

"Mau, kan? Pasti mau. Kamu kan baik. Yaudah, kalau gitu aku mau bilang sama Ajun kalau kamu mau nemenin dia. Makasih Jevran." Naura berlari mencari adiknya yang masih di dalam rumah.

Di luar sana, Jevran terbengong. Sejak kapan ia menyetujuinya? Dia mau berbicara saja dipotong oleh gadis itu. Kalau begini sih namanya tidak benar. Pemaksaan!

*****

Di dakam loker para OB kini sedang heboh karena kabar gaji para OB naik. Apalagi lift sudah bisa digunakan oleh mereka. Seakan tidak percaya, mereka masih mempertanyakan kenapa itu bisa terjadi. Apalagi sekarang Bos mereka dikabarkan menghilang.

Ujang yang melihat Jevran datang langsung bergegas menghampirinya. "Joko, kamu tau tidak? Mulai hari ini gaji OB naik. Belum lagi kita udah bisa naik lift kayak karyawan lain. Wah, mimpi apa aku semalam? Kalau begini saya bisa beli kipas. Jadi gak kepanasan lagi deh di kontrakan."

"Oh, ya? Wah... Baik banget ya bos kita."

"Eh, bukan. Ini katanya perintah Pak Jerry, asistennya pak Jevran. Kalau Pak Jevran Bos kita, dia mah kabarnya hilang. Gak tau deh kabur dari rumah apa gimana."

"Emang kenapa gak mungkin kalau Pak Jevran yang suruh? Siapa tau dia lagi awasin kita semua," pancing Jevran.

"Aduh, Jev. Kamu teh OB baru. Mana tau sifat Pak Jevran kayak gimana," bisik Ujang.

"Emang gimana?"

"Orangnya teh baik sih, tapi dia gak perhatian sama pekerja kayak kita. Yang diawasi cuma karyawan kantor."

"Oh, gitu, ya." Jevran mengusap telapak tangannya yang terasa dingin.

"Iya. Udah sana kamu siap-siap. Bisa gawat kalau kita ngomongin bos besar."

Ujang kembali ke loker untuk menguncinya. Sementara Jevran mencibik pelan. 'Ujang...Ujang...padahal orang yang kamu bicarakan itu ada di depan mata.'

Para OB mulai bersiap membersihkan kantor. Ada yang menyapu, mengepel, lap kaca, sampai khusus membersihkan ruangan petinggi kantor. Ruangan direktur, manager, asisten, sampai ruangan bos besar. Contohnya Ujang, tugasnya khusus membersihkan ruangan bos. Itu lah kenapa Jevran hanya mengenal Ujang dari banyaknya OB yang ada. Dia dipercayakan keluar masuk ruangan itu untuk hal-hal tertentu.

Tentu berbeda dengan Ujang yang fokus pada satu ruangan, Jevran ditugaskan mengepel lantai 4. Tempat dimana Arga, si tengil itu berada. Ya pantas saja Jevran tidak mengenal Arga sebagai karyawannya. Pria itu berada di lantai 4, khusus Karyawan bagian pemasaran.

"Waw, ada OB di sini?"

Jevran yang baru masuk lift, mengangkat kepalanya menatap orang yang juga ikut masuk ke dalam lift. Baru saja dibucarakan, orang itu sudah menunjukan batang hidungnya. Jevran menggenggam gagang pel erat. Hanya ada mereka di dalam sana.

Arga memencet tombol lift. "Hoki Lo keren juga, ya. Bisa masuk kerja di sini dengan penampilan seperti itu. Terus, gue denger juga gaji OB naik, plus, mereka bisa pakai lift sekarang."

"Itu namanya rezeki."

"Iya, rezeki untuk orang kayak Lo."

Jevran memalingkan wajah. Kedua alisnya bertautan. Emangnya dia orang seperti apa?

Ting! Pintu lift terbuka.

Sebelum keluar dari lift, Arga sempat memberi peringatan keoada Jevran. "Gue ingetin sekali lagi, jangan sampe Lo suka sama Naura. Gue tau Lo tetangganya, ketemu setiap hari. Tapi gue lebih dulu kenal sama Naura."

Jevran berdecih setelah melihat Arga keluar dari lift. Dia segera mengangkat alat pel untuk mulai bekerja. Masa bodoh dengan ancaman Arga barusan.

****

Sementara itu, Wilan menatap ke luar jendela mobil. Beberapa hari ini suasana hatinya berbeda. Supir pria tua itu juga merasa kasihan melihat atasannya yang semakin kurus, dengan diterpa kabar hilangnya sang cucu. Orang-orang yang bekerja dengan Wilan pasti tau seberapa dekat ia dengan Jevran. Cucunya bukan hanya Jevran, tapi Wilan lebih menyayangi cucunya yang satu itu.

Saat pintu mobil di sampingnya terbuka, Wilan segera menoleh. "Bagaimana?"

"Tuan Jevran tidak melakukan penerbangan di bandara, Pak. Ini sudah bandara terakhir yang kita datangi."

Wilan menghela nafas. "Sepertinya bocah itu tidak pergi ke luar negeri. Bisa jadi dia masih di negara ini. Memangnya berapa uang yang dia punya setelah memblokir kartu kreditnya sendiri?"

"Bapak tenang saja. Saya dan yang lainnya akan mulai mencari ke kota terdekat."

"Bagus. Setelah kalian menemukan Jevran, saya akan beri kalian bonus tiga kali lipat."

Ajudan itu mengangguk. "Kami akan berusaha keras, Pak."

Wilan berdehem lalu meminta sang supir menjalankan mobil. Mobil itu keluar dari parkiran dan mulai melaju dengan kecepatan rata-rata. Lagi-lagi mereka pulang tanpa membawa secuil kabar tentang Jefran.

"Ini semua gara-gara Haris dan Nilam," kata Wilan tiba-tiba. Mereka yang membuat perjodohan. "Anaknya kabur, mereka juga ikut kabur ke Singapura dengan alasan bisnis."

"Saya dengar Pak Haris dan istrinya akan pulang satu Minggu lagi, Pak."

Wilan menoleh. "Benarkah? Kalau begitu ketika mereka sampai ke Indonesia, segera kabari saya. Kalau menunggu mereka datang ke rumah saya, itu gak mungkin. Saya mau langsung bertemu dengan mereka."

"Baik, Pak. Saya akan atur nanti."



Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status